Anda di halaman 1dari 10

1.

ETNOGRAFI SUKU ACEH


Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku penduduk asli yang
mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh
mayoritas beragama Islam. Suku Aceh mempunyai beberapa nama lain yaitu Lam Muri,
Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Aceh,
yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat
dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya
merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh.
Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas
Aceh.
Berdasarkan perkiraan terkini, jumlah suku Aceh mencapai 3.526.000 jiwa, yang sebagian
besar bertempat tinggal di Provinsi Aceh, Indonesia.[1] Sedangkan menurut hasil olahan data
sensus BPS 2010 oleh Aris Ananta dkk., jumlah suku Aceh di Indonesia adalah sebanyak
3.404.000 jiwa. Selain di Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang cukup banyak di
Malaysia, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia.
Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di
permukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk
mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan
Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya pada abad ke-17. Suku Aceh
pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam, dan juga sebagai
pejuang militan dalam melawan penaklukan kolonial Portugis dan Belanda.
Suku Aceh terletak di provinsi Nangroe Aceh Darusalam. Suku bangsa Aceh menggunakan
rumpun bahasa yang berbeda yaitu :
 Bahasa Gayo Alas, yang diucapkan oleh orang-orang Gayo, Alas dan penduduk Aceh
Tengah.
 Bahasa Aneuk Jamee, bahasa yang dipergunakan oleh orang Aceh Selatan dan Aceh
Barat.
 Bahasa Tamiang, yang digunakan di dekat perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur,
yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah Sumatera Timur.
 Bahasa Aceh, bahasa yang di ucapkan oleh penduduk Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie
dan sebagian penduduk Aceh Barat.
Tulisan-tulisan di Aceh menggunakan huruf Arab Melayu, yang di kenal dengan sebutan
huruf Jawoe.
Desa bagi orang Aceh disebut Gampong yang terdiri dari kelompok rumah yang letaknya
berdekatan. Pemerintah "gampong" terdiri dari keusyik (kepala gampong), Teungku
(Teungku meunasah), dan Ureung Tua.
Sistem religi di Aceh mayoritas adalah menganut Agama Islam. Sedangkan mata pencaharian
penduduk mayoritas adalah bertani (bercocok tanam).
2. ETNOGRAFI SUKU BATAK
Batak, Suku Bangsa berasal dari Pulau Sumatra bagian utara yang merupakan sebagian besar
wilayah administratif Propinsi Sumatera Utara. Daerah asala kediaman orang Batak itu
dikenal dengan Dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun,
Dairim, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Dilihat dari
wilayah administratif, mereka mendiami wilayah beberapa kabupaten atau bagian dari
wilayah kabupaten di Sumatera Utara. Kabupaten- kabupaten tersebut adalah Kabupaten
Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Asahan.
Data sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan jumlah anggota suku Batak kurang lebih
1.000.000 jiwa. Ini berarti bahwa suku bangsa Batak merupakan salah satu dari delapan suku
bangsa di Indonesiayang anggotanya berjumlah 1.000.000 atau lebih. Kini jumlah anggota
suku bangsa Batak tentu sudah menjadi lebih besar lagi. Namun jumlahnya yang tepat tidak
dapat lagi diketahui karena dalam sensus-sensus yang diadakan kemudian di Indonesia tidak
lagi dicatat identitas menurut kesukubangsaan. Orang Batak itu bisa dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu kelompok Toba dan kelompok Pakpak-Dairi. Kelompok Toba terbagi
lagi ke dalam beberapa sub kelompok yaitu Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun.
Kelompok Pakpak-Dairi terbagi pula menjadi sub kelompok Dairi, Karo, Alas dan Gayo.
Sumber lain membagi suku-bangsa Batak menjadi enam sub suku-bangsa. (1) Karo yang
mendiami satu daerah induk meliputi dataran Tinggi Karo, Langkat, Hulu, Deli Hulu dan
sebagian Dairi. (2) Simalungun mendiami suatu daerah induk Simalungun. (3) Pakpak
mendiami daerah induk Dairi. (4) Toba mendiami suatu daerah induk meliputi daerah tepi
Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara
Barus dan Sibolga, daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran. (5) Angkola mendiami daerah
induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari Sibolga dan Batang Toru dan bagian utara dari
Padang Lawas. (6) Mandailing mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian
selatan dari Padang Lawas. Dilihat dari bahasa, orang Batak mengenal beberapa logat : (1)
Logat Karo dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak dipakai oleh orang Pakpak; (3)
Simalungun dipakai oleh orang Simalungun; (4) Logat Toba dipakai oleh orang Toba,
Angkola dan Mandailing. Menurut sejarah lisan (tarombo) semua sub suku bangsa ini berasal
dari satu nenek moyang yaitu Si Raja Batak (Bangun, 1983).
Versi sejarah mengatakan si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke
Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula,
lebih kurang 8 Km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang.Versi lain
mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga
bermukim di pinggir Danau Toba.
Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja
Sisingamangaraja XII salah satu keturunan si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19
(wafat 1907), maka anaknya bernama si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Batu bertulis
(prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala
dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India
menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.
Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru,
Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah timur Danau Toba,
Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Penjelasan mengenai etnografi pada suku Batak akan dibahas lebih dalam dalam 7 unsur
kebudayaan di bawah ini :
- Bahasa
Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa daerah yang terutama dipertuturkan di
daerah sekitar Danau Toba dan sekitarnya, meliputi Samosir, Humbang Hasundutan,
Tapanuli utara, dan Toba samosir, sumatera Utara, Indonesia. Bahasa Batak Toba
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan merupakan bagian dari kelompok
bahasa-bahasa Batak. Saat ini diperkirakan terdapat kurang-lebih 2.000.000 orang penutur
Bahasa Batak Toba, yang tinggal di bagian barat dan selatan Danau Toba. Penulisan
bahasa ini dalam sejarahnya pernah menggunakan aksara Batak, namun saat ini para
penuturnya hampir selalu menggunakan aksara Latin untuk menuliskannya.
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat :
o Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo
o Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak
o Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun
o Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing
Selain itu, bahasa Batak bisa dibagi menjadi beberapa kelompok:
o Bahasa Batak Utara (Bahasa Alas & Bahasa Karo)
o Bahasa Batak Selatan (Bahasa Angkola - Mandailing, Pakpak - Dairi,
Simalungun, Toba)
- Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan pada suku Batak akan dijelaskan mengenai pengetahuan masyarakat
Batak dalam memasak dan membuat rumah. Masakan adat Batak jenis masakan yang
dipengaruhi seni suku batak, dan termasuk masakan Nusantara. Yang paling sering
digunakan dalam memasak sebuah pesta adalah andaliman (merica batak). Bahkan di
tradisi orang batak banyak menggunakan Babi ataupun daging Anjing, yang dimasak
sesuai selera masing masing dan juga menggunakan makanan yang berasal dari danau,
seperti ikan ikanan yaitu hasil pancingan para nelayan, mereka memasaknya biasanya
disebut (napinadar, dipanggang atau ikan arsik). Jenis makanan Batak yang dapat
dijumpai dan dikenal oleh masyarakat umumnya adalah Saksang, Arsik Panggang, Ayam
tasak telu, Manuk Napinadar, Tangotanggo, Dengke Mas naniura, Natinombur, Mie
Gomak, Na nidugu, Dali ni horbo, Sambal tuktuk, Pagitpagit, Itak gurgur, Kue lampet,
Kue Ombus ombus, Kue Pohul pohul, Kacang sihobuk.
Sedangkan pengetahuan pada masyarakat Batak mengenai pembuatan rumah memiliki
cirri khas tersendiri. Rumah adat batak toba disebut juga RUMAH BOLON yang
berbentuk panggung dengan bahan utama dari kayu, dengan ciri khas atapnya yang
melengkung dan runcing ditiap ujungnya. Rumah adalah hal yang terpenting, dibuat
dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna dari
pondasi ini sendiri adalah saling kerja sama demi memikul yang berat. Gorga adalah
pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki
nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk ukirannya seperti penjelasan di bawah ini :
 Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari yang merupakan sumber
kehidupan manusia.
 Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru mata angin yang sangat berkaitan
erat dengan aktivitas ritual suku Batak
 Gorga singa-singa : menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh,
pemberani dan berwibawa.
