Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ISLAM DAN BUDAYA MANDAILING NATAL


KESENIAN TAPANULI DITINJAU DARI PANDANGAN
ISLAM

Dosen Pembimbing :
Dr. M. Daud Batubara, M.Si

Disusun Oleh :
Lely suaidah
Rahmad nainggolan
Rahmi aidil

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.Harapan kami semoga makalah ini membantu pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kami akui makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan kritik ataupun masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Panyabungan, Desember 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.............................................................................1
B. Rumusan masalah........................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis Kesenian Masyarakat Tapanuli Selatan .............................2
B. Gordang Sambilandan Sibaso .....................................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................7
B. Saran............................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang memiliki beberapa sub
etnis, dimana setiap etnis memiliki kebudayaan atau ciri khas yang berbeda-beda
kebudayaan. Ciri khas tersebut menunjukkan identitas atau karakter dari setiap
sub etnis tersebut. Sub etnis itu terdiri dari Melayu, Batak Toba, Karo,
Simalungun, Dairi, Nias, Sibolga, Angkola, dan Tapanuli Selatan. Kabupaten
Tapanuli Selatan adalah daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas
tersebut menunjukkan identitas masyarakat Tapanuli Selatan yang unik. Ciri khas
yang unik dapat dipandang dari berbagai aspek kebudayaan, seperti bahasa, adat
istiadat, sistem, religi, kekerabatan, kuliner, kesenian, dalan sebagainya. Kesenian
adalah bagian dari budaya yang merupakan sarana yang digunakan untuk
mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Secara umum kesenian
juga dapat mempererat solidaritas suatu masyarakat kesenian adalah keseluruhan
sistem yang melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif
didalam sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Kesenian
terbagi menjadi seni drama, seni rupa, seni musik, dan seni tari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesenian masyarakat Tapanuli Selatan ?
2. Apakah gordang dambilan dan bagaimana peran dalam masyarakat Tapanuli
Selatan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kesenian masyarakat Tapanuli Selatan
2. Untuk mengetahui gordang sambilan dan bagaimana peran dalam masyarakat
Tapanuli Selatan

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis Kesenian Tapanuli Selatan
Kabupaten Tapanuli Selatan adalah daerah yang memiliki ciri khas
tersendiri. Ciri khas tersebut menunjukkan identitas masyarakat Tapanuli Selatan
yang unik. Ciri khas yang unik dapat dipandang dari berbagai aspek kebudayaan,
seperti bahasa, adat istiadat, sistem, religi, kekerabatan, kuliner, kesenian, dalan
sebagainya. Kesenian adalah bagian dari budaya yang merupakan sarana yang
digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.
Secara umum kesenian juga dapat mempererat solidaritas suatu masyarakat
kesenian adalah keseluruhan sistem yang melibatkan proses penggunaan imajinasi
manusia secara kreatif didalam sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan
tertentu.
1. Seni Tari
Kesenian terbagi menjadi seni drama, seni rupa, seni musik, dan seni
tari. Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang dilahirkan melalui gerak
yang ritmis dan indah. Adapun tari terdiri dari tari tradisional dan tari
modern. Tari tradisional adalah suatu tarian yang pada dasarnya berkembang
di suatu daerah tertentu yang berpedoman luas dan berpijak pada adaptasi
kebiasaan secara turun temurun yang dipeluk/dianut oleh masyarakat yang
memiliki tari tersebut. Pada masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan
menyebutkan tari itu adalah tortor. Tortor dilakukan pada acara upacara
perkawinan, upacara kematian, upacara kelahiran anak, serta perayaan hari-
hari besar seperti peringatan Hari Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, Hari
Kesaktian Pancasila dan sebagainya.
Tortor tersebut adalah tortor tradisional yang diciptakan oleh
masyarakat Tapanuli Selatan itu sendiri yang mengandung norma-norma adat
tertentu yang telah disepakati bersama. Tarian tradisi Tapanuli Selatan
memiliki ragam-ragam gerak dasar yaitu manyomba tu raja, markusor, dan
singgang. Gerak-gerak dasar tari tersebut selalu ada pada tari-tari tradisi di
Tapanuli Selatan. Pada masyarakat Tapanuli Selatan terdapat beberapa tari
tradisional seperti, tortor Somba, tortor Suhut Sihabolonan, tortor Kahanggi,

