Anda di halaman 1dari 18

UNSUR KEBUDAYAAN SUKU OSING

Disusun Oleh :

Moh. Akbar Firdaus 17040254119

PENDIDIKAN MORAL PANCASILA DAN KEWARGAAN NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Keanekaragaman suku bangsa dengan budayanya di seluruh Indonesia


merupakan kekayaan bangsa. Kekayaan ini mencakup wujud-wujud kebudayaan yang
didukung oleh masyarakatnya. Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang
khas, yang membedakan jati diri mereka daripada suku bangsa lain. Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke pada tiap wilayahnya memiliki beraneka suku
bangsa, salah satu suku/kebudayaan yang beragam terdapat di provinsi Jawa Timur.

Jawa Timur adalah sebuah Provinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri pustaka
budaya (kultural heritage) yang dimiliknya, baik yang tangibles (bendawi) maupun
yang intagibles (non benadawi), provinsi JawaTimur yang berpenduduk sekitar 38 juta
jiwa dapat dipetakan menjadi 10 wilayah kebudayaan, ditambah 2 budaya (budaya Cina
dan Arab) yang berkembang diantara mereka. 10 wilayah kebudayaan yang dimaksud
adalah wilayah kebudayaan jawa mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin,
Tengger, Osing, Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, Madura Kangean.
Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati
wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan
wilayah budaya lain. Pembangian wilayah kebudayaan ini bukan suatu yang final.
Artinya seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, karakter suatu wilayah
kebudayaan.

Seperti yang kita ketahui Using merupakan salah satu pemetaan kebudayaan
Jawa Timur. Secara administrartif orang Using (Osing) bertempat tinggal di kabupaten
Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur.
Beberapa abad yang lalu ,wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten
Banyuwangi ini merupakan wilayah utama kerajaan blambangan. Dari 21 kecamatan
di kabupaten Banyuwangi masih tercatat tinggal 9 kecamatan yang diduga masih
mempertahankan Kebudayaan Using, kecamatan-kecamatan tersebut adalah
banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Sanggon, Singojuruh, Cluring, dan
Genteng. Kehidupan sehari-hari masyarakat Using yaitu menjalankan aktivitas mereka
yang memiliki pekerjaan yaitu dibidang pertanian sawah dan lading yakni sebagai
petani, pemilik dan penggarap, dan buruh tani.

Masyarakat Using sangat kuat dalam memegang tradisi namun dinamis


sehingga tidak tergerus oleh budaya global. Proses perkembagan kebudayaan yang
terjadi pada masyarakat Using tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun melalui proses
yang sangat panjang yang didukung oleh sifat masyarakat using itu sendiri yang sangat
terbuka bagi masuknya unsur-unsur kebudayaan lain yang mewarnai dinamika
kebudayaan mereka.
Masyarakat Using dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan.
Kebudayaan yang mereka ciptakan ini masih dijaga dengan baik dan masih dilestarikan,
namun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan
produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pada pola mata pencaharian
di bidang pertanian. Kesenian bagi masyarakat Using merupakan jiwa bagi masyarakat
Using dan masih menjaga adat serta pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian
sebagai ungkapan rasa syukur kepada para petani telah menjadikan kesenian Using
masih dijaga hinga sekarang.

Selain pada kebudayaan etos kerja pada masyarakat using yaitu suka dengan
gotong royong. Misalnya pada saat upacara perkawinan atau acara-acara besar yang
diselenggarakan di desa maka gotong royong ini sangat ditonjolkan. Pemikiran dari
masyarakat tentang gotong royong yaitu apabila nanti dirinya menyelenggarakan acara
maka ada yang membantu, jadi gotong royong di masyarakat Using ini sangat
ditonjolkan. Seperti halnya dengan suku yang lain, Using memiliki agama yang dianut
oleh setiap masyarakatnya yaitu agama islam, namun agama ini masih dipengarhi oleh
sistem kepercayaan terhadap para leluhur, dalam suku masyarakat Using ini terdapat
dua aliran kepercyaan yaitu Sapto Darmo dan PAMU. Dua aliran kepercayaan tersebut
masih dianut oleh masyarakat Using Banyuwangi, dan menjadi dua aliran keagamaan
yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Using Banyuwangi.

Using merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi
dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas, Using merupakan salah satu bagian sub-etnis
Jawa. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang
Wetan yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Sebagai sebuah suku yang
menempati satu kabupaten secara penuh, suku Using memiliki karakteristik yang
berbeda dibanding suku lainnya di JawaTimur, dibanding 9 wilayah kebudayaan
lainnya, suku Using memiliki percampuran antara budaya Jawa Kuno dan Bali sebagai
akar budayanya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah masyarakat Using Kabupaten Banyuwangi?


2. Bagaimana kehidupan masyarakat Using Banyuwangi?
3. Bagaimana adat istiadat dan budaya Using Banyuwangi?

1.3.Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui sejarah masyarakat Using Kabupaten Banyuwangi


2. Mengetahui kehidupan masyarakat Using Banyuwangi
3. Mengetahui adat istiadat dan Budaya masyarakat Using Banyuwangi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Masyarakat Using banyuwangi

Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi. Banyuwangi terletak pada
kondisi greografis yang bagus. Masyarakat Banyuwangi meyakini sebuah cerita yang
merupakan asal usul nama kota Banyuwangi. Cerita tersebut adalah kisah dari patih
Sidopekso dan istrinya Sri Tanjung. Singkat cerita, ketika patih Sidopekso pulang dari
tugas yang dilakukan, ia menemui istrinya dengan geram, karena mendengar cerita
bahwa istrinya itu telah berbuat serong. Tanpa pikir panjang ia lalu membawa istrinya
ke pinggir sebuah sungai. Sebelum ia membuhuh istrinya, Sri Tanjung mengajukan
permintaan, apabila air yang ada didalam sungai berbau busuk maka dia memang
melakukan serong. Akan tetapi apabila air sungai berbau harum maka ia tidak pernah
melakukan perbuatan seorng itu. Setelah itu, suaminya melempar istrinya ke sungai.
Dan terciumlah bau wangi yang menyengat, dengan menyesal ia telah melakukan hal
tersebut. Ia pun jatuh lunglai dan meneriakan nama Banyuwangi.

Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari kerajaan


Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Setelah kedatangan VOC
saat itu yang mulai mnguasai pulau Jawa satu persatu dan secara administratif VOC
menganggap Blambangan sebagai salah satu wilayah kekuasaanya, hal ini terjadi
karena adanya penyerahan kekuasaan Jawa bagian Timur yang pada saat itu merupakan
wilayah kerajaan Blambangan yang diserahlan oleh Pakubuwono II kepada VOC. Akan
tetapi karena belum sepenuhnya dikuasai, maka VOC belum benar-benar menancapkan
kekuasaanya didaerah itu. Sebutan sebuah kompleks Inggrisan yang ada diwilayah
Banyuwangi adalah tempat bekas Inggris menjalin hubungan dagangnya dengan
kerajaan Blambangan sebelum kedatangan VOC.

Banyuwangi merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki


keberagaman masyarakat dan budaya yang multikultural. Salah satunya adalah
keberadaan suku Osing sebagai kearifan lokal yang unik. Suku osing merupakan
penduduk asli banyuwangi, munculnya suku Osing ini diketahui akibat runtuhnya
kerajaan Majapahit. Diyakini bahwa suku Osing adalah sisa peninggalan penduduk
kerajaan Majapahit yang masih melestarikan kepercayaan mereka. Osing merupakan
salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Suku
Osing atau disebut juga sebagai wong Blambangan, penyebutan ini sepertinya untuk
menguatkan identitas suku Osing tersebut. Kata Blambangan sendiri berasal dari kata
Blambang yaitu rumput rawa yang kasar atau hutan rawa, hal ini berdasarkan dari
keterangan pemerintah Belanda. Banyuwangi adalah daerah Tapal Kuda yang
merupakan daerah dengan budaya yang beragam seperti adanya percampuran Jawa
dengan Bali.
Dalam lingkup lebih luas, Osing merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa.
Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang
Wetan yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Menurut Lecker, orang-
orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu
Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainya, (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat
dari adat-istiadat budaya maupun bahasanya (Stoppelar, 1927). Kekuasaan kolonial
nampaknya tidak berhasil membuat masyarakat suku Osing meninggalkan
kepercayaanya dengan mudah. Karena pada dasarnya suku Osing selalu memegang
teguh adat istiada setempat sejak zaman majapahit. Banyak yang mengatakan bahwa
suku Osing adalah sisa keturunan dari masyarakat Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan
beberapa tradisi yang masih dijalankan. Suku Osing tidak lahir begitu saja sebgai sisa
dari kepercayaan Majapahit yang sudah runtuh. Mereka lahir akibat dari keadaan sosial
dan lingkungan sekitar. Padahal sebenarnya tidak mudah untuk mempertahankan tardisi
dan keaslian sebuah tradisi pada masa globalisasi. Melalui sejarah masyarakat suku
Osing belajar untuk selalu menjunjung nilai-nilai luhur sukunya. Hal ini nampaknya
telah diterapkan sejak zaman kekuasaan Majapahit maupun Blambangan.

Predikat Using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena


kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang
pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan
banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan. Oleh
karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan
Madura dalam jumlah besar,sementara sisa-sisa masyarakat Blambangan /wong osing
yang mayoritas telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan.

Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi
tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti
“tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli
menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang
mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga
menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok.
Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga
mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan”
yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan
yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso,
Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak
menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis
oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh
kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”.

Penyebutan Using, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini


lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal
membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk bekerja sama. Kendati
pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara otomatis menyerah kepada
musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru berkuasa, orang
Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka
masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah
Belanda. Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan
banyaknya orang Using yang menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik
yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur
melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah
generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-
matian, mempertahankan wilayah dan harga diri.

2.2. Kehidupan Masyarakat Using Banyuwangi

2.2.1. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Using menyebut “sakaluarga” pada keluarga Batih, yaitu


kelompok kekerabatan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak kandung yang
belum menikah. Dalam lingkup lebih luas, istilah ‘kaluarga’ tetap dipakai untuk
menyebut keluarga luas, misalnya kelompok kerabat yang terdiri atas
kakek/nenek, anak, cucu disebut “keluarga Saputu” (keluarga hingga tingkat
cucu), atau dapat pula menyebut “kaluarga tunggal mbah” (keluarga yang
kakek/neneknya sama). Selanjutnya, hubungan keluarga yang menunjukkan
sama-sama buyut dari seseorang disebut oleh masyarakat setempat “keluarga
sabuyut”, sedang yang sama-sama canggah dari suatu garis keturunan disebut
“sacanggah”.

Masyarakat Using menganut prinsip keturunan bilateral, artinya


hubungan kekerabatan didasarkan kepada garis, baik keturunan ayah maupun
keturunan ibu. Setiap anggota keluarga termasuk dalam hubungan kerabat,
hanya dalam adat tertentu, kerabat dari pihak ayah sangat penting. Misalnya bila
seorang anak ingin menikah sedangkan ayahnya sudah meninggal maka yang
berhak jadi “pancar wali” (wali dalam suatu perkawinan) adalah laki-laki dari
pihak ayahnya. Laki-laki dari pihak ibu tidak berhak menjadi “pancar wali” ini.

2.2.2. Religi

Masyarakat Using saat ini sebagian besar adalah pemeluk agama Islam,
yang memiliki latar belakang agama Hindu yang cukup kuat, yaitu pada masa
Kerajaan Hindu Ciwa. Oleh karena itu, maka tradisi-tradisi yang mengandung
nilai-nilai Hindu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, bahkan ajaran Islam
berjalan beriringan dengan adat-istiadat yang ada. Namun agama islam ini
masih dipengaruhi oleh kepercayaan kepada pera leluhur. Misalkan di desa
Kemiren salah satu warga yang ingin mengadakan suatu acara dan acara
tersebut ingin sukses maka masyarakat banyak yang datang ke Makam mbah
cilik, menurut masyarakat bahwa mbah cilik ini merupakan pendiri desa
Kemiren yang ada di Banyuwangi. Selain pada kepercayaan atau mendatangi
makam mbah cilik, masyarakat Osing yang ada di Banyuwangi ini terdapat
aliran keagamaan diantaranya yaitu Sapto Darmo” dan “Pamu”. Dua organisasi
tersebut merupakan dua aliran penghayatan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah lama dianut dan berkembang di masyarakat desa ini, dan
menurut keterangan, “PAMU” (Purwo Ayu Mardi Utomo) setidak-tidaknya
sudah sejak 1930-an, diawali ketika seorang tokoh desa Mbah Jembul berguru
kepada sesepuh aliran PAMU yaitu R.M. Djojopoernomo di dukuh Tojo,
Kecamatan Genteng, Kabupeten Banyuwangi. Tokoh aliran “Sapto Darmo” ini
adalah Harjo Sapuro dari daerah Pare di wilayah kabupaten Kediri. Perbedaan
dua aliran ini terdapat perbedaan yaitu, pada tata cara beribadah. Sapto Darmo
ini dalam melakukan peribadatan ini lebih banyak semedi, sedangkan
PAMU lebih banyak menggunakan Sujud.

Dalam hal pengamalan ajarannya, “PAMU” berlandaskan empat buah


rukun yaitu “Rukun Tangga jiwa”, “Rukun Tangga Negara”, “Rukun Tangga
Wisma”, “Rukun Tangga Desa”, sementara itu, Sapto Darmo memedomani para
pengikutnya dengan tujuh hal penting seperti kewajiban yaitu (1) “setia kepada
Allah Yang Maha Agung, Maha Rakhim, Maha Adil, Maha Wesasa, dan Maha
Langgeng, dengan jujur dan Suci hati, (2) setia menjalankan perundang-
undangan negaranya, (3) turut serta menyisingkan baju menegakkan berdirinya
Nusa dan Bangsanya, (4) menolong kepada siapa saja bila perlu tanpa pamrih
apa saja, melainkan hanya belas kasihan, (5) sikap hidup bermasyarakat dan
keeluargaan harus susila beserta halusnya budi pekerti (6) selalu merupakan
penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan dan (7) jalinan keadaan
dunia ini tidak abadi. Di desa ini terdapat sebuah masjid dan 7 langgar. Di
Banyuwangi ada sebuah contoh pelaksanaan Jawa Kuno yang sampai saat ini
masih berlangsung yaitu “Seblang”, misalkan yaitu seorang wanita jatuh sakit
dan tidak diketahui obat untuk menyembuhkannya maka ayah atau suaminya
mengucapkan janji atau nadzar bahwa dia akan nyeblangake artinya akan
dijadikan seblang yakni dibawa kepada suatu keadaan ruh dapat memasuki
tubuhnya, asalkan wanita itu sudah sembuh terlebih dahulu, ada juga seblang-
seblang professional yaitu yang jasanya dibayar/disewa dan bisa ditampilkan
diperayaan-perayaan untuk menghibur tamu dan seblang yang tidak
menggunakan ruh disebut gandrung.
2.2.3. Pendidikan

Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan di desa Kemiren

jenjang pendidikan Jumlah

Jiwa %

Belum sekolah 437 17,6

Tidak tamat Sekolah 384 14,4

Tamat SD 1.022 41,8

Tamat SMTP 170 6,8

Tamat SMTA 58 2,3

Tamat Akademi 3 0,1

Tamat Perguruan Tinggi 9 0,2

Buta Huruf 415 16,8

Jumlah 4.459 100,0

Tingkat pendidikan di kemiren tergolong rendah, walaupun separuh


penduduknya pernah duduk di bangku sekolah tingkat dasar, data
kependudukan menunjukkan bahwa 66,2% dari mereka pernah sekolah dasar,
yang 41,8% tamat dan 14,4% tidak tamat. Didesa ini masih ada 16,8% dari
pindah penduduk yang buta Huruf, Jenjang pendidikan di atas SD seperti SMP,
SMA dan perguruan tinggi masing-masing ada 6,8%, 2,3% dan 0,3%, didesa ini
lulusan SD yang melanjutkan ke SMP presentasinya sangat kecil, hal ini
disebabkan oleh orang tua untuk menyekolahkan anak sekolah lanjutan
terbentur pada masalah dana. Penduduk Kemiren beranggapan bahwa apabila
sudah dapat membaca dan menulis serta sedikit pengetahuan umum sudah
dianggap cukup, anak lebih diarahkan untuk membantu orang tua bekerja di
sawah, selain itu pula kurangnya peranan orang tua dalam membantu proses
belajar mengajar. Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa ini adalah 2
bangunan SD, masing-masing terdiri dari 6 lokal dan rumah dinas kepala
sekolah serta sejumlah buku bacaan untuk menunjang perpustaaan sekolah.
Selain itu adapula sebuah SMP swasta milik yayasan PGRI, yang
memanfaatkan kegiatan sore hari pada bangunan salah satu SD negeri.
2.2.4. Mata Pencaharian

Lapangan kerja yang paling dominan adalah di bidang pertanian sawah


dan ladang yakni sebagai petani, pemilik, penggarap, dan buruh tani, mereka
yang bekerja dibidang pertanian ada sekitar 65% dari jumlah penduduk yang
sudah, pekerjaan lainnya yang cukup menonjol adalah buruh (23,1%), namun
tidak cukup jelas bekerja sebagai buruh dimana dan apa, pekerjaan lainnya
seperti pegawai negeri tercatat 2,8%, diantaranya adalah pegawai puskesmas,
penyuluh pertanian, staf desa dan guru yang dinas di Kemiren. Karena sebagian
besar masyarakat osing yang ada di kemiren ini bekerja sebagai Petani maka
muncul organisasi “kelompok tani” dan organisasi ini sedikit menonjol
dibandingkan dengan organisasi yang lain dan didesa kemiren ini ada 7
kelompok “kelompok tani” dan pengelompokan tersebut didasarkan pada luas
lahan yang mereka miliki. Dengan memiliki pekerjaan, maka dalam kehidupan
masyarakat ada penyebutan kaya dan miskin, adanya orang kaya dan orang
miskin ini tergnatung pada pemilikan lahan persawahan beberapa kali lebih
banyak dari warga lainnya dan sebagian besar warga desa ini dapat digolongkan
sebagai orang kaya namun tidak sedikit yang dapat digolongkan miskin.
Sebagian besar warga desa ini adalah petani yang sangat tekun, baik laki-laki
maupun yang perempuan, kebanyakan bekerja di sawah dari pagi hingga
petang.

2.2.5. Sistem Sosial

Masyarakat Using dalam melihat dan memahami realitas sosial bukan


secara hirarkis sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Status atau
atribut sosial yang melekat pada diri seseorang tidak mempola hubungan
sosialnya.Prinsip hormat tidak bersifat vertical-hirarkis tetapi bersifat
penghargaan dalam kesetaraan (horizontal). Aktualisasi prinsip kesetaraan
dalam interaksi sosial tersebut tampak dalam penggunaan bahasa mereka tidak
mengenal hirarki bahasa seperti yang ada dalam bahasa Jawa ada istilah karma
inggil, karma dan ngoko. Oleh sebab itu Osing dikenal sebagai masyarakat yang
egaliter. Masyarakat Osing hanya hormat secara vertical sebagai sentuhan nilai
budaya Jawa kepada mertua dan orang yang telah menunaikan ibadah haji yang
telah teraktualisasikan dalam ragam bahasa tingkat krama dan masyarakat
Osing mengenalnya dengan sebutan Besiki.
2.2.6. Karakteristik Masyarakat Using Banyuwangi

Masyarakat Using Banyuwangi dapat dikatakan sebagai masyarakat


yang dinamis, tidak suka berkelahi dan familier, namun oleh kalangan
budayawan dikatakan juga memiliki ciri-ciri yang tidak ideal. Seperti yang
dikatakan oleh Hasnan Singodimadyan bahwa kepribadian masyarakat Using
tidak bersifat halus atau toleran seperti orang Jawa, melainkan bersifat aclak,
ladak, bingkak dan tidak punya sopan santun. Aclak berarti sok tahu, sok ingin
memudahkan orang lain dan tidak takut merepoti diri sendiri walaupun tidak
sanggup melakukannya atau sering disebut juga sebagai “maunya sendiri”.
Sedangkan Ladak berarti sombong . bingkak berarti acuh tak acuh , tidak mau
tahu urusan orang lain. Diantara ketiga sifat tersebut, aclak merupakan sifat
yang paling dominan. Dalam perkembangannya, aclak tidak saja menyangkut
sifat, tetapi juga sikap masyarakat Using Banyuwangi.

2.3. Adat Istiadat, Budaya dan Kesenian Masyarakat Osing Banyuwangi

2.3.1. Adat Istiadat masyarakat Using

Di bidang adat istiadat masyarakat Osing mengenal upacara-upacara


yang disebut Rebo pungkasan, 1 Suro, petik laut dsb. Juga adat perkawinan ala
Banyuwangi asli dimana si pria harus lebih dahulu melarikan calon mempelai
puteri sebelum mendapat pengakuan sah sebagai suami isteri. Ada lagi tradisi
berpacaran yang disebut gredoan, dimana sepasang muda-mudi yang sedang
jatuh cinta dapat melakukan dialog pada malam hari. Pada adat istiadat
perkawinan suku Osing yaitu Dalam tradisi pernikahan Suku Osing, gaya
busana pengantin banyak dipengaruhi oleh gaya Jawa, Madura, Bali, dan suku
lain. Jadi, tidaklah terlalu unik. Yang menarik justru tradisi mereka yang dikenal
dengan istilah geredhoan, yaitu ajang mencari jodoh yang dilakukan oleh
pemuda-pemudi suku tersebut. Tetapi pada prinsipnya mereka mengawali hidup
baru dengan tradisi perkenalan, lalu ke tahap meminang dan terakhir baru ke
pelaminan. Pada suku Using dikenal dengan upacara-upacara adat diantaranya
adalah:

1. Upacara Seblang adalah upacara yang diselenggarakan dalam bentuk tarian


dengan iringan gamelan dan paduan suara karena mengandung unsur
kesenian. Kegiatan ini dianggap sakral oleh penduduk setempaat karena
penari sebalng tidak sadar diri atau kemasukan unsur kekeuatan gaib

2. Upacara kebo-keboan yaitu upacara ritual yang diselanggarakan dalam


kegiatan bersih desa dengan tujuan dalam meolak bala dan meohon kepada
tuhan yang maha esa akan keselamatan dan kemakmuran desa.

3. Upacara gitikan yaitu tradisi adu kekuatan fisik dengan cara saling memukul
lawan dan menangkis pukulan lawan dengan cambuk. Upacar ini dilakukan
untuk memohon kepada Tuhan untuk didatangkan hujan.
4. Upacara bintean yaitu tradisi adu kekuatan dengan menendang bagian
belakang betis yang dilakukan pada saat ada keramaian di desa seprti
upacara bersih desa.

5. Upacara Perang Bangkat yang diselnggrakan pada upacara perkawinan anak


bungsu, bertujuan untuk menolak bala dan murah rejeki bagi mempelai
dalam rumah tangganya kelak

6. Upacara Tublek Ponjen-Ngosek Ponjen yang merupakan bagian upacara


perang bangkat. Ponjen ialah semacam kantong dari kantong putih yang
berisi uang yang diperoleh dari mupu (meminta-minta kepada keluarga
dekat dan 25 biji bibit tanaman). Ponjen merupakan salah satu bagian
perangkat yang dibawa oleh pihak mempelai pria untuk diserahkan kepada
mempelai wanita. Isi ponjen sebelum digunakan atau diserahkan kepada
fakir miskin harus ditublek (dituangkan) dan dikosek (diaduk) diatas kain
putih bekas penutup acara ini dan diakhiri dengan medudukkan kedua
mempelai diatas “kuade”.

7. Ruwat atau rokat yaitu upacara yang dilakukan untuk melepaskan seseorang
dari hal-hal yang membawa sial.

8. Tingkeban atau mitoni yaitu upacar yang dilakukan untuk seorang wanita
yang baru pertama kali mengandung tujuh bulan

9. Mudhun lemah yaitu upacara yang dilakukan untuk bayi yang berusia tujuh
bulan dan untuk pertama kali menginjakkan kainya di tanah

10. Gredhoan yaitu tradisi pergailan muda-mudi di kalangan masyarakat santri


Using untuk mencari pasangan hidup. Gredhoan antara muda-mudi ini
dilakukan dari balik dinding rumah atau dapur yang biasanya dibuat dari
anyaman bambu, sang gadis berada di dalam sedangkan yangpria berada di
luar dinding.

2.3.2. Budaya Masyarakat Using

Masih dipegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan
hal mistis ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya
mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar
tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya
sebelum islam. Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan
dunia mistis antara lain:

1. Selametan setiap hari senin dan kemis di makam Buyut Cilik yang
dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis
melaksanakan suatu acara.
2. Adanya kepercayaan tentang ilmu pelet / Jaran Goyang. Ilmu ini digunakan
untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka
orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang
menyukainya. Image bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal
dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. padahal mitos
ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.

3. Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada


perhitungan dan hari baik dan buruk. Serta tanda tanda alam yang terbaca.

4. Tata cara selamatan yang sering sekali dilaksanakan setiap hari tertentu dan
pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada
daerah lain.

5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila kita
dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing. Image tentang
santet dan keterkaitannya dengan suku Osing ini diperparah dengan
pemberitaan besar besaran media pada saat kekacauan politik tahun 1998
dan isu tentang penculikan dan pembunuhan yang terjadi di wilayah
kabupaten Banyuwangi.

