Anda di halaman 1dari 24

KEBERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI PULAU

SUMATERA

Kelompok 1 :
Ketua: Isma Cahya Ningsih
Anggota : - Ariel Syifa Wahyudi
- Cahya Kamilatun Nisa
- Delia Suliastri
- Muhammad Aditya Fachrudin
- Ririn Tila Apriana
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sumatra adalah pulau keenam terbesar di dunia yang
terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km².
Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351 (sensus 2018).
Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau
Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta,
berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang
Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa
Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi
mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini.
Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad
ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu)
untuk pulau ini.
Pulau Sumatera berbatasan dengan sejumlah wilayah:
• Di sebelah utara : Teluk Benggala
• Di sebelah selatan : Selat Sunda
• Di sebelah barat : Samudera Hindia
• Di sebelah timur : Selat Malaka dan Selat Karimata
Pulau Sumatera terdiri dari sepuluh provinsi, yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan
Kepulauan Bangka Belitung.
Sumatera berada di 0° Lintang Utara (LU) dan 120° Bujur
Timur (BT). Dataran ini memiliki iklim tropis sehingga
hidup berbagai binatang khas, seperti Harimau
Sumatera, Badak Sumatera, hingga Gajah Sumatera.
Berbagai jenis pantai menghiasi pulau Sumatera, seperti
pantai Lampuuk di Aceh, Sorake di Sumatera Utara,
Rupat di Riau, Mentawai di Sumatera Barat, Berhala di
Jambi, dan Panjang di Bengkulu.
Selain dihiasi dengan pantai, kondisi geografis pulau
Sumatera berdasarkan peta juga dihiasi berbagai
gunung, misalnya gunung Kembar di Aceh, Sinabung di
Sumatera Utara, Kerinci di Jambi, Mande Rabiah di
Sumatera Barat, hingga Krakatau di Lampung.
Sumatera juga memiliki keberagaman dalam suku
bangsa serta budayanya.

B. Tujuan Kegiatan
• Mengetahui berbagai suku bangsa yang ada di pulau
sumatra
• Mengidentifikasi berbagai budaya suku bangsa
• Mengetahui berbagai bahasa di suku tersebut
• Mengetahui tradisi antar suku di pulau Sumatra

C. Manfaat Kegiatan
• Bagi Pembaca, diharapkan pembaca dapat
mengetahui keberagaman Suku dan Bangsa yang ada di
Pulau Sumatra.
• Bagi penulis, diharapkan penulis dapat Meningkatkan
Kreativitas dalam mengembangkan ide.

BAB 2 ISI MMAKALAH


A. Keberagaman Suku di Pulau Sumatra
1. Suku Aceh
Suku Aceh (Aksara Jawoë : ‫ )اورڠ اچيه‬atau yang
dalam Bahasa Aceh yang ditulis dengan huruf latin
dibaca “Ureuëng Acèh” adalah nama
sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah
pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi
Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas
beragama Islam. Suku Aceh mempunyai beberapa nama
lain yaitu Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-
tse dan Atse. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa
Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa
Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat
dengan bahasa Cham yang dipertuturkan
di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya
merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa
yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya
suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan
adat khas Aceh.
Berdasarkan perkiraan terkini, jumlah suku Aceh
mencapai 3.526.000 jiwa, yang sebagian besar
bertempat tinggal di Provinsi Aceh, Indonesia.
Sedangkan menurut hasil olahan data sensus BPS 2010
oleh Aris Ananta dkk., jumlah suku Aceh
di Indonesia adalah sebanyak 3.404.000 jiwa. Selain di
Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang cukup
banyak di Malaysia, Singapura, Arab Saudi,
Qatar, Australia, Kanada, Amerika Serikat,
Jerman, Belanda dan juga pada negara-
negara Skandinavia.

Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara


matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di permukiman
yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-
gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya
Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan
Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai
puncaknya pada abad ke-17. Suku Aceh pada umumnya
dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam,
dan juga sebagai pejuang.
2. Suku Gayo
Suku Gayo, merupakan salah satu suku bangsa yang
mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian
tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo
yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa.
Wilayah tradisional suku Gayo meliputi kabupaten Aceh
Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.Suku Gayo
beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam
agamanya dan mereka menggunakan Bahasa
Gayo dalam percakapan sehari-hari mereka. Masyarakat
Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong.
Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan
beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin
oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa
unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri
dari reje (raja), petue (petua), imem (imam),
dan rayat (rakyat).

