Disusun Oleh :
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Jawa Timur adalah sebuah Provinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri pustaka
budaya (kultural heritage) yang dimiliknya, baik yang tangibles (bendawi) maupun
yang intagibles (non benadawi), provinsi JawaTimur yang berpenduduk sekitar 38 juta
jiwa dapat dipetakan menjadi 10 wilayah kebudayaan, ditambah 2 budaya (budaya Cina
dan Arab) yang berkembang diantara mereka. 10 wilayah kebudayaan yang dimaksud
adalah wilayah kebudayaan jawa mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin,
Tengger, Osing, Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, Madura Kangean.
Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya menempati
wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika dibandingkan
wilayah budaya lain. Pembangian wilayah kebudayaan ini bukan suatu yang final.
Artinya seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, karakter suatu wilayah
kebudayaan.
Seperti yang kita ketahui Using merupakan salah satu pemetaan kebudayaan
Jawa Timur. Secara administrartif orang Using (Osing) bertempat tinggal di kabupaten
Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur.
Beberapa abad yang lalu ,wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten
Banyuwangi ini merupakan wilayah utama kerajaan blambangan. Dari 21 kecamatan
di kabupaten Banyuwangi masih tercatat tinggal 9 kecamatan yang diduga masih
mempertahankan Kebudayaan Using, kecamatan-kecamatan tersebut adalah
banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Sanggon, Singojuruh, Cluring, dan
Genteng. Kehidupan sehari-hari masyarakat Using yaitu menjalankan aktivitas mereka
yang memiliki pekerjaan yaitu dibidang pertanian sawah dan lading yakni sebagai
petani, pemilik dan penggarap, dan buruh tani.
Selain pada kebudayaan etos kerja pada masyarakat using yaitu suka dengan
gotong royong. Misalnya pada saat upacara perkawinan atau acara-acara besar yang
diselenggarakan di desa maka gotong royong ini sangat ditonjolkan. Pemikiran dari
masyarakat tentang gotong royong yaitu apabila nanti dirinya menyelenggarakan acara
maka ada yang membantu, jadi gotong royong di masyarakat Using ini sangat
ditonjolkan. Seperti halnya dengan suku yang lain, Using memiliki agama yang dianut
oleh setiap masyarakatnya yaitu agama islam, namun agama ini masih dipengarhi oleh
sistem kepercayaan terhadap para leluhur, dalam suku masyarakat Using ini terdapat
dua aliran kepercyaan yaitu Sapto Darmo dan PAMU. Dua aliran kepercayaan tersebut
masih dianut oleh masyarakat Using Banyuwangi, dan menjadi dua aliran keagamaan
yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Using Banyuwangi.
Using merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi
dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas, Using merupakan salah satu bagian sub-etnis
Jawa. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang
Wetan yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Sebagai sebuah suku yang
menempati satu kabupaten secara penuh, suku Using memiliki karakteristik yang
berbeda dibanding suku lainnya di JawaTimur, dibanding 9 wilayah kebudayaan
lainnya, suku Using memiliki percampuran antara budaya Jawa Kuno dan Bali sebagai
akar budayanya.
PEMBAHASAN
Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi. Banyuwangi terletak pada
kondisi greografis yang bagus. Masyarakat Banyuwangi meyakini sebuah cerita yang
merupakan asal usul nama kota Banyuwangi. Cerita tersebut adalah kisah dari patih
Sidopekso dan istrinya Sri Tanjung. Singkat cerita, ketika patih Sidopekso pulang dari
tugas yang dilakukan, ia menemui istrinya dengan geram, karena mendengar cerita
bahwa istrinya itu telah berbuat serong. Tanpa pikir panjang ia lalu membawa istrinya
ke pinggir sebuah sungai. Sebelum ia membuhuh istrinya, Sri Tanjung mengajukan
permintaan, apabila air yang ada didalam sungai berbau busuk maka dia memang
melakukan serong. Akan tetapi apabila air sungai berbau harum maka ia tidak pernah
melakukan perbuatan seorng itu. Setelah itu, suaminya melempar istrinya ke sungai.
Dan terciumlah bau wangi yang menyengat, dengan menyesal ia telah melakukan hal
tersebut. Ia pun jatuh lunglai dan meneriakan nama Banyuwangi.
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi
tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti
“tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli
menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang
mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga
menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok.
Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga
mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan”
yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan
yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso,
Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak
menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis
oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh
kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”.
2.2.2. Religi
Masyarakat Using saat ini sebagian besar adalah pemeluk agama Islam,
yang memiliki latar belakang agama Hindu yang cukup kuat, yaitu pada masa
Kerajaan Hindu Ciwa. Oleh karena itu, maka tradisi-tradisi yang mengandung
nilai-nilai Hindu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, bahkan ajaran Islam
berjalan beriringan dengan adat-istiadat yang ada. Namun agama islam ini
masih dipengaruhi oleh kepercayaan kepada pera leluhur. Misalkan di desa
Kemiren salah satu warga yang ingin mengadakan suatu acara dan acara
tersebut ingin sukses maka masyarakat banyak yang datang ke Makam mbah
cilik, menurut masyarakat bahwa mbah cilik ini merupakan pendiri desa
Kemiren yang ada di Banyuwangi. Selain pada kepercayaan atau mendatangi
makam mbah cilik, masyarakat Osing yang ada di Banyuwangi ini terdapat
aliran keagamaan diantaranya yaitu Sapto Darmo” dan “Pamu”. Dua organisasi
tersebut merupakan dua aliran penghayatan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah lama dianut dan berkembang di masyarakat desa ini, dan
menurut keterangan, “PAMU” (Purwo Ayu Mardi Utomo) setidak-tidaknya
sudah sejak 1930-an, diawali ketika seorang tokoh desa Mbah Jembul berguru
kepada sesepuh aliran PAMU yaitu R.M. Djojopoernomo di dukuh Tojo,
Kecamatan Genteng, Kabupeten Banyuwangi. Tokoh aliran “Sapto Darmo” ini
adalah Harjo Sapuro dari daerah Pare di wilayah kabupaten Kediri. Perbedaan
dua aliran ini terdapat perbedaan yaitu, pada tata cara beribadah. Sapto Darmo
ini dalam melakukan peribadatan ini lebih banyak semedi, sedangkan
PAMU lebih banyak menggunakan Sujud.
Jiwa %
3. Upacara gitikan yaitu tradisi adu kekuatan fisik dengan cara saling memukul
lawan dan menangkis pukulan lawan dengan cambuk. Upacar ini dilakukan
untuk memohon kepada Tuhan untuk didatangkan hujan.
4. Upacara bintean yaitu tradisi adu kekuatan dengan menendang bagian
belakang betis yang dilakukan pada saat ada keramaian di desa seprti
upacara bersih desa.
7. Ruwat atau rokat yaitu upacara yang dilakukan untuk melepaskan seseorang
dari hal-hal yang membawa sial.
8. Tingkeban atau mitoni yaitu upacar yang dilakukan untuk seorang wanita
yang baru pertama kali mengandung tujuh bulan
9. Mudhun lemah yaitu upacara yang dilakukan untuk bayi yang berusia tujuh
bulan dan untuk pertama kali menginjakkan kainya di tanah
Masih dipegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan
hal mistis ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya
mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar
tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya
sebelum islam. Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan
dunia mistis antara lain:
1. Selametan setiap hari senin dan kemis di makam Buyut Cilik yang
dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis
melaksanakan suatu acara.
2. Adanya kepercayaan tentang ilmu pelet / Jaran Goyang. Ilmu ini digunakan
untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka
orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang
menyukainya. Image bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal
dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. padahal mitos
ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.
4. Tata cara selamatan yang sering sekali dilaksanakan setiap hari tertentu dan
pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada
daerah lain.
5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila kita
dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing. Image tentang
santet dan keterkaitannya dengan suku Osing ini diperparah dengan
pemberitaan besar besaran media pada saat kekacauan politik tahun 1998
dan isu tentang penculikan dan pembunuhan yang terjadi di wilayah
kabupaten Banyuwangi.
A. TARIAN
B. PARIWISATA
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Masyarakat Using saat ini sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, yang
memiliki latar belakang agama Hindu yang cukup kuat, yaitu pada masa Kerajaan
Hindu Ciwa. Oleh karena itu, maka tradisi-tradisi yang mengandung nilai-nilai Hindu
tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, bahkan ajaran Islam berjalan beriringan dengan
adat-istiadat yang ada.
Evan Permana, Proposal film documenter seri Kebudayaan Osing dalam program budaya
Tribute to East Java Heritage. Surabaya: Institute Teknologi Sepuluh November.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial. 2002. Kehidupan Sosial
Budaya Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial RI.
Saputra, Heru S.P. Dari Lisan ke Tulisan dan Seni Pertunjukan, Kajian Bandingan:
Resepsi dan Transformasi Mantra Using. Makalah dipresentasikan pada seminar
internasional sastra Bandingan di Fakultas Sastra Universitas Jember, 10 Desember
2004.
Suprijanto, Iwan. Rumah Tradisional Osing :Konsep dan Bentuk, Dimensi Teknik Arsitektur
Vo. 30, No. 1, Juli 2002.
Zainuddin, Shodaqoh dkk. 1996. Orientasi Nilai Budaya Osing di Kabupaten Banyuwangi.
Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.