ANALISIS KOREOGRAFI DALAM TARI BEDHAYA HAGOROMO KARYA DIDIK NINI THOWOK dalam Acara “Reborn” International Dance Performances and Seminar, Homage To Sri Sultan Hamengku Buwono X and Yogyakarta By Didik Nini Thowok
Disusun oleh : Hafida Kholifatul Janah / 12209241002
JURUSAN PENDIDIKAN SENI TARI
FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANALISIS KOREOGRAFI Judul tari : Bedhaya Hagoromo Penata tari : Didik Nini Thowok Acara : “Reborn” International Dance Performances and Seminar, Homage to Sri Sultan Hamengku Buwono X and Yogyakarta by Didik Nini Thowok, 06 December 2014, 7.30 pm, at Bangsal Kepatihan Yogyakarta.
A. Latar Belakang Garapan
Bedhaya Hagoromo merupakan karya tari yang disusun atas dasar ide memadukan antara dua unsur budaya, yakni budaya Jawa dan Budaya Jepang. Karya tari ini kemudian diwujudkan dalam pola garap tari bedhaya dan menyertakan tari Hagoromo. Awal ide garapan ini muncul ketika Didik Nini Thowok mendapatkan fellowship dari the Japan foundation Jakarta, dan memiliki kesempatan untuk mempelajari tari Nihon tari Noh Drama di Tokyo, Jepang selama 3 bulan, di tahun 2000. Salah satu tari Noh yang beliau pelajari adalah tari Hagoromo (Jubah Terbang). Di dalam Noh Drama, Hagoromo mengisahkan tentang seorang pemancing bernama Hakuryo yang mengambil jubah milik seorang bidadari yang sedang mandi di pantai. Untuk mendapatkan jubahnya kembali, Hakuryo memberikan satu syarat agar sang bidadari menarikan tarian langit dihadapannya. Terpenuhinya syarat tersebut menyebabkan bidadari bisa kembali terbang ke langit dengan mengenakan jubahnya. Cerita ini mempunyai kemiripan dengan cerita Joko Tarub dan Bidadari Nawangwulan yang tertulis dalam Serat Babad Pajang, dan sudah sangat popular di Jawa. Hal tersebut yang melatarbelakangi pemikiran Didik Nini Thowok untuk menyusun karya tari Kolaborasi antara Noh Drama dengan tari Jawa,yang menyajikan cerita Joko Tarub dan Nawangwulan. Hal lain yang mendorong penyusunan koreografi ini adalah teknik tari dan tingkat penjiwaan dari tari Noh Drama yang sifatnya meditative setara dengan tari Bedhaya yang berasal dari lingkungan Keraton di Jawa. Maka dari itu beliau mencoba mengkolaborasikan tari bedhaya dengan tari Noh yang diwujudkan melalui tari Hagoromo. Ciri Khas dari garapan tari ini adalah pemilihan penari pendukung yang seluruhnya laki-laki, yang kemudian menarikan tarian perempuan (Cross Gender), sehingga bisa disebut Bedhaya Kakung.
B. Aspek Komposisi Tari
1. Gerak Tari adalah bergerak ( La Meri, 1986:88). Menurut Soedarsono tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak yang indah dan ritmis. Dalam penggarapan gerak tari Bedhaya Hagoromo masih tetap menggunakan dasar gerak tradisi dalam tari Bedhaya gaya Yogyakarta, hanya saja dikolaborasikan dengan property kipas yang dipegang dengan tangan kanan untuk menari. Pada bagian cerita yang menggambarkan Bidadari Nawangwulan menangis lalu Joko Tarub menyerahkan jubah terbang (Harogomo), semua penari menggunakan topeng tiruan dari topeng K-omote yang dipakai dalam tari Harogomo. Khusus penari Endhel yang berperan sebagai Bidadari Nawangwulan, setelah menggunakan jubah terbang, kemudian menarikan tari Noh Hagoromo dengan diiringi instrumen Kemanak dikolaborasikan dengan Ji-Utai Noh Hagoromo. 2. Musik/ Iringan Musik yang digunakan dalam tari Bedhaya Hagoromo adalah seperangkat gamelan pelog lengkap dengan sinden dan swara kakung. Selain itu ditambah dengan Kotsuzumi yaitu kendang Noh Drama yang cara membunyikannya ditempelkan di pundak, Nohkan yaitu Seruling Noh Drama, Ji-Utai yaitu koor pria yang menyanyikan lagu untuk mengiringi penari. Adapun format musik pengiring adalah sebagai berikut: a. Gendhing kapang-kapang maju b. Kandha c. Gendhing Ladrang: untuk mengiringi bentuk tari bagian pertama dengan format bedhaya. d. Gendhing Kethawang: untuk mengiringi cerita pokok/inti. Pada bagian ini terjadi kolaborasi antara musik jawa yaitu Kemanak dengan Ji-Utai lagu Noh Hagoromo. e. Kembali keg ending ladrang untuk mengiringi tari bagian penutup dengan kolaborasi kotsuzumi (kendang) dan Nohkan (seruling). 3. Tata Rias dan Busana Tata rias dan busana yang digunakan dalam tari Bedhaya Hagoromo sama seperti busana penari bedhaya putri pada umumnya, dengan menggunakan rias jaitan dan tata busana Jamangan, yang terdiri dari : a. Kain lerek motif parang . b. Rompi bordir mote pada tepinya. c. Sampur sutra warna orange dengan tumpal. d. Kulit-kulitan: Jamang dengan hiasan bulu, Sumping, klat bahu, Kalung susun, dan slepe. e. Perhiasan logam: Gelang Kana, Subang, Cundhuk jungkat, cunduk mentul 5 buah, ceplok jebehan, pelik pada sinyong. f. Penari endhel menggunakan perhiasan kepala hagoromo yang dihias dengan bunga peony. Untuk mewujudkan kolaborasi dengan drama Noh ada beberapa properti yang digunakan yaitu: a. Seluruh penari membawa kipas yang diadaptasi dari kipas jenischukei dalam Noh drama. b. Semua pemain memakai tiruan topeng K-omote seperti yang dipakai pada tari Hagoromo Noh Jepang. c. Khusus untuk peran Batak dan Endhel selain mengenakan kostum bedhaya seperti lainnya masih ditambah dengan kimono transparan. d. Asesoris peran Batak ditambah pemakaian tusuk konde khusus dengan rumbai yang berjuntai disebelah kanan dan kiri, dan kimono besar berwarna putih. 4. Desain lantai Desain lantai adalah pola yang dilintasi oleh gerak-gerak dari komposisi diatas lantai dari ruang tari (La Meri 1986:19). Dalam tari bedhaya Hagoromo, bagian depan dan akhir sama pola lantainya dengan tari bedhaya pada umumnya, yang membedakan adalah pada bagian pokoknya. Didalam bagian pokok, pola yang digunakan merupakan kolaborasi dari tari Bedhaya dengan tari Hagoromo. Pada bagian ini banyak pola melingkar, penari Endhel dan Batak sebagai fokusnya hingga akhir dari bagian ini adalah Batak yang menjadi titik fokus. 5. Desain atas Desain atas adalah desain yang berada di udara di atas lantai, yaitu desain yang terlihat oleh penonton terlintas pada backdrop (La Meri 1986:25). Elemen dasar yang digunakan dalam tari bedhaya Hagoromo diantaranya: a. Datar: penonton melihat badan penari dalam postur yang hampir tanpa perspektif ketika sedang kapang-kapang, b. Dalam: penonton melihat badan penari dalam perspektif yang dalam ketika sedang duduk menggunakan topeng, c. Statis: pose statis, tetapi bergerak, d. Tinggi: ruang dari dada penari ke atas, e. Medium: ruang antara bahu penari dan pinggang, f. Rendah: ruang yang terletak dari pinggang penari ke bawah, g. Garis tertunda: garis yang terlukis diudara oleh baju hagoromo serta sampur. 6. Tema Dalam tari Bedhaya Hagoromo, tema yang diangkat adalah cerita klasik dari dua daerah yang dikolaborasikan menjadi satu, yaitu drama Noh dari Jepang dan cerita Joko tarub dari Jawa. Cerita tersebut dikemas kedalam bentuk sajian Bedhaya kolaborasi dengan unsure Jepang. Apabila garapan ini di uji dengan lima test bisa dan tidaknya tema maka semuanya sudah terjawab, jawaban itu adalah: a. Garapan tersebut bernilai b. Garapan tersebut dapat ditarikan c. Terdapat efek sesaat pada penonton d. Perlengkapan teknik pencipta tari dan penari terpenuhi dan seimbang e. Ruang gerak, lighting, kostum, dan musik mendukung 7. Desain dramatic Desain dramatic adalah tanjakan emosional, klimaks dan jatuhnya keseluruhan (La Meri 1986:53). Dalam tari ini dapat digambarkan desain dramatic kerucut, dengan urutan sebagai berikut a. permulaan b. kekuatan yang merangsang dari gerak c. perkembangan d. klimaks e. penurunan, penahanan akhir kemudian akhir. C. Kesimpulan Setelah saya mengamati dan menganalisis pertunjukan tari Bedhaya Hagoromo, saya dapat memahami cerita yang hendak disampaikan oleh pencipta tari. Segala aspek dalam komposisi tari sudah terpenuhi dan menjadi sebuah pertunjukkan yang dapat diterima dan layak untuk ditonton. Ide dari sang pencipta mengkolaborasikan dua budaya sekaligus menjadi daya tarik tersendiri, ditambah dengan penari yang berjenis kelamin laki-laki dan menarikan tari perempuan merupakan sesuatu yang tidak biasa, apalagi tari tersebut diadaptasi dari tari sakral dari Keraton.
D. Sumber Meri, La. 1986. Elemen-elemen Dasar Komposisi Tari. Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta: Lagaligo.