3. Suku Aneuk Jamee


Suku Aneuk Jamee adalah suku di Indonesia yang
tersebar di sepanjang pesisir barat–selatan Aceh mulai
dari kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat
Daya, Aceh Barat dan Simeulue. Suku ini merupakan
keturunan perantau Minangkabau yang bermigrasi ke
Aceh dan telah berakulturasi dengan suku Aceh.
Secara etimologi, nama “Aneuk Jamee” berasal
dari bahasa Aceh yang secara harfiah berarti “anak
tamu”.
Suku Aneuk Jamee terutama terdapat di
kabupaten Aceh Selatan (lebih kurang 30% dari
populasi) dan sebagian kecil di kabupaten Aceh Barat
Daya, Aceh Barat, Aceh Singkil dan Simeulue.
4. Suku Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku
bangsa Batak yang berasal dari provinsi Sumatra
Utara, Indonesia. Wilayah yang mayoritas orang Batak
Toba, khusunya berada di provinsi Sumatra Utara
meliputi Kabupaten Toba, Kabupaten
Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten
Tapanuli Utara, dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Sebagian lagi tersebar di Kota Sibolga, Kota Pematang
Siantar, Kota Medan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Deli
Serdang, dan sekitar provinsi Sumatra Utara, serta
beberapa wilayah di Indonesia.
Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang
merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal.
Orang Batak selalu memiliki nama marga atau nama
keluarga yang disebutkan diakhir nama. Nama marga ini
diperoleh dari garis keturunan ayah sebagai garis
keturunan patrilinear yang selanjutnya akan diteruskan
kepada keturunannya secara terus menerus. Marga
orang Batak Toba sendiri tergolong banyak, dan setiap
marga memiliki sejarah garis keturunan masing-masing.
Sebelum masyarakat Batak Toba mengenal
agama Kristen, kepercayaan leluhur, yakni Parmalim,
telah menjadi sebuah kepercayaan orang Batak Toba
secara turun-temurun. Namun, sejak tahun 1863,
misionaris asal Jerman yakni Ludwig Ingwer
Nommensen atau orang Batak lebih mengenal dengan
Ingwer Ludwig Nommensen atau dipanggil Nommensen,
tiba di Tanah Batak, kemudian menyebarkan
agama Kristen Protestan di antara suku Batak. Sebelum
Nommensen, beberapa misionaris telah menyebarkan
agama Kristen di Tanah Batak, akan tetapi belum
berhasil. Nommensen berasal dari Jerman, tetapi lebih
dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah
berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah
suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP).

5. Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan
Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano,
mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang
menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah
hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di
Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal
sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari
belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas
adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait
dengan peran dan status sosial penggunanya.

Populasi Mentawai diperkirakan sekitar 64.000. Suku


Mentawai didokumentasikan telah bermigrasi
dari Nias – pulau dari utara – ke kepulauan Mentawai,
hidup dalam kehidupan yang terisolasi selama berabad-
abad hingga ditemukan pada 1621 oleh Belanda. Bahasa
Mentawai termasuk keluarga bahasa Austronesia.

6. Suku Palembang
Suku Palembang atau disebut juga Wong Palembang
(terkadang juga Wong Kito Galo) adalah etnis pribumi
asli yang berasal dari daerah Palembang di Sumatra
Selatan, Indonesia.Berdasarkan statistik, penduduk
beretnis Palembang berjumlah sekitar 3.800.000
individual yang hidup di Indonesia.
Menurut peranannya yang menonjol, etnis pribumi
Palembang digolongkan kedalam dua kelompok utama,
yakni Wong Jero atau disebut juga Wong Jeroo (terj.
Har. ‘golongan bangsawan’) dan Wong Jabo (terj. Har.
‘golongan masyarakat umum’). Gelar-gelar
kebangsawanan etnis Palembang sangat dipengaruhi
oleh sistem kebangsawanan atau ningrat etnis Jawa
karena hubungan erat antar kedua entitas
kebangsawanan yang dipengaruhi faktor penguasan
Jawa terhadap Palembang di masa lampau.

7. Suku Pasemah
Suku Basemah atau juga disebut Besemah, Pasemah
atau Pesemah adalah suku bangsa yang mendiami
wilayah kota Pagaralam, kabupaten Empat Lawang,
kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan Muara Enim.
Suku ini secara umum bermukim di sekitar kawasan
gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Suku
bangsa ini juga banyak yang merantau ke daerah-daerah
di provinsi Bengkulu. Suku Pasemah merupakan salah
satu suku bangsa asli yang berasal dari wilayah Sumatra
Selatan yang memiliki kerabatan dengan suku Melayu
dan Komering yang juga sudah ratusan tahun tinggal di
Sumatera Selatan.
Suku Pasemah yang sekarang paling identik adalah Kota
Pagar Alam, Lahat, Muara Enim dan Empat Lawang.
Empat Lawang merupakan kabupaten baru pemerkaran
dari Kabupaten Lahat. Sedangkan Muara Enim yang
merupakan suku Basemah adalah daerah sekitar
Semendo, kurang lebih 50km dari kota Muara Enim.

8. Suku Kubu Bangka


Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam
merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal
di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah
khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilasasi dua
kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin
Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun
dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam
hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku
Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin
Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok
mereka sebagai Suku Kubu. Oleh karena itu, panggilan
ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau
menghina.
Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an
Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang secara
geografis terletak antara 1020 30’ 00 – 1020 55’ 00 Bt
dan 10 45’ 00 -20 00’ 00 LS. Sebagian kecil ada di
wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT).
Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan
sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan
lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan.

9. Suku Rawas
Suku Melayu Rawas merupakan salah satu suku yang
ada di pulau Sumatra tepatnya Sumatra Selatan. Suku
ini memiliki populasi sebanyak +-100.000 jiwa dan
mendiami Kecamatan Rupit, Kecamatan rawas Ulu dan
Kecamatan Rawas Ilir, Kecamatan karang jaya dan
beberapa beberapa daerah lain di Kabupaten Musi
Rawas utara Sumatra Selatan.Awalnya orang suku rawas
hidup disekitaran aliran anak sungai musi dan
pertemuan dgn aliran sungai batanghari. Bahasa yang
digunakan terbagi dalam tiga dialek yakni dialek Rupit,
Rawas Ulu dan Rawas Ilir. Sebagian besar orang Rawas
bekerja sebagai petani di sawah dan ladang.
Sebagiannya lagi bekerja sebagai pengayam barang-
barang dari rotan dan pandan, tukang kayu, pedagang
kecil dan sebagainya. Secara tradisional, sistem
kepemimpinan suku Rawas dipengaruhi oleh adat
Simbur Cahaya.
Bentuk hubungan keturunan dalam masyarakat ini
dapat dibagi tiga yakni:
Ambik Anak (Ambil Anak), bentuk hubungan keturunan
dimana setelah perkawinan suami tinggal dalam
keluarga pihak istri dan anak-anak yang lahir langsung
mewakili keturunan pihak istri. Hal ini dikarenakan
suami tidak membayar uang jojor (maskawin).
Perkawinan Patrilineal, bentuk hubungan keturunan
dimana setelah perkawinan istri dibawa masuk tinggal
dalam keluarga pihak suami dan anak-anak yang lahir
mewarisi keturunan sang suami. Pada perkawinan ini,
sang suami membayar uang jojor.
Perkawinan Rajo-Rajo, bentuk keturunan yang bersifat
bilateral dan tempat tinggal setelah kawin adalah
neolokal.

