Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“KEBUDAYAAN SUKU MELAYU”


Diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang
di ampu Oleh :

Adisthi Martha Yohani, S.S., M.Pd.

Oleh :
Diky Andy Nugroho
NIM : 1117103020

PRODI SISTEM INFORMASI


UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang
berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat).

Berbudaya merupakan ciri khas kehidupan manusia yang membedakannya dari mahluk
lain. Manusia dilahirkan dalam suatu budaya tertentu yang mempengaruhi kepribadiannya. Pada
umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang mendasari sikap dan perilakunya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada judul yang ada, saya merumuskan masalah
dalam penulisan makalah adalah ini sebagai berikut :
1. Mengapa masyarakat suku Dayak Ngaju masih melaksanakan Upacara Tiwah ?
2. Bagai mana system kekerabatan suku dayak ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Secara umum penelitian ini berusaha mengungkap prosesi tiwah dalam perspektif hukum Islam
dan Hukum Negara. Sedangkan secara rincinya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku dayak.
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Geografi
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo
yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama
Brunei dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan
mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan,
sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal
dari nama Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah.
Pada umumnya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah
pemerintahan Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah
pemerintahan Malaysia.

B. Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.


Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak
menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai
adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan
adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku
Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum
Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang
menyebar di seluruh Kalimantan.

C. Pengertian Suku Dayak


Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni
pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri
dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesiayang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, danKalimantan Selatan . Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya
Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun
Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju danrumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5
kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
 "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan
Sama-Bajau),
 "Dayak Darat" (13 bahasa)
 "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
 "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
 "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjararkhais yang
digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk
Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu.
Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak
adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
D. Sejarah Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di
pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-
orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan
memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah
“Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui
daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.
Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin
lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam
rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-
masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering
disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut mengakibatkan
suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya
terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu sekitar tahun 1608 .
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang
Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan
Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak
(Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah
Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin
(dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan
tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung
Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-
orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
E. Sistem Religi
Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan
adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak tidak pernah
menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem
hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.
Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang
dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit
bawakng . Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah
yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang
menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agamaKristen dan segelintir
memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak
Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama
Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut .

F. Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun.
Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang
serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat
dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak
Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi
ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan
Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan
angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa
menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh
para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan
kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti
,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah
dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.

G. Lembaga Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitas-
komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan
lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang
disebut Binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampong . Masing-
masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binuayang satu tidak dapat
mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala desa).timanggong memiliki
jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun) danpangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah
yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn
H. Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah
dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah
maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini
penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini
dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
I. Adat Istiadat Suku Dayak
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
mereka yang sudah meninggal dunia.

2. Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak
Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku
Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari
arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan
ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok
merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau
sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa
mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya
saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu
mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan
perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan.
Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk
keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan
bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat)
yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga
perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang
korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu
dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan
Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada
tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih
banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan


dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak
tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul
nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka
Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang
suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

J. Seni Tari Dayak

1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi
dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh
suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang

Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya.
Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi
dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong

Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah,
sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang
padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian Tari Kancet Ledo tradisional
suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari
Gong.

4. Tari Kancet Lasan


Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet
Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti
Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan
juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut
menyentuh lantai.

Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang
dan hinggap bertengger di dahan pohon. Posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari
tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak
mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai.
Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan
hinggap bertengger di dahan pohon.

5. Tari Leleng

Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa
oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri
kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu
Leleng.

6. Tari Hudoq

Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta
menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat
hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari
Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak
tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita'


Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak
Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan
rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang
mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan
iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa
dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak
dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni
yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak
Kenyah.

8. Tari Serumpai

Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai
(sejenis seruling bambu).

9. Tari Belian Bawo

Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar
dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara
penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang

Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk Tari Hudoq Tari Belian Bawo mengusir
hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia
atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina

Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo
Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-
tahun.

12. Tari Datun

Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala
suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan
kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah
suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau

Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara
teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga' Bagantar

Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon
bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku
Dayak Benuaq.

H. Macam-macam suku dayak


 Suku Dayak Abal
 Suku Dayak Bakumpai
 Suku Dayak Bentian
 Suku Dayak Benuaq
 Suku Dayak Bidayuh
 Suku Dayak Bukit
 Suku Dayak Darat:Dayak Mali
 Suku Dayak Dusun
 Suku Dayak Dusun Deyah
 Suku Dayak Dusun Malang
 Suku Dayak Dusun Witu
 Suku Dayak Kadazan
 Suku Dayak Lawangan
 Suku Dayak Maanyan
 Suku Dayak Mali
 Suku Dayak Mayau
 Suku Dayak Meratus
 Suku Dayak Mualang
 Suku Dayak Ngaju
 Suku Dayak Ot Danum
 Suku Dayak Samihim
 Suku Dayak Seberuang
 Suku Dayak Siang Murung
 Suku Dayak Tunjung
 Suku Dayak Kebahan
 Suku Dayak Keninjal
 Suku Dayak Kenyah
 Suku Dayak Simpangk
 Suku Dayak Kualant
 Suku Dayak Ketungau
 Suku Dayak Sebaruk
 Suku Dayak Undau
 Suku Dayak Desa
 Suku Dayak Iban
 Suku Dayak Pesaguan
 Suku Dayak Lebang

I. Senjata Tradisional Suku Dayak

Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan
dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya
mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit
ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Berikut ini adalah senjata-senjata tradisional suku
dayak :

1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan
berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan
diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek).
Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah
di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan
dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter
dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna
tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang
dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir
dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau
mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”,
merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh
pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau
dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu
Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah
menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh
dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat yaitu antara lain:

1. Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan
tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat
percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib
dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi
keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka .
2. Sistem kekerabatan suku dayak yaitu menggunakan system parental ( ayah dan ibu) .

B. Saran

Sebagai warga Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada
di Negara kita sendiri. Kadang kita lebih mengenal budaya yang ada di Negara barat melainkan
budaya kita sendiri. Salah satu budaya dari Negara kita adalah budaya suku dayak . Tentu bukan
hanya budaya dayak yang ada di negara Indonesia, melainkan masih banyak budaya-budaya yang
belum kita ketahui . Maka dari itu kita harus mengenal budaya kita sendiri mulai memberikan
wawasan kepada anak-anak sejak dini agar memahami beragam budaya yang ada di Negeri
cercinta ini.

Anda mungkin juga menyukai