Anda di halaman 1dari 17

NYANYIAN BATIMANG SEBAGAI BENTUK TRADISI MENIDURKAN ANAK

DI KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan Negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam. Tiap-tiap
daerah memiliki ciri khas masing-masing dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena berkembangnya zaman, hal-hal yang bersifat tradisional semakin ditinggalkan dan
berangsur-angsur menghilang bahkan ada yang punah. Berangkat dari kenyataan itu, maka
sangat pantas jika hal-hal yang berkaitan dengan tradisi harus selalu dipertunjukkan agar
kelestariannya tetap terjaga.

Salah satu tradisi Indonesia yang menjadi bagian dari seni adalah nyanyian rakyat. Walau
pada kenyataannya nyanyian ini bukan merupakan bagian dari seni secara utuh, sebagian kecil
nyanyian ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam hal ajaran moral. Riau merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang banyak
memiliki daerah-daerah kecil dan tentunya memiliki adat dan kebiasaan masing-masing pula.
Salah satu daerah yang dimaksud dalam hal ini adalah Kabupaten Kampar. Di Kabupaten
Kampar kita dapat menjumpai tradisi bernyanyi untuk menidurkan anak, tradisi ini dinamakan
Batimang. Batimang dalam bahasa Indonesia berarti timang atau menimang yaitu memegang
anak atau menaruh anak ditangan lalu diayun-ayunkan dan dipuji-puji (kbbi.web.id).

Danandjaja (1997:142) mengatakan bahwa dalam nyanyian rakyat kata-kata dan lagu
merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan sehingga akan salah bila orang yang mengumpulkan
nyanyian rakyat tidak sekaligus dengan lagunya. Nyanyian rakyat selalu dinyanyikan oleh
informan dan jarang sekali yang disajakkan saja. Nyanyian rakyat sangat berbeda dari nyanyian
lainnya karena sifat nyanyian rakyat dapat berubah-ubah serta luwes atau tidak kaku baik bentuk
maupun isinya, dan sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh bentuk lagu-lagu lain.

Batimang tergolong salah satu bentuk nyanyian rakyat yang sampai saat ini masih
digunakan sebagian masyarakat Kabupaten Kampar. Di Kampar pada masa itu hanya para ibu
rumah tanggalah yang dianggap patut menidurkan anak karena diikat normal sosial yang berlaku.
Batimang yang ada di Kampar tidak seperti hiburan-hiburan rakyat lainnya yang meriah bila
sedang dihelat, Batimang tidak ditujukan kepada khayalak ramai, melainkan hanya sebatas
penghibur anak sekaligus pelipur lara bagi ibu-ibu yang kebetulan kelelahan karena aktivitas
harian di rumah maupun di luar rumah. Dalam syair Batimang banyak sekali kandungan aspek
kehidupan. Aspek kehidupan yang dimaksud misalnya harapan orang tua yang menginginkan
anaknya menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, taat dalam beragama, dan semua hal yang
baik-baik saat tumbuh besar kelak. Dalam pelaksanaannya, nyanyian Batimang tidak terikat oleh
waktu, karena nyanyian ini bisa dinyanyikan kapan saja tergantung kapan sang anak hendak
tidur.

Saat ini tradisi Batimang jarang sekali didengar karena penuturnya sudah semakin
berkurang. Hal ini dikarenakan para ibu dijaman sekarang sudah banyak yang bekerja di luar
rumah (wanita karir), selain itu karena adanya generasi muda yang tidak lagi memandang
tradisinya sebagai sesuatu yang estetik sehingga keinginan untuk mewarisinya tidak menjadi
tujuan utama mereka, justru budaya asing saat inilah yang mereka pandang sebagai sesuatu yang
pantas untuk dilakoni. Salah satu penyebab perubahan mental tersebut karena zaman yang terus
berkembang.