Gorga dituliskan dengan 3 warna yaitu merah, melambangkan kecerdasan dan
wawasan yang luas. Putih, melambangkan kejujuran yang tulus sehingga lahir
kesucian. Hitam, melahirkan kewibawaan yang bersifat pemimpin. Rumah adat
bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat bemaung dan berteduh
dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi sebenanya sarat dengan nilai
filosofi yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup. Beragam pengertian dan
nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisional yang
mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan
kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
- Organisasi Sosial Dan Sistem Kekerabatan
a. Pernikahan
Secara Garis besar tata cara dan urutan pernikahan adat batak Na Gok adalah sebagai
berikut :
 Mangarisika
 Marhori-hori Dinding/marhusip
 MarhataSinamot
 Pudun Sauta
 Martonggo Raja atau Maria Raja
 Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
 Pesta Unjuk
 Mangihut di ampang (dialap jual)
 Ditaruhon Jual
 Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)
 Paulak Unea
 Manjahea
 Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
b. Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut
Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari
satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok
pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol
tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang
masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah
banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali
anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya,
Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : perbedaan tigkat
umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status kawin.
- Sistem Teknologi Dan Peralatan Hidup
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak
(tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-
sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit
(sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak),
podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos yang
merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
- Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan
didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau,
sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk
disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan,
ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
- Sistem Religi
Kehidupan masyarakat batak adalah kehidupan yang sangat menjujunjung tinggi upacara
adatnya. Bahkan sebelum lahir ke dunia pun sudah melakoni adat sampai seorang Batak
tersebut meninggal dan menjadi tulang belulang masih ada serangkian adat, bukan rumit
tapi adat batak menunjukkan bahwa DALIHAN NATOLU yang didalamnya adalah
somba marhula - hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu dan selalu terlihat pada saat
perayaan serta syukuran dan adat yang digunakan sebagai penanda didalamnya. Beberapa
macam Adat Batak Toba :
 Upacara Adat Mangirdak atau mangganje/mambosuri boru (adat tujuh bulanan)
 Upacara Adat Mangharoan
Upacara adat mangharoan adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua
minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi tersebut dalam
keluarga tersebut
 Upacara Adat Martutu aek
 Adat pemberian nama kepada bayi
 Upacara Adat Marhajabuan
Upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba, Marhajabuan
(berumah tangga). Jenis-jenis upacara pernikahan adat batak yaitu PATIUR
BABA NI MUAL (Permisi dan mohon doa restu tulang), MARHORI HORI
DINGDING (Perkenalan keluarga secara tertutup), MARHUSIP (Perundingan
diam diam & Patua) dan Hata (Melamar secara resmi), MARTOMPUL dan
MARTONGGO RAJA DAN MARIA RAJA (Pesta pertunangan).
 Upacara Adat Manulang
Upacara adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan
menyuapi/menyulangkan makanan kesukaan oleh anak dan cucunya.
 Upacara adat Hamatean
Ketika seseorang batak meninggal disesuaikan dengan adat batak toba apakah
adat yang akan dibuat jika seseorang meninggal sebagai sari matua , saur
matua, maulibulung.
 Upacara adat mangongkal holi
Upacara adat penggalian tulang belulang orang tua yang telah meninggal untuk
dimasukkan kedalam tugu (monument yang lebih bagus dari sebelumnya unuk
menghormati orang yang sudah meninggal)
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak,
orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”.
Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur
serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Penghormatan dan penyembahan
dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan
bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling
ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali
dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah
“Debata”, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na
Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan
salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai
nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga
menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah
luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang
dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar
biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai kakek/nenek yang
terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon
menjadi “Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”.
Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap
tahunnya yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat
masuk tahun baru Batak yang dimulai setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang
dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan juni-juli.
Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti
layaknya orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang
wanitanya bersarung dan mengonde rambut mereka. Semua acara Parmalin
dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek Raja Marnokkok
adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja
XI. Kini penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang
batak. Mereka tersebar di 39 tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe
Aceh Darussalam.
Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim
Kitab Batara Guru, Kitab ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya
bumi dan manusia beserta kodrat kehidupan dan kebijakan manusia.