2
tortor hombar Suhut, tortor Anak Boru, tortor pisang rahut, tortor Mora
Manartarkor Rintop, tortor Hatobangon, tortor Harajaon, tortor Panusunan
Bulung, tortor Namora Pule, tortor Naposo nauli Bulung, tortor Manilpokkon
Hasaya, tortor Pamuli Sibaso, dan tortor Siluluton.
2. Seni Suara
Sebagai salah satu etnik di Sumatera Utara, masyarakat Angkola
memiliki corak nyanyian yang disebut dengan Ende. Ende atau nyanyian
merupakan satu satu kesenian dari Angkola-Mandailing yang dibawakan
melalui vokal atau suara yang dihasilkan melalui mulut. Perkembangan
zaman secara tidak langsung akan menenggelamkan suatu tradisi yang telah
ada di zaman sebelumnya khusunya musik-musik tradisional yang lamban
laun akan menghilang. Salah satunya musik vokal Ungut- ungut yang
merupakan suatu kesenian yang berasal dari masyarakat angkola khususnya
daerah Tapanuli Selatan-Mandailing yang keberadaannya sudah hampir
hilang dalam masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola adalah masyarakat
yang senang mengungkapkan perasaannya dengan berlagu. Hal ini
digambarkan oleh adanya jenis karya (sastra) yang berbentuk puisi yang
disampaikan dengan cara berlagu, yang disebut Ende Ungut-ungut.
Vokal atau suara yang dibawakan dalam Ungut – ungut cenderung
rendah (halus). Kisah yang diceritakan dalam Ungut-ungut merupakan hal-
hal yang berisikan ungkapan serta keluh kesah yang ditujukan kepada
seseorang secara tidak langsung,dan apabila ada orang yang
mendengarkannya maka akan merasa ikut bersedih. Karena cerita dalam
Ungut-ungut merupakan pengalaman atau kejadian yang nyata yang telah
dialami oleh orang tersebut. Dilihat dari teksnya Ende Ungut – ungut tidak
memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan
ada kalanya 4 baris, 5 baris , 6 baris dan sebagainya. Namun,dalam
perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur pantun. Ungut –
ungut bersajak ab-ab dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran
sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Secara musikal Ungut-ungut dinyanyikan secara solo oleh seorang
pria dengan tempo yang lambat, tanpa meter, dan biasanya ada alat musik

3
yang mengiringinya. Ungut-ungut memiliki berbagai macam cerita yang
bertemakan tentang kesedihan yang dinyanyikan/ disenandungkan dan
penyampaiannya pun dilakukan dengan irama sedih . Tiap syair yang
dinyanyikan dalam Ungut-ungut memiliki makna yang berbeda-beda
tergantung pada tema yang akan dibawakan, namun memiliki fungsi yang
sama. Adapun jenis tersebut Ungut - ungut antara lain:
a. Ungut-ungut yang ditinggalkan orang tua.
b. Ungut-ungut nasihat terhadap anak agar rajin bersekolah dan menuntut
ilmu dan nasihat terhadap orang yang telah berumah tangga.
c. Ungut-ungut untuk orang yang ditinggalkan kekasih.
d. Ungut-ungut untuk orang yang dilanda kerinduan.
e. Ungut-ungut tentang penderitaan hidup.

B. Gordang Sambilan dan Sibaso


Gordang Sambilan atau Gondang Sambilan adalah seperangkat alat musik
sakral yang terdiri dari sembilan buah gendang besar mirip bedug. Alat musik
tradisional khas etnis Batak Mandailing, Sumatera Utara, ini tidak memiliki nama
paten yang berlaku di semua wilayah melainkan berbeda-beda. Wilayah Pakantan
misalnya, urutan nama gendang dari yang kecil sampai terbesar adalah enek-enek,
patolu (2), padua (2), hudong-kudong (2), dan jangat (2). Kepopuleran gordang
sambilan bertumbuh seiring kian seringnya tari Tor tor ditampilkan dalam upacara
pernikahan, penyambutan tamu, festival budaya, dan acara-acara budaya lainnya.
Ada beberapa pendapat tentang penambahan kata sambilan di belakang nama
gordang atau gondang yang menjelaskan jumlah alat musiknya. Pendapat pertama
menduga hal ini ada kaitannya dengan jumlah raja yang saat itu berkuasa di
wilayah Mandailing Natal, yaitu Nasution, Pulungan, Rangkuti, Hasibuan, Lubis,
Mantondang, Parinduri, Daulay, dan Batubara. Pendapat lain menjelaskan bahwa
di masa kerajaan dahulu jumlah pemukul gordang memang harus sembilan orang,
yang terdiri dari raja, naposo bulung (kaum muda), anak boru, dan kahanggi.
Gordang atau gendang besar dan panjang khas Batak Mandailing ini
terbuat dari kayu yang bagian tengahnya dibuang sehingga membentuk tabung
resonator. Permukaan salah satu lubang tabung ditutup dengan membran dari kulit

4
lembu, yang saat pemasangannya ditarik kencang hingga rata dan menegang, lalu
diikat menggunakan tali rotan. Gordang yang tergolong alat musik perkusi
tradisional dimainkan dengan cara memukul permukaan membran, menggunakan
dua buah alat pemukul yang terbuat dari kayu. Ukuran panjang dan diameter
gordang yang berbeda-beda mengakibatkan nada yang dihasilkan juga tidak sama.
Ansambel gordang sambilan dilengkapi dengan instrumen perkusi berupa
ogung boru boru (gong terbesar atau gong betina), ogung jantan (gong terbesar
kedua), doal (gong berukuran lebih kecil dari ogung jantan), tiga salempong atau
mongmongan (gong terkecil), dan sepasang tali sasayat (simbal kecil), serta alat
musik tiup sarune atau saleot. Sebelum kedatangan Islam di Sumatera Utara,
gordang sambilan digunakan dalam upacara Paturuan Sibaso, yaitu ritual
memanggil roh nenek moyang melalui medium atau semacam shaman (dukun)
yang dinamakan Sibaso. Tujuannya adalah untuk meminta pertolongan dalam
mengatasi kesulitan yang menimpa masyarakat Mandailing, seperti wabah
penyakit menular. Gordang sambilan yang masa itu dianggap sakral juga
digunakan dalam upacara mangido udan (meminta hujan). Jika hujan sudah
berlangsung cukup lama hingga menimbulkan banjir dan terjadi kerusakan hasil
panen, gordang sembilan kembali digunakan untuk memohon agar hujan lekas
berhenti.
Selain itu gordang sambilan juga digunakan dalam upacara Horja Godang
Markaroan Boru (perkawinan), dan Horja Mambulungi (kematian). Untuk bisa
menggunakan gordang sambilan dalam kedua upacara tersebut, jika terkait
kepentingan pribadi harus mendapat izin dari Namora Natoras (pemimpin
tradisional), dan Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan ijin dilakukan
melalui musyawarah adat “markobar adat” yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
Namora Natoras dan Raja beserta pihak penyelenggara upacara. Bukan hanya ijin
tetapi kesanggupan untuk menyembelih setidaknya satu ekor kerbau jantan
dewasa. Jika tidak terpenuhi maka gordang sambilan tak boleh digunakan dalam
Horja Mambulungi, hanya dua gendang terbesar (jangat) saja yang diijinkan,
tetapi upacara kematiannya berubah menjadi Bombat. Saat digunakan dalam
upacara adat, gordang sambilan diiringi dengan peragaan benda-benda kebesaran
adat, seperti bendera-bendera adat (Tonggol), payung kebesaran (Payung

5
Raranagan), pedang (Podang), dan tombak (Tombak Sijabut). Gordang sambilan
juga digunakan untuk mengiringi Sarama Penyatarama (penari Sarama), yang
terkadang “kesurupan” karena dimasuki oleh roh nenek moyang.
Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan bagi para raja, dan
bentuk perlawanan terhadap Belanda. Ada bunyi tertentu yang ditabuh untuk
menandakan kedatangan tentara Belanda sekaligus kode bagi masyarakat untuk
segera mengungsi. Jika tentara Belanda sudah pergi maka gordang kembali
dibunyikan dengan nada tertentu sebagai isyarat agar masyarakat kembali ke
kampung. Penyebutan nama gordang sambilan tidak selalu sama, misalnya saja
suku Mandailing di daerah Angkola, Padangsidempuan, menyebutnya sebagai
gordang dua, padahal sebelumnya dinamakan gordang tujuh. Ternyata
pengubahan nama disebabkan adanya larangan memainkan kesenian gordang
sambilan dari pemerintah kolonial masa itu. Hanya suku Mandailing Natal yang
tidak mengubah penyebutannya, sejak dahulu hingga kini tetap bernama gordang
sambilan.

BAB III

6
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat tapanuli selatan memiliki beberapa kesenian, dan setiap
kesenian tersebut memiliki makna dan falsafah. Seni tari yang dimiliki masyarakat
tapanuli selatan adalah tari tor-tor yang diiringi dengan musik gordang sambilan
dan seni suara onang-onang. Setiap kesenian sudah melakukan peradaban sesuai
dengan perkembangan zaman. Yang dulunya gordang sambilan dilakukan untuk
meminta pertolongan maka setelah masuk Islam kegiatan ini mulai hilang. Namun
gordang smabilan tetap dilakukan pada acara pesta atau horja dan sebagainya.

B. Saran
Seiring perkembangan zaman banyak kesenian masyarakat mandailing
natal hampir hilang pelestariannya. Seperti tulisan tulak-tulak, sekarang
masyarakat hanya sedikit saja yang paham tentang surat tulak-tulak tersebut, oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan melestarikan
kesenian serta peninggalan-peninggalan yang ada.

7
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unimed.ac.id/16487/4/2111542010%20CHAPTER%20I.pdf

http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/gordang-sambilan--seni-musik?
lang=id

http://digilib.unimed.ac.id/22387/8/11.%20BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai