Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia terdiri atas beraneka

ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia

mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia

Bhineka Tunggal Ika , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Keragaman budaya atau cultural diversity adalah kepercayaan yang ada di bumi Indonesia.

Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya.

Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa,

masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang

merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah

tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau

di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi.

Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal

ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di

Indonesia yang berbeda.


Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan

yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia.

Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesi juga ikut

mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama

tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman

budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok

suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke

modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan

mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya.

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan,

saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan

yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat

tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban

dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan

berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut

dapat berjalan terjalin dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika , dimana bisa kita maknai bahwa

konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok

sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan jumlah

kelompok sukubangsa kurang lebih 700an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai

tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, pakaian adat, rumah adat

kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun beraneka ragam.


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi yang unik ini

dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati orang tua (cium

tangan), dan lain sebagainya.

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari penggalan

kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad 14) secara

harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Motto ini

digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural

dibangun diatas keanekaragaman.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari

lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka

Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai

pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa

yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur

pengikat dan jati diri bersama.

Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan

geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku

bangsa dan bahasa.


1. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan

masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :

1. Apa pengertian dari persatuan dan kesatuan bangsa ?

2. Beberapa suku suku di indonesia , asal usulnya dan budaya?

3. Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas

Bangsa Indonesia. Kapan pertama ditetapkannya, penerapan Bhineka Tunggal Ika, dan

Pengimplementasiaan Lambang Bhineka Tunggal Ika pada saat ini?


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Persatuan dan Kesatuan Bangsa

- Persatuan / Kesatuan:

Persatuan/kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh atau tidak terpecah-belah.

Persatuan/kesatuan mengandung arti bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam

menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.

- Indonesia:

Mengandung dua pengertian, yaitu pengertian Indonesia ditinjau dari segi geografis dan dari segi

bangsa.

Dari segi geografis, Indonesia berarti bagian bumi yang membentang dari 95 sampai 141

Bujur Timur dan 6 Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan atau wilayah yang terbentang dari

Sabang sampai Merauke.

Indonesia dalam arti luas adalah seluruh rakyat yang merasa senasib dan sepenanggungan yang

bermukim di dalam wilayah itu.

Persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia berarti persatuan bangsa yang mendiami wilayah

Indonesia. Persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah negara

yang merdeka dan berdaulat.


2.BEBERAPA SUKU-SUKU DI INDONESIA,ASALUSUL DAN BUDAYA ?

SUKU BALI

adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali. yang menggunakan bahasa Bali dan

mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu. kurang lebih 90%,

sedangkan sisanya beragama Islam. Kristen dan Buddha. Menurut hasil Sensus

Penduduk 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia. Sekitar 3,3 juta orang

Bali tinggal di Provinsi Bali. Orang Bali juga banyak terdapat di Nusa Tenggara

Barat. Sulawesi Tengah. Lampung dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali

lainnya. Sebagian kecil orang Bali juga ada yang tinggal di Malaysia.

Asal-usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi gelombang

pertama terjadi sebagai akibat dari persebaran penduduk yang terjadi

di Nusantara selama zaman prasejarah gelombang kedua terjadi secara perlahan selama

masa perkembangan agama Hindu di Nusantara; gelombang ketiga merupakan

gelombang terakhir yang berasal dari Jawa. ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15

seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawasejumlah rakyat Majapahit memilih

untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara

kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

SUKU DAYAK.

Dajak atau Dyak adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni

pedalaman yang mendiami Pulau kalimantan (Brunei, Malaysiayang terdiri

dari Sabah dan Sarawak, sertaIndonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan

yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat

StatistikRepublik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia

dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar,suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku

asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah

Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai

sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun

dan nama kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias

Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayanyaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun

Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat

5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di

luar pulau Kalimantan:[16]

"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-

Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.

"Dayak Darat" (13 bahasa)

"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri

dengan nama sukunya sendiri yaituSuku Tidung.

"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak

Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.

"Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq

Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak

Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan
rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku

Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.

Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-

Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada

suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa

diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang

etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah,

yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin

juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia

juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang

berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.

Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang

daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).Jadi semula

istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun

Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun

Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan

Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan)

dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak

Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang

kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga

ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah Dayak

dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[34] Pada akhir abad ke-19

(pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan

penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah

pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek

Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland,

seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam

pengertian di atas pada tahun 1895.

Arti dari kata Dayak itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis

bahwa menurut sebagian pengarang, Dayak berarti manusia, sementara pengarang lainnya

menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling

tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan

bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-

orang Tunjung dan Benuaqmengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa

sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu

yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al.

mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,

yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal

istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka

sebagai Dayak.

Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia.

Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwooddan Blust, yaitu

bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok

orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok

yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju

Pasifik.

Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000

tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan

Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat

bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu

tidak terlalu jauh dari daratan Asia.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam

rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan

kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak

Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi

lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai

dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara

tahun 1309-1389.[42] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan

terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar

berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama

masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).


Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar

dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya

sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam

kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu

Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan.

Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di

Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang

terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Maanyan

atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama

Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain

juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada

masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari

manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin

dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan

Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya

yaituSultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh

pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah

terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota

Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk

Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan

kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,

belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar

Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah

pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah

ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima

orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut

membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,

cangkir, mangkok dan guci.

SUKU NIAS

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang

Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau

Nias sebagai "Tan Niha" (Tan = tanah).

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih

tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebutfondrak yang mengatur segala segi kehidupan

mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik

dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan

di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12

tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai

tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang

dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

ASAL- ASUL
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon

kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehli

Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias

dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehli

Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-

orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Dari beberapa contoh suku-suku yang ada di indonesia. Kita merupakan sebuah negara yang

memiliki beragam suku atas ras, agama, budaya, dan adat istiadat Ini semua dapat menyatu

dalam sutu wadah yaitu negara indonesia, Negara Indonesia memiliki satu semboyan yaitu

BHINEKA TUNGGAL IKA Dan ini adalah Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka

Tunggal Ika sebagai bentuk identitas Bangsa Indonesia. Kapan pertama ditetapkannya,

penerapan Bhineka Tunggal Ika, dan Pengimplementasiaan Lambang Bhineka Tunggal Ika pada

saat ini?

1. A. Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang, yaitu

Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal

untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan

semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi

keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara

kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai
inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah

menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal

kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit. Namun,

sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan

hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka

Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku,

bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju

persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika berarti Itu.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada hakekatnya satu. Dengan kata

lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa

dan Negara Indonesia.

Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda Pancasila

dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian dari Negara

Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-

Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit

maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu

pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar

untuk menegakkan Negara.


Sementara itu, semboyan Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto lambang Lembaga

Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah Tidak ada kebenaran yang

bermuka dua. Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut mejadi yang lebih

praktis dan ringkas, yaitu Bertahan karena benar. Makna Tidak ada kebenaran bermuka dua

sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegangan dan

berlandaskan pada kebenaran yang satu.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan yang meamaknai

kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa dan Budha, tapi juga

seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku sebagian besar anggota

masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada masa

Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan tersebut dan Candi Jago

disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih

dikenal sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.

Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk.

Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala

sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur.

Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan

tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan

orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-
orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian

bermukin di daerah Majapahit.

Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam. Ketiga,

golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak menggunakan alas kaki,

rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada roh-roh

leluhur.

1. B. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung

kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke

empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang

berbunyi Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, yang artinya Berbeda-beda

itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua. Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip

dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya

keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka

berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang

diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi

Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan

Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika

ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, Garuda

Pancasila. Kata bhinna ika, kemudian dirangkai menjadi satu kata bhinneka. Pada
perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi

yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang

menyebutkan :Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka

Tunggal Ika. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan

kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan

acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu

difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk

mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang

terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang

mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat

budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta

didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan

yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa,

tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk

selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam

menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya

perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya,

serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan

syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi

serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-
eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak

memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan

perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat

yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan

UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi

peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi

kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus

dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk

memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak

mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut

secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga

kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

1. C. Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk sebagai

pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran kepada semua pihak,

terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan

tambahan acuan dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-

nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang

kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita

putih yang tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA

TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki bangsa

Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul kalimatnya

yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua ajaran atau keyakinan

yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.

Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar arti dan

makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk pernyataan beliau

dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan diterima

hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani

menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan

dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang

akan datang.

Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang dapat

dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya sesuai tingkat

pemahamannya masing-masing.

Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam perwujudan sehari-

hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemui, namun untuk

memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang

menyatakan perbedaan adalah rahmat dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.

Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam itu berbeda

tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling mengisi dalam

kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal,

lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada,
apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang

terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan

dan kaki, telinga dan mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi

saling menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang terdiri

dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak

boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah

kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam semesta yang

beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan

menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah

kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara

atau dunia.

Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling mendahului

tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka dalam pertemuan

malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang digantikan malam tercipta

senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi

bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan

selaras agar tercipta kedamaian?

Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar dengan

menjadikan kalimat BHINNEKA TUNGGAL IKA ini sebagai simbolis Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung didalamnya serta

dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini

berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.


Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa persatuan dan

kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an

(persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan

nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu

jamak, plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat

dan kebiasaan, agama, kepercayaan kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Oleh karena itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan

nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai

dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman

terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau

melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara

individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik,

ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang

jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang

kondusif untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang menunjukkan

perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam berkehidupan

kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan Faktor utama

mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka

Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala

memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu,

kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan,
serta rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang

terjerat hukum akibat korupsi.

Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan

integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan,

kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal

ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan

tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan

negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai

ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini agar

terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi

masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual differentiation

model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa

ini. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu

yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua

kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan

mereka semua.

Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang

tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi

nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun

memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan

demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan


keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu

sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan seluruh

bangsa dengan jargon Ganyang Malaysia, Amerika kita Seterika, Jepang kita Panggang,

dan Inggris kita Linggis dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa

setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan

Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya

perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan,

semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu,

membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok,

golongan dan pribadi.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya

mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas

sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan

tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan

bersama atas persatuan bangsa.

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain, melarang

adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara

suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah

menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis,

penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti

pengkhianatan, fundamentalis dan barisan sakit hati yang bertujuan memperkeruh keadaan,

menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang

menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

1. D. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung

dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan

konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau

komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama

dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk

membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam

kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip

yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini

yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan

dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah,

tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan

kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham
Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep

baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.

2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling

benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan

sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan

tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan

persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas

dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan

minoritas.

3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu.

Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat

menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka

keanekaragaman ini dapat dipersatukan.

4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan

yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik

temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh

sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.

5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:

1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,

2. terbuka,

3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,

4. kesetaraan,
5. tidak merasa yang paling benar,

6. toleransi,

7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.

Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka

langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini

diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. 1. Perilaku inklusif.

Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang

bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya

merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting

kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok

yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi

kehidupan bersama.

1. 2. Mengakomodasi sifat pluralistik.

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh

masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya

masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau

yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara

mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi

bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai

dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain,
apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi

lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya.

Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang

disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada

agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai

agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual

keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan

sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan

masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.

1. 3. Tidak mencari menangnya sendiri.

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang

paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan

Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus

berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi

dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah

terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan

musyawarah untuk mencapai mufakat.

1. 4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan musyawa-

rah untuk mencapai mufakat. Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan

bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan
bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang

menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.

1. 5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu

dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling

percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka

Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan

adagium leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.

Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh

tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-

kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.

1. 6. Toleran dalam perbedaan.

Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat

antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset

bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa

saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam

diri setiap individu.

Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya

bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan

secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak mengalami

kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya ketimpangan sosial,

kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia menjadikan

rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah. Dampak buruk globalisasi yang

membawa kebudayaan-kebudayaan baru menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat

Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan baru yang datang

dan diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan kebudayaan di masyarakat.

Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak serius seperti perbedaan suku, agama,

ras dan antar golongan yang semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Melihat kondisi seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan

negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan

tetap relevan untuk mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini, karena

komposisi kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun. Ketimpangan

sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan di antara kita

janganlah dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru

biarkanlah berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu

tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-

beda namun tetap satu jua. Jaya Indonesia !


PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat wujud secara

integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah selaku

penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi aktualisasi

pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata

dalam kehidupan keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka memperkuat integrasi

nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi

geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang

terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk

di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan masyarakat harus bersinergis

untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama,

suku/etnik, dan bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen

bersama, berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang

termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi secara

nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang dapat

dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi

menunjukkan jati diri bangsa Indonesia sebagai nasionalisme


Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan dari budaya

bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri didasarkan

aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang

diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar demokrasi. Untuk

itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar memaknai pentingnya kondisi kemajemukan

yang terintegrasi secara nasional melalui wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk

menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini, masyarakat dan segenap

komponen bangsa harus lebih dewasa dalam mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-

Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi nasional di negara yang dikenal dengan

kemajemukannya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

http://arsy22.blogspot.com/2013/09/analisis-pancasila-sila-ke-3-persatuan_10.html

https://dewiedena.wordpress.com/2013/12/16/makalah-membumikan-persatuan-dalam-

kerangka-pancasila/

https://coretanandrea.wordpress.com/2013/11/03/323/

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bali

http://singgihcongol.wordpress.com/artikel-2/persatuan-dan-kesatuan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias

Anda mungkin juga menyukai