Peneliti sangat tertarik untuk meneliti nyanyian Batimang ini karena dalam nyanyian ini
memiliki banyak nilai-nilai moral dan edukatif yang berguna untuk mewujudkan pendidikan
karakter di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga untuk menyampaikan kepada generasi yang
akan dating bahwa tradisi Batimang ini perlu dilestarikan agar tidak punah.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Tradisi di Indonesia sangat beragam bentuk dan isinya. Yang menyebabkan keberagaman
itu adalah karena wilayah Indonesia terpisah-pisah oleh banyaknya pulau yang tersebar diseluruh
penjuru tanah air. Di kabupaten Kampar provinsi Riau misalnya, banyak tradisi yang dapat kita
lihat dan dapat kita rasakan. Tradisi-tradisi tersebut diantaranya nyanyian dalam menidurkan
anak. Nyanyian tersebut pada dasarnya banyak mengandung nasihat yang dapat diteladani oleh

anak-anak di Kampar sehingga perilaku mereka ketika besar menjadi manusia yang berkarakter
dan terhindar dari berbegai macam peristiwa amoral.

C. BATASAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka analisis penelitian ini berkait dengan
nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau antara lain melihat bentuk, makna, dan
nilai-niai serta upaya pelestariannya di masyarakat luas. Dari segi syair teksnya, nyanyian
Batiman tergolong dalam cakupan sastra lisan. Dalam menyanyikannya, tidak ada ikatan dari
segi tempo dan nada bergantung pada kepekaan penuturnya dalam pemahamannya mengenai
teks tersebut sehingga nyanyian ini dapat dikategorikan sebagai bentuk puisi lisan karena
syairnyalah yang mendominasi. Oleh karena itu, yang dianalisis dalam nyanyian ini adalah
bentuk teks, makna, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Agar selalu terjaga
kelestariannya, peneliti juga akan menganalisis upaya pelestarian nyanyian Batimang.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fokus masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses penyampaian nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi


Riau?
2. Bagaimanakah bentuk nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau?

3. Bagaimanakah makna yang terkandung dalam nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar


Provinsi Riau?
4. Bagaimanakah upaya pelestarian nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau?

E. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum penelitian ini bertujuan melestarikan nyanyian Batimang di Kabupaten


Kampar Provinsi Riau. Selain tujuan umum, penelitian ini juga mempunyai tujuan khusus yaitu
untuk memperoleh deskripsi tentang:

1.
2.
3.
4.

Bentuk teks nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.


Makna nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Nilai-nilai yang terkandung Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Upaya pelestarian nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

F. MANFAAT PENELITIAN

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat member sumbangsih terhadap
perkembangan ilmu budaya, khususnya yang berkaitan dengan nyanyian rakyat nusantara.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:

a) Pelestarian nyanyian Batimang dalam masyarakat Kampar sebagai salah satu bagian dari
tradisi lisan nusantara.
b) Pemanfaatan nyanyian Batimang sebagai bahan pembelajaran di sekolah.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Semiotika

Teori semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Tokoh perintis semiotika adalah
Ferdinand de Saussure (1875-1913) seorang ahli linguistik dan Charles Sander Pierce (18391914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutknya
semiotik (semiotics). Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda
(signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai suatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah suatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya, jenis-jenis tanda
yang utama adalah ikon, indeks, dan simbol. Dikaitkan dengan pelopornya, maka dalam
semiotika terdapat dua aliran utama yaitu Saussarean dan Piercean. Menurut Zoest (Ratna,
2006:103), dihubungkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat
dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran yaitu (1) aliran semiotika komunikasi, (2) aliran
semiotika konotatif, dan (3) aliran semiotika ekspansif.

Dalam menganalisis makna teks nyanyian Batimang ini akan digunakan semiotika yang
dikemukakan Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat
pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau
konsep abstrak dibaliknya. Pada sistem konotasi (sistem penandaan tingkat kedua) rantai
penanda/petanda

pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan

petanda yang lain pada rantai pertandaan yang lebih tinggi. Makna denotasi (denotative
meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Denotasi adalah tanda yang

penandaannya mempunyai tingkat konversi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka
terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika
penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan.
Misalnya tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang. Konotasi dapat dihasilkan makna
lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi yang disebut makna konotatif (connotative
meaning).

2. Teks, Ko-teks, dan Konteks

Setiap tradisi lisan memiliki bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan
konteks, sedangkan isi terdiri dari makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan local
(Sibarani, 2012:241). Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat
tightly formalized language seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan
tradisi lisan non verbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat dari
struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna keseluruhan,
makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topic atau
tema dari sebuah teks. Struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks,
termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan

(introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing saling
mendukung secara koheren (Sibarani, 2012: 242).

Ko-teks menurut Cook (1994) adalah hubungan antar wacana yang merupakan
lingkungan kebahasaan yang melingkupi suatu wacana. Menurut sibarani (2012:242) koteks
adalah keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinghuistik, proksemik,
kinetic, dan unsur material lainnya. Deskripsi paralinguistic mencakup intonasi, aksen, jeda, dan
tekanan sedangkan kinetic merupakan bidang ilmu yang mengkaji gerak isyarat. Proksemik
merupakan bidang ilmu yang mempelajari penjagaan jarak antara pembicara dan pendengar
sebelum dan ketika sedang terjadi komunikasi. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antar pelaku
dan antara pelaku dengan penonton akan memberikan kontribusi pada interpretasi makna dalam
tradisi lisan. Bentuk ko-teks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur
material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Unsur-unsur material yang
dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya,
penggunaan warna dengan ragam pilihannya, penataan lokasi dengan dekorasinya, dan
penggunaan berbagai property dengan fungsi masing-masing. Dalam penelitian nyanyian
Batiman di kabupaten Kampar provinsi Riau yang menjadi ko-teks adalah intonasi, aksen, jeda,
dan tekanan dari nyanyian anak tersebut, dan juga benda-benda atau material yang digunakan
dalam nyanyian tersebut.

Secara harfiah, konteks berarti something accompanying text. Yang berarti sesuatu
yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa yang
digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday pengertian harfiah itu
diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta
sosial. Oleh Halliday something di atas diolah menjadi sesuatu yang telah ada dan hadir
dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada
konteks cultural dan konteks sosial (Halliday, 1978) yang diidentifikasi melalui medan, pelibat
dan sarana (Sinar, 2010).

Dalam kajian tradisi lisan peranan konteks sangat penting. Dalam penelitian tradisi lisan
nyanyian Batimang di kabupaten Kampar, konteks merupakan salah satu yang harus diamati
sehingga pemaknaan nyanyian ini dapat dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu penulis
tertarik dalam mendeskripsikan nyanyian Batimang dalam konteks sosial mengacu pada faktorfaktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan konteks. Konteks sosial ini meliputi orangorang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmpat, dan bahkan komunitas pendukungnya.
Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat dan cara penggunaan teks. Hal ini terlihat jelas
pada nyanyian, siapakah penutur, pengelola dan penikmatnya. Dan kapan nyanyian ini
dilakukan, di mana tempatnya, serta bagaimana melakukannya.

3. Teori Fungsi Musik

Menurut

Alan

P.

Merriam

(1964:219)

ada

pertimbangan

kenyataan

untuk

mengindikasikan fungsi seni itu luas dan pada tingkat tertentu (khusus) dapat bermakna sebagai
eksperesi emosional. Dalam pembicaraan teks lagu, kita dapat peluang menetukan bahwa satu
dari ciri-ciri alam adalah kenyataan bahwa alam menyediakan sarana bagi pengeksperesian ide
dan emosi yang tidak dinyatakan seperti dalam percakapan sehari-hari. Pada tingkat yang lebih
umum, nampaknya seni musik lebih murni diliputi dengan emosi dan dinyatakan dalam
eksperesi, entah emosi secara khusus atau emosi secara umum.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Uses and Functions yang
dikemukakan Alan P. Merriam(1964:219-227) dalam bukunya The Anthropology Of Music yang
menawarkan 10 fungsi musik dalam masyarakat, yaitu :
a) Fungsi pengungkapan emosional
Musik berfungsi sebagai suatu media bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaan
atau emosinya. Dengan kata lain si pemain dapat mengungkapkan perasaan atau emosinya
melalui musik.
b) Fungsi penghayatan estetis
Musik merupakan suatu karya seni. Suatu karya dapat dikatakan karya seni apabila dia
memiliki unsur keindahan atau estetika di dalamnya. Melalui musik kita dapat merasakan nilainilai keindahan baik melalui melodi ataupun dinamikanya.
c) Fungsi hiburan

Musik memiliki fungsi hiburan mengacu kepada pengertian bahwa sebuah musik pasti
mengandung unsur-unsur yang bersifat menghibur. Hal ini dapat dinilai dari melodi ataupun
liriknya.
d) Fungsi komunikasi
Musik memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah musik yang berlaku di suatu
daerah kebudayaan mengandung isyarat-isyarat tersendiri yang hanya diketahui oleh masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teks atau pun melodi musik tersebut.
e) Fungsi perlambangan
Musik memiliki fungsi dalam melambangkan suatu hal.Hal ini dapat dilihat dari aspekaspek musik tersebut, misalmya tempo sebuah musik. Jika tempo sebuah musik lambat, maka
kebanyakan

teksnya

menceritakan

hal-hal

yang

menyedihkan.

Sehingga

musik

itu

melambangkan akan kesedihan.


f) Fungsi reaksi jasmani
Jika sebuah musik dimainkan, musik itu dapat merangsang sel-sel saraf manusia sehingga
menyebabkan tubuh kita bergerak mengikuti irama musik tersebut. Jika musiknya cepat maka
gerakan kita cepat, demikian juga sebaliknya.
g) Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial
Musik berfungsi sebagai media pengajaran akan norma-norma atau peraturan-peraturan.
Penyampaian kebanyakan melalui teks-teks nyanyian yang berisi aturan-aturan.
h) Fungsi pengesahan lembaga sosial
Fungsi musik disini berarti bahwa sebuah musik memiliki peranan yang sangat penting
dalam suatu upacara. Musik merupakan salah satu unsur yang penting dan menjadi bagian dalam
upacara, bukan hanya sebagai pengiring.
i) Fungsi kesinambungan kebudayaan

Fungsi ini hampir sama dengan fungsi yang berkaitan dengan norma sosial. Dalam hal ini
musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk meneruskan sebuah sistem dalam kebudayaan terhadap
generasi selanjutnya.
j) Fungsi pengintegrasian masyarakat
Musik memiliki fungsi dalam pengintegrasian masyarakat. Suatu musik jika dimainkan
secara bersama-sama maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa kebersamaan
diantara pemain atau penikmat musik itu.
B. Kajian Relevan

BAB III

METODOLOGI PENELETIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena
permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan
penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dapat dijaring secara
kuantitatif. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan
pola, hipotesis dan teori (Sugiyono, 2012:292).

B. Setting Penelitian

Setting penelitian merupakan tempat dilakukannya penelitian. Tempat penelitian yang


akan dilakukan pada penelitian ini yaitu di Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

C. Unit Analisis

D. Sumber Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah nyanyian Batimang di Kabupaten Kampar yang sudah
ditranskripsikan dalam bentuk teks yang diperoleh melalui perekeman. Selain itu sumber data
yang akan diperoleh yaitu melalui wawancara kepada informan (masyarakat dan tokoh adat
setempat) yang berada di kabupaten Kampar.

DAFTAR PUSTAKA

Merriam, Alan P. 1964. The Antropology of Music. Indiana: North University Press
Barthes, Roland. (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Yogjakarta: Kreasi Wacana
Bascom, William R. (1965b). Four Functions of Folklore dalam Alan Dundes The Study of Folklore.
Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.
Cook, Guy. (1994). Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Danandjaja, James. (1991). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Danandjaja, James. (1994). Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi
Psikologi dalam Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.
Danandjaja, James. (2002). Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti.
Danandjaja, James. (2007). Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Halliday, M.A.K. (1978). Language as Social Semiotics. London: University Park Press.
Halliday, M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language in A
Social Semiotic Perspective. London: Oxford University Press.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal Hakikat. Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Medan: Asosiasi
Tradisi Lisan
Sinar, T.S. (2010). Teori dan Analisis Wacana. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Anda mungkin juga menyukai