Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PROVINSI

SULAWESI UTARA

Disusun Oleh :

Nama: MOH. RENDI KARIM

Kelas: XI-4

SMA NEGERI 2 GORONTALO

TAHUN PELAJARAN 2022-2023


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi


seluruhindonesia dengan bermacam-macam suku, ras dan adat istiadatnya. Dengan
banyaknya provinsi serta luasnya wilayah indonesia membuat indonesia menjadi salah
satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Menurut Central Intellingence
(CIA) pada bulan july tahun 2016, populasi penduduk Indonesia mencapai 258.316.051
jiwa dan menduduki peringkat ke-4 dunia setelah negara China, India dan Amerika
Serikat.

Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Terletak di
Teluk Manado dengan daerah sekitarnya berupa pegunungan dan lautan, dengan luas
daratan sebesar 166,9 km2 (15.726 hektare). Hal inilah yang menjadikan Manado
sebagai kota terbesar kedua di pulau Sulawesi setelah Makassar, Sulawesi Selatan.
Secara geografis, Kota Manado terletak di ujung utara Pulau Sulawesi dengan posisi
geografis 124°40′ – 124°50′ BT dan 1°30′ – 1°40′ LU.

Kota Manado juga menjadi salah satu tujuan pariwisata yang sering dikunjungi oleh
wisatawan lokal maupun mancanegara. Ekowisata menjadi daya tarik utama dari Kota
Manado, seperti Taman Nasional Bunaken, Manado Tua, Pulau Siladen, Danau Tondano,
Gunung Lokon, Gunung Klabat, dan Gunung Mahawu.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini mengenal Provinsi Sulawesi Utara Manado
1. Dapat mengetahui Budaya Daerah Sulawesi Utara
2. Dapat mengetahui Agama Daerah Sulawesi Utara
3. Dapat mengetahui Suku Daerah Sulawesi Utara
4. Dapat mengetahui Bahasa Daerah Sulawesi Utara

1.3. Manfaat
Bisa mengenanal Kota Manado lebih dalam lagi dari segi pemerintahan, adat istiadat, sumber
daya alam, wisata dan kuliner yang belum pernah diketahui.
BAB II
PEMBAHASAN

A. BUDAYA DAERAH

Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam Sulawesi
Utara juga kaya akan seni dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Berbagai
seni dan budaya dari berbagai suku yang ada di Provinsi Sulawesi Utara justru
menjadikan daerah nyiur melambai semakin indah dan mempesona. Berbagai pentas
seni dan budaya maupun tradisi dari nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi
provinsi yang terkenal akan kecantikan dan ketampanan nyong dan nona Manado.

Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni
suku minahasa, suku sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga
suku/etnis besar tersebut memiliki sub etnis yang memiliki bahasa dan tradisi yang
berbeda-beda. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah
seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik
(dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan
Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang Mongondow)

Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua
bersaudara) hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti
Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka
ragaman tersebut bahasa Indonesia masih menjadi bahasa pemersatu dari berbagai
suku dan golongan.

Berikut ini beberapa Kebudayaan di Sulawesi Utara

 Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana
dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong
royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga
dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa
 Perayaan tulude. Perayaan tulude atau kunci taong (kunci tahun) dilaksanakan pada
setiap akhir bulan januari dan diisi dengan upacara adat yang bersifat keagamaan
dimana ungkapan puji dan syukur terhadap sang pencipta oleh karena berkat dan
rahmat yang telah diterima pada tahun yang telah berlalu sambil memohon berkat
serta pengampunan dosa sebagai bekal hidup pada tahun yang baru

 Festival figura. Figura merupakan seni dan budaya yang diadopsi dari kesenian
yunani klasik. Seni ini lebih dekat dengan seni pantomim atau seni menirukan laku
atau watak dari seseorang tokoh yang dikenal atau diciptakan. Figura merupakan
kesenian yang dapat menghadirkan dramaturgi pendek terhadap sosok atau perilaku
tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam mengisi tradisi baik buruknya sosok dan
watak seorang manusia. Oleh pemerintah kota Manado festival figura diselenggarakan
dalam rangka pesta kunci taong layaknya perayaan tulude yang dilaksanakan oleh
masyarakat sangihe

 Toa Pe Kong atau Cap go meh. Seperti didaerah lainnya, perayaan/upacara ini juga
rutin dilaksanakan di Sulawesi Utara apa terlebih di Kota Manado. Upacara ini
dimeriahkan dengan atraksi dari Ince Pia yakni seorang yang memotong-motong
badan dan mengiris lidah dengan pedang yang tajam serta menusuk pipi dengan jarum
besar yang tajam akan tetapi si Ince Pia tidak terluka ketika

 Pengucapan syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa


yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya
pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara
keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang
dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat
suku Minahasa pada hari Minggu umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat
pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu
yang akan datang berkunjung apa terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol.
 Festival Pinawetengan. Festival yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 7 Juli,
diawali dengan melakukan upacara adat di batu pinawetengan kemudian dilanjutkan
dengan menggelar pertunjukan seni dan budaya Sulawesi Utara di Institut Seni dan
Budaya Sulawesi Utara.

Selain itu, Sulawesi Utara memiliki banyak kesenian yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Beberapa seni dan budaya di Sulawesi Utara bisa anda lihat dengan mengklik tautan ini.
Itulah beberapa Kebudayaan di Sulawesi Utara yang hingga kini masih rutin dilaksanakan
dan dilestarikan oleh masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara.
B. AGAMA

Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa


yang sekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun
Islam merupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya
agama Kristen. Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan
kekuatan adikodrati (yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa
tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan
gaib, dan dunia akhirat).
Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang
dilakukan orang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup
individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk
pemberian kekuatan gaib dalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang
berhubungan dengan pekerjaan atau mata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga
tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai
sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus
seperti roh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatangaib lainnya.
Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut
bertujuan supaya hidup mereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan
dilindungi, dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang
dahulu dikenal sebagai na‟amkungan atau ma‟ambo atau masambo.

Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal


banyak dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut
empung atau opo, dan untuk sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa
yang penting sesudah dewa tertinggi ialah karema.

Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang
dikenal oleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai
manusia adalah sebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia
pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama to‟ar, yang juga
dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural
hero (dewa pembawa adat).
Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa
hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti
pemimpin-pemimpin komunitas besar ( kepala walak dan komunitas desa; tona‟as ).
Mereka juga dalam hidupnya memiliki keahlian dan prestasi seperti dalam perang,
keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan
senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun) apabila
mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat
mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami bencana atau kesulitan hidup
akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang diberikan akan
hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-
hal yang tidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi dsb.

Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak,
pok- pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan
tertentu dapat mengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat
dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan mereka
atau mengatasi gangguan dari mereka.

Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggal
dianggap selalu berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu
dating menunjukkan dirinya dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula
melalui seseorang sebagai media yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-
cakap dengan kerabatnya. Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan
bisa menolong kerabatnya.
C. SUKU

Provinsi Sulawesi Utara mempunyai 15 Kabupaten kota yakni Kabupaten Bolaang


Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow
Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa,
Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara,
Kota Bitung, Kota Kotamobagu, Kota Manado dan Kota Tomohon.

Provinsi Sulawesi Utara yang dihuni oleh beberapa suku yang diuraikan sebagai berikut:

Suku Minahasa

Suku Minahasa atau Orang Minahasa adalah suku terbesar di Sulawesi Utara, dan sering juga
disebut orang Manado. Mereka sendiri suka pula menyebut diri sebagai orang Kawanua.
Masyarakat ini sebagian besar mendiami daerah timur laut jazirah Sulawesi Utara, Provinsi
Sulawesi Utara. Sebenarnya masyarakat ini terbagi-bagi lagi kepada delapan sub-suku
bangsa, yaitu Tonsea, Tombulu, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, Totembuan, Toulour dan
Bantik. Jumlah populasi mereka diperkirakan sekitar 800.000 jiwa, belum termasuk yang
berdiam di daerah-daerah lain.

Suku Bantik

Suku Bantik merupakan suku bangsa yang masih dalam kerabat suku Minahasa. Suku Bantik
itu sendiri tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Utara, antara lain Kalasei, Buha, Talawaan
Bantik, Molas, dan Tanamon.

Suku Borgo

Suku yang satu ini merupakan keturunan dari hasil pencampuran ras/etnis/bangsa antara lain
Bangsa Spanyol, Portugis, Belanda yang pernah mendiami Sulawesi Utara dan terjadi
perkawinan silang antara Suku bangsa luar dengan suku bangsa Minahasa.

Suku Mongondow

Orang Mongondow sebagian besar mendiami Kabupaten Bolaang Mongondow di Provinsi


Sulawesi Utara. Kabupaten yang terdiri atas 15 kecamatan ini dihuni oleh beberapa sub-suku
bangsa. Sub-suku bangsanya, Mongondow, Bintauna, Bolaang Itang, Kaidipang, dan Bolaang
Uki. Pada zaman dulu kelimanya berbentuk kerajaan-kerajaan kecil. Bahasa Mongondow
memiliki lima dialek dari setiap sub-suku bangsa tersebut di atas. Bahasa Mongondow
menjadi bahasa perantara di antara masyarakat-masyarakat di wilayah ini.

Suku Ponosakan

Suku Ponosakan juga merupakan bagian dari sub-suku Minahasa. Suku ini berdiam di
kecamatan Belang dan Ratatotok. Sementara itu jumlah populasinya diperkirakan berjumlah
5.000 orang.
Suku Ratahan 

salah satu sub-suku Minahasa yang mendiami kecamatan Ratahan di provinsi Sulawesi Utara.
Suku Ratahan, terutama berada di kabupaten Minahasa Tenggara, dan tersebar di sekitar kota
Ratahan, di kampung-kampung Ratahan, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali,
Minanga dan Bentenan.

Suku Sangir 

Suku bangsa Sangir mendiami Kepulauan Sangihe dari jajaran Kepulauan Sangir Talaud,
Kabupaten Sangir Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau-pulau yang mereka diami adalah
Sangir Besar, Tagulandang, Makalehi, Kuang, Kawio, Kawaluso, Lupang, Toade,
Karakitang, Kalawa, Mahengetang. Semuanya termasuk dalam sepuluh kecamatan di
Kabupaten Sangir Talaud.

Suku Talaud 

Suku bangsa Talaud mendiami gugusan pulau-pulau Talaud di Kabupaten Kepulauan Sangir-
Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Daerah mereka terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau
Karakelang, Salibabu dan Kabaruan. Nama lain dari Talaud adalah Taloda, artinya "orang
laut". Ada juga yang menyebutnya Porodisa.

Suku Tambulu 

Orang Tomohon, yang mendiami kota di Tomohon, dan beberapa kota dan desa di Sulawesi
Utara, antara lain Tombariri, Tombulu, Wori, Pineleng, Likupang Barat.

Suku Tonsawang 

Orang Tonsawang adalah salah satu sub suku dari kelompok besar suku bangsa Minahasa.
Mereka mendiami beberapa desa di daerah Kabupaten Minahasa bagian selatan. Masyarakat
ini menggunakan dialek Tonsawang.

Suku Tonsea 

Orang Tonsea adalah salah satu sub suku kelompok besar suku bangsa Minahasa. Mereka
mendiami beberapa kampung di sebelah timur laut Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Masyarakat ini memakai dialek Tonsea yang masih bagian dari bahasa Minahasa.

Suku Toulour (Tondano) 

Orang Toulour termasuk salah satu sub suku dari kelompok suku bangsa Minahasa. Mereka
mendiami daerah bagian timur pesisir Danau Tondano, yang masih termasuk dalam wilayah
Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
D. BAHASA
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua-tetua
Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun
(biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari
hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan
dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah
nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua
orang tersebut.

Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar


gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru
sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan
saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada
suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial
didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya
nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih
berkuasa atas manusia sudah dijalankan di Minahasa sejak awal. Di Minahasa ada
sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea,
Bantik, Tonsawang. Pernah ada bahasa Ponosakan dan Bentenan, tapi bahasa-bahasa
itu sekarang sedang dalam proses kepunahan. Di samping bahasa-bahasa di atas ada
bahasa Melayu Manado yang digunakan sebagai bahasa pergaulan umum di seluruh
Minahasa malah sampai jauh di luar daerah Propinsi Sulawesi Utara.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Minahasa selain
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan
bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari sembilan macam
jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti
Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di
Kota Minahasa adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Minahasa termasuk
dalam etnis Tombulu.
Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa
dan Kota Minahasa khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena
pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang
menggunakan Bahasa Belanda.
Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa
Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya
masyarakat berusia lanjut. Walaupun tidak berdasarkan sensus dapat dikatakan bahwa
penutur-penutur Dialek Tontemboan adalah jumlah terbesar di Minahasa.

Kemunduran bahasa-bahasa Minahasa yang dirasakan masa kini adalah:


 Tidak ada perhatian terhadap bahasa sendiri.
 Penutur-penutur bahasa Minahasa belum mengenal akan bahasanya sendiri,
walaupun
ia mahir menggunakannya.
 Tidak ada dorongan untuk mempelajari bahasanya.
 Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menggeserkan bahasa sendiri.
 Pelajaran-pelajaran bahasa asing lebih mempunyai aspek keuntungan.
 Belum ada buku yang memberi pelajaran dalam bahasa sendiri.
 Pemberitaan tentang bahasa Minahasa dapat dikatakan tidak ada.
 Keindahan dan kekayaan Bahasa Minahasa belum pernah di ungkapkan

Anda mungkin juga menyukai