B. Keberagaman Bahasa Di Pulau Sumatra


1. Provinsi Aceh
a. Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang
dituturkan oleh suku Aceh yang terdapat di wilayah
pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian
kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam
rumpun bahasa Chamik, cabang dari rumpun
bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun
bahasa Austronesia.
Bahasa Aceh telah mengalami berulang kali
perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf
Arab, huruf Latin ejaan lama, dan sekarang
adalah Ejaan Yang Disempurnakan.

b. Bahasa Gayo
Bahasa Gayo (pengucapan: Gayô) adalah sebuah
bahasa dari rumpun Austronesia yang dituturkan
oleh Suku Gayo di provinsi Aceh, yang
terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener
Meriah, Gayo Lues. Ke 3 daerah ini merupakan
wilayah inti suku Gayo.
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang
ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama
tuanya dengan keberadaan orang Gayo “Urang
Gayo” itu sendiri di Indonesia. Sementara orang
Gayo “Urang Gayo” merupakan suku asli yang
mendiami Aceh.[diragukan – diskusikan][butuh
rujukan]. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat
sendiri yang membedakan identitas mereka
dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia.
Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan
Tanoh Gayo (Tanah Gayo), tepatnya berada di
tengah-tengah provinsi Aceh.

c. Bahasa Singkil
Bahasa Batak Singkil atau Batak Singkil adalah
sebuah dialek bahasa Batak yang dipertuturkan di
Provinsi Aceh. Bahasa Singkil dituturkan oleh
masyarakat Subulussalam, Singkil dan sebagian
wilayah Aceh Tenggara dan Aceh Selatan.
2. Provinsi Sumatera Utara
a. Bahasa Toba
Bahasa Batak Toba atau Batak Toba adalah sebuah
dialek bahasa Batak yang dituturkan di sekitar
Danau Toba dan sekitarnya, meliputi Samosir,
Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara dan Toba
Samosir, Sumatra Utara, Indonesia. Bahasa Batak
Toba termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia,
dan merupakan bagian dari kelompok bahasa-
bahasa Batak.
Saat ini diperkirakan terdapat kurang-lebih
2.000.000 orang penutur Bahasa Batak Toba, yang
tinggal di bagian barat dan selatan Danau Toba.
Penulisan bahasa ini dalam sejarahnya pernah
menggunakan aksara Batak, tetapi saat ini para
penuturnya hampir selalu menggunakan aksara
Latin untuk menuliskannya.
Herman Neubronner van der Tuuk adalah salah
seorang pionir awal penelitian atas Bahasa Batak
Toba, yaitu dalam aktivitasnya menulis Alkitab
berbahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba agak
lebih mirip dengan bahasa Batak Angkola dan
Mandailing, sehingga ketiga suku ini lebih mudah
untuk saling memahami dibandingkan dengan
bahasa Simalungun, Karo dan Pakpak.
Bahasa Batak Toba tidak hanya digunakan oleh
penutur yang tinggal di wilayah Danau Toba.
Tetapi, di daerah lain terdapat banyak penggunaya,
terlebih orangtua yang tinggal di luar Danau Toba
masih menggunakan bahasa tersebut saat
berkomunikasi sehari-hari kepada anaknya, sesama
suku, dan orang-orang yang memahami bahasa
Batak Toba.
b. Bahasa Nias
Umumnya bahasa Nias dianggap memiliki tiga
dialek. Dialek utara dituturkan di daerah
Gunungsitoli, Alasa dan Lahewa. Dialek selatan
dituturkan di Nias Selatan. Sementara itu, dialek
tengah dituturkan di Nias Barat, khususnya di
daerah Sirombu dan Mandrehe. Sementara itu,
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Sumatra Utara 1977/1978 membagi
bahasa Nias ke lima dialek. Dialek utara dituturkan
di Alasa dan Lahewa; dialek Gunungsitoli; dialek
barat di Mandrehe, Sirombu, Kepulauan Hinako;
dialek tengah di Gido, Idano Gawo, Gomo, Lahusa;
dan dialek selatan di Telukdalam, Pulau Tello, dan
Kepulauan Batu. Tingkat kemiripan antara dialek
ini mencapai 80%. Bahasa Nias juga sebagai bahasa
resmi di Nias.
Bahasa Nias adalah bahasa yang dituturkan oleh
orang Nias. Bahasa ini termasuk dalam rumpun
bahasa Sumatra Barat Laut–kepulauan Penghalang
dan berhubungan dengan bahasa Batak dan
Mentawai. Pada tahun 2000, penuturnya
berjumlah sekitar 770.000 orang. Bahasa Nias
terdiri atas tiga dialek.

