Anda di halaman 1dari 5

NAMA : MASRINDA OKTAVIA

NIM :G011211215

Kelompok Etnik (Suku-Bangsa) Sebagai Cikal Bakal


Masyarakat Maritim di Indonesia
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara
berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional, perubahan dalam
sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara
kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi
kegiatan yang makin tajam; Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan
masyarakat yang makin demokratis; perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan
yang makin modern dan efisien dan lain sebagainya.

Melihat pembagian wilayah di Nusantara, maka Nusantara dihuni oleh dua ras
besar, yaitu Mongoloid dan Papuid. Ras Mongoloid menurunkan suku bangsa-suku
bangsa Melayu, sedangkan ras Papuid menurunkan orang-orang Papua dan orang-
orang yang tinggal di kawasan Nusatenggara Timur. Kedua ras tersebut
menurunkan suku bangsa-suku bangsa bahari. Namun yang utama adalah Ras
Mongoloid dengan bangsa Melayu-nya yang tangguh di lautan.
1. Suku bangsa Lamalera
Berada di tepi pantai Laut Flores, masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu
disebut Pulau Lomblen), Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan aktivitas
penangkapan ikan paus dengan menggunakan peralatan serba tradisional. Peralatan
dimaksud berupa layar, tali (yang dibuat dari benang kapas, daun gebang, dan serat
kulit pohon waru), kafe yaitu tempuling atau harpoon, peledang (perahu) dari kayu,
sampan, galah tempat menancapkan harpoon untuk menombak, alat untuk
menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung).
Di tempat itu musim perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus, pari, dan hiu dari
berbagai jenis oleh masyarakat disebut sebagai musim lefa atau yang lebih dikenal
dengan nama olanua (mata pencaharian). Proses ritual olanua dimulai sejak 1 Mei
hingga 31 Oktober. Dengan masuknya agama Katolik pada tahun 1886 di Lamalera,
prosesi ritual tradisi ini mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari Gereja
Katolik. Misalnya sebelum musim lefa atau olanua dimaknai dengan upacara misa
di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci
untuk kepentingan upacara bersih diri dari salah dan dosa.
2. Suku Bangsa Laut
Suku bangsa Laut atau Orang Laut terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang
berdiam di berbagai kawasan perairan Nusantara, seperti di perairan sebelah timur
Sumatera, Selat Melaka sampai Myanmar, pesisir timur Semenanjung Tanah
Melayu hingga ke Thailand, sekitar Kalimantan/Borneo, Sulawesi hingga ke
Filipina, dan perairan Nusatenggara Timur.  Kelompok masyarakat itu sering
disebut Suku bangsa Bajau di Kalimantan, Nusatenggara, dan Sulawesi,   Ameng
Sewang di Bangka dan Belitung, dan Orang Selat di Selat Melaka. Mereka tidak
tinggal menetap di satu tempat, tetapi berpindah-pindah dari satu perairan dangkal
ke perairan dangkal lain. Biasanya mereka mengelompok pada perahu-perahu yang
ditambatkan pada muara-muara sungai besar. Ada juga yang tinggal di
perkampungan yang dibangun di atas air di muara-muara sungai besar. Rumah
tinggal mereka disebut rumah kolong di mana bagian kolong rumah dipakai untuk
menambatkan perahu.

Gambaran yang mirip dengan kehidupan Suku Laut ini diperoleh dari catatan orang
Tionghoa. Sebuah berita Tionghoa yang berasal dari tahun 1225 menguraikan
tentang rakyat di kerajaan Swarnnabhmi.  Disebutkan bahwa rakyat tinggal di
sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam
peperangan baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara lain,
mereka berkumpul. Berapa pun keperluannya dipenuhi. Dilihat dari latar belakang
asal usul mereka, para ahli mengategorikan Orang Laut sebagai sisa keturunan
bangsa-bangsa penutur rumpun bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Asia
daratan pada 2.500-3.500 tahun yang lampau. Mereka ini menyebar ke Nusantara
dan pantai pesisir Asia Tenggara daratan hingga ke Champa. Mereka termasuk
dalam golongan Melayu Tua (Proto Melayu) dengan ciri-ciri fisik Mongoloid.

3. Suku bangsa ameng sewang


Suku bangsa Ameng Sewang, kiranya dapat dijadikan contoh untuk mengenali pola
kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan. Naskah-naskah lama
menyebutkan bahwa orang Laut sudah lama hidup di perahu mengelompok di
daerah perairan dangkal, dan tidak pernah tinggal di darat. Ada anggapan orang
Laut bahwa darat adalah tempatnya orang mati, sedangkan laut tempatnya orang
hidup dan mencari kehidupan. Sebuah laporan Belanda menyebutkan bahwa pada
tahun 1668 sebuah kapal Belanda yang merapat di Belitung.

Laut adalah tempatnya orang Laut hidup dan mencari kehidupan. Kawasan perairan
tempatnya mereka mencari kehidupan adalah Selat Karimata, sebuah selat di antara
Laut Tiongkok Selatan dan Laut Jawa. Selat ini dikenal sebagai perairan yang
ganas, terutama ketika angin musim barat. Pada musim ini orang Laut tidak melaut.
Mereka berlindung di teluk atau di muara sungai yang terlindung dari angin dan
ombak yang ganas. Kadang-kadang sampai berbulan-bulan lamanya mereka
berlindung sampai musim kembali tenang.
4. Suku bangsa bajau
Suku bangsa Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu,
Filipina Selatan. Suku bangsa ini merupakan suku bangsa nomaden yang hidup di
laut, sehingga kerap disebut gipsi laut. Suku bangsa Bajau menggunakan bahasa
Sama-Bajau. Suku bangsa Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke
negeri Sabah dan berbagai wilayah Nusantara. Suku bangsa Bajau juga merupakan
anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah
utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku bangsa Bajau yang sudah Islam ini
merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki
pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau
sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis
yaitu Suku bangsa Bugis, Suku bangsa Makassar, Suku bangsa Mandar.

Wilayah yang terdapat Suku bangsa Bajau, antara lain: Kalimantan Timur (Berau,
Bontang, dan lain-lain), Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau
Rampa Kapis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Pulau Komodo). Bahasa Orang Laut memiliki
kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal.
Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti Suku bangsa Bajau,
Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut" atau “gipsi laut”, karena
mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
5. Suku bangsa sekak
Termasuk juga Suku bangsa Laut adalah Suku Sekak. Merupakan suku bangsa yang
mendiami pesisir sepanjang pesisir utara Pulau Bangka. Sebagian besar suku bangsa
ini masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun ada juga akhir-
akhir ini yang sudah menganut agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku bangsa ini
adalah mereka selalu mendiami daerah pesisir pantai dan mata pencaharian mereka
adalah nelayan. Suku bangsa Sekak merupakan rumpun bangsa Melayu yang mana
bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa Melayu namun ada
perbedaan yang cukup mencolok antara Suku bangsa Sekak atau orang Sekak
dibandingkan dengan orang yang mendiami Pulau Bangka sekalipun warna kulit
yang agak hitam. Kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku bangsa-suku
bangsa lain di Indonesia khususnya di daratan Sumatera. Sekarang ini Suku bangsa
Sekak tidak lagi merupakan suku bangsa terasing karena mereka sudah beradaptasi
dengan budaya-budaya dari luar.
DAFTAR PUSTAKA
rustan, Surya, B., & Nasution, M. A. (2018, 7 19). Adaptasi Dan Perubahan Sosial
Kehidupan Suku Bajo. Studi Kasus Suku Bajo Kelurahan Bajoe Kecamatan
Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone, Pp. 31-37. Retrieved From
https://journal.unibos.ac.id/ursj/article/download/60/38
Suryanegara, D. (2015). Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo: Studi Kasus
Di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pp 67-69. Retrieved
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article

Anda mungkin juga menyukai