Istilah santet sebenarnya dalam pandangan budaya masyarakat Osing


merupakan ilmu pengasihan yang sebenarnya tidak memiliki kesan yang
bersifat menyakiti orang lain atau bahkan membunuh. Dalam pertumbuhannya
budaya santet ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya komunitas
masyarakat Osing. Ilmu santet diperkirakan berkembang sesuai dengan adanya
perang Puputan Bayu (1771-1772). Fenomena tentang Persepsi negatif terhadap
suku Osing yang bertahan di masyarakat ini salah satunya terjadi karena tidak
adanya media yang mengangkat tentang suku Osing dan kebudayaanya secara
berimbang. Nilai nilai budaya yang masih dianut suku Osing ini memiliki
keunikan dan karakter yang berbeda dari daerah lain di Jawa Timur. Kuatnya
budaya dan tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat Osing ini menjadi daya
tarik utama yang diandalkan oleh pemerintah Banyuwangi untuk menarik
wisatawan.
2.3.3. Kesenian Masyarakat Using

Di bidang kesenian kita kenal kesenian khas Banyuwangi seperti


gandrung, aljin, angklung caruk, kendang kempul dan seni drama khas
Banyuwangi yang disebut janger Banyuwangi (damarwulan). Kalau seni musik
yang terkenal di Indonesia ialah gamelan, maka di daerah Banyuwangi gamelan
ini merupakan suatu perangkat instrumen yang agak berbeda dan dimainkan
dalam bentuk-bentuk kombinasi sedikit lain daripada gamelan Jawa pada
umumnya. Pada gilirannya gamelan khas Banyuwangi ini menunjukkan irama-
irama yang lincah dan dinamis, mirip-mirip gamelan Bali. Seni tari yang
berhubungan dengan seni musik pada hakekatnya adalah sebuah bentuk drama.
Ada tari-tarian rakyat dan ada pula seni tari dan drama profesional yang khusus
diusahakan dan dimainkan oleh tenaga-tenaga terlatih. Hampir semua tarian
khas daerah Banyuwangi menghendaki pakaian khusus dengan corak ragam
hias yang berbeda-beda. Di bidang seni kerajinan rakyat, Banyuwangi juga
mengenal seni membatik dengan motif yang sangat tersohor, ialah batik Gajah
Oling. Kerajinan anyaman bambu juga terkenal, yang menghasilkan alat-alat
rumah tangga dengan anyaman yang halus dan indah. Dalam seni masak-
memasak, puteri- puteri Banyuwangi juga mempunyai resep- resep khusus,
yang walaupun bahannya sederhana, akan tetapi mempunyai rasa tersendiri,
sehingga tidak berlebihan kiranya apabila disebutkan sebagai makanan khas
Banyuwangi, seperti misalnya rujak-soto, manisan pala, selai pisang, kue
bahagia (bagiak) dsb.
Lampiran dokumentasi sementara

A. TARIAN

TARIAN PUPUTAN BAYU TARIAN SEBLANG BAKUNGAN

TARIAN SEBALANG OLEH SARI TARDISI KEBO-KEBOAN


TARI GANDRUNG SEWU

B. PARIWISATA

PULAU MERAH KAWAH IJEN

KAWAH WURUNG TELOK HIJAU

TRI GULASIH TAMAN BALURAN


BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Using merupakan salah satu pemetaan kebudayaan Jawa Timur. Secara


administrartif orang Using (Osing) bertempat tinggal di kabupaten Banyuwangi,
sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad
yang lalu ,wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini
merupakan wilayah utama kerajaan blambangan. Dari 21 kecamatan di kabupaten
Banyuwangi masih tercatat tinggal 9 kecamatan yang diduga masih mempertahankan
Kebudayaan Using, kecamatan-kecamatan tersebut adalah banyuwangi, Giri, Glagah,
Kabat, Rogojampi, Sanggon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng. Kehidupan sehari-hari
masyarakat Using yaitu menjalankan aktivitas mereka yang memiliki pekerjaan yaitu
dibidang pertanian sawah dan lading yakni sebagai petani, pemilik dan penggarap, dan
buruh tani.

Masyarakat Using dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan.


Kebudayaan yang mereka ciptakan ini masih dijaga dengan baik dan masih dilestarikan,
namun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan
produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pada pola mata pencaharian
di bidang pertanian. Kesenian bagi masyarakat Using merupakan jiwa bagi masyarakat
Using dan masih menjaga adat serta pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian
sebagai ungkapan rasa syukur kepada para petani telah menjadikan kesenian Using
masih dijaga hinga sekarang.

Masyarakat Using menganut prinsip keturunan bilateral, artinya hubungan


kekerabatan didasarkan kepada garis, baik keturunan ayah maupun keturunan ibu.
Setiap anggota keluarga termasuk dalam hubungan kerabat, hanya dalam adat tertentu,
kerabat dari pihak ayah sangat penting. Misalnya bila seorang anak ingin menikah
sedangkan ayahnya sudah meninggal maka yang berhak jadi “pancar wali” (wali dalam
suatu perkawinan) adalah laki-laki dari pihak ayahnya. Laki-laki dari pihak ibu tidak
berhak menjadi “pancar wali”.

Masyarakat Using saat ini sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, yang
memiliki latar belakang agama Hindu yang cukup kuat, yaitu pada masa Kerajaan
Hindu Ciwa. Oleh karena itu, maka tradisi-tradisi yang mengandung nilai-nilai Hindu
tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, bahkan ajaran Islam berjalan beriringan dengan
adat-istiadat yang ada.

Masyarakat Using Banyuwangi dapat dikatakan sebagai masyarakat yang


dinamis, tidak suka berkelahi dan familier, namun oleh kalangan budayawan dikatakan
juga memiliki ciri-ciri yang tidak ideal. Seperti yang dikatakan oleh Hasnan
Singodimadyan bahwa kepribadian masyarakat Using tidak bersifat halus atau toleran
seperti oran Jawa., melainkan bersifat aclak, ladak, bingkak dan tidak punya sopan
santun. Aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain dan tidak takut
merepoti diri sendiri walaupun tidak sanggup melakukannya atau sering disebut juga
sebagai “maunya sendiri”. Sedangkan Ladak berarti sombong . bingkak berarti acuh
tak acuh , tidak mau tahu urusan orang lain

Di bidang adat istiadat masyarakat Osing mengenal upacara-upacara yang


disebut Rebo pungkasan, 1 Suro, petik laut dsb. Juga adat perkawinan ala Banyuwangi
asli dimana si pria harus lebih dahulu melarikan calon mempelai puteri sebelum
mendapat pengakuan sah sebagai suami isteri. Ada lagi tradisi berpacaran yang disebut
gredoan, dimana sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta dapat melakukan dialog
pada malam hari. Pada adat istiadat perkawinan suku Osing yaitu Dalam tradisi
pernikahan Suku Osing, gaya busana pengantin banyak dipengaruhi oleh gaya Jawa,
Madura, Bali, dan suku lain. Jadi, tidaklah terlalu unik. Yang menarik justru tradisi
mereka yang dikenal dengan istilah geredhoan, yaitu ajang mencari jodoh yang
dilakukan oleh pemuda-pemudi suku tersebut. Tetapi pada prinsipnya mereka
mengawali hidup baru dengan tradisi perkenalan, lalu ke tahap meminang dan terakhir
baru ke pelaminan.
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, Murdiyasti dkk. 2013. Eksekutiv Summary: Kebijakan Akselerasi Pengembangan


Kawasan wisata Using. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Evan Permana, Proposal film documenter seri Kebudayaan Osing dalam program budaya
Tribute to East Java Heritage. Surabaya: Institute Teknologi Sepuluh November.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial. 2002. Kehidupan Sosial
Budaya Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial RI.

Saputra, Heru S.P. Dari Lisan ke Tulisan dan Seni Pertunjukan, Kajian Bandingan:
Resepsi dan Transformasi Mantra Using. Makalah dipresentasikan pada seminar
internasional sastra Bandingan di Fakultas Sastra Universitas Jember, 10 Desember
2004.

Suprapti.1994.Nilai-nilai Kemasyarakatan pada masyarakat Using Banyuwangi, (Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jedral Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai
BudayaPusat.

Suprijanto, Iwan. Rumah Tradisional Osing :Konsep dan Bentuk, Dimensi Teknik Arsitektur
Vo. 30, No. 1, Juli 2002.

Sutarto,Ayu.2008. Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur: SebuahUpaya Pencarian


Nilai-nilai Positif. Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Bekerjasama dengan Kompyawisda Jatim-Jember.

Utomo,Slamet. 2008.Masuknya Islam Ke Ujung TimurJawa, Banyuwangi: Tim Independen

Zainuddin, Shodaqoh dkk. 1996. Orientasi Nilai Budaya Osing di Kabupaten Banyuwangi.
Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai