FAKTOR PEMBATAS
A. Latar Belakang
Setiap organisme didalam habitatnya selalu dipengaruhi oleh berbagai hal
disekelilingny, yang disebut dengan faktor lingkungan. Lingkungan yang
mempunyai dimensi ruang dan waktu, yang berarti kondisi lingkungan tidak
mungkin seragam baik dalam arti ruang maupun waktu. Kondisi lingkungan akan
berubah sejalan dengan perubahan ruang, dan akan berubah pula sejalan dengan
waktu. Organisme hidup akan bereaksi terhadap variasi lingkungan ini, sehingga
menghasilkan hubungan nyata antara lingkungan dan organisme yang hidup, hal
ini akan membentuk suatu interaksi yang disebut dengan komunitas dan
ekosistem.
Lingkungan organisme tersebut merupakan suatu kompleks dan variasi
faktor yang beraksi berjalan secara simultan, selama perjalan hidup organisme itu.
Ada kalanya tidak sama sekali, hal ini tidak saja bergantung pada besaran
intensitas faktor itu dan faktor – faktor lainnya dari lingkungan, tetapi juga
kondisi organisme itu, baik tumbuhan maupun hewan. Faktor - faktor tersebut
dinamakan faktor pembatas
Dengan mengetahui faktor pembatas (limiting factor) suatu organisme
dalam suatu ekosistem maka dapat diantisipasi kondisi-kondisi di mana organisme
tidak dapat bertahan hidup dan dapat di kembangkan lingkungan yang
memungkinkan atau di rancang sedemikian rupa lingkungan yang memungkinkan
organisme tersebut bertahan hidup, hal ini dapat di jadikan solusi dalam
permasalahan habitat bagi organisme.
Umumnya suatu organisme yang mempunyai kemampuan untuk melewati
atau melampaui faktor pembatasnya maka ia memiliki toleransi yang besar dan
kisaran geografi penyebaran yang luas pula. Sebaliknya jika organisme tersebut
tidak mampu melewatinya maka ia memiliki toleransi yang sempit dan memiliki
kisaran geografi penyebaran yang sempit pula. Kemampuan tersebut meliputi
proses adaptasi dari masing-masing organisme, baik adaptasi morfologi fisiologi
maupun adaptasi tingkah laku. Dan juga tidak sedikit pula, organisme tertentu
yang tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi mampu memanfaatkan periodisitas
alami untuk mengatur dan memprogram kehidupan untuk keberlansungan hidup
dan keneradaannya di permukaan bumi ini.
Dimakalah ini akan menjelaskan lebih dalam lagi mengenai prinsip –
prinsip dan hal-hal yang berhubungan dengan faktor pembatas tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Minimum Liebig
Menurut van der ploeg. Hukum minimum Liebig adalah konsep yang telah
banyak diterapkan dalam ilmu pertanian. Konsep ini berawal dari teori nutrisi
mineral tanaman yang dicetuskan oleh Carl Sprengel, seorang ahli kimia, pada
tahun 1828, yang menyatakan bahwa tanaman membutuhkan unsur-unsur mineral
untuk berkembang.
Carl Sperengel menyebutkan konsep yang kemudian diformulasikan
sebagai hukum minimum dalam artikel yang ditulisnya, namun tidak begitu
menjadi perhatian pada eranya. Hukum ini lebih populer melalui buku yang ditulis
oleh seorang ahli agronomi, Justus von Liebig (1855). Pada buku tersebut tersisip
tulisan Liebig yang menyatakan pertumbuhan tidak dikendalikan oleh total
sumberdaya yang tersedia, tetapi dikendalikan oleh sumberdaya yang paling
sedikit 9 faktor pembatas). Oleh karena itu hukum ini lebih dikenal sebagai
“Hukum Minimum Liebig”. Kontroversi mengenai penemu hukum tersebut,
memicu para ahli untuk menamainya sebagai “Hukum Minimum Sperengel-
Liebig”.
“Hukum Minimum Liebig (Liebig;s law of the minimum) menyatakan
bahwa “pertumbuhan tanaman tergantung pada nutrisi atau senyawa yang berada
dalam keadaan minimum”. Hukum minimum Liebig memiliki kelemahan,
diantaranya:
A. KESIMPULAN
1. Temperatur
2. Cahaya Matahari
3. Air
5. Gas-gas Atmosfir
6. Garam-garam Biogenik
8. Tanah
DAFTRA PUSTAKA
Aldiyah, E. (2020). EFEKTIFITAS DAUN LAMTORO BAGI
PERTUMBUHAN TUNAS DAUN TANAMAN CABE PADA
PEMBELAJARAN IPA KELAS IX. Jurnal Pendidikan dan Wawasan
Studi Islam Volume 2 No. 2, 2-6.
Mochammad Farkan, M., & Djokosetiyanto, D. (2017). KESESUAIAN LAHAN
TAMBAK BUDI DAYA UDANG DENGAN FAKTOR PEMBATAS .
Jurnal Segara Vol.13 No.1 , 1-8.
Mustaqim, W. A. (Tahun 2018). Hukum Minimum Liebig Sebuah Ulasan dan
Aplikasi. Jurnal Bumi Lestari, Volume 18, Nomor 1, 28-32.
Setiayu, D. P., & Yani, E. (2020). Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Pada
Berbagai Umur Tegakan Jati (Tectona grandis L.) di KPH Banyumas
Timur. Jurnal Ilmiah Biologi Unsoed Vol 2 No 1, 18-20.
Waskito , Marpaung, P., & Lubis, A. (2017). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Tanaman Padi Sawah. Jurnal Agroekoteknologi FP USU, 226- 232 .