Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
ABSTRACT
The Mentawai tribe is one of the tribes that occupies Siberut Island, Mentawai Islands,
West Sumatra. The Mentawai Tribe is famous for being completely dependent on nature
and living far from modern civilization. The original belief of the Mentawai people is arat
sabulungan which comes from "Sa" and "bulungan" which means a collection of a bundle
or a place for the spirits of the deceased to reside and Bulungan means the leaves used to
summon the spirits of the dead. The entry of a religion recognized by the government has
made Arat Sabulungan abandoned by the community because of the changes in their lives
since the arrival of the missionaries to introduce life that really only exists in God.
Modern lifestyles and ways of thinking have influenced the Mentawai people's way of life
and living in social, cultural and territorial life as well as assimilate the economy, law and
politics of the Mentawai Tribe.
ABSTRAK
Suku mentawai merupakan salah satu suku yang menempati Pulau Siberut, Kepulauan
Mentawai, Sumatera Barat. Masyarakat Suku Mentawai terkenal masih tergantung penuh
pada alam dan hidup jauh dari peradaban modern. Keyakinan asli penduduk Mentawai ialah
arat sabulungan yang berasal dari “Sa” dan “bulungan” yang artinya adalah sekumpulan satu
ikat atau tempat bersemayamnya roh-roh yang telah meninggal dunia dan bulungan artinya
daun-daunan yang dipakai untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal. Masuknya
agama yang diakui oleh pemerintah membuat Arat Sabulungan sudah mulai ditinggalkan
oleh masyarakat karena perubahan hidup mereka sejak kedatangan misionaris untuk
memperkenalkan kehidupan yang sesungguhnya hanya ada dalam Tuhan. Gaya hidup dan
cara berpikir modern telah banyak memengaruhi cara hidup dan bermukim masyarakat
Mentawai dalam kehidupan sosial, budaya dan teritori serta mengasimilasi ekonomi, hukum
dan Politik Suku Mentawai.
PENDAHULUAN
Suku mentawai merupakan salah satu suku yang menempati Pulau Siberut,
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Masyarakat Suku Mentawai terkenal masih
tergantung penuh pada alam dan hidup jauh dari peradaban modern. Masyarakat Suku
Mentawai menyukai membuat perahu, merotan ke rimba, mengumpulkan buah-buahan
untuk dibarterkan dengan pedagang, membuat senjata untuk berburu dan memancing serta
dikenal sebagai peramu yang handal. Keadaan geografis Pulau Mentawai yang terpencil
dengan keadaan iklim dengan satu musim saja yaitu musim panas sepanjang tahun. Orang
Mentawai umumnya berbadan kuat, kekar, tidak berbulu, tinggi badan tidak melebihi 1,67
cm, hidung agak lebar, mata besar, alis tipis dan sedikit bundar.
Nama mentawai diambil dari bahasa asli penduduk setempat, yaitu “SiMateu”.
Bahasa Suku Mentawai yaitu Bahasa Mentawai yang termasuk dalam rumpun bahasa
Melayu Polinesia. Masyarakat Mentawai menganut sistem patrilineal yang mereka sebut
dengan Uma yaitu tempat kediaman beberapa manusia yang masih berhubungan dalam satu
keturunan. Dimana Uma menjadi pusat kehidupan masyarakat adat yang mempersatukan
karena Uma merupakan rumah induk. Suku Mentawai mempunyai beberapa ciri khas yang
menonjolkan kebudayaan Indonesia, salah satunya yaitu busana dan aksesoris yang
dikenakan. Busana suku Mentawai adalah kabit (cawat) dan sok gumai (sejenis rok yang
terbuat dari dedaunan pisang), serta aneka perhiasan dan dekorasi tubuh yang terbuat dari
untaian manik-manik, gelang, bunga, dan daun. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh
kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah
untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Suku Mentawai
dengan keunikan budayanya itu merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang perlu
sama-sama kita lestarikan dan menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia agar tetap
mencintai dan melestarikan budaya asli Indonesia.
Tujuan dari pembuatan esai berjudul “Perubahan Budaya dan Teritori Suku
Mentawai Pada Zaman Modern” yaitu guna mengetahui dinamika
IPOLEKSOSBUDHANKAM akibat hegemoni dan modernisasi serta dampaknya bagi Suku
Mentawai.
PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat
Para nenek moyang orang Mentawai adat diyakini telah bermigrasi pertama ke
wilayah tersebut di suatu tempat antara 2000 – 500 SM (Reeves, 2000), sedangkan
penjajah pertama dinyatakan, dalam dokumentasi awal oleh John Crisp yang mendarat
di pulau-pulau pada tahun 1792, telah tiba pada pertengahan 1700 di perjalanan orang
Inggris yang membuat upaya gagal dan untuk mendirikan sebuah pemukiman pertanian
lada di sebuah pulau selatan Pagai Selatan (Crisp, 1799). Selama bertahun-tahun
sebelum perdagangan ini ada antara masyarakat adat dan daratan Sumatera Cina dan
Melayu (Francis, 1839).
Dari sekian banyak perubahan yang dialami oleh orang-orang dari Siberut selama
periode ini dan dekade berikutnya – terutama pembentukan koloni pemaksaan di Muara
Siberut dan kedatangan dan aturan kekerasan otoritas Jepang selama periode Perang
Dunia Kedua – yang paling signifikan, dalam hal asimilasi masyarakat Mentawai, tiba
pada tahun 1950 (setelah deklarasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945) ketika
Mentawai menjadi bagian dari negara Indonesia (Bakker, 1999).
Pada awal tahun 1954, dibawah tujuan Indonesia persatuan nasional dan adaptasi
budaya, Pemerintah Nasional mulai memperkenalkan program peradaban yang
dirancang untuk ‘mengintegrasikan kelompok suku ke dalam arus utama sosial dan
budaya dari negara’ (Persoon 2004) pengembangan dan. Ini, untuk asli Mentawai,
berarti pemberantasan praktek Arat Sabulungan; penyerahan paksa, pembakaran dan
penghancuran harta yang digunakan untuk memfasilitasi perilaku budaya atau ritual;
dan mereka Sikerei (dukun) melepas jubah, dipukuli, dan dipaksa menjadi pekerja
paksa dan di penjara.
Pada akhir 1980-an, setelah penebangan telah menghancurkan hutan Sipora, Utara
dan Pagai Selatan, dan – sebelum ditantang oleh pilihan organisasi internasional. Pada
tahun 1980, WWF (dana satwa liar dunia) menerbitkan sebuah laporan berjudul ‘Saving
Siberut’ yang, bersama dengan dukungan dari organisasi lain – terutama UNESCO dan
Survival International – dan kepentingan internasional tambahan lainnya, membantu
membujuk pemerintah Indonesia untuk membatalkan konsesi penebangan dan
menyatakan hutan Siberut cagar biosfer. – juga dalam proses mencapai hal yang sama
di Siberut, tekanan Pemerintah tentang pemukiman kembali agak santai (terutama
karena aliran pariwisata masyarakat adat menarik). Dengan ini, orang-orang di
Mentawai menemukan bahwa mereka sekali lagi bebas untuk berlatih kegiatan budaya
asli mereka – di daerah yang jauh dari desa-desa.
Keyakinan asli penduduk Mentawai ialah arat sabulungan yang berasal dari “Sa” dan
“bulungan” yang artinya adalah sekumpulan satu ikat atau tempat bersemayamnya
roh-roh yang telah meninggal dunia dan bulungan artinya daun-daunan yang dipakai
untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal. Arat sabulungan bersifat animisme
dan menjadi landasan pokok kepercayaan masyarakat Mentawai.
Masyarakat Mentawai meyakini adanya roh alam, jiwa dan hantu. Roh alam diyakini
masyarakat Mentawai bukan sebagai sebuah entitas tunggal (terdapat roh yang berdiam
di langit, di hutan, dan di tanah). Adanya roh alam merupakan perwujudan dari konsep
tradisional masyarakat Mentawai mengenai Tuhan Yang Mahaesa atau mereka kenal
dengan istilah ulau kina (Bahasa Mentawai: Anda yang terang). Seluruh roh yang ada di
langit, gunung, dan hutan saling berinteraksi dengan jiwa manusia, binatang, tumbuhan
dan semua objek yang ada.
Arat sabulungan adalah anggota suku lainnya yaitu kepandaiannya mengusir roh dan
menyembuhkan penyakit yang dikenal dengan dukun. Oleh sebab itu arat menjadi norma
kehidupan bagi manusia secara pribadi maupun dalam keluarga dan suku. Arat
merupakan warisan suci, karena semenjak dahulu ditemukan oleh nenek moyang, dan
kelestariannya harus dijaga dengan baik. Tingkah laku yang bertentangan dengan arat
disebut dosa. Menaati arat berarti merelakan diri dibimbing oleh tradisi, yang menjadi
ukuran prima dalam setiap moralitas, arat dijadikan landasan pokok dan norma dalam
penetuan segalanya. Arat bagi masyarakat Mentawai adalah keselarasan dengan dunia,
pemersatu dengan uma dan jaminan hidup yang penuh dengan kedamaian dan
ketentraman.
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Kristen
Protestan dan Islam. Walaupun demikian sebagian orang Mentawai tetap memegang
teguh religinya yang diyakini ialah arat sabulungan. Agama Protestan masuk ke wilayah
Mentawai melalui para misionaris Jerman yang datang di Pulau Pagai pada tahun 1901
atas undangan pemerintah Kolonial Belanda. Pasca Perang Dunia II, kegiatan zending
(Bahasa Belanda: pekabaran Injil atau usaha-usaha untuk menyebarkan agama Nasrani
digalakan oleh pemerintah Belanda) Protestan makin berkembang di wilayah Selatan
Kepulauan Mentawai. Salah Satu karya yang dihasilkan zending Protestan yaitu
diterjemahkannya injil ke dalam bahasa Mentawai dengan dialek Sikakap. Bahasa dialek
Sikakap kemudian menjadi bahasa resmi dalam tata peribadatan Gereja Protestan dan
Katolik hingga saat ini.
Pada tahun 1935, telah ada penduduk Mentawai yang menganut agama Islam di
Pulau Siberut (namun karena tidak ditemukannya sumber tertulis, sulit diketahui dengan
persis kapan tepatnya agama Islam masuk ke wilayah Kepulauan Mentawai). Namun
jauh sebelum adanya pemerintah Belanda atau sebelum zaman V.O.C,
pedagang-pedagang dari tanah tepi Sumatera Barat yang beragama Islam sudah
berhubungan dagang dengan orang penduduk Mentawai khususnya Siberut. Kemudian
ada tahun 1950 para pedagang dari Minangkabau telah masuk di Siberut Utara sambil
berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedikit demi sedikit mengajak
penduduk asli Mentawai untuk memeluk agama Islam. Pengaruh Islam di Mentawai
semakin berkembang dengan masuknya para perantau dari daerah Pariaman dan Jawa.
Para perantau ini kemudian tinggal dan menetap di Mentawai dan menikah dengan
penduduk setempat.
Agama Katolik masuk ke Mentawai melalui Siberut Selatan pada tahun 1953. Pada
tahun 1954 berdirilah gereja Katolik pertama di Mentawai. Hadirnya agama Katolik
pasca dihapuskannya keyakinan yang berhubungan dengan arat sabulungan termasuk di
Kepulauan Mentawai oleh pemerintah, membuat para misionaris berusaha mengenal dan
mempelajari budaya lokal dengan cara tidak melarang diadakannya upacara-upacara adat
arat sabulungan, sehingga banyak orang Mentawai di Siberut bersedia menjadi Katolik.
Kepulauan Mentawai terletak di sebelah barat Sumatera Barat terdiri atas tiga pulau
besar. Siberut (4.097 km²), Sipora (840 km²), dan Pagai (1.870 km², terdiri atas dua pulau
dan 66 pulau kecil). Pendudukan masyarakat di Kepulauan Mentawai terdiri atas orang
Mentawai sebagai penduduk asli, kemudian penduduk pendatang seperti Batak, Jawa,
Minang, Nias dan keturunan Tionghoa. Pendudukan asli Mentawai lebih banyak tinggal
di pedalaman dan bekerja sebagai petani, berladang, dan memanfaatkan sumber daya
alam (SDA). Sementara penduduk pendatang umumnya terkonsentrasi di kota
kecamatan. Secara sosial budaya, penduduk Mentawai dicirikan dengan sangat khas,
yaitu terbagi atas sejumlah besar kelompok keluarga patrilineal atau suku yang disebut
dengan istilah uma. Istilah uma juga digunakan untuk menyebut rumah suku yang ada di
antara suku atau kelompok keluarga tersebut.
