Suku Sunda adalah salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, yang mayoritas mendiami
wilayah Provinsi Banten dan Jawa Barat. Menurut data sensus penduduk pada tahun 2010,
populasi orang Sunda di Indonesia mencapai hampir 37 juta jiwa. Dalam catatan Portugis, Suma
Oriental, orang Sunda digambarkan memiliki sifat optimis, ramah, sopan, riang, dan bersahaja.
Kata Sunda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu sund atau sudsha, yang memiliki makna
terang, bersinar, putih, atau berkilau. Dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno juga terdapat kata
Sunda, yang artinya bersih, suci, murni, tak bernoda, dan tak tercela.
Orang-orang Sunda berasal dari keturunan Austronesia yang diperkirakan berasal dari Taiwan.
Mereka kemudian bermigrasi melalui Filipina lalu mencapai Jawa pada sekitar 1500 SM hingga
1000 SM. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa nenek moyang Suku Sunda berasal dari
daerah Sundalandia. Sundalandia merupakan orang yang mendiami semenanjung cekung besar
yang saat ini membentuk Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Sunda, dan kepulauan di sekitarnya.
Sedangkan menurut studi genetik yang dilakukan belum lama ini, Sunda bersama dengan Jawa
dan Bali, memiliki rasio penanda genetik yang hampir sama dengan Austronesia dan
Austroasiatik. Baca juga: Ras Australoid: Ciri-ciri dan Penyebarannya
Orang Sunda dikenal memiliki karakter yang halus, optimis, dan sopan dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya. Selain itu, berikut ini ada beberapa ciri khas orang Sunda.
Orang Sunda dikenal sebagai orang yang tidak bisa melafalkan huruf F. Mereka melafalkannya
menjadi huruf P. Hal ini dikarenakan dalam aksara dan bahasa Sunda kuno atau zaman dahulu
tidak mengenal huruf F. Pelafalan tersebut kemudian turun-temurun hingga sekarang.
Suka lalapan
Saat makan, orang Sunda sangat gemar sekali memakan lalapan yang diiringi dengan sambal.
Bahkan orang Sunda merasa tidak lengkap makannya apabila tidak ada lalapan dan sambal,
yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Dalam melakukan komunikasi setiap hari, orang Sunda memiliki bahasa daerah sendiri, yaitu
Bahasa Sunda. Bahasa ini masih lestari di wilayah Sunda, seperti di Banten dan Jawa Barat
yang memiliki mayoritas dihuni oleh orang Sunda. Bahasa Sunda berkembang menjadi
beberapa sub bahasa atau dialek, sebagai berikut.
- Sunda Banten: Bahasa Sunda yang biasa dipakai oleh orang Banten
- Sunda Utara: Bahasa Sunda yang dipakai oleh orang Bogor dan beberapa daerah pantai
utara
- Sunda Selatan: Bahasa Sunda yang biasa digunakan berkomunikasi oleh orang
Priangan, seperti Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, Cimahi, dan Garut.
- Sunda Timur Laut: Bahasa Sunda yang biasa digunakan berkomunikasi oleh orang
Cirebon dan Kuningan. Sunda Tengah Timur: Bahasa Sunda yang biasa digunakan
berkomunikasi oleh orang Majalengka dan Kuningan.
- Sunda Tenggara: Bahasa Sunda yang digunakan oleh orang Ciamis, Banjar, dan bahkan
beberapa daerah di Jawa Tengah.
Budaya Suku Sunda
Kebudayaan Sunda menjadi salah satu sumber multikultural dari Bangsa Indonesia. Berikut
adalah beberapa seni dan budaya warisan Sunda. Tari Jaipongan Wayang Golek Sisingaan Tari
Kuda Renggong Angklung Wiwitan
Suku Sunda memiliki kepercayaan tradisional yang masih lestari hingga kini, yang dinamakan
Sunda Wiwitan. Para penganut kepercayaan Sunda Wiwitan masih bisa ditemukan di beberapa
pedalaman atau pedesaan di Jawa Barat atau Banten, seperti di Kuningan dan masyarakat
Baduy di Lebak, Banten. Selain itu, masyarakat Sunda juga memiliki pandangan hidup yang
menjadi warisan budaya Sunda. Pandangan hidup ini tidak bertentangan dengan norma agama
dan bahkan bisa berjalan berdampingan. Referensi: Ekajati, Edi Suhardi. (1984). Masyarakat
Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka.
Suku Ambon
Menurut masyarakat suku tersebut, Ambon diambil dari kata ‘ombong’ yang dalam
bahasa masyarakat Ambon diartikan sebagai embun. Nama embun tersebut diambil
karena puncak-puncak gunung yang ada di wilayah Ambon sering tertutup oleh
embun.
Sementara itu, terdapat pendapat lain yang mengatakan jika penggunaan istilah
orang Ambon (Ambonezen) digunakan oleh Belanda saat menyebut orang mestizo
yang asalnya dari Ambon. Akan tetapi, lama kelamaan istilah itu dipakai untuk
menyebut orang-orang yang asalnya dari Pulau Seram atau Kepulauan Lease.
Sehingga cukup berhubungan dengan sejarah asal-usulnya yang konon berasal dari
wilayah tersebut.
Jauh sebelum dua agama tersebut masuk ke suku Ambon, masyarakat menganut
kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan makhluk-makhluk halus. Kepercayaan
terhadap makhluk gaib tersebut terwujud pada benda-benda pusaka, tumbuhan, dan
hewan.
Kemudian, terdapat dua makhluk halus yang dipercayai oleh masyarakat suku
Ambon yakni makhluk halus baik (upu ama) dan makhluk halus jahat. Selain itu,
mereka juga mempunyai sebutan tersendiri untuk Sang Maha Pencipta dunia
yaitu upu lanite dan upu datu. Bagi masyarakat, roh leluhur dipercaya akan
melindungi setiap warga yang mau melaksanakan adat dan memberikan hukuman
bila tidak melaksanakannya.
Pada tahun 1512, Portugis yang mulai masuk ke wilayah suku Ambon mulai
menyebarkan agama Kristen. Sebenarnya, agama Islam sudah masuk satu abad
yang lalu, namun kondisi masyarakat suku Ambon saat itu memang masih
mempertahankan kepercayaan asli mereka. Lambat laun, penyebaran agama
Kristen cukup pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pusat penginjilan
dan di tahun 1522, banyak penginjil yang mulai berdatangan ke wilayah Ambon
sehingga membuat penyebaran Kristen di Ambon jadi lebih cepat.
Upacara Adat
Salah satu bentuk kebudayaan yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku
Ambon adalah upacara cuci negeri (nae baileu). Dalam upacara ini, negeri suku
Ambon harus dibersihkan mulai dari rumah-rumah, pekarangan, baileo, kemudian
dilanjutkan dengan acara makan-makan dan minum bersama.
Bahasa
Kemudian, mata pencaharian kedua dari masyarakat suku Ambon tidak lain adalah
nelayan. Masyarakat bahkan mempunyai ritual khusus untuk menjaga supaya
kegiatan berlayar berjalan dengan lancar dan nelayan bisa kembali dengan selamat.
Upacara tersebut dijuluki dengan turun perahu baru dan turun jaring baru.
Kedua ritual itu dilakukan di tempat yang berbeda, yang mana upacara turun
perahu dilakukan di atas perahu, sementara turun jaring baru dilakukan di rumah
pemilik jaring. Meskipun berbeda dalam hal lokasi, keduanya sama-sama dipimpin
oleh ketua adat.
Suku Kei
Suku Kei termasuk salah satu suku yang mendiami wilayah Provinsi Maluku,
tepatnya di Kepulauan Kei, Laut Arafuru. Diantara suku-suku lainnya yang ada di
Maluku, suku Kei mungkin masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas,
namun tidak kalah dengan suku lainnya, suku Kei juga memiliki keistemewaannya
sendiri yang membuatnya berbeda. Keistimewaan dari suku ini bisa kamu lihat
lewat sejarah, kepercayaan, kebudayaan, dan sistem kekerabatannya yang akan
dijelaskan sebagai berikut.
Konon, nama ‘Kei’ berasal dari bahasa Portugis yaitu ‘kayos’ yang berarti keras.
Penamaan itu diubungkan dengan banyaknya karang-karang yang ada di sekitar
Kepulauan Kei serta banykanya jenis pepohonan yang menghasilkan kayu yang
cukup keras.
Menurut catatan sejarah, Kepulauan Kei sebenarnya sudah pernah disinggahi oleh
pelaut asing dengan adanya bukti prasejarah yang mirip dengan kebudayaan di
Australia Utara. Ada juga beberapa bukti berupa ditemukannya kapak upacara dan
perunggu yang diduga adalah peninggalan dari manusia dengan kebudayaan
peralihan yang ada di daratan Asia.
Jenis kebudayaan yang dimiliki oleh suku Kei salah satunya terwujud dalam
hukum adat Larvul Ngabal. Hukum adat tersebut sebenarnya merupakan gabungan
dari 2 hukum adat yaitu hukum adat Larvul dan hukum adat Ngabal. Kedua hukum
adat tersebut berasal dari 2 desa yang berbeda dan sebelumnya saling bersengketa.
Akan tetapi, setelah kedua desa tersebut berdamai, hukum adat itu pun disatukan
menjadi Larvul Ngabal.
Dalam hukum adat tersebut, terdapat 7 pasal yang harus ditaati oleh masyarakat.
Ketujuh pasal tersebut diantaranya:
1. Pasal 1: Uud entauk atvunad. Maksud dari pasal ini adalah ketika kepala berpikir
maka seluruh bagian tubuh akan melaksanakan perintah yang diberikan oleh
kepala. Kepala dalam konteks tersebut diartikan sebagai Sang Mahakuasa, leluhur,
tokoh adat, pemerintah, dan orang tua.
2. Pasal 2: Lelad ain fo mahiling. Dalam pasal ini berarti ‘leher bersifat suci dan
murni’ yang mana masyarakat suku Kei begitu meluhurkan kehidupan. Leher
dianggap sebagai pusat kehidupan sebagai jalannya pernapasan.
3. Pasal 3: Ul nit envil rumud. Arti dalam pasal ini adalah harkat dan martabat setiap
manusia harus dilindungi, nama baik setiap orang harus dijaga, dan tidak boleh
membuka aib sembarangan.
4. Pasal 4: Laar nakmut naa ivud. Pasal ini bermakna larangan untuk melakukan
penganiayaan dan kekerasan terhadap diri sendiri maupun orang lain.
5. Pasal 5: Reek fo kelmutun. Artinya, setiap wanita tidak boleh diperlakukan semena-
mena dan harus dihormati. Oleh karenanya, dalam pasal ini juga dilarang bagi
siapapun untuk bersiul, mencolek, maupun bersuara keras terhadap wanita.
6. Pasal 6: Moryaian fo mahiling. Pasal ini melarang setiap orang untuk masuk secara
sembarangan ke kamar orang yang sudah menikah dan juga kamar seorang gadis.
7. Pasal 7: Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did. Pasal terakhir ini berisikan
tentang pengakuan terhadap hak milik pribadi, atau dalam kata lain, milik orang
lain adalah milik orang lain dan milik kita adalah milik kita.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat dimulai dari keluarga inti yang dikenal
dengan riin rahan atau ub. Kemudian, keluarga kecil tersebut akan membentuk
klan kecil atau disebut dengan rahayan/fam. Klan kecil ini akan berkembang
menjadi klan yang lebih besar dan disebut dengan soa. Nah, dalam satu kampung
di wilayah masyarakat akan ditinggali oleh satu soa dan kampung-kampung yang
tergabung menjadi satu akan disebut dengan negeri.
Dalam satu negeri, biasanya akan ada dua golongan yaitu ursiwa dan urlima dan
kepemimpinan terhadap dua golongan itu akan dipegang oleh masyarakat yang
pertama kali mendiami wilayah tersebut. Kemudian, dalam hal garis keturunan,
masyarakat mempercayai prinsip keturunan dengan karakteristik patrilineal
(keturunan dari pihak ayah/laki-laki).
Selain itu, mereka juga begitu mengangungkan hak anak sulung atau golongan
yang lebih senior. Dalam hal urusan pernikahan, masyarakat lebih memilih
pernikahan yang berasal dari lapisan sosial dengan derajat sama.
Suku Buton
Suku Buton adalah salah satu suku asli di Indonesia khususnya wilayah Sulawesi Tenggara.
Suku Buton merupakan suku asli yang mendiami kepulauan Buton namun karena
adanya migrasi masyarakat Buton tahun 1920 an, mereka dapat kita jumpai di Kalimantan
Timur, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Maluku dan Papua.
Suku Buton merupakan salah satu suku yang menghuni wilayah kesultanan Buton yang
berkuasa di wilayah Kepulauan Bau-Bau provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan dari buku
silsilah Raja-Raja yang pernah memimpin di kesultanan Buton atau Walio, nenek moyang
suku Buton adalah berasal dari Johor. Pada abad ke 15 diketahui seseorang berasal dari Johor
bernama Sipunjanga bersama dengan temannya yaitu Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo.
Mereka masuk ke wilayah Nusantara dan mendirikan kesultanan bercorak Islam khususnya di
kepulauan Bau-Bau.
Sultan terakhir yang memimpin kesultanan Buton meninggal pada tahun 1960 yang
menyebabkan hilangnya kerajaan. Sejak saat itu tradisi kepulauan Buton menjadi tidak
diperhatikan lagi bahkan tercerai berai.
Suku Buton memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat dari suku lainnya di
Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari ciri fisik orang Buton yaitu memiliki mata
berwarna biru. Umumnya masyarakat Indonesia memiliki bola mata berwarna kecoklatan
atau pun kehitaman. Namun orang-orang memiliki mata biru khas Eropa namun dengan kulit
coklat layaknya orang Indonesia.
Mata biru mereka didapat dari sindrom yang sudah turun temurun dari nenek moyang
mereka. Sindrom tersebut bernama sindrom Waardenburg yaitu kelainan genetik yang sangat
langka. Diketahui sindrom tersebut hanya terjadi pada 1:42.000 orang di dunia ini. Kelainan
gen tersebut menyebabkan seseorang memiliki mata berwarna biru atau kemerahan. Uniknya
lagi sindrome ini bisa menyebabkan warna mata kanan dan kiri berbeda. Jadi tak heran jika
orang Buton memiliki warna mata biru pada satu sisi dan coklat atau hitam pada sisi lainnya.
Sistem Kasta
Suku Buton mengenal adanya kasta namun hanya berlaku pada sistem pemerintahan serta
ritual keagamaan saja. Sistem kasta tersebut antara lain:
Kasta Kaomu atau Kaumu yaitu kasta kaum ningrat atau bangsawan. Kasta ini terdiri dari
keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja atau sultan yang akan memimpin kerajaan dipilih dari
kasta ini.
Kasta Walaka yaitu para kaum elit penguasa. Kasta ini terdiri keturunan menurut garis bapak
dari pendiri Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka adalah pemegang jabatan penting di
Kerajaan seperti menteri serta dewan. Mereka juga yang menentukan siapa yang akan
menjadi Raja berikutnya.
Kasta Papara atau disebut juga masyarakat biasa yang tinggal di wilayah desa dan masih
merdeka. Mereka dapat diperhitungkan untuk memegang jabatan tertentu di wilayah desa,
tetapi sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk memegang kekuasaan di pusat.
Kasta Babatua atau kasta budak yaitu orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain
atau memiliki utang. Orang-orang dari kasta ini dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah.
Kasta Analalaki dan Limbo adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya
kerana telah melakukan kesalahan sosial dan bertindak tidak pantas sesuai dengan status
sosialnya.
Masyarakat suku Buton mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dengan tanaman
pokok mereka adalah jagung, ubi, padi. Tak jarang juga mereka menanam tanaman
perdagangan seperti jeruk, kapuk, dan kelapa. Selain itu mereka juga bermata pencaharian
sebagai pengrajin kuningan, anyaman, dan lainnya.
Sebagian besar masyarakat Buton adalah pemeluk agama Islam sehingga nilai-nilai yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan hukum Islam. Namun sebelum adanya
Islam, suku Buton yaitu pada abad 13 adalah pemeluk agama Hindu akibat dari
pengaruh kerajaan Majapahit. Kemudian mendapat pengaruh agama Islam yang dibawakan
oleh Ulama dari Patani ke Kesultanan Buton pada abad 15.
Suku Buton memiliki bahasa yang sangat beragam. Diketahui ada sekitar tiga puluh bahasa
dengan dialek yang bervariasi. Para ahli etnolinguistik klasik, Esser mengelompokkan bahasa
suku Buton ke dalam kelompok Muna-Butung. Bahasa Buton kemudian terbagi lagi menjadi
beberapa dialek seperti dialek Butung, Wolio, Wapacana, Cia-Cia, dan Wakatobi.
Pada tahun 2009, suku Buton menarik perhatian dunia karena salah satu bahasa Buton yaitu
bahasa Cia-cia yang dahulunya menggunakan sejenis arab yang disebut gundul menerima
tulisan Korea yaitu Hangeul sebagai tulisan cia-cia.
Sedangkan untuk kaum Buton wanita mengenakan pakaian adat Kambowa yaitu kain dengan
bahan dasar satin dengan warna putih serta hiasan berupa pernak-pernik terbuat dari emas
atau perak. Pakaian adat tersebut digunakan pada saat menghadiri upacara adat maupun
acara-acara sakral.
Seperti suku di Indonesia lainnya, suku Buton juga mempunyai rumah adat yaitu rumah
malige. Rumah malige merupakan rumah panggung yang terdiri dari empat lantai dan terbuat
dari kayu jati atau kayu wola. Rumah Malige didirikan sebagai tempat tinggal raja atau sultan
Kerajaan Buton dengan keluarganya. Keunikan dari rumah malige adalah konstruksinya yang
menggunakan pasak kayu dan tidak menggunakan paku.
Tarian khas dari suku Buton ada berbagai macam salah satunya adalah Badenda. Tarian ini
merupakan gambaran dari rasa kegembiraan masyarakat Buton. Tarian dengan gerakan lincah
mengikuti alunan gendang ini merupakan tanda syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah
diberikan. Tarian ini biasanya diadakan oleh pemuda Buton pada acara tertentu seperti
nikahan atau idul fitri. Tarian ini sekaligus menjadi sarana berkumpulnya keluarga.
Senjata tradisional masyarakat Buton adalah tombak dan keris Tiworo Liya. Senjata ini sudah
ada sejak zaman dahulu bahkan menjadi senjata pusaka kerajaan Buton. Keris Tiworo Liya
adalah senjata yang digunakan untuk melumpuhkan musuh dari jarak dekat.
Sedangkan tombak tiworo liya adalah senjata yang digunakan untuk melawan musuh jarak
jauh. Keris Tiworo Liya memiliki bentuk yang tidak memiliki seperti keris pada umumnya,
keris ini memiliki panjang kurang lebih 30 cm yang terbuat dari besi dan logam mulia.
Sementara itu tombak tiworo liya memiliki mata tombak yang tersusun dari material besi,
berukuran seperti segitiga dengan ujung yang runcing serta tajam. Pada bagian tangkai
tombak terbuat dari kayu yang sangat kuat.
Sejumlah kearifan lokal suku Buton masih terjaga dan terus dilestarikan hingga saat ini, salah
satunya adalah festival pekande-kandea. Pekande-kandea adalah festival yang dilakukan
masyarakat Buton setiap tahun setelah perayaan hari raya Idul Fitri. Pada festival ini terdapat
puluhan talang yaitu sebutan untuk nampan yang berisi penuh dengan makanan. Talang
tersebut akan dijaga oleh para gadis Buton yang mengenakan pakaian adat Buton. Selain itu
festival ini juga biasanya digelar untuk menyambut tamu kehormatan suku Buton.
Salah satu kuliner khas yang dimiliki suku Buton adalah lapa-lapa. Lapa-lapa yaitu makanan
berbahan dasar beras yang memiliki cita rasa gurih. Biasanya makanan ini banyak dijumpai
ketika bulan Ramadhan. Lapa-lapa digunakan sebagai pengganti nasi saat berbuka.
Suku Bungku merupakan etnis yang mendiami Kecamatan Bungku Sulawesi Tengah.
Masyarakat Bungku tersebari di kecamatan Bungku utara, Bungku Tengah dan Bungku
Selatan. Masyarakat Bungku menyebut dirinya sebagai Tobungku. Dahulu orang Bungku
dikenal sebagai salah satu suku bangsa dari suatu Kerajaan Maritim.
Sejarah
Menurut sejarah leluhur suku Bungku berasal dari daerah Bugis. Suku Bungku masih
berkerabat dengan suku Bugis karena diduga memiliki hubungan sejarah masa lalu dan asal
usul. Kebudayan orang Bungku banyak memiliki kemiripan dengan budaya Bugis.
Bahasa yang digunakan Suku Bungku adalah bahasa Bungku atau bahasa Tobungku. Bahasa
mereka terbagi menjadi beberapa dialeg seperti Ta’a, Merui dan Lalaeo. Bahasa Bungku
sempat dianggap sebagai dialek bahasa Kaili, tetapi menurut masyarakat Bungku bahasa
Bungku bukan termaksud dalam dialek bahasa Kaili, tetapi merupakan sebuah bahasa
tersendiri sebagai induk bahasa di kawasan timur Sulawesi. Dalam bahasa Bungku terdapat
beberapa kasta atau tingkatan bahasa, yaitu bahasa yang amat halus, halus, sedang dan kasar.
Sistem Kepercayaan
Mayoritas orang Bungku menganut agama Islam Sufi yang taat. Beberapa tradisi adat dan
kesenian banyak mengandung unsur Islami. Pengaruh animisme pada suku Bungku saat
sebelum masuknya Islam masih dapat terlihat, seperti praktek perdukunan yang dalam bahasa
bungku disebut Sando.
Dahulu masyarakat Bungku pernah terkait hubungan dengan suku Bugis. Hubungan tersebut
terjadi ketika masuknya para tokoh Islam Bugis ke dalam masyarakat suku Bungku.
Sistem organisasi
Sedangkan untuk sistem kekerabatan masyarakat Bungku disebut tepoalu petutua’ia. Juga
terdapat sistem gotongroyong seperti, metatulungi, mefalo-falo dan mo’ala oleo.
Kesenian
Ketika masa pemerintahan kerajaan Bungku, terdapat 8 pesan filsafat yang menjadi panduan
masyarakat buntu dalam menjalani sistem kehidupan:
1. “baratantonga tompano pandeanto, tila mengkena pande motauanto” artinya seimbangkan
ujung ketrampilan kita, bahagi sama ujung ketrampilan dan pengetahuan kita.
2. sopan santun dalam bahasa Bungku dikenal dengan istilah Kona’adati,konalelu, dan kona
atora artinya bertingkah laku sesuai dengan tuntunan adat istiadat.
3. kemandirian dalam bahasa Bungku identik
dengan tumorampanta,tumadempanta atau lumakompanta artinya hidup sendiri, berdiri
sendiri atau berjalan sendiri.
4. taat terhadap orang tua merupakan kewajiban seorang anak.
5. disiplin dan cermat yang disebut katutu atau matutu,
6. tanggung jawab,
7. kejujuran dalam bahasa Bungku disebut kamoleoa atau moleo.
8. rasa pengabdian yang dikenal dengan safa montulungi yang juga diidentikkan
dengan pongkokolaro.
Mata Pencaharian
Umumnya masyarakat Bungku berprofesi sebagai petani. Mereka menanam padi sawah dan
berladang dengan menanam berbagai jenis sayur dan buah. Selain itu juga bertani tanaman
keras seperti kelapa dan cocoa. Disamping itu sebagian lagi berprofesi sebagai pedagang dan
lain-lain.
Suku Gayo
Suku Gayo merupakan salah satu suku yang mendiami daerah dataran tinggi Gayo yang
terdapat di Aceh. Tidak hanya mendiami dataran tinggi Gayo saja, melainkan suku Gayo juga
mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.
Populasi dari masyarakat suku Gayo kurang lebih ada 85.000 jiwa. Pada umumnya,
mayoritas masyarakat suku Gayo terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues dan Bener
Mariah.
Gayo sendiri berasal dari bahasa Malaysia yang memiliki arti indah. Kata ini hanya dapat
diucapkan pada upacara tertentu saja. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Gayo
berasal ari kata garib dan masih banyak lagi.
Menurut kesimpulan para ahli leluhur dari suku Gayo berasal dari Asia yaitu Tionghoa
bagian selatan. Suku Gayo merupakan pecahan dari bangsa Melayu dan bermigrasi ke
Indonesia pada 2000 SM.
Para leluhur suku Gayo masuk ke Indonesia melalui Semenanjung Melayu, lalu masuk ke
Sumatera. Mereka tiba di Tanah Gayo melalui dua jalur, yaitu melalui muara sungai
peusangan dan jalur sungai Jambu Aye.
Dan pada periode berikutnya berdatangan para pendatang ke Tanah Gayo dan menetap
disana.
Ada juga yang mengatakan bahwa dulu ada sebuah rombongan pengungsi yang berasal
dari Kerajaan Majapahit yang kemudian menetap di sekitar wilayah Penarun.
Ada juga yang mengatakan bahwa pada era tahun 1900-an dibuka lahan perkebunan di
dataran tinggi Tanah Gayo oleh Belanda. Karena Belanda kekurangan pekerja maka Belanda
mendatangkan para pekerja yang berasal dari luar Gayo, yaitu dari Pulau Jawa.
Pada umumnya, mayoritas masyarakat Aceh termasuk suku Gayo memeluk agama Islam.
Masyarakat suku Gayo jga dikenal taat pada agama yang dianutnya, yaitu agama Islam.
Rumah adat masyarakat suku Gayo dikenal dengan nama Umah Pitu Ruang yang memiliki
arti rumah tujuh ruang. Rumah adat ini memiliki bentuk panggung yang berdiri diatas tiang.
Rumah adat suku Gayo terbuat dari kayu damar.
Rumah adat ini memiliki bentuk persegi panjang dan ditempati oleh beberapa keluarga.
Rumah adat ini letaknya dibangun di arah timur hingga barat yang disebut bujur. Sedangkan
yang letaknya utara sampai selatan disebut lintang.
Rumah adat suku Gayo juga menggunakan tiang penyangga yang selalu berjumlah ganjil,
yang memiliki arti sebagai nilai keislaman. Rumah adat Gayo memiliki tujuh ruang dan satu
ruangnya bernama lepo, ruang utama.
Bahasa yang digunakan masyarakat suku Gayo dalam kehidupan sehari-harinya yaitu bahasa
Gayo. Sebenarnya, bahasa Gayo ada keterkaitannya dengan bahasa Karo yang terdapat di
Provinsi Sumatera Utara.
Akibat pengaruh dari luar, bahasa Gayo yang digunakan untuk setiap daerahnya bisa berbeda
satu dengan lainnya. Hal tersebut karena bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh timur.
Selain itu bahasa Gayo juga dipengaruhi oleh bahasa Karo dan bahasa Alas, karena
masyarakat suku Gayo sering berinteraksi dengan kedua suku tersebut. Namun, dengan
dialek yang bervariasi ini tidak menghambat komunikasi dari masyarakat Gayo.
Masyarakat suku Gayo terkenal dengan masyarakat yang mudah menyesuaikan diri dengan
beragam dialek.
Kebudayaan Suku Gayo
Sistem kekerabatan
Garis keturunan yang dianut oleh masyarakat suku Gayo yaitu sistem patrilineal. Pasangan
pengantin yang telah menikah bisa menentukan ingin tinggal dimana, dikeluarga istri atau
suami.
Kelompok kekerabatan yang paling kecil di suku Gayo yaitu dikenal dengan nama sara ine
atau bisa disebut dengan keluarga inti. Pada jaman dahulu, para keluarga inti tinggal bersama
di dalam satu rumah.
Namun, pada masa modern seperti sekarang ini sudah banyak kelaurga inti yang mendiami
rumahnya sendiri-sendiri, tidak lagi seperti dahulu.
Mata pencaharian
Pada jaman dahulu, masyarakat suku Gayo bermata pencaharian sebagai petani di sawah dan
juga peternak. Namun pada masa sekarang, penghasilan utama dari masyarakat suku Gayo
dengan mengembangkan komoditi kopi arabika Gayo.
Selain itu, masyarakatnya ada yang menjadi nelayan yaitu menangkap ikan. Ada juga yang
mengembangkan kerajinan pembuatan keramik, menganyam dan juga menenun.
Tari saman ini merupakan tarian khas dari masyarakat suku Gayo. Tarian ini biasanya
ditampilkan untuk merayakan peristiwa penting dalam adat. Syair yang terdapat dalam tarian
Saman ini menggunakan bahasa Gayo.
Tarian saman juga digunakan pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
biasanya tari saman tidak ditampilkan menggunakan iringan musik, melainkan menggunakan
suara dari para penari dan tepuk tangan serta kombinasi memukul dada dan pangkal paha.
Pada jaman dahulu, tarian ini dipertunjukkan dalam upacara adat tertentu. Namun, pada
jaman sekarang tarian ini dipertunjukkan untuk acara seperti kunjungan tamu antar kabupaten
bahkan negara dan juga acara festival.