Kitab Debata Sorisohaliapan, Kitab ini berisi tatanan hidup manusia.
Kitab Mangala Bulan, Kitab Mangala Bulan menerangkan tentang
cerminan kekuatan Allah.
Debata Asi-Asi, Kitab ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara
Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala Bulan (Debata Natolu) dan induk
dari segala kitab
Kitab Boru Debata, Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga
memperoleh anak.
Kitab Pengobatan
Falsafah Batak, Kitab ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum,
aksara seni tari, seni musik terutama bidang pemerintahan kerajaan, sosial
dan ekonomi.
Kitab Pane Nabolon (Pengetahuan tentang bulan dan bintang)
Kitab Raja Uhum Manisia, Kitab ini adalah kitab yang berisi
penghakiman.
Sedangkan pada agama samawi seperti agama Islam memiliki perbedaan sejarah
pada masyarakat Batak. Peradaban Islam diawali dari Perang Paderi Sumatera
Barat yang berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama.
Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya
agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama
Buddha dan Hindu. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab
Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan
antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata.
Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan
Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang
berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi,
pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda,
melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820
dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata,
bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat
sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol.
Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk
Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak
sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing
berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja
dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari
keluarga Singamangaraja X.
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga
Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru. Penyerbuan ke
Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan
penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga
Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa
menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan
untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah
itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang
dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak
sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam,
ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap),
Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan
(Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat
(Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung),
Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan
Tuanku Marajo (Harahap).
- Seni
Seni Tarian, Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan
upacara ritual keagamaan. Menari juga dilakukan dalam acara gembira seperti sehabis
panen, perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik (kesurupan). Acara pesta
adat yang membunyikan gondang sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap),
erat hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada
zaman dahulu. Contohnya seni Tari Tor-tor (bersifat magis). Didalam menari setiap
penari harus memakai Ulos. Orang Batak mempergunakan alat musik/ Gondang yaitu
terdiri dari: Ogung sabangunan terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari empat ogung maka
dianggap tidak lengkap dan bukan Ogung sabangunan dan dianggap lebih lengkap lagi
kalau ditambah dengan alat kelima yang dinamakan Hesek. Kemudian Tagading terdiri
dari 5 buah. Kemudian Sarune (sarunai harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah.
Menari juga dapat menunjukkan sebagai pengejawantahan isi hati saat menghadapi
keluarga atau orang tua yang meninggal, tariannnya akan berkat-kata dalam bahasa seni
tari tentang dan bagaimana hubungan batin sipenari dengan orang yang meninggal
tersebut. Juga Menari dipergunakan oleh kalangan muda mudi menyampai hasrat hatinya
dalam bentuka tarian, sering taruian ini dilakukan pada saat bulan Purnama.
Kesimpulannya bahwa tarian ini dipergunaka sebagai sarana penyampaian batin baik
kepada Roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan
disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.
Seni arsitektur, rumah adat Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini bertiang
tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai
8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian
ruangan tetap ada, yakni dibatasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu
tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati
ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat.
Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar
dari tungku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar
yang disebut ture, konstruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan
diameter 6 cm. Panggung ini dugunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan,
sebagai tempat pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan
masuk menuju ture adalah tangga bambu atau kayu.
Musik, Toba Kuno di jaman dinasti Tuan Sorimangaraja (Pahompu-nya Si Raja Batak)
Berawal dari musik Raja-raja.Bukan musik untuk Raja, tetapi musik yang dimainkan oleh
Raja. Musik Batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada Datu
(dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada
Mula Jadi Nabolon.
Batak untuk ritual ini adalah yang disebut Gondang Sabangunan yang terdiri dari 5
Ogung, 5 Gondang, Sarune Bolon lubang 5. Namun para Rakyat juga ingin main musik,
maka berkembanglah musik batak ini di kalangan rakyat dengan format Taganing,
Garantung, Hasapi, Seruling dan Sarune Etek. Dengan alat-alat musik inilah tercipta
banyak sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatonis (Do Re Mi Fa Sol, kadang2 ada juga
La) dan susunan nada (licks)-nya sangat khas tidak didapati di musik suku lain.
Kerajinan, tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh
tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang
digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah,
kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami.Warna ulos biasanya
adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain
merupakan lambang dari variasi kehidupan.
3. Etnografi Minangkabau
A. Lokasi
Berdasarkan arah utara ke selatan, Provinsi Sumatera Barat adalah salah satu provinsi
yang berada di wilayah tengah Pulau Sumatera. Wilayah provinsi Sumatera Barat
meliputi dataran utama di sebelah barat Pulau Sumatera serta beberapa pulau yang
termasuk dalam Kepulauan Mentawai, antara lain Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau
Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan. Provinsi Sumatera Barat memiliki perbatasan darat
dengan empat provinsi. Di sebelah selatan, Provinsi Sumatera Barat memiliki garis
perbatasan darat yang panjang dengan Provinsi Jambi dan garis perbatasan darat yang
pendek dengan Provinsi Bengkulu. Di sebelah timur, Sumatera Barat memiliki garis
perbatasan darat yang panjang dengan Provinsi Riau. Di sebelah utara, provinsi Sumatera
Barat berbatasan dengan Sumatera Utara. Garis pantai terdapat di sisi barat, yaitu
berbatasan dengan Samudra Hindia.
B. Lingkungan Alam
Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat terdapat di wilayah pantai ini.
Kepulauan Mentawai yang terdapat cukup jauh di lepas pantai berjajar searah dengan
garis pantai daratan utama dan menjadi penghalang terpaan ombak besar dari Samudra
Hindia. Ini menyebabkan perairan laut antara Kepulauan Mentawai dan daratan utama
provinsi Sumatera Barat merupakan perairan laut yang cukup tenang. Kondisi ini
mendukung perkembangan sektor pariwisata dan perikanan di wilayah ini. Perairan
tenang dapat dilayari dengan aman serta banyak kehidupan laut menjadikan perairan di
wilayah ini sebagai habitat utama.
Bentang darat Sumatera Barat didominasi oleh perbukitan dan pegunungan. Wilayah
dataran tinggi dan pegunungan, termasuk kawasan Bukit Barisan merupakan daerah
terluas di Sumatera Barat. Sekitar 70 persen bentang darat Provinsi Sumatera Barat
merupakan lahan yang tidak datar, Wilayah Sumatera Barat merupakan perbukitan dan
pegunungan yang memiliki lereng-lereng yang terjal, terutama lereng-lereng perbukitan
dan pegunungan di sebelah barat yang menghadap ke Samudra Hindia.
Rangkaian pegunungan mendominasi wilayah provinsi Sumatera Barat ini ditempati oleh
banyak puncak gunung, di antaranya Gunung Gedang, Maitang, Marapi, Pantai Cermin,
Pasaman, Tandiket, Tangga, serta Kerinci (3.800 m) yang terletak di daerah perbatasan
dengan Jambi dan merupakan gunung tertinggi di Pulau Sumatera. Sedikit lahan yang
agak rata terdapat di sebelah timur dan sedikit dataran rendah terdapat di sudut tenggara
serta kawasan pesisir pantai yang sempit.
Di wilayah pegunungan di bagian tengah Sumatera Barat terdapat beberapa perairan
pedalaman yang menjadi sumber air penting bagi provinsi ini. Dengan luas 13.011 km2,
Danau Singkarak yang melintasi wilayah Kabupaten Solok dan Tanah Datar merupakan
danau terbesar di Sumatera Barat. Danau Maninjau yang memiliki luas 9.950 km2
terdapat di Kabupaten Agam. Tiga danau lainnya, yaitu Danau Diatas (3.150 km2), Danau
Dibawah (1.400 km2), dan Danau Talang (1,02 km2) juga terdapat di Kabupaten Solok
C. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon
pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang
datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat
setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar
itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung
berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau,
yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga
dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu
menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama
tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut
sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang,
kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama tahun 1365 M, juga telah
ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang
ditaklukannya.
Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam
Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu
dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari
"Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris
ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi
mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang
dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar,
yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh
Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu",
karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman
Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan
penyebutan Minang itu sendiri
Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (MelayuMuda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumaterasekitar 2.500-2.000
tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau
Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar atau Minangkamwa (Minangatamwan) hingga
tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek ). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku
Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie ) di pantai barat pulau Sumatera, yang
terbentang dari Barus diutara hingga Kerinci di selatan. Selain berasal dari Luhak nan
Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia.Dimana
migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan
alternatif perdagangan selainMalaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.
Pendukung kebudayaanMinangkabau juga tersebar di beberapa tempat di Sumatra dan
juga di Maaya.
Kita dapat melihat misalnya adanya koloni orsng-orang Minangkabau di Aceh Barat,
yaitu daerah sekitar Meulaboh. Daerah Negeri Sembilan di Malaya dianggap sebagai
daerah yang didiami oleh orang-orang yang berasal dari Minangkabau, yang telah
berpindah ke sana beberapa abad dulu, mulai dari abas ke-15. Penyebaran orang-orang
Minangkabau jauh dari daerah asalnya ini disebabkan oleh adanya dorongan pada diri
mereka untuk merantau, yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, ialah keinginan mereka
untuk mendapatkan kekayaan tanpa menggunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat
dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai
hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat
menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua,
ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan
akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain.
Masyarakat minangkabau menganut sistem matrilinier. Matrilineal adalah suatu adat
masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali
disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.
Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu", dan linea
(bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan
yang ditarik dari pihak ibu".
D. Bahasa
Bahasa Minangkabau
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun
ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa
Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari
dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya,
sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang
berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan
bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga
sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta,
Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada
beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di
antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas
juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum
berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga menggunakan Bahasa Melayu dan
kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang,
Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu
atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa
Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang
dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan
untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa
Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia
Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang
dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun
kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam
yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu
Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di
Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa
diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya
bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa
Indonesia itu.
Dialek
Bahasa Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh
sungai sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan yang sangat
menonjol adalah dialek yang dituturkan di kabupaten Pesisir Selatan dan dialek di
kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
Selain itu dialek bahasa Minangkabau juga dituturkan oleh sebagian penduduk di
sepanjang pesisir barat pulau Sumatera mulai dari Mandailing Natal, Sibolga, Barus di
Sumatera Utara, kemudian berlanjut ke Singkil, Simeulue, Aceh Selatan, Aceh Barat
Daya dan Meulaboh di Aceh. Di Aceh dialek bahasa Minang ini disebut dengan bahasa
Jamee.
Sebagai contoh, berikut ini adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek bahasa
Minangkabau:
Bahasa Indonesia/ Bahasa Melayu Apa katanya kepadamu?
Bahasa Minangkabau "baku" A keceknyo jo kau?
Mandahiling Kuti Anyie Apo kecek o kö gau?
Padang Panjang Apo keceknyo ka kau?
Pariaman A kato e bakeh kau?
Ludai A kecek o ka rau?
Sungai Batang Ea janyo ke kau?
Kurai A jano kale gau?
Kuranji Apo kecek e ka kau?
Salimpaung Batusangkar Poh ceknyoh kah khau duh?
Rao-Rao Batusangkar Aa keceknyo ka awu tu?
Untuk komunikasi antar penutur bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini, akhirnya
dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau yang biasa disebut Bahaso
Padang atau Bahaso Urang Awak. Bahasa Minangkabau dialek Padang inilah yang menjadi
acuan baku (standar) dalam menguasai bahasa Minangkabau.
Contoh
Bahasa Sadang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Minangkabau: (peribahasa)
Bahasa Indonesia: Sedangkan pohon di hutan tidak sama tinggi, apa lagi manusia
Bahasa
Co a koncek baranang co itu inyo (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bagaimana katak berenang, seperti itulah dia.
Bahasa
Indak buliah mambuang sarok di siko!
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Tidak boleh membuang sampah di sini!
Bahasa
Bungo indak satangkai, kumbang indak sa ikua (peribahasa)
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Bunga tidak setangkai, kumbang tidak seekor
Bahasa
A tu nan ang karajoan* ?
Minangkabau:
Bahasa Indonesia: Apa yang sedang kamu kerjakan?
* perhatian: kata ang (kamu) adalah kata kasar,
kata Apa dalam bahasa Minangkabau yaitu Apo tetapi lebih sering
disingkat dengan kata A

Anda mungkin juga menyukai