c. Bahasa Karo
Bahasa Batak Karo adalah sebuah dialek bahasa
Batak yang digunakan oleh suku Karo yang
mendiami Dataran Tinggi Karo (Kabupaten Karo),
Langkat, Deli Serdang, Dairi, Medan, hingga ke
Aceh Tenggara di Indonesia.
Bahasa Karo secara historis ditulis menggunakan
aksara Karo yang termasuk dalam Surat Batak
karena huruf yang dipakai berasal dari wilayah
Angkola-Mandailing daerah Tapanuli bagian
selatan yang merupakan bagian dari Batak yang
kemudian menyebar ke wilayah Batak Toba-
Samosir lalu ke Batak Simalungun dan Batak
Pakpak-Dairi lalu yang terakhir adalah wilayah suku
Karo. Surat Karo atau sering juga disebut Surat
Aru/Haru yang merupakan turunan dari aksara
Brahmi dari India kuno. Namun kini hanya
sejumlah kecil orang Karo dapat menulis atau
memahami aksara Karo, dan sebaliknya aksara
Latin yang digunakan.

3. Provinsi Sumatera Barat


a. Bahasa Minangkabau
Bahasa Minangkabau (Baso Minangkabau; aksara
Jawi: ‫ )باسو ميناڠكاباو‬adalah suatu bahasa
Austronesia yang dituturkan oleh Suku
Minangkabau yang berasal dari wilayah Dataran
Tinggi Minangkabau di Sumatra Barat.
Melalui diaspora masyarakat bersuku
Minangkabau, bahasa ini juga dituturkan di
beberapa wilayah lain terutama di daerah-daerah
sekitar Sumatra Barat terutama di Sumatra
Utara, Jambi, Bengkulu, sebagian Aceh,
sebagian Riau, serta di wilayah luar negeri
meliputi Negeri Sembilan di Semenanjung Kra,
dan Singapura.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu
bahasa yang terdapat dalam rumpun bahasa
Minangkabauik yang bercabang dari
rumpun Malayo-Sumbawa (atau disebut
juga ‘rumpun bahasa Indonesia Barat’) yang
diturunkan dari rumpun Malayo-Polinesia yang
merupakan cabang dari rumpun bahasa
Austronesia.

C. Keberagaman Rumah Adat Di Pulau Sumatera


1. Provinsi Aceh
Rumah Krong Bade

Rumah Krong Bade juga biasa dikenal dengan nama


rumoh Aceh. Rumah ini mempunyai tangga depan yang
digunakan bagi tamu atau orang yang tinggal untuk
masuk ke dalam rumah.
Rumah Krong Bade adalah salah satu budaya Indonesia
yang hampir punah. Rumah Krong Bade saat ini sudah
jarang dipakai karena hampir sebagian masyarakat aceh
memilih untuk tinggal di rumah modern. Hal ini
dikarenakan harga pembangunan rumah modern jauh
lebih murah dibandingkan dengan Rumah Krong Bade.
Selain biaya pembangunan, biaya perawatan Rumah
Krong Bade juga memakan biaya yang tidak sedikit.
Rumah Krong Bade memiliki beberapa ciri khas. Tidak
semua Rumah Krong Bade mempunyai bentuk yang sama,
tetapi ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari
Rumah Krong Bade. Rumah Krong Bade memiliki tangga di
bagian depan rumah bagi orang-orang yang akan masuk
ke dalam rumah. Rumah Krong Bade memiliki tangga
karena tinggi rumah yang berada beberapa meter dari
tanah. Umumnya, tangga Rumah Krong Bade dari tanah
adalah 2,5-3 meter. Jumlah anak tangga Rumah Krong
Bade umumnya ganjil. Rumah Krong Bade memiliki bahan
dasar yaitu kayu.
Rumah Krong Bade juga memiliki banyak ukiran pada
dinding rumahnya tetapi banyaknya ukiran pada Rumah
Krong Bade bergantung dari kemampuan ekonomi pemilik
rumah.
Ukiran ini pun tidak sama satu dengan yang lain. Rumah
Krong Bade berbentuk persegi panjang dan memanjang
dari timur ke barat. Atap Rumah Krong Bade terbuat dari
daun rumbia.

2. Provinsi Sumatera Utara


Rumah Bolon

Rumah Bolon adalah rumah adat dari Sumatra Utara, dari


suku Batak Toba yang ada di Indonesia. Rumah Bolon
berasal dari daerah Sumatra Utara. Rumah Bolon adalah
simbol dari identitas masyarakat Batak yang tinggal di
Sumatra Utara.
Pada zaman dahulu kala, rumah Bolon adalah tempat
tinggal dari 13 raja yang tinggal di Sumatra Utara. 13 Raja
tersebut adalah Raja Ranjinman, Raja Nagaraja, Raja
Batiran, Raja Bakkaraja, Raja Baringin, Raja Bonabatu,
Raja Rajaulan, Raja Atian, Raja Hormabulan, Raja
Raondop, Raja Rahalim, Raja Karel Tanjung, dan Raja
Mogam.
Ada beberapa jenis rumah Bolon dalam masyarakat Batak
yaitu rumah Bolon Toba, rumah Bolon Simalungun, rumah
Bolon Karo, rumah Bolon Mandailing, rumah Bolon
Pakpak, rumah Bolon Angkola. Setiap rumah mempunyai
ciri khasnya masing-masing. Sayangnya, rumah Bolon saat
ini jumlah tidak terlalu banyak sehingga beberapa jenis
rumah Bolon bahkan sulit ditemukan.Saat ini, rumah
bolon adalah salah satu objek wisata di Sumatra Utara.
Rumah Bolon adalah salah satu budaya Indonesia yang
harus dilestarikan.
Rumah Bolon memilik bentuk persegi empat. Rumah
Bolon mempunyai model seperti rumah panggung.
Rumah ini memiliki tinggi dari tanah sekitar 1,75 meter
dari tanah. Tingginya rumah Bolon menyebabkan
penghuni rumah atau tamu yang hendak masuk ke dalam
rumah harus menggunakan tangga. Tangga rumah Bolon
terletak di tengah-tengah badan rumah. Hal ini
mengakibatkan jika tamu atau penghuni rumah harus
menunduk untuk berjalan ke tangga.
Bagian dalam rumah Bolon adalah sebuah ruang kosong
yang besar dan terbuka tanpa kamar. Rumah berbentuk
persegi empat ini ditopang oleh tiang-tiang penyangga.
Tiang-tiang ini menopang tiap sudut rumah termasuk juga
lantai dari rumah Bolon.
Rumah Bolon memiliki atap yang melengkung pada
bagian depan dan belakang. Rumah Bolon memilik atap
yang berbentuk seperti pelana kuda.
3. Provinsi Sumatera Barat
Rumah Gadang

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat


Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan
banyak jumpai di Sumatra Barat, Indonesia. Rumah ini
juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat
dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang
menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah Gadang yang ada di Nagari Pandai Sikek dengan
dua buah Rangkiang di depannya
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Sumatra
Barat, Namun tidak semua kawasan di Minangkabau
(darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada
kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja
Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada
kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga
dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau
Minangkabau.
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur
dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai
tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang
dapat tahan sampai puluhan tahun, namun belakangan
atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng. Rumah
Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan
dibagi atas dua bahagian, muka dan belakang. Bagian
depan dari Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran
ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta
bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan bagian luar
belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah
tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan
rumah dibuat besar ke atas, tetapi tidak mudah rebah
oleh goncangan, dan setiap elemen dari Rumah Gadang
mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo
yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.

Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga


yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur
dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang
didempet pada dinding.

Karena wilayah Minangkabau rawan gempa sejak dulunya


karena berada di pegunungan Bukit Barisan, maka
arsitektur Rumah Gadang juga memperhitungkan desain
yang tahan gempa. Seluruh tiang Rumah Gadang tidak
ditanamkan ke dalam tanah, tetapi bertumpu ke atas batu
datar yang kuat dan lebar. Seluruh sambungan setiap
pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai
paku, tetapi memakai pasak yang juga terbuat dari kayu.
Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser secara
fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak
atau tiang berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang
dihubungkan oleh pasak kayu juga bergerak secara
fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara
benar akan tahan terhadap gempa.
4. Provinsi Sumatera Selatan
Rumah Limas

Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional


Sumatra Selatan. Selain ditandai dengan atapnya yang
berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai
bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya
dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti
hajatan. Para tamu biasanya diterima diteras atau lantai
kedua.Rumah Limas ini memiliki nama lain, yaitu Rumah
Bari. Di Malaysia, rumah Limas ini juga banyak ditemukan
di daerah Johor, Selangor dan Terengganu. Konstruksi
rumah limas adalah bentuk rumah panggung, di rumah ini
banyak ditemukan berbagai ragam hias, yang
menunjukkan identitas adat masyarakat.
5. Provinsi Lampung

Rumah Nuwo Sesat

Nuwo Sesat adalah salah satu rumah tradisional yang ada


di Provinsi Lampung. Nuwo Sesat berfungsi sebagai
tempat pertemuan adat bagi para purwatin (Penyimbang)
pada saat mengadakan pepung adat
(Musyawarah). Karena itu rumah tradisional ini juga
disebut Balai Agung. Bagian-bagian dari rumah tradisional
ini adalah Anjungan yang merupakan serambi yang
digunakan untuk pertemuan kecil, Pusiban adalah ruang
dalam yang digunakan sebagai tempat musyawarah
resmi, ruang Tetabuhan adalah ruangan tempat
menyimpan alat musik tradisional, ruang gajah merem
yang digunakan untuk tempat istirahat bagi para
penyimbang, dan ijan geladak adalah tangga masuk yang
dilengkapi dengan atap. Atap rumah adat ini disebut
rurung agung.
Pada sisi depan rumah tradisional ini terdapat ukiran
ornamen bermotif perahu yang menjadi ciri khas. Hal lain
yang khas di rumah tradisional ini adalah hiasan payung-
payung besar berwarna putih, kuning, dan merah pada
bagian atapnya, payung-payung tersebut merupakan
lambang dari tingkat tetuha komunitas bagi masyarakat
tradisional Lampung. Secara fisik Nuwo Sesat berbentuk
rumah panggung bertiang. Sebagian besar material dari
rumah adat ini terbuat dari papan kayu.
BAB 3 KESIMPULAN
Jadi, itulah tadi beberapa keberagaman suku bangsa dan budaya di
pulau Sumatera. Keberagaman inilah yang harus senantiasa kita jaga
dan kita lestarikan supaya di masa mendatang, generasi penerus kita
masih bisa menikmati dan melihat suku bangsa maupun kebudayaan
yang ada di pulau Sumatera ini.

SUMBER REVERENSJ
• Buku Pembelajaran Interaktif Geogarfi kelas XI Semester 2 Terbitan
PT. Margo Mitro Joyo
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sumatra
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Aceh
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Gayo
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Aneuk_Jamee
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Toba
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Karo
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Minangkabau
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Mentawai
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Palembang
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Basemah
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Kubu
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Rawas
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Aceh
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Gayo
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Toba
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Nias
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Karo
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_Krong_Bade
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bolon
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_Limas
• https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_Nuwo_Sesat
• https://amp.tirto.id/lirik-lagu-daerah-bungong-jeumpa-makna-dan-
asal-daerahnya-gnny
• https://portaljember.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-
161478247/lirik-lagu-butet-dari-sumatra-utara-beserta-maknanya
• https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-
23672778/lirik-lagu-daerah-kampuang-nan-jauh-di-mato-yang-
dinyanyikan-pada-live-hut-ri-17-agustus-2020
• https://lagudaerah.id/dek-sangke/
• https://www.pinhome.id/blog/contoh-alat-musik-tradisional/
• https://kataomed.com/budaya/10-tari-adat-tradisonal-dari-
sumatera-yang-terkenal

Anda mungkin juga menyukai