Semua orang pada dasarnya memiliki kesetaraan dalam Uma, tidak ada kepala atau
tidak ada hamba. Setiap keputusan diputuskan bersama dalam setiap musyawarah. Di
uma hanya ada tokoh yang dituakan yang dianggap memiliki kearifan, kebijaksanaan
serta pengetahuan yang lebih dalam hal tradisi dan adat istiadat. Sikebbukat Uma adalah
orang yang paling dituakan karena memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat
baik tentang tradisi dan adat istiadat. Sebagai orang yang akan memimpin setiap punen
(pesta) dan musyawarah, sikebbukat Uma juga harus seorang yang arif, adil dan
bijaksana sehingga dapat memimpin anggota Uma dalam mengambil keputusan yang
terbaik.
Dahulu sangat jarang ditemukan dua perkampungan di sepanjang sungai Jika dalam
satu kampung (pulaggajat) terdapat beberapa sungai, sedangkan hanya satu kampung saja
yang dalam teritorium kampung itu, maka sungai itu dikuasai oleh masing-masing uma
yang pertama kali menemukan sungai tersebut atau dikenal dengan Sibakkat Laggai.
Sibakkat Laggai ini adalah klan yang menjadi penemu atau penguasa sungai itu pertama
kali sebelum uma lain masuk ke dalam daerah tersebut. Sungai tersebut tidak
diperkenankan dilalui kampung lain untuk tujuan peperangan dengan kampung lain. Jika
itu terjadi maka kampung yang mengizinkan tadi dianggap telah bersekutu memihak
kepada orang kampung yang diperkenankan. Terlepas dalam hukum laut yang berlaku di
Indonesia, orang Mentawai telah memiliki aturan sendiri terkait teritori laut. Laut di
sepanjang teritorial daratan sepanjang sungai masih nampak berbekas pada air laut adalah
termasuk daerah kampung dan dikuasai oleh Sibakkat laggai atau sebuah uma atau klan.
Kerik gigi adalah praktek meruncingkan gigi yang dilakukan oleh gadis dari suku
mentawai. Tradisi kerik gigi di suku mentawai ini biasanya dilakukan sebagai tradisi
mempercantik diri hingga sebagai simbol kedewasaan seorang wanita.Di suku
mentawai, mereka mempercayai jika wanita akan terlihat lebih cantik ketika sudah
memiliki gigi yang runcing. Mereka akan lebih disukai oleh kaum adam disana. Tidak
hanya untuk kecantikan, tradisi kerik gigi ini juga dipercaya sebagai pengantar jiwa gadis
mentawai menuju kedamaian yang diinginkan. Pesona kecantikan yang muncul pada
gadis mentawai diyakini dapat memberikan kebahagiaan. Kerik gigi ini juga dimaknai
sebagai sebuah lambang tentang perjuangan gadis mentawai dalam menemukan jati
dirinya.Prosesi kerik gigi ini dipimpin oleh pimpinan adat.
Wanita-wanita Suku Mentawai harus menahan rasa sakit ketika proses pengerikan
gigi dilakukan. Dalam prosesnya, wanita-wanita Suku Mentawai tidak diberikan bius
seperti yang biasa dilakukan oleh dokter gigi sewaktu akan melakukan pencabutan gigi.
Sedangkan alat yang digunakan biasanya terbuat dari besi atau kayu yang sudah diasah
hingga tajam. Bahkan alat yang dipakai untuk meruncingkan gigi tidak
disterilkan terlebih dahulu. Waktu mengeriknya sendiri relatif cukup lama karena bukan
hanya satu gigi yang dikerik melainkan 23 gigi banyaknya. Adapun makna tradisi ini
adalah untuk mengendalikan diri dari 6 sifat buruk manusia yang sudah tertanam sejak
dulu atau lebih dikenal dengan Sad Ripu yakni hawa nafsu (Kama),tamak (Lobha),
marah (Krodha), mabuk (Mada), iri hati (Matsarya) dan bingung
(Moha).Penduduk suku mentawai percaya bahwa wanita yang bergigi runcing seperti hiu,
memiliki nilai lebih daripada wanita yang tidak bergigi runcing. Hal ini yang mendasari
keinginan wanita suku mentawai untuk melakukan tradisi ini meski harus menahan
sakit dan ngilu yang luar biasa ketika proses peruncingan gigi.
Tato Mentawai merupakan seni lukis tato tertua di dunia yang sudah ada sejak 1500
SM. Bahkan, tato Mentawai lebih tua dari tato Mesir yang baru muncul pada 1300 SM.
Berbeda dengan tato zaman sekarang, cara mentato di Mentawai cukup unik. Penato atau
yang disebut Sipatiti akan melakukan upacara terlebih dahulu bersama seorang Sikerei.
Sipatiti akan membuat gambar kasar pada tubuh seseorang sebelum ditato. Menggunakan
alat tradisional, Sipatiti melakukan proses pembuatan tato. Tradisi tato di Mentawai
menggunakan bahan alami seperti jarum yang terbuat dari kayu serta tinta tato yang
terbuat dari tempurung kelapa dan daun pisang.
Alat tradisional yang digunakan dalam pembuatan tato adalah kayu pemukul (lilipat)
yang kemudian digenggam dengan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri
memegang alat perajah (patiti). Alat ini terbuat dari tanduk rusa yang melengkung, yang
dipasangi jarum kuningan yang mencuat tegak lurus. Jarum itu diolesi cairan pewarna
yang dioleskan dengan menggunakan tangan, lalu patiti tersebut dipukul hingga terbenam
ke dalam kulit sesuai motif yang telah digambarkan, dan ini dilakukan secara
berulang-ulang kali. Menggunakan alat tradisional ini bertujuan agar kebudayaan itu
tidak punah.
Meski sudah masuk ke zaman modern, masyarakat Mentawai masih gigih menjaga
tradisi tato. Bagi mereka, setiap tato memiliki arti tersendiri yang menggambarkan
kehidupan mereka. Tato seperti pakaian abadi bagi masyarakat Mentawai sehingga tak
heran jika pria maupun wanita di Mentawai banyak yang bertelanjang dada. Setiap tato
dibuat dalam bentuk yang berbeda sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada masyarakat Suku Mentawai sikerei (dukun) masih memiliki peran yang sangat
besar dalam kehidupan mereka. Peran utamanya adalah sebagai orang yang dapat
mengobati penyakit dan pemimpin dalam ritual adat, jadi peran sikerei pada masyarakat
tidak dapat dipisahkan begitu saja. Selain karena tidak adanya peralatan kesehatan untuk
berobat masyarakat Suku Mentawai juga memiliki pandangan yang lain tentang penyakit,
mereka percaya penyakit itu tidak hanya disebabkan karena masalah fisik saja namun
juga akibat dari jiwa yang merasa tidak nyaman atau ketidakseimbangan antara jiwa dan
fisik (Schefold, 1991:112). Seseorang dapat menjadi sikerei karena keinginan mereka
sendiri atau karena sakit-sakitan yang tidak kunjung sembuh walaupun sudah berbagai
upaya telah dilakukan, oleh karena itu mereka menganggap bahwa itu adalah petunjuk
untuk menjadi sikerei. Namun untuk memastikannya akan diadakan upacara pengobatan
layaknya pesta sikerei dan jika dia sembuh berarti penyakit itu memang petunjuk bagi
dirinya untuk menjadi sikerei. Jika setelah sembuh ia tidak segera menjalani proses
menjadi sikerei dan penyakit itu kambuh kembali maka tidak ada jalan lain selain ia
harus secepatnya menjadi sikerei. Ada beberapa tahapan ritual yang dijalani seseorang
selama berbulan bulan untuk menjadi sikerei yang pertama adalah ia harus memilih guru
yang berpengalaman (paumat) dengan segala mantra serta perbuatan yang berhubungan
dengan upacara. Secara garis besar ada dua tahapan yang akan dilalui seseorang untuk
menjadi sikerei (Schefold, 1991:112).
Tahap pertama sikerei dan istrinya diasingkan dalam sebuah pondok yang terdapat di
tengah hutan jauh dari pemukiman setelah pengasingan ini selesai maka ditandai dengan
pemberian satu luat (ikat kepala khusus sikerei ) oleh paumat, setelah itu mengatakan
bahwa ia telah mampu menguasai semua ilmu yang diberikan dan perlengkapan para
sikerei telah selesai dibuat oleh para sinuruk, maka diadakan pesta yang mengundang
semua kerabat sesuku calon sikerei, namun pada upacara yang bernama taddat tubu atau
lia tadde ini sikerei belum boleh untuk memakai peralatan sikerei .Seperti pada upacara
lainnya di Mentawai pada pesta ini juga dipotong babi dan ayam untuk para hadirin. Dua
hari setelah itu maka diadakan upacara kadut alaket (naik pakaian) yang berarti sikerei
baru boleh memakai perlengkapan seorang sikerei. Tetapi pada acara ini tidak boleh
memotong babi hanya ayam yang disediakan untuk para tamu, karena tidak boleh ada
darah yang berceceran. Sikerei baru dan sikerei lain yang diundang akan muturuk sampai
pagi. Dua hari setelah itu diadakan ritual yang disebut serangen leccu. yaitu upacara
memakai gelang (leccu) yang terbuat dari anyaman serat rasam di kaki sikerei yang baru
(Schefold, 1991:112). Selang dua hari berikutnya kemudian dilakukan lia alup. Ini
merupakan pesta terakhir dan terbesar. Babi yang dipotong lebih banyak dari pada
pesta-pesta sebelumnya, pada saat ini sikerei akan menari dengan membawa miniatur
perahu layar nenek moyang (kalabba) dan pendayungnya yang dihiasi dengan
bungabunga dan dipegang oleh sang guru. Lalu sikerei baru bersama gurunya akan
bermeditasi untuk membawa simagere mereka keluar kampung dan bertemu dengan roh
Pagetasabu (roh orang yang menjadi sikerei untuk pertama kalinya) untuk meminta
kekuatan. Kemudian dilanjutkan dengan usailuppa, yaitu ujian terhadap sikerei baru
dengan memegang api yang ada di ujung ngangai-ngangai dan menginjak bara api. Jika
sikerei baru itu memiliki sifat baik maka tidak akan terjadi apa-apa namun bagi orang
yang memiliki sifat jahat maka dia akan terbakar (Schefold, 1991:112). Setelah upacara
itu selesai maka sang guru akan pulang. Besoknya sebagai bentuk penghormatan kepada
sikerei lainnya maka ia membagikan paha kanan babi (sileklek) yang sudah
dipotong-potong untuk para sikerei lainnya. Para sikerei yang telah menerima sileklek
akan berkumpul dan mulai berpantangan. Mereka menyediakan beberapa ekor babi untuk
acara yang berlangsung antara 1 sampai 2 hari. Dengan melakukan panegek berarti
sikerei baru itu sudah diterima dan diakui oleh para sikerei lainnya dan sejak itu masa
berpantang nya akan habis secara berangsur-angsur (Schefold, 1991:112). Setelah semua
proses di atas selesai dilakukan maka sekerei kembali ke kampungnya lalu mengadakan
pesta bale’leccu yaitu melepaskan leccu yang dipakai oleh sikerei, acara dilanjutkan
dengan lia atre atau menggunting rambutnya. Pada tahap ini sikerei baru boleh memakai
satu luat dan ia baru boleh melakukan pengobatan. Untuk menyempurnakan
kemampuannya maka sikerei harus melakukan tahap kedua namun rentang waktu antra
tahap pertama dan kedua memakan waktu sekitar tiga bulan lebih karena memerlukan
persiapan tidak hanya mental tapi fisik dan materi juga. Proses tahap kedua hampir sama
dengan tahap pertama, baru pada tahap kedua ini sikerei boleh memakai 2 buah luat yang
menandai bahwa ia telah sempurna ilmunya. Cawat kabit yang dipakainya juga telah
boleh menggunakan warna putih yang merupakan warna asli dari cabit tersebut
(Hernawati, 2004:45).
Selama menjadi sikerei banyak pantangan yang harus dijalankan antara lain dilarang
untuk makan belut, pakis, kura-kura, tupai, anak katak, jika dimakan maka akan
menimbulkan penyakit bahkan kematian bagi sikerei. Selama melakukan pengobatan
dilarang untuk melakukan hubungan suami istri, bekerja diladang, beternak babi, begitu
juga dengan istrinya tidak boleh memotong kayu, membelah kelapa dan bambu. Biasanya
sang istri dibawa serta oleh sikerei dalam pengobatan yang dilakukan hal ini bermaksud
agar sang istri tidak melakukan pelanggaran (Schefold, 1991:112).
Gambar 4. Sikerei sedang melakukan pengobatan
Uma merupakan rumah adat suku Mentawai yang menjadi pusat pemerintahan dan
peradaban dalam suku Mentawai. Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga
dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah,
yaitu Sikerei. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma itulah,
suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai
macam acara adat, seperti pernikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan
anggota keluarga jika ada yang sakit.
● Uma
Rumah besar yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama, tempat
menyimpan warisan pusaka, tempat suci untuk persembahan dan tempat
penyimpanan tengkorak binatang buruan
● Lalep
Tempat tinggal yang di peruntukan suami istri yang pernikahannya sudah dianggap
sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma.
● Rusuk
Suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan
mereka yang diusir dari kampung atau orang-orang yang diasingkan karena
melanggar aturan adat suku Mentawai.
Sama seperti bangunan adat di wilayah lain, Uma pun memiliki keunikannya sendiri.
Salah satunya adalah pembangunannya yang tak menggunakan paku sama sekali. Meski
demikian, Uma tetap bisa berdiri tegak tak mudah roboh. Rahasia Uma terletak pada
peletakan pasak dan tiang yang cermat dan rapi. Selain itu, konstruksi kokoh Uma juga
berkat sambungan silang bertakik yang apik.
Secara umum, bangunan Uma menyerupai tenda ataupun atap yang cenderung
memanjang. Tenda atau atap ini dibangun di atas tiang-tiang. Tenda atau atap ini
menanguni Uma secara keseluruhan bahkan nyaris ke lantai rumah. Atap Uma biasanya
diambil dari daun rumbia serta tumbuhan lainnya yang hidup di rawa atau bibir pantai.
Oleh karena beratapkan rumbia, masyarakat Mentawai rutin mengganti atap Uma mereka
terlebih di musim penghujan.
Sampai saat ini belum ada sarana medis untuk ibu hamil dan persalinan, kebanyakan
para ibu melahirkan dibantu oleh sesama ibu-ibu, namun tidak jarang seorang ibu
melahirkan seorang diri tanpa bantuan orang lain ini terjadi ketika waktu bersalin hampir
tiba ia berada di ladang atau di tempat beternak babi. Dikarenakan sedikitnya sarana
medis yang tersedia, hanya 35 ramuan obat tradisional yang digunakan bagi ibu
melahirkan. Ramuan itu adalah batang sikukuet batang pohon ini dimemarkan terlebih
dahulu lalu ditambahkan perasan daun tali ngengeng (sejenis sirih), kemudian dililitkan
dikening si ibu. Obat ini berfungsi untuk menghilangkan pusing akibat kehilangan darah
sewaktu melahirkan. Daun tali ngengeng ini juga bisa digosokan di perut si ibu. Ramuan
ini dipakai secara bergantian selama diperlukan. Ramuan lain yang dipakai adalah laggek
lango, yaitu ramuan obat ini khusus diberikan oleh sikerei. Terdiri dari campuran
daun-daunan dan bulu ayam. Ramuan ini dimasukan dalam bambu dan diminum oleh si
ibu, ramuan ini berfungsi untuk menguatkan daya tahan tubuh ibu.
Selain masalah proses persalinan dijalani dengan aturan dan pengetahuan adat
istiadat setempat. Ibu hamil dan suaminya harus menjalani berbagai aturan dan
pantangan (kei-kei) demi keselamatan ibu dan bayinya. Kei-kei itu antara lain
menancapkan kayu, memaku, dan mengikatkan tali pada kayu atau benda lain. Semua
yang dilakukan pada kayu itu akan terjadi juga pada si janin, seperti menancapkan kayu
ke tanah atau memaku kayu menyebabkan kayu itu tertancap erat juga hal yang sama
akan terjadi pada si janin. Kei-kei yang berikutnya adalah menyembelih, membunuh dan
menguburkan binatang. Binatang yang disembelih akan mengeluarkan darah yang
banyak , dan ini akan terjadi pada ibu yaitu mengalami pendarahan ketika melahirkan
jika kei-kei itu dilanggar. Kei–kei lain yang mengakibatkan penderitaan (pangoringan)
bagi bayi adalah suami yang berselingkuh. Meskipun tidak diketahui oleh istri, namun
janin dalam kandungan dapat merasakannya dan janin itu beranggapan bahwa ia tidak
disayangi dan tidak diinginkan oleh bapaknya, maka setelah lahir pangoringan bisa
berupa penyakit bahkan kematian. Seminggu setelah bayi lahir maka diadakan ritual adat
yang disebut dengan Nemnem Kabei. Tujuan dari upacara ini adalah agar anak bebas dari
pangoringan akibat pelangaran pantangan yang mungkin dilakukan orang tua sianak
selama ia dalam kandungan.
Ketika masa akil balig pada masyarakat Suku Mentawai tidak ditandai dengan
upacara khusus karena pada masa anak-anak mereka telah hidup bersama kaum dewasa,
dan mereka telah lama membiasakan diri dengan alam kehidupan tersebut. Namun ada
satu upacara yang dilakukan untuk meresmikan mereka saat memasuki masa akil baligh
yaitu dengan pengasahan gigi depan dan bawah sehingga berbentuk runcing (Schefold,
1991:101-106). Hal ini mereka lakukan agar kelihatan lebih anggun sehingga tidak ada
hubungannya dengan perilaku yang religius atau pantangan yang manapun juga.
Pengasahan gigi ini dilakukan dapat dilakukan oleh setiap pria dewasa termasuk ayah
remaja yang bersangkutan, prosesnya hanya memakan waktu setengah jam saja.
Walaupun sebentar, proses ini sangat sakit sekali rasanya, dan sampai beberapa waktu
sesudah proses itu baik gigi dan gusi masih terasa sakit 39 dan ngilu kalau suhu berubah.
Namun beberapa jam setelah proses itu remaja bisa makan lagi dan lima hari setelah itu
baru rasa sakitnya hilang. Setelah pengasahan gigi ini upacara kedua yang dilakukan
sebagai bentuk peresmian bahwa mereka telah masuk masa akil baliq adalah dengan
proses perajahan tubuh atau mentato diri mereka untuk menjalani proses ini tubuh harus
tidak mengalami pertumbuhan lagi, agar garis-garis tato itu tidak memudar (Schefold,
1991:101-106).
Pembuatan rajah dilakukan dalam beberapa tahap: pada pria umumnya dilakukan
tujuh kali sedangkan pada wanita dilakukan sebanyak tiga kali, dan proses ini tidak
dilakukan secara sekaligus karena rasa nyeri yang dirasakan tidak akan mungkin dapat
ditahan maka proses pentatoan ini dilakukan sekian tahun lamanya. Cairan yang dipakai
untuk membuat rajah ini terbuat dari campuran jelaga lampu minyak (dulu getah pohon
muno) dengan air tebu. Mula-mula dibuat dahulu pola gambarnya. Sebatang lidi yang
lentur dicelupkan ke dalam cairan pewarna, lalu ditekan kekulit dengan membuat
lengkungan yang diinginkan: spiral-spiral halus ditangan digambar dengan tongkat kecil.
Jika yang dirajah adalah pemuda maka pria yang merajahnya menjadikan tato yang ada
ditubuhnya sebagai contoh, namun jika yang ditato adalah perempuan maka seorang
wanita disuruh duduk didekat gadis itu untuk dijadikan contoh (Schefold, 1991:101-106).
Langkah selanjutnya setelah pembuatan gambar itu selesai maka proses berikutnya
adalah pentatoan secara permanen mulai dilakukan dengan menggunakan kayu pemukul
(lilipat) yang kemudian digenggam dengan dengan tangan kanannya, sementara tangan
kiri memegang alat perajah (patiti).
3.2.3 Kematian
Semua orang yang ikut dalam menyelenggarakan mayat maka mereka wajib
mengikuti ritual pasiso’so yang tujuannya untuk membersihkan diri dari 49 ketcat yang
ada di pemakaman (Hernawati, 2004:73). Pasisio’so ini sendiri terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama adalah mandi bersama di hulu sungai dan ritual di rumah duka. Selain itu
setiap yang hadir diberi sehelai daun mumunen yang digantungkan di leher, daun ini
memiliki arti pemberian pujian terhadap jiwa (simagere) agar simagere mereka tidak
meninggalkan tubuhnya (Hernawati, 2004:73). Ketika malam hari diadakan upacara
pasigaba alaket yang diikuti oleh keluarga dekat almarhum. Pasigaba alaket ini dipimpin
oleh sikerei karena pada upacara ini merupakan upacara pemanggilan roh orang yang
meninggal untuk mencari dan mengambil barang-barang yang dipunyainya walaupun
barang yang diambil itu hanya berupa roh dari barang-barang tersebut. Setelah hal ini
berarti ketcat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan segala yang ditinggalkannya di
dunia (Hernawati, 2004:73). Hari berikutnya maka diadakan upacara pasijakjak mone,
yaitu pembuatan kirekat dan dare di pohon durian milik orang yang telah meninggal atau
milik orang tuanya, fungsinya adalah untuk mengenang orang yang telah meninggal itu.
Kirekat ini dibuat dari sejenis rumput yang di pinggir sungai, dan ukurang dari kirekat ini
dibuat sesuai dengan ukuran orang yang telah meninggal (Hernawati, 2004:74). Sebagai
tanda berkabung keluarga orang yang meninggal dan menanggalkan dan menyimpan
perhiasan seperti manik-manik dan pakaian bagus. Pada istri yang ditinggal mati oleh
suaminya maka ia akan memotong lurus sedikit rambut yang ada di dahi anak
perempuannya akan memotong sebagian ujung 50 rambutnya. Namun apabila seorang
anak yang meninggal maka ibunya akan memotong miring sedikit rambut didahi kirinya
(Hernawati, 2004:75). Selain rambut yang dipotong maka ada sedikit bagian sampan
yang dipotong sebagai suatu penanda bahwa ia sedang berkabung. Ketika seorang suami
meninggal maka isterinya memotong kepala sampan (utet abak) sepanjang lima
sentimeter ini menandakan bahwa ia telah kehilangan pemimpin rumah tangganya. Jika
istri yang meninggal, suaminya akan memotong ujung sampan (muri abak) yang
menandakan ia kehilangan pendamping hidupnya. Namun akan dipotong sisi kiri bagian
tengah (tot-tot abak) sampan jika yang meninggal adalah anak mereka (Hernawati,
2004:75). Selain itu untuk menandakan bahwa mereka telah kehilangan seseorang maka
mereka memiliki panggilan khusus tergantung yang meninggal itu siapa. Sebagai contoh
ketika yang meninggal adalah seorang anak maka orang tuanya dipanggil teteu.
(Hernawati, 2004:76)
Sebagai tanda untuk mengakhiri masa berkabung dan juga sebagai tanda untuk
berpisah selamanya antara roh dengan keluarganya maka diadakan upacara panunggru
(Hernawati, 2004:77). Upacara ini juga menjadi kesempatan untuk berkumpul bagi
semua anggota keluarga atau suku yang tidak dapat hadir ketika upacara pemakaman.
Upacara ini memakan banyak biaya dan waktu yang cukup lama sekitar seminggu untuk
mempersiapkannya maka biasanya keluarga membutuhkan waktu sekitar satu atau tiga
bulan. Upacara panunggru ini dipimpin oleh sikerei (Hernawati, 2004:77), dan dimulai
dengan pasibari, yaitu pemanggilan ketcat oleh sikerei. Sikerei meminta kepada ketcat
agar bersedia meninggalkan rumah. Kemudian dilanjutkan dengan paneka’kagerat di
halaman rumah untuk meminta roh-roh jahat di sekeliling mereka agar tidak mengganggu
jalannya upacara, sekaligus meminta roh-roh baik memberikan kekuatan bagi sikerei
dalam melaksanakan upacara panunggru. Lia kemudian dilanjutkan dengan pasituitui
sipuailigou yaitu pengusiran roh yang terbagi dalam beberapa tahapan yaitu: Pasibitbit,
untuk mengusir rohroh jahat dan roh-roh yang baru meninggal dari dalam rumah dengan
daun-daunan sikatai yang diiringi dengan nyayian sikerei, namun jika roh melawan dan
tidak menurut permintaan sikerei maka akan dilakukan pasibetu’sipitok untuk mengusir
roh jahat dan ketcat secara paksa (Hernawati, 2004:78). Ketika roh-roh telah pergi ada
kemungkinan simagere orang yang hadir diajak oleh roh tersebut untuk pergi sehingga
bisa mengakibatkan kematian agar hal itu tidak terjadi maka sikerei juga mengadakan
ritual pasisoga simagere di pinggir sungai untuk memastikan tidak ada simagere yang
pergi bersama roh-roh itu, maka setiap orang menerima dan memakan potongan hati babi
yang dilambangkan sebagai simagere dan mereka juga menerima daun mumunen yang
menandai mereka menghargai simagere mereka sendiri.
Sikerei juga menari berkeliling dengan cepat (turuk sikerei) untuk mengumpulkan
semua simagere agar tidak ada yang ikut bersama roh-roh yang sudah diusir. Selain itu
turuk sikerei juga dilakukan agar simagerenya sendiri terhibur sehingga tidak
meninggalkan tubuhnya, tarian terus dilakukan sampai menjelang pagi, ketika tarian ini
selesai ini berarti menandakan berakhirnya masa berkabung (Hernawati, 2004:78).
Esoknya diadakan lia panunggru, sebagai puncak acara. Gong dibunyikan, semua yang
hadir wajib memakai katsaila (pucuk enau hutan) di lehernya dan perhiasan manik-manik
sebagai lambang kegembiraan. Acara dilanjutkan dengan makan bersama yang dilakukan
dengan berkelompok (setiap keluarga inti makan secara bersama). Begitu acara selesai
semua kesedihan akan kematian seorang anggota keluarga hilang dan digantikan dengan
keceriaan dan keluarga bisa melanjutkan kehidupan mereka
Arat sabulungan adalah keyakinan asli penduduk suku Mentawai kepada roh-roh
yang meninggal dunia yang mana dalam ibadahnya roh-roh itu dipanggil dengan
menggunakan daun-daun, arat sabulungan bersifat (animisme) dan menjadi landasan
pokok kepercayaan masyarakat Mentawai.
Arat Sabulungan terdiri dari berbagai macam roh roh yang mendiami benda dan memiliki
peran tertentu diantaranya:
Sekarang ini hanya ada beberapa masyarakat yang masih menganut Arat Sabulungan.
Masuknya agama yang diakui oleh pemerintah sehingga Arat Sabulungan sudah mulai
ditinggalkan oleh masyarakat karena perubahan hidup mereka sejak kedatangan
misionaris untuk memperkenalkan kehidupan yang sesungguhnya hanya ada dalam
Tuhan.
Dalam bidang pendidikan tampak bahwa tingkat pendidikan masih tergolong rendah.
Laporan mengenai jumlah penduduk usia sekolah dan partisipasi sekolah tahun 2017
memperlihatkan hanya 35,20% penduduk usia sekolah, 5-25 tahun ke atas yang sedang
bersekolah. Selebihnya sebanyak 59,60% sudah tidak bersekolah lagi. Lebih dari
setengah kelompok ini (76,9%) adalah mereka yang berusia 19-24 tahun. Ini
menunjukkan bahwa mereka hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) saja.
Angka putus sekolah setelah SMA tergolong sangat tinggi. Hingga tahun 2017
dilaporkan terdapat 117 Sekolah Dasar (SD), 29 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan
15 Sekolah Menengah Atas yang tersebar di Kab. Kepulauan Mentawai. Selama periode
2014-2017 tidak terdapat penambahan jumlah SD. Sedangkan untuk periode yang sama
sebanyak 5 unit SMP dan 4 unit SMA baru dibuka.
Pada umumnya Sekolah Dasar banyak tersebar di dusun-dusun.. Namun untuk SMP
biasanya hanya terdapat di desa. Hanya di pusat kecamatan keberadaan SD, SMP, dan
SMA bisa dijumpai. Hal ini mengakibatkan anak-anak usia sekolah yang berasal dari
daerah-daerah yang jauh harus tinggal di pusat-pusat kecamatan selama masa sekolah.
Keberadaan asrama-asrama dan pondokan pelajar menjadi hal yang umum dijumpai
hingga saat ini. Persebaran guru juga masih kurang merata. Di sejumlah sekolah dasar
yang terletak di wilayah yang sulit dijangkau, jumlah guru sangat sedikit. Tidak jarang
seorang guru harus mendampingi anak-anak dari kelas 1 hingga kelas 3 SD.
Gaya hidup dan cara berpikir modern telah banyak memengaruhi cara hidup dan
bermukim masyarakat Mentawai. Meski atribut-atribut seperti kentongan, bakkat
katsaila, gong, tengkorak binatang peliharaan dan buruan, kuali-kuali, dan piring-piring
untuk upacara adat terlihat, Uma Saurei di Pasakiat sudah modern. Pintu tradisional yang
dibuka ke atas tidak ada lagi, diganti dengan pintu ayun modern dengan daun pintu kayu
dan engsel besi. Area publik suku yang sedianya merupakan area parurukat dan
puturukat, tidak lagi terlihat. Area puturukat masuk menjadi zona privat yang tertutup
oleh pintu utama, sementara area publik hanya teras depan yang disebut parurukat.
Uma dengan bentuk yang lebih tradisional seperti Uma Saurei di Bajoja menjadi
objek turis yang menarik. Gubahan tradisional ini tidak hilang, tetapi justru diperbanyak
dan dilestarikan oleh dinas pariwisata sebagai bangunan untuk studi.
Masyarakat Mentawai terbiasa menarik bayaran untuk para turis yang hendak
mengambil foto dan mempelajari budaya mereka. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi di
Uma Saurei di Pasakiat. Namun, ada banyak Uma yang saat ini telah menjadi komoditas
pariwisata. Resort di kepulauan Mentawai dibangun dengan bentuk Uma tradisional,
tetapi tidak berfungsi sebagai Uma. Sementara itu, Uma yang sesungguhnya berfungsi
sebagai Uma justru tidak lagi memegang keajegan prinsip gubahan bentuk, konstruksi,
dan material yang tradisional.
4.1 Modernisasi dan Hegemoni Mengasimilasi Sosial dan Budaya Suku Mentawai
Hegemoni dan modernisasi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perubahan
dinamika sosial budaya Suku Mentawai. Telah banyak intervensi yang dilakukan oleh
pemerintah seperti pembangunan Puskesmas, tempat ibadah, dan jalan raya. Hal
tersebut berpengaruh pada perubahan sosial Suku Mentawai, seperti para pemuda Suku
Mentawai yang antusias dalam melakukan sertifikasi lahan yang menyebabkan
melemahkan sistem hubungan sosial dengan individu atau keluarga lainnya, sehingga
berdampak pada berubahnya basis komunitas yang sebelumnya Solidarity Based kini
beralih ke Individualism. Sehingga, kita dapat melihat dinamika perubahan yang terjadi
begitu signifikan mengubah cara hidup dan berinteraksi Suku Mentawai, hal tersebut
dipengaruhi oleh adanya keharusan mereka untuk beradaptasi terhadap nilai-nilai yang
tergolong asing bagi mereka.
Hegemoni Indonesia atau organisasi dengan posisi hirarki yang berada di puncak
seperti MPR,DPR, Eksekutif, dan Yudisial menetapkan Kepulauan Mentawai sebagai
bagian dari teritori NKRI sejak sidang BPUPKI sehingga secara esensial merupakan
tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi, membantu, dan mendongkrak
pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Mentawai. Bentuk bantuan dan intervensi
pemerintah demi pertumbuhan ekonomi Suku Mentawai salah satunya yaitu menjadikan
Kepulauan Mentawai sebagai destinasi pariwisata dan juga eksploitasi SDA (Sumber
Daya Alam).
4.2 Modernisasi dan Hegemoni Mengasimilasi Ekonomi, Hukum dan Politik Suku
Mentawai
PENUTUP
5. Kesimpulan
Teritori Suku Mentawai awalnya berupa setiap sungai yang melingkupi sebuah
kampung telah memiliki kepemilikan yang diklaim atas dasar uma. Sungai inilah yang
berfungsi sebagai batas teritorial kekuasaan antara satu uma dengan uma lain yang
membatasi kepemilikan sebuah wilayah tanah, lembah dan bukit.Hegemoni Indonesia atau
organisasi dengan posisi hirarki yang berada di puncak seperti MPR,DPR, Eksekutif, dan
Yudisial menetapkan Kepulauan Mentawai sebagai bagian dari teritori NKRI sejak sidang
BPUPKI sehingga secara esensial merupakan tanggung jawab pemerintah untuk
memfasilitasi, membantu, dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Kepulauan
Mentawai.
Suku Mentawai sebagai salah satu kelompok masyarakat dengan kehidupan sosial
budaya yang dipahami dan diinterpretasikan melalui keyakinan yang dimilikinya. Beberapa
kebudayaan yang dianut mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Suku Mentawai,
seperti kepercayaan sabulungan yang mempercayai bahwa setiap sesuatu mempunyai roh
yang harus dihormati. Sehingga mereka sangat memperhatikan lingkungan, seperti tidak
melakukan penebangan liar, pembukaan lahan baru untuk pertanian dan sebagainya. Selain
itu tato tubuh juga masih dilakukan hingga saat ini, hal tersebut dimaknai sebagai simbol
identitas diri dan dianggap sebagai awal dari sebuah kehidupan dan akhir dari kematian.
Masyarakat Suku Mentawai meyakini dan menjaga hubungan antara benda hidup
dan benda mati yang dianggap memiliki jiwa dan roh. Kehidupan orang Mentawai
berdampingan antara objek hidup dengan jiwa/roh karena kehidupan manusia di Suku
Mentawai yang selalu memanfaatkan alamnya sehingga Masyarakat Mentawai terus
mempertahankan budayanya untuk menjaga hubungan sosial sesama makhluk hidup, seperti
tolong menolong dalam upacara dan juga terhadap makhluk mati seperti yang diterapkan
dalam Arat sabulungan yang bersifat animisme dan menjadi landasan pokok kepercayaan
masyarakat Mentawai. Upacara yang dilakukan Masyarakat Mentawai merupakan wujud
keseimbangan pada hubungan sosial, alam dan budaya terlihat dengan pembagian makanan
sesama suku Mentawai dan persembahan pada roh nenek moyang serta dengan
menggantungkan tengkorak hasil perburuan di uma yang bertujuan untuk mengingatkan
bahwa jiwa yang sudah mati akan tetap hidup dengan wujud perbuatan tengkorak untuk roh
tersebut. Upacara dan berburu merupakan mekanisme masyarakat Mentawai dalam
menyeimbangkan hubungan antara makhluk hidup dengan roh/jiwa yang sudah meninggal.
Saat ini hanya ada beberapa masyarakat yang masih menganut Arat Sabulungan.
Masuknya agama yang diakui oleh pemerintah sehingga Arat Sabulungan sudah mulai
ditinggalkan oleh masyarakat karena perubahan hidup mereka sejak kedatangan misionaris
untuk memperkenalkan kehidupan yang sesungguhnya hanya ada dalam Tuhan. Dalam
masa pemerintahan, pemerintah mengambil kebijakan atau keputusan bahwa yang
menyangkut dengan keyakinan-keyakinan dengan arat sabulungan harus dihapuskan di
seluruh Indonesia termasuk di Kepulauan Mentawai. Setelah masuknya agama yang diakui
pemerintah seperti: Protestan, Katolik, Islam di suku Mentawai memberikan suasana baru
dalam kehidupan beragamanya. Dimana sebelumnya mereka melaksanakan ritual-ritual
terhadap roh-roh nenek moyang, lalu kemudian percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada zaman modern ini budaya Suku Mentawai memengaruhi cara hidup dan
bermukim masyarakat Mentawai, seperti bentuk dan komponen pembentuk uma yang sudah
modern. Namun uma dengan bentuk yang lebih tradisional seperti Uma Saurei di Bajoja
menjadi objek turis yang menarik. Gubahan tradisional ini tidak hilang, tetapi justru
diperbanyak dan dilestarikan oleh dinas pariwisata sebagai bangunan untuk studi dan
sebagai objek wisata yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk menambah penghasilan.
6. Saran
Diharapkan pemerintah lebih memperkenalkan kebudayaan Mentawai pada
ajang-ajang promosi kebudayaan baik itu yang diadakan di dalam negeri dan luar negeri,
dan lebih banyak melakukan pementasan-pementasan kebudayaan, hal ini juga bisa
dimanfaatkan sebagai ajang promosi kebudayaan sehingga dapat mendatangkan turis. Selain
itu pemerintah melalui dinas pendidikannya seharusnya mengajarkan kebudayaan
tradisional di sekolah-sekolah melalui program muatan lokal maupun ekstrakurikuler.
Pemerintah juga seharusnya tidak melarang ketika ada individu yang memakai atribut
kebudayaan mereka, baik itu dalam acara non formal maupun acara formal.
Literatur utama :
Literatur pendukung :