Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SOSIOLOGI

KEBERAGAMAN BUDAYA LOKAL

LORIYA PAULA
WINDA SRI LESTARI
YULIANA MERSELA
XII MIPA 2

SMA NEGERI 01 SUNGAI TEBELIAN


BAB I
PENDAHULUAN

Asal Usul Suku Dayak Dilansir dari laman Kemendikbud, Coomans (1987) mengungkap teori yang
didukung oleh Inoue (1999) bahwa Suku Dayak adalah keturunan imigran dari Provinsi Yunnan di China
Selatan, tepatnya di Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekong dan Sungai Menan. Sebagian dari kelompok
imigran ini menyeberang ke semenanjung Malaysia dan melanjutkan perjalanan dengan menyeberang
ke bagian utara Pulau Kalimantan. Kemudian, seorang tokoh Dayak Kayan juga menjelaskan bahwa suku
dayak adalah ras Indo China yang bermigrasi ke Indonesia pada abad ke -11.

Suku dayak,adalah suku yang sangat fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal
akan kekuatan magisnya, Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan
masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui
daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan
“Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-
orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke
dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu
yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan
perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan
suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi
pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak,
tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di

1
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan.
Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari
manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit)
atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho,
dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka,
Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei)
yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan
diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto
kertodipoero,1963)

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. SISTEM KEPERCAYAAN SUKU DAYAK


Masyarakat Dayak memiliki keyakinan tentang wujud tertinggi dimana segala kekuatan yang ada
di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan
roh leluhur. Dewa dan roh halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat tertentu
dalam dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut, orang Dayak senantiasa melakukan
hubungan religius dengan Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang banyak memberikan pertolongan
dalam kehidupan mereka.
Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan
dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial
sehari-hari dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan dan ajaran
agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan
erat dengan tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu ; unsur kepercayaan
nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa
dengan kekuasaan tertingginya sebagai kausa prima dari kehidupan manusia. Sistem kepercayaan
seperti ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan memerlukan penegasan
yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.
Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa (zaman dulu-penulis),
namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang
dari asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda
tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan bergemuruh, gunung yang
tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat. Daya hidup
atau kekuatan penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-
benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus
mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan
kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.
Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang suara dan bunyi-
bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu
untuk mengenal, mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat tadi. Melalui
bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya
ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.

3
Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang Dayak sebagai
daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat
keramat. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral
memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari
yang profan. Hal ini dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada
manusia. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif hingga yang paling tinggi
dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral
tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam pantak. Pantak itu tidak disembah, tetapi pantak
menunjukkan dirinya sebagai suatu yang sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural.
Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk
menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi
hierophany. Mereka tidak menyembah pantak tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral
dalam pantak tersebut.
Setiap benda atau beberapa benda tertentu dianggap mempunyai suatu kesakralan yang dapat
berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kekuatan sakral tersebut dapat pula digunakan untuk
membantu beberapa kegiatan atau pekerjaan manusia, seperti digunakan pamaliatn (dukun) untuk
memanggil roh halus yang kemudian digunakan untuk membantunya dalam ritual pengobatan.
Kekuatan-kekuatan seperti ini merupakan sebagian dari hierophany yang dimaksud.
Masyarakat Dayak menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’ Daniang (sebagian
masyarakat Dayak di Kalbar-penulis) atau Jubata, yakni penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata
berada di langit ketujuh. Ia mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang
dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai manusia. Ne’ Amikng dan Ne’
Pamijar yang memberi napas kepada manusia. Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun
rohani. Ne’ Pangingu memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang menjadikan
manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua keturunannya. Menurut kisah
penciptaan nama-nama bawahan itu adalah nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta
dengan beberapa nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini sama hal nya
dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama sesuai dengan kekuasaan dan
kesempurnaannya.
Masyarakat Dayak meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah Dunia Atas,
yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan.
Kedua adalah Dunia Tengah atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang
dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang tidak dikenal, terisolasi, dan

4
gelap. Setelah meninggal, setiap manusia kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai
pahlawan akan menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat (jiwa) orang
yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan manusia dan tidak pernah pergi kemana-
mana. Namun hal tersebut tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah
melewati upacara adat kematian atau belum.
Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang disebut Pantokng
Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang jahat akan bangkit dari kuburnya dan
menghantui orang yang masih hidup. Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang
dan manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya
dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging
babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.
Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn saat ini memeluk agama Katolik dan Protestan.
Sejak tahun 1835 agama Kristen Protestan masuk ke Kalimantan, yaitu di Tangguhan dekat Mandumai,
Kalimantan Tengah. Agama ini disebarkan oleh seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama
Barnstein ke masyarakat Dayak. Selanjutnya agama tersebut berkembang sampai ke Kalimantan Barat
dan dianut sebagian masyarakat Dayak yang bermukim di muara sungai Kapuas dan daerah pedalaman.
Penyebaran agama Kristen Katolik di Kalimantan Barat dimulai tahun 1894 oleh seorang
misisonaris utusan dari Vatikan, Roma, tepatnya di daerah Sejiram. Penyebaran ini diperluas ke tempat-
tempat yang banyak dihuni orang Dayak. Bukti penyebaran agama tersebut dapat dilihat dengan
berdirinya Sekolah Seminari St Paulus, Yayasan Misi Nyarumkop. Sekolah ini banyak melahirkan
barawan-biarawati dan guru-guru agama untuk melanjutkan misi penyebaran agama Katolik pada
masyarakat Dayak Kanayatn.
Agama Islam masuk ke Kalimantan Barat sekitar tahun 1521 yang disebarkan oleh Kerajaan
Johor. Masuknya agama ini melalui Kerajaan Sambas, tetapi Kerajaan tersebut tidak menyebarkan
agama Islam pada suku Dayak, sehingga banyak suku Dayak memeluk agama Kristen dan hanya orang
Melayu yang menganut Islam.
Masuknya Islam dalam masyarakat Dayak karena dipengaruhi suku Melayu. Bagi orang Dayak
“masuk Melayu” sinonim dengan “masuk Islam”. Oleh karena itu orang Dayak yang sudah menjadi
Muslim tidak menamakan diri mereka dengan sebutan Dayak lagi, tetapi dengan sebutan Melayu yang
biasanya di sebut orang Halo’ atau Senganan. Selain ketiga agama di atas, di Kalimantan Barat juga
terdapat agama Budha yang dianut oleh orang Cina. Masuknya agama ini dimulai pertengahan abad ke
18 tahun 1750. Waktu itu Sultan Mempawah menerima suku bangsa Tiog Hoa (sebutan untuk Cina) dari
Brunai untuk menggali emas dan menyebarkan agama Budha. Sampai sekarang agama Budha masih

5
dianut oleh orang-orang Cina yang berada di wilayah tersebut. Begitu juga dengan agama Hindu,
meskipun penganutnya sangat sedikit di kalangan orang Dayak, namun agama tersebut mempunyai
kedekatan dengan sistem kepercayaan nenek moyang orang Dayak, yaitu Kaharingan atau sering disebut
Hindu Kaharingan.

2. BAHASA SUKU DAYAK


Bahasa suku Dayak menggunakan bahasa Indonesia , bahasa Maanyan , dan bahasa Ngaju
sebagai bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Orang Dayak di Kalimantan khususnya Dayak yang
berada di Kalimantan Barat, Timur, Selatan dan Utara hampir semuanya mengerti bahasa Ot-Danum
atau Dohoi, sedangkan orang Dayak Kalimantan Tengah dan Selatan sebagai bahasa perantaraan
umumnya adalah bahasa Dayak Ngaju yang juga disebut bahasa Kapuas. Tiap-tiap suku Dayak di
Kalimantan memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri dengan dialek satu dengan lainnya berbeda, misalnya
bahasa Ot-Danum kebanyakan memakai huruf “o” dan “a” tetapi bahasa Dayak Ngajuk banyak memakai
“e” dan “a”.

3. SISTEM KESENIAN SUKU DAYAK


Kebudayaan suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam budaya dan
keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa, dan sebagainya :
1) Seni Tari
Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari tradisional. Secara garis
besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok.
Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan, yang dimiliki oleh
suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan
Bengkayang.Tarian dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic
atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang,
Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-lain, di sekitar Sanggau Kapuas.Tarian dengan
gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompok Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang,
Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas,
dan Serawak.Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman,
Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu.
Sebagian besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya, tari Ajat
Temuai Datai. Tarian ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara
penyambutan terhadap pahlawan yang pulang mengayau.

6
Di masa lalu, mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran
makna. Mengayau berarti ‘melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya
tahan berdirinya suatu bangunan. Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut:
1. Tari Gantar
Tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk
sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini
cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak
hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat
dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai/Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan
musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penarinya. Dalam tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi
dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak
Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo/Tari Gong
Jika tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah,
sebaliknya tarian Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagaikan sebatang
padi yang meliuk-liuk lembut ditiup angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai
pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-
bulu ekor burung Enggang. Tarian ini biasanya ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku
Dayak karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan
tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tarian Kancet Ledo,
namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak
mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh tanah/lantai.
Tarian ini lebih menekankan pada gerakan burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap
bertengger di dahan pohon.
5. Tari Serumpai
Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit
dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik

7
Serumpai (sejenis seruling bambu).
6. Tarian Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar
nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara
kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.
7. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga
pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak menggangu manusia atau orang yang menebang pohon
tersebut.
8. Tarian Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo
Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
9. Tarian Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh
10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak
Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran
seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
10. Tari Ngerangkau
Tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini
mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi
mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
11. Tarian Baraga’Bagantar
Awalnya Baraga’Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan
dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
2) Seni Musik
Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik
itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh.
Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng,
jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.
Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan
hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut betingkilan
yang berarti ‘bersahut-sahutan’. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat,
pujian, atau sindiran.

8
Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak
1. Ngenda, yaitu senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja baik laki-laki ataupun
perempuan secara bersaut-sautan.
2. Kalalai-lalai, yaitu nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah Kotawaringin.
3. Natum, yaitu kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
4. Natum Pangpangal, yaitu ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang
dilagukan.
5. Dodoi, yaitu nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
6. Dondong, yaitu nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.
7. Marung, yaitu nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
8. Ngandan, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda
sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang.
9. Mansana Bandar, yaitu Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang tokoh
yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar
bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar.
Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik, disamping
memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji
dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan versi yang berbeda-beda.
10. Karunya, yaitu nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
11. Baratabe, yaitu nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
12. Kandan, yaitu pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki-laki atau
perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang
dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan
harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang
atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
13. Dedeo atau Ngaloak, yaitu tradisi Suku Dayak Dusun Tengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan
Tengah.
14. Salengot, yaitu pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam

9
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut.
3) Alat Musik
1. Garantung, ialah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari tembaga.
2. Sarun, ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima
nada.
3. Salung, salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
4. Kangkanung, ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga.
5. Gandang Mara, ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran setengah sampai tiga per
empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa
yang telah di keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi diberi pasak.
4) Seni Drama
Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama
ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan.
Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.
5) Seni Rupa
Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat
yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-
macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung
blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni
kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain
gendongan), seraong (topi), dan lain-lain. Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya
Nusantara yang layak dibanggakan.

4. SISTEM PENGETAHUAN SUKU DAYAK


1) Sistem Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan sistem
pengetahuan yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap perladangan.
2) Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan yang
paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya terlebih mereka
meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-pohon

10
kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya
sangat subur.
3) Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis tanaman dan
tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan untuk berburu dan menuba
ikan.

5. SISTEM MATA PENCAHARIAN SUKU DAYAK


Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya berburu,
berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi pada hutan tersebut
telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh terhadap kultur orang Dayak.
Misalnya rumah panjang yang masih asli seluru hnya dibuat dari kayu yang diambil dari hutan, demikian
juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara
mengeruk batang pohon, peralatan kerja seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai
dan sumpit semuanya (paling tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.

6. SISTEM KEKERABATAN dan ORGANISASI SUKU DAYAK


Kata Dayak berasal dari kata “Daya” artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal
di pedalaman atau perhuluan. Sebagian besar orang Dayak berdiam di wilayah kalimantan Tengah,
Timur, Barat, serta sebagian kecil di Kalimantan Selatan. Sukubangsa Dayak terdiri atas beberapa sub-
sukubangsa, antara lain Iban, Maanyan, Ngaju, Kenyah, Lawangan, Murut, dan sebagainya.
Bilateral/ambilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sIstem pewarisan
tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
1) Bentuk Kehidupan Keluarga
 Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam al dan politik di lingkungan
dan di luar keluarga) adalah anak laki-laki tertua.
 Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki
ayah. Peran wali/asbah, misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus
masalah pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan dan
keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan wali/asbah
berdasarkan kesepakatan keluarga.
2) Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat

11
 Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan bujang bersaudara sepupu derajat
kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang bersaudara.
 Sistem endogamI (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada
hubungan keluarga.
3) Perkawinan Yang Dilarang
 Incest/ Salahoroi, anak dengan orangtua
 Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara
sekandung.
 Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda (contoh: tante + ponakan).
4) Pola Kehidupan Setelah Menikah :
 Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri.
 Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih
dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang
sebagai tempat tinggal mereka.
5) Jenis-Jenis Harta dalam Keluarga:
 Barang Waris : Barang Waris adalah harta yang diperoleh dari harta yang diterima  dari orang
tua sebagai harta warisan. Harta ini menjadi milik pribadi seorang suami atau istri.
 Barang Mento / Retaq Mento : jenis ini adalah harta yang  diperoleh oleh suami atau isteri
sebelum dia menikah.
 Barang Rampuuq / Retaaq Rempuuq: harta jenis ini adalah harta yang diperoleh atas hasi usaha
bersama suami isteri, misalnya hasil ladang atau kebun. Penggolongan harta milik tersebut
menjadi pedoman bagi seorang Hakim adat di desa dalam menyelesaikan perselisihan yang
berhubungan dengan harta bila terjadi perceraian.
6) Jenis Kelompok Kekerabatan
 Purus
Kelompok kekerabatan Suku Dayak Tunjung terikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut
dengan Purus. Purus ditentukan berdasarkan hubungan darah (Consanguity) dan hubungan yang timbul
melalui perkawinan (affinity). Kesadaran akan purus ini pada masa yang silam sangat besar, hal ini
terbukti dengan timbulnya pengelompokan yang disebut: Purus Hajiiq (Darah Bangsawan), Purus
Merentikaaq (Orang Biasa/orang merdeka), Purus Ripatn (Darah Hamba sahaya). Dari hubungan
kekerabatan ini orang dapat mengetahui jarak hubungan individu dengan kelompok atau dalam satu
desa dan sifat dari hubungan ini. Jadi hubungan kekerabatan (purus) mempengaruhi pola interaksi
individu dalam menyapa, menyebut terhadap orang yang lebih tua, lebih muda atau sederajat.

12
 Batak
Kelompok hubungan kekerabatan yang diperhitungkan melalui purus disebut BATAK. Individu-individu
yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam suatu kelompok disebut SEBATAK(Satu Kelompok).
Dalam kelompok seorang individu dapat membedakan dengan jelas orang-orang  yang tergolong dalam
kelompoknya (Batak Tai) dan orang yang bukan termasuk dalam kelompoknya (Batak Ulutn) dan dalam
kegiatan tolong menolong pada umumnya orang-orang sebatak lah yang lebih banyak datang
membantu.

7. SISTEM TEKNOLOGI dan PERALATAN SUKU DAYAK


Alat-Alat Yang Digunakan Suku Dayak :
1) Alat Berladang, yaitu pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam.
2) Alat Masak Memasak, yaitu periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak
nasi, kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan
logam, dan tungku batu. Rinjing.
3) Alat Tidur , yaitu tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu tikar yang
terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain,klambu, katil
dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Senjata yang digunakan Suku Dayak :
1) Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3
cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang
digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu
gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah
tempat anak sumpitan yang digunakan untuk berburu dan berperang.
2) Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan
bertangkai dari bambu atau kayu keras yang juga dugunakan untuk berburu dan berperang.
3) Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan
lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah
dalam dijumpai tempat pegangan yang digunakan untuk melindungi diri ketika berperang.
4) Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya
ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi
dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau
Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena

13
dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan
Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu
Montalat.
5) Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya
terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku,
Demang, Basir.
Alat-Alat yang Digunakan untuk Menangkap Ikan :
1) Jala
2) Tampirai
3) Rengge
4) pihing
5) Pasat
Alat Untuk Berburu :
1) Jala
2) Dondang
Alat-Alat Music :
Secara umum music dayak, seperti halnya dengan music tradisional lain di asia tenggara,
didominasi oleh music-musik perkusik. Gong merupakan alat yang paling utama dan terdapat pada
hampir semua kelompok dayak. Gong tersebut ditemukan dengan berbagai tipe dan ukuran serta
dipakai dalam jumlah yang bervareasi. Di kalangan dayak ditemukan, paling tidak lima tipe gong, yaitu:
1) Tipe gerantung (gong besar), gong berukuran besar, sisi rendah, nada rendah, karakter suara
lembut dan beralunan panjang.
2) Tipe tawak (gong panggil), karena gong ini biasanya digunakan juga sebagai alat kominikasi
(pemberitahuan) apabila ada kematian, bencana, tamu, persta, dan lainnya. Suaranya tegas hampir
beralunan pendek dan ukurannya agak kecil. Cirri khas adalah ukuran sisi tinggi. Alat ini disebut juga
ketawak, tetawak, atau ogong.
3) Tipe bondi, dengan ukuran sama atau sedikit lebih kecil daripada tawak, sisinya rendah,
suaranya lembut dan merdu di sebut juga dengan nama bebondi, bendai, Bandai, canang.
4) Tipe boring (gong datar), gong dengn permukaan yang datar, suaranya bergetar nyaring (deper)
disebut juga boring-boring, gentarai, puum.
5) Tipe kelintang (gong-gong kecil horizontal), berbeda dengan tipe-tipe terdahulu yang posisinya
digantung ketika dimainkan, alat tipe ini terdiri dari beberapa satuan gong kecil (antara 5-9 satuan) yang
disusun pada sebuah rak resonansi, suaranya tinggi dannyaring, dan kebanyakan berfungsi sebagai alat

14
melodi, disebut juga dengan nama engkeromong, keromong, kangkanong, klentangan.

Alat-alat music logam lainnya yang masih dapat ditemukan pada beberapa kelompok, namun
tidak tersebar secara merata, antara lain rahup (sejenis samba kecil) dan sejenis saron. Alat-alat perkusi
lainnya adalah alat music yang terbuat dari bamboo, seperti tagunggak, peruncong, sengkurung,
senggayung dan lain-lain

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Suku dayak adalah satu suku yang berada dan terlestarikan di Indonesia, dan suku daya
mempunyai banyak sup suku, oleh sebab itu mari kita tetap menjaga dan menghormati
keberagaman budaya yang ada supaya kita bisa terus belajar dari banyak suku dan budaya lain
yang ada di bebagai daerah di Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai