Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di


dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang
ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar
13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200
bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan .

Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara


berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol
karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata,
karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan
yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut
sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang
dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.

Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah sebagai


salah satu kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan
Tengah yangpada mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat
Kaharingan. Berbagaimacam prosesi yang terjadi pada acara tersebut,
diantaranya: Ngayau (penggalkepala), ritual Tabuh (tidak tidur selama
dua malam dengan diselingi minum.

Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang


terkait lebih dengan mengambil judul "Kebudayaan Suku Dayak".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada judul yang


ada, kami merumuskan masalah dalam penulisan makalah adalah ini
sebagai berikut :
1. Mengapa masyarakat suku Dayak Ngaju masih melaksanakan
Upacara Tiwah ?
2. Bagai mana system kekerabatan ssuku dayak ?
C. Tujuan Penulisan Makalah

Secara umum penelitian ini berusaha mengungkap prosesi tiwah


dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Negara. Sedangkan secara
rincinya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku dayak.
2. Untuk memenuhi nilai IPS.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografi
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara
Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan
Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering
digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan
mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya
banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga menjadi
Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan
berasal dari nama Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru
ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama Kalimantan
digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan
Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah
pemerintahan Malaysia.

B. Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.


Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku
Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih
masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar
dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang
lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing
sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan
budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu
masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
.
C. Pengertian Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau
Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami
Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri
dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesiayang terdiri dari Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, danKalimantan Selatan .
Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir
semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun
yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun
Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun
Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara
ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau
Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau
Kalimantan:

"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa


Madagaskar, dan Sama-Bajau),
 "Dayak Darat" (13 bahasa)
 "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
 "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak
Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak
Banuaka.
 "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias
Banjararkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan
Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai,
Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap
berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu
yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung,
Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun
Barito Raya).
D. Sejarah Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup
berkelompok yang tinggal di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata
Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang
datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan
memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal,
semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti
seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal
menyerah atau pantang mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan
yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang
memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan
sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang
disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu
dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama
makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa
pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-
pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama,
mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas
beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah
kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk
daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu sekitar tahun 1608 .
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi
mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai
orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan.
Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam
kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin,
salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot
Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan
ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip
berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah
Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang
pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan.
Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali
ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan
Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

E. Sistem Religi
Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka.
Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka.
Dalam praktik sehari-hari, orang dayak tidak pernah menyebut agama
sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah
sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada
umumnya.
Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata.
Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang
Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng . Dalam
mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat
ibadah yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga
seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara
manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut
agama Kristendan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk
agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan
adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama
Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut .
F. Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan
yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan
persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci
khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan
berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah :
orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang
memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng
bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke
(Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-
ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan
logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan
bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini,
banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-
kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti
,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh
generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia
atau melayu.

G. Lembaga Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat
adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul
keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah
dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat
dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup
masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah
teritorial yang disebut Binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari
beberapa kampong . Masing-masing binua punya otonominya sendiri,
sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum
adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala
desa).timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala
dusun) danpangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi
lembaga adat Dayak Kanayatn
H. Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan
sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan
kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu.
Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan
kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama
pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak
merusak keturunan.
I. Adat Istiadat Suku Dayak
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak yang masih
terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman
dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat
istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari
pedalaman Kalimantan.

1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah
merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang
yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah
tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
mereka yang sudah meninggal dunia.

2. Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman
dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini
pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (
kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang
sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-
mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya,
contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku
Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang
sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang,
dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan


Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa
kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku
Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau
perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke
kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang
tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya
saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau
tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja
seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum


diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui
kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh
para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta
bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang
mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya.
Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar
tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi


manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh
akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang
Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk
keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka
kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka
orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan


terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat.
Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning),
bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia
(metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam
mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar


ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran
orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran
Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih
banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman


Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada
bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya,
bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit
yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci
dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau
Kalangkang” ).

J. Seni Tari Dayak

1. Tari Gantar

Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi.


Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya
menggambarkan benih padi
dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam


penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun
juga dikenal oleh
suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari
Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang

Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah


berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit,
penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian


tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang
seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak
Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong

Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan


keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo
menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi
yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian


Tari Kancet Ledo tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua
tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang.
Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.

4. Tari Kancet Lasan

Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung


yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan
kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku
Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo,
namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung
Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan
berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai.

Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang


ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
Posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak
mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari
banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk
dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-
gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger
di dahan pohon.

5. Tari Leleng

Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along


yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda
yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan.
Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian
lagu Leleng.

6. Tari Hudoq

Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang


menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun
kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya
dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan
Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam
mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan
kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita'


Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama
dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk
upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa
terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik.
Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada
pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum
penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa
dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah
manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah.
Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari
kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen
Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai

Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah


penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian
diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).

9. Tari Belian Bawo

Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit,


mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah
diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima
tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang

Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk Tari Hudoq
Tari Belian Bawo mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon
yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang
menebang pohon tersebut.

11. Tari Pecuk Kina

Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah


yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long
Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun

Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah


dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini
diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang
bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas
kelahiran seorang cucunya.

13. Tari Ngerangkau

Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku
Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang
dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga
menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga' Bagantar

Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat


bayi dengan memohon
bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi
sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

H. Macam-macam suku dayak


 Suku Dayak Abal  Suku Dayak Maanyan
 Suku Dayak Bakumpai  Suku Dayak Mali
 Suku Dayak Bentian  Suku Dayak Mayau
 Suku Dayak Benuaq  Suku Dayak Meratus
 Suku Dayak Bidayuh  Suku Dayak Mualang
 Suku Dayak Bukit  Suku Dayak Ngaju
 Suku Dayak Darat Dayak Mali  Suku Dayak Ot Danum
 Suku Dayak Dusun  Suku Dayak Samihim
 Suku Dayak Dusun Deyah  Suku Dayak Seberuang
 Suku Dayak Dusun Malang  Suku Dayak Siang Murung
 Suku Dayak Dusun Witu  Suku Dayak Tunjung
 Suku Dayak Kadazan  Suku Dayak Kebahan
 Suku Dayak Lawangan  Suku Dayak Keninjal
 Suku Dayak Kenyah  Suku Dayak Ketungau
 Suku Dayak Simpangk  Suku Dayak Sebaruk
 Suku Dayak Kualant  Suku Dayak Undau

I. Senjata Tradisional Suku Dayak

Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda


bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara
prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu
Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak
diterjang peluru. Berikut ini adalah senjata-senjata tradisional suku dayak :

1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya


bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-
tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang
digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas
ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan
dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah
tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan
anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran
panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi
ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah
dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun
temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada
tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran
biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan
emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut
manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau
Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang
mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh
pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai yaitu Batu Sanaman
Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam
sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya
dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku,
Demang, Basir.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat
yaitu antara lain:

1. Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat


menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati
leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya
pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka
itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini
tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi keluarga mereka dan
juga orang yang ada disekitar mereka .
2. Sistem kekerabatan suku dayak yaitu menggunakan system parental
( ayah dan ibu) .

B. Saran

Sebagai warga Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-


kebudayaan yang ada di Negara kita sendiri. Kadang kita lebih mengenal budaya
yang ada di Negara barat melainkan budaya kita sendiri. Salah satu budaya dari
Negara kita adalah budaya suku dayak . Tentu bukan hanya budaya dayak yang
ada di negara Indonesia, melainkan masih banyak budaya-budaya yang belum
kita ketahui . Maka dari itu kita harus mengenal budaya kita sendiri mulai
memberikan wawasan kepada anak-anak sejak dini agar memahami beragam
budaya yang ada di Negeri cercinta ini.

Anda mungkin juga menyukai