Anda di halaman 1dari 48

ASAL MULA DANAU TES DI LEBONG

Provinsi Bengkulu.

Danau Tes adalah sebuah danau terbesar di


Provinsi Bengkulu yang terbentang antara dua
buah dusun adat suku Rejang, yaitu: dusun adat
Kutei Donok (Desa Tengah) dan dusun adat Tes.
Danau ini terletak di kecamatan Lebong Selatan,
Kabupaten Lebong, dan berada di lereng
pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian
500 meter di atas permukaan laut.
Secara geografis topografi Danau Tes dan
daerah di sekitarnya adalah lereng perbukitan
dengan ketinggian menengah (sekitar 500 meter
di atas permukaan laut), hal ini praktis
menjadikan Danau Tes dan daerah sekitarnya
memiliki cuaca yang sejuk dengan curah hujan
yang kebanyakan adalah merata sepanjang
tahun.
Konon, Danau Tes ini dulunya merupakan
aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi
suatu peristiwa, aliran itu berubah menjadi
danau.
Inilah kisah Asal Mula Danau Tes :
Dikisahkan di Dusun Kutei Donok, Tanah
Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang
ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak
laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang
sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil
demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian
luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu
menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal
mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang
mendasarinya. Pada suatu hari, si Lidah Pahit
berniat untuk membuka lahan persawahan baru
di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang
lebih lima kilometer dari dusun tempat
tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya
kepada para tetangganya dan mendapat izin dari
Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera
menyiapkan segala peralatan yang akan
dipergunakan_untuk_membuka_lahan
persawahan baru.
“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak
pergi ke daerah Baten Kawuk untuk
membuka lahan persawahan baru,” ujar si
Lidah Pahit kepada anaknya. 
“Baik, Ayah!” jawab anaknya. 
Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah
Pahit pun berangkat dengan membawa kapak,
parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah
Baten Kawuk, ia pun mulai menggarap sebuah
lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai
Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai
pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon
besar dengan kapak dan membabat semak
belukar dengan parang. Setelah itu, ia pun segera
mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah
cangkulannya ia buang ke Sungai Air
Ketahun. Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit
telah membuka lahan persawahan seluas kurang
lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei
Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk
membuka lahan persawahan seluas satu hektar
dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu
minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar
dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit
melihat hasil pekerjaannya itu. Pada hari ketiga,
si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk
melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan
penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal
lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar
dapat dengan segera menanam padi di lahan
persawahannya yang baru itu. Namun, tanpa
disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan
pemuka masyarakat di kampungnya sedang
membicarakan dirinya. Mereka membicarakan
tentang pekerjaannya yang selalu membuang
tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun,
sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak
lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok
yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus
membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air
Ketahun akan menyumbat air sungai dan
mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei
Donok akan tenggelam. Melihat kondisi itu, ketua
adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei
Donok lainnya segera bermusyawarah untuk
mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit
dapat dihentikan. Setelah beberapa jam
bermusyawarah, mereka pun menemukan
sebuah alasan yang dapat menghentikan
pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah
beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu
kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si
Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera
menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik
mencangkul. 
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari
untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang
utusan. 
“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?”
tanya si Lidah Pahit. 
“Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal
dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia
terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan
lainnya. 
“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku
mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh
keyakinan. 
Beberapa kali para utusan tersebut berusaha
untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit
tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun
kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa
hasil. 
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si
Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor
seorang utusan kepada ketua adat. 
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan
laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya. 

Mendengar keterangan itu, ketua adat segera


menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk
menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah
Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak
percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja
mencangkul dan membuang tanah cangkulannya
ke Sungai Air Ketahun. Melihat keadaan itu,
akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka
adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan
langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka
berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah
Pahit di tempat kerjanya. 

“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami!


Anakmu benar-benar telah meninggal dunia,”
kata ketua adat kepada si Lidah Pahit. 
Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan
pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya
kepada mereka. 
“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang
datang menyampaikan berita ini, maka saya
sekarang percaya kalau anak saya telah
meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan
suara pelan. 
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan
kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar
ketua adat. 
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan
saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si
Lidah Pahit.
Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta
rombongannya berpamitan untuk kembali ke
Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi,
si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya
tadi. 
Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang
sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi
meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka
dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-
benar telah meninggal dunia. 
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi
bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat
ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun
melampiaskan kemarahannya pada tanah
garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan
cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. 
Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun
Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah
meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia
mendapati anaknya benar-benar sudah tidak
bernyawa lagi. 
Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit
itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan
akhirnya membentuk sebuah danau besar yang
diberi nama Danau Tes.
ULAR KEPALA 7
DI DASAR DANAU TES LEBONG

Lebong – cerita rakyat Ular Kepala tujuh.


ular kepala Tujuh merupakan cerita rakyat
dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu,
Cerita ini bahkan masih mengakar kuat di
masyarakat.
Alkisah, dahulu kala berdiri sebuah kerajaan
bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja
Bikau Bermano. Sang Raja mempunyai delapan
orang putra. Suatu ketika, Raja Bikau Bermano
hendak melangsungkan upacara perkawinan
putranya yang bernama Gajah Meram dengan
seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang
bernama Putri Jenggai. Pihak istana kerajaan
Kutei Rukam kemudian menyiapkan segala
sesuatunya untuk melangsungkan pernikahan
semeriah mungkin.Hingga tibalah hari
pernikahan Pangeran Gajah Meram dengan Putri
Jenggai.

Awalnya upacara pernikahan berjalan lancar.


Namun, tiba-tiba saja terjadi sebuah
keanehan. Pangeran Gajah Meram dan Putri
Jenggai tiba-tiba hilang entah kemana. Saat itu
keduanya tengah melakukan upacara prosesi
mandi bersama di tempat pemandian Aket di tepi
Danau Tes. Tidak seorang pun tahu ke mana
hilangnya pasangan itu. Hilangnya Putra Mahkota
Gajah Meram dan Istrinya Putri Jenggai secara
miterius di pemandian kerajaan Aket di
tepi Danau Tes menggemparkan isntana
kerajaan Kutei Rukam. Mereka memang sedang
menjalani upacara mandi berendam di
pemandian itu. Upacara itu merupakan salah satu
rangkaian upacara pernikahan antara Putra
Mahkota kerajaan Kutei Rukam dan Putri Jenggai.
Raja kerajaan Kutei Rukam, Raja Bikau
Bermano, berinisiatif mengadakan pertemuan
darurat. Pertemuan itu dihadiri para petinggi
dari kerajaan, bendahara, para hulubalang, dan
tujuh orang putranya. Kecemasan tampak jelas di
raut wajah sang Raja karena anak dan
menantunya_hilang_tanpa_jejak.

"Terima kasih saya ucapkan kepada kalian


semua yang sudi menghadiri pertemuan darurat
ini. Seperti yang telah kalian ketahui dari kabar
yang sudah beredar luas, baik di lingkungan
istana maupun di masyarakat luas bahwa Putra
Mahkota dan istrinya hilang begitu saja di tepi
Danau Tes. Adakah yang dapat memberikan
pandangannya mengenai masalah ini?" tanya
Raja sambil mengalihkan pendangannya
menyapu semua yang hadir di ruang sidang
istana. Sang raja sangat berharap ada jalan keluar
yang dihasilkan melalui pertemuan itu.
"Maaf, Baginda Raja. Hamba adalah hulubalang
yang bertugas bersama tiga orang pengawal
kerajaan yang bertanggung jawab  menjaga
keselamatan Putra Mahkota dan Putri Jenggai.
Sementara keduanya berendam,kami berjaga-
jaga di depan pemandian. Akan tetapi, hingga
matahari tambah tinggi, mereka belum selesai
juga. Hambalah yang masuk ke pemandian untuk
memastikan keadaan mereka. Hamba sangat
terkejut mendapati  Putra Mahkota dan Putri
Jenggai tidak ada di pemandian, padahal kami
yang menjaga diluar tidak mendengar adanya
suara keributan. Hamba dan semua pengawal
menyusuri tepian danau untuk mencari mereka.
Hasilnya seperti yang Baginda Raja ketahui. Putra
Mahkota dan Putri Jenggai belum ditemukan
hingga kini." jelas hulubalang

"Aneh memang. Sampai-sampai penjaga yang


dekat di lokasi pemandian pun tidak mendengar
sesuatu saat putra dan menantuku menghilang"
"Ampun, Baginda. Hamba ingin menyampaikan
pendapat hamba. Mungkin saja, Putra Mahkota
dan Putri Jenggai diculik oleh ular raksasa
berkepala Tujuh yang menghuni dasar Danau
Tes. Pendapat hamba ini didasarkan pada cerita-
cerita dari tun tuai  (orang tua-tua). Menurut
mereka, raja ular itu sangat sakti, licik, kejam dan
suka mengganggu beberapa orang yang sedang
mandi di Danau Tes. " ujar hulubalang lainnya
turut-menyumbang-pendapatnya.

Mendengar raja ular sakti disebut-sebut,


suasana pertemuan menjadi gaduh dan ramai.
Masing-masing bercerita tentang keberadaan
ular sakti itu kepada orang di samping kanan dan
kirinya di ruang rapat itu. Ada yang bercerita
tetangganya yang di ganggu, saudara, atau orang
penting di desanya. Akan tetapi, tidak satupun
dari mereka yang pernah menyaksikannya atau
sekeda berurusan langsung dengan raja ular di
Danau Tes itu. Mereka salin bertukar kabar
burung yang belum jelas kebenarannya. Pada
dasarnya, cerita Raja ular yang sakti dan suka
mengganggu itu bukanlah halyang baru bagi
mereka. Melihat suasana rapat yang gaduh, sang
Raja kembali bertatih. Sekejap, para peserta
pertemuan_langsung-terdiam.

"Jika benar apa yang kamu katakan hai


Hulubalang, siapakah yang mampu menandingi si
Raja ular serta membebaskan Putra Mahkota dan
istrinya dari cengkramannya?" ucap baginda Raja
kepada semua yang hadir dalam pertemuan itu.
Mendengar ucapan sang baginda raja, para
peserta pertemuan saling pandang. Pertanyaan
itu merupakan pertanyaan yang sulit di jawab.
"Maaf Ayahanda, izinkan Ananda pergi ke sarang
Raja ular itu untuk menumpasnya dan membawa
kakak dan istrinya kembali pulang," ujar putra
Bungsu sang Raja yang bernama Gajah Merik.

Sang Raja tidak serta merta mengabulkan


keinginan Gajah Merik. Di matanya, putra
bungsunya itu sangatlah muda belia. Usianya
baru Tiga Belas tahun. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan ilmu kesaktian tidaklah
diragukan lagi, tetapi menantang Raja ular yang
sakti itu soal lain. Dipandanginya kembali lekat-
lekat raut wajah Gajah Merik. Dari sorot matanya,
sang Raja melihat semangat yang menggebu-
gebu,keberanian yang luar biasa, serta kekerasan
hatinya. Tidak sampai hati sang Raja mematikan
itu semua hanya karena dia masih sangat belia
sehingga_tidak_diberi_izin.
"Maaf Ayahanda. Sekali lagi, izinkanlah hamba
menumpas Raja ular itu." Ujar Gajah Merik
mengulang perkataannya karena sang baginda
tidak segera menanggapi keinginannya.

Sebenarnya, bukan hanya Raja yang terkejut


mendengar perkataan putra bungsu, para peserta
juga sangat terkejut. Sebab, usianya masih sangat
muda, tetapi dialah yang paling berani diantara
putra-putra_Raja_lainnya.

"Baiklah, anakku Gajah Merik. Ayahanda izinkan


ananda pergi memerangi Raja ular dan
menyelamatkan kakakmu serta istrinya, tetapi
ada satu syarat yang harus ananda penuhi.
Ananda harus bertapa terlebih dahulu di Tepat
Topes selama tujuh hari tujuh malam untuk
mendapatkan senjata pusaka sebagai bekal
dalam menghadapi kesaktian Raja ular," ujar Raja
Bikau_Bermano.

"Ananda patuh memenuhi syarat itu,


Ayahanda," kata Gajah Merik singkat saja.
Tekadnya sudah bulat suhingga syarat yang di
lontarkan sang Raja bukanlah suatu hal yang
memberatkannya.

"kepala pengawal, siapkan empat pengawal


terbaik untuk mengamankan dan mengawal
putraku Gajah Merik bertapa di Tepat Topes,
titah sang Raja kepada pengawal. Tepat Topes
yaitu suatu wilayah di antara Ibu Kota
kerajaan Suka Negeri dan kampung Baru.

"Siap Baginda. Hamba akan melaksanakan titah


baginda itu dengan sebaik-baiknya," sahut sang
kepala_pengawal_patuh.
Esok harinya, Gajah Merik yang dikawal empat
pengawal terbaik kerajaan berangkat ke tempat
pertapaan. Tiba di Talang Macan, Gajah Merik
memutuskan berpisah dengan para pengawalnya.
Dia selanjutnya meneruskan perjalanan ke Tepat
Topes dan bertapa disana. Usai menuntaskan
tujuh hari tujuh malam bertapanya, Gajah Merik
mendapatkan dua senjata pusaka. Senjata
pertama adalah sebilah keris yang memiliki
kesaktian sebagai penuntun Gajah Merik
menyelam ke dasar Danau layaknya berjalan
normal seperti di daratan. Senjata kedua adalah
sehelai selendang  yang dapat berubah wujud
menjadi pedang jika diucapkan mantra khusus.
Gajah Merik segera turun  dari pertapaannya
menuju Talang Macan untuk bergabung dengan
pengawalnya dan kembali ke istana. Ketika dari
kejauhan Gajah Merik sudah melihat para
pengawalnya, dia berubah pikiran. Gajah Merik
sudah tidak sabar ingin langsung ke tepi Danau
Tes sendirian saja. Oleh karena itu, dia menyelam
ke sungai Air Ketahun. Tubuhnyapun tidak
tersentuh_air.
Gajah Merik sampai di Danau Tes tanpa
memakan waktu yang lama. Dia langsung terjun
ke dasar tempat pemandian kerajaan di tepi
Danau Tes. Tepat di dasar danau, Gajah Merik
menemukan gerbang istana Raja ular. Gerbang
itu dijaga ular-ular besar penjaga istana.

"Heh...siapa kamu? Berani sekali memasuki


wilayah Raja ular yang memiliki 7 kepala.
Mencari mati, kamu ya?" Bentak ular pengawal
garang.

Sesungguhnya, ular pengawal itu kaget bukan


kepalang berjumpa anak manusia yang berhasil
menyusup ke istana Raja ular yang letaknya ada
di dasar danau. Pasti, anak ini memiliki kesaktian
yang luar biasa, pikirnya dalam hati.

"Saya Gajah Merik, kalianlah yang mencari mati


jika berani menghalangi saya bertemu dengan
Rajamu. Rasakan ini," gertak Gajah Merik
membalas bentakan ular pengawal. Gajah Merik
menyerang para ular pengawal dan berhasil
mengalahkan mereka dengan mudah dan hanya
dalam_satu_pukulan.

Setelah mengalahkan ular pengawal di gerbang


istana, Gajah Merik menerobos kedalam istana
yang berbentuk gua yang besar  dan luas.
Sebelum ketempat Raja ular berada, rupanya
Gajah Merik harus melalui enam gerbang lagi
yang dijaga ketat para ular pengawal yang kuat
dan sakti. Gajah Merik berhasil melalui enam
gerbang itu dan sampailah ke kediaman Raja
ular. Asap tebal menggulung  di hadapan Gajah
Merik. Seiring menipisnya asap, wujud ular
raksasa berkepala tujuh menyeruak. Wujudnya
sangat besar suaranya menggema dan
menggetarkan dinding-dinding istana, dan sangat
menakutkan.
"Rupanya kamu bocah tengik yang berani
mengacak-ngacak istanaku. Sudah bosan hidup
kamu?!!" ancam Raja ular marah luar biasa.
Suara Raja ular menggelegar, Meneggakkan
bulu kuduk bagi yang mendengarkannya.
Berhadapan langsung dengan Raja ular raksasa
berkepala tujuh tidaklah menyurutkan langkah
Gajah Merik. Di acungkanlah keris sakti miliknya
sebagai tanda Gajah Merik menantang Raja ular
itu_berduel_dengannya.
"Hei...makhluk terkutuk, saya datang untuk
melenyapkanmu dari muka bumi ini sekaligus
membawa pulang Kakakku dan istrinya yang
telah kau culik dan kau sembunyikan dalam
istanamu ini!" teriak Gajah Merik tidak kalah
hebat gertakannya kepada wujud ular raksasa di
hadapannya.
"ha...ha..lucu sekali ucapanmu itu, bocah tengik.!
Aku berjanji akan menyerahkan Kakakmu dan
istrinya itu jika kamu dapat menghidupkan
kembali para ular penjaga yang telah kau tumpas
tadi.  dan tentu saja kau harus mengalahkanku,"
ujar Raja ular meremehkan Gajah Merik.Usai
berkata demikian, Raja ular tertawa terbahak-
bahak sampai-sampai tubuhnya berguncang-
guncang.
"Tertawalah sampai puas, hai Raja ular yang
sombong.! Lihatlah ini!," teriak Gajah Merik.

Dikebutkannya selendang yang sedari dari


bertengger di bahu kirinya. Dalam sekali kebutan,
para ular penjaga yang telah tewas  hidup
kembali. Melihat kesaktian Gajah Merik yang luar
biasa itu, tawa Raja ular terhenti berganti berang.
Harga dirinya seperti diinjak-injak  oleh seorang
anak kecil. Diserangnya Gajah Merik dengan
jurus andalannya. Kini, sang Raja ular menyadari
dirinya tidak boleh main-main lagi dalam
menghadapi Gajah Merik. Perkelahian antara
Gajah Merik dan Raja ular berlangsung sangat
sengit. Mereka saling serang, saling terjang, dan
saling adu kesaktian. Sampailah pada hari kelima,
Raja ular mulai terlihat kelelahan. Energinya
mulai terkuras, sedangkan Gajah Merik masih
tetap prima dan tambah digdaya. Pukulan dan
serangan Gajah Merik beberapa kali mengenai
sasaran. Pertahanan Raja ular mulai kedodoran
disana sini. Sampailah pada puncaknya, Gajah
Merik ingin mengakhiri perkelahian yang sangat
melelahkan itu. Dimantrainya selendang sihingga
berubah menjadi pedang yang mampu
mencederai tubuh Raja ular. Raja ular tersurut
mundur beberapa langkah ke belakang.
Wujudnya bersalin rupa ke wujud sosok manusia.
Kaki kirinya terluka parah terkena  sabetan
pedang. Dilambai-lambaikan kedua tangannya
tanda menyerah. Gajah Merik menolong dan
mendudukkannya.

Raja ular mengaku kalah dan mengatakan suatu


tempat dalam istana tempat Putra Mahkota dan
istrinya disandera. Gajah Merik bergegas ke
tempat yang dimaksud dan berjumpa dengan
kakaknya. Sementara itu, Raja ular duduk
bersemedi berusaha mengobati lukanya.
Di tempat lain di istana kerajaan Kutei Rukam,
Raja dan permaisurinya dilanda kecemasan yang
mendalam. Setelah putra sulungnya menghilang,
tiada kabar pula tentang putra bungsunya.
Seharusnya setelah tujuh hari tujuh malam
bertapa, Gajah Merik kembali ke istana, tetapi
hingga kini belum kelihatan batang hidungnya.
Hingga beberapa hari kemudian, datanglah kabar
yang membahagiakan hati dan melegakan.
Seorang pengawal berlari tergesa-gesa ingin
segera mengabarkan kepada sang Raja, Putra
Mahkota Gajam Meram dan istrinya Putra
Jenggai, serta Gajah Merik telah muncul ke
permukaan Danau Tes dengan selamat. Rupanya
setelah bertapa, Gajah Merik langsung ke tempat
Raja ular. Setelah sampai kabar gembira itu ke
telinga sang Raja, istana disibukkan dengan
upacara_penyambutan.
Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkah
Putra Mahkota Gajah Meram dan istrinya Putri
Jenggai, serta Gajah Merik menuju istana. Wajah
ketiganya sumringah karena telah terbebas  dari
kungkungan Raja ular. Setibanya di istana,
mereka di sambut  dengan upacara
penyambutan. Peluk cium mewarnai kepulangan
mereka. Pada saat yang berbahagia itulah,  Raja
menobatkan Putra Mahkota Gajah Meram
menjadi Raja menggantikan dirinya. Gajah
Meram menolak penobatan itu. Menurutnya, adik
bungsunyalah yang lebih berhak menjadi Raja.
"Ayahanda, bukanlah ananda berlaku lancang.
Gajah Meriklah yang lebih pantas menjadi Raja.
Karena dengan jiwa kepahlawanannya, dia
memberikan sumbangsih yang besar  kepada
kerajaan ini serta keberaniannya dapat
menyelamatkan ananda dan Putri Jenggai," tutur
Gajah Meram dengan penuh bijaksana.

Baginda Raja menyetujui usulan Gajah Meram.


Baginda Raja memahkotai dan menobatkan Gajah
Merik menjadi seorang Raja. Kemudian, Gajah
Merik menunjuk Raja ular yang telah
dikalahkannya dan para pengawal nya menjadi
hulubalang_kerajaan.

Kisah heroik Gajah Merik bertempur dengan Raja


ular melahirkan legenda tentang ular raksasa
berkepala tujuh sebagai penunggu Danau Tes.
Oleh karena itu, hingga kini khususnya
masyarakat Lebong selalu menjaga perkataan
saat melintasi Danau Tes.
Putri Sedaro Putih
Asal_Mula_Pohon_Enau

Cerita_rakyat_:_Suku_Rejang
(kabupaten_lebong,_provinsi_Bengkulu.)

Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di


sebuah desa terpencil hidup tujuh orang
bersaudara._
Nasib_mereka_sungguh malang,mereka sudah
menjadi yatim piatu semenjak si bungsu
lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari enam orang
laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah
yang perempuan.Namanya putri sedoro
putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai
petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi
hutan.Si bungsu sangat disayangi keenam
saudaranya itu.Mereka selalu memberikan
perlindungan bagi keselamatan si bungsu dari
segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si
bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan
sekuat tenaga.

Pada suatu malam,ketika putri sedoro putih


tidur,ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-
laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya
nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah
dekat,karena_itu_bersiaplah_engkau
menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih
dengan_penuh_penasaran.
"Benar,dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan
tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada
pada massa ini.Pohon itu akan banyak memberi
manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi
pesan demikian lelaki tua itu , lenyap begitu saja.
Sementara Putri Sedaro Putih langsung
terbangun dari tidurnya.Ia duduk termangu
memikirkan_arti_mimpinya.

Putri sedaro putih sangat terkesan akan


mimpinya itu, sehingga setiap hari ia selalu
terbayang akan kematiannya. Makan dan minum
terlupakan olehnya. Hal ini mengakibatkan
tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara
sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat
memperhatikan Putri Sedoro Putih.

Ia menanyakan apa sebab adiknya sampai


bersedih hati seperti itu. Apakah ada penyakit
yang di idapnya sehingga perlu segera di obati ?
Jangan sampai terlambat diobati sebab akibatnya
menjadi_parah.
Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro
Putih menceritakan semua mimpi yang
dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu
benar, bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon
yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak,
aku_rela_berkorban_untuk_itu."

"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan


kami. Kita akan hidup bersama, sampai kita
memperoleh keturunan masing-masing sebagai
penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi
itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi
semua orang ?", kata si sulung menghibur
adiknya.

Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun


telah dilupakan. Putri Sedoro Putih telah kembali
seperti sempula, seorang gadis periang yang
senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah
dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.
Pada suatu malam, tanpa menderita sakit
terlebih dahulu Putri Sedaro Putih meninggal
dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya
menjadi gempar dan meratapi adik
kesayangannya itu. Mereka menguburkannya
tidak jauh dari rumah kediaman mereka. Seperti
telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih.
Di tengah pusaranya tumbuh sebatang pohon
asing. Mereka belum permah melihat pohon
seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan
penuh kasih sayang seperti merawat Putri
Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama
Sedaro Putih. Disamping pohon itu, tumbuh pula
pohon kayu kapung yang sama tingginya dengan
pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara
sebagai pohon pelindung .

Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih


mulai berbunga dan berbuah. Jika angin
berhembus, dari dahan kayu kapung selalu
memukul tangkai buah Sedaro Putih sehingga
menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-
sel yang mempermudah air pohon Sedaro Putih
mengalir_kearah_buah.

Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih


berziarah ke kuburan itu. Ia beristirahat
melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon
kapung selalu memukul tangkai buah pohon
Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat
itu, datang seekor tupai menghampiri buah
pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai
buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai
buah yang terlepas itu, keluarlah cairan
berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai
sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan
saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi
meninggalkan tempat itu. Saudara sedaro putih
mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari
dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak
tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air
tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat
manis. Dengan muka berseri ia pulang menemui
saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang telah
disaksikannya, diceritakan kepada saudara-
saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh
menarik perhatian mereka. Lalu mereka pun
sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon
sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong
dan airnya yang keluar dari bekas potongan
ditampung dengan tabung dari seruas bambu
yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu
hampir penuh.

Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama


sambil berbincang bagaimana cara
memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri
sedaro putih.
teko tabung yang di buat dari seruas bambu

Urutanya sebagai berikut. Pertama,


menggoyang goyang kan tangkai buah pohon
Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu
memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung
seperti yang terjadi ketika kayu kapung
dihembus angin. Akhirnya, mereka memotong
tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai.
Tabung bambu pun digantungkan disana.
Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk
di tanah rejang

Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan


pertama. Perolehan mereka semakin hari
semakin banyak karena beberapa tangkai buah
yang tumbuh dari pohon Sedaro Putih sudah
mendatangkan_hasil.
Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi
mereka, karena air sadapan itu akan masam jika
disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat
untuk membuat suatu percobaan dengan
memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang
mengental itu didinginkan sampai keras
membeku_dan_berwarna_kekuningan.
Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan
sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini
dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air
yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira,
sedangkan air nira yang dimasak sampai
mengental dan membeku disebut gula merah.
LALAN BELEK
( LALAN PULANG )

Lalan belek adalah lagu tradisional suku rejang


yang berarti Lalan Pulang (Balik)lagu ini masing
masing daerah di tanah rejang memiliki
bermacam-macam syair namun iramanya tetap
sama. Ternyata ada kisah dibalik lagu lalan belek.

Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi


lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kemak
boloak si depeak, depeak nang au Kemak
dawen si lipet duwei, lipet duwei Kunyeu
depeloak etun, temegeak nang au Belek asen
ite beduei, ite beduei Oi lalan belek… oi lalan
belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan
belek, lalan belek Amen ku namen repie epet
nang au Coa ku melapen eboak kedulo, eboak
kedulo Amen ku namen idup yo peset nang au
Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio Oi
lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan
belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ade
seludang pinang nang au Jano guno ku upeak
igei, ku upeak igei Amen ade bayang betunang
nang au Jano guno bemadeak igei, bemadeak
igei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Bilei
iyo temanem tebeu nang au Memen sebilei
temanem seie, temanem seie Bilei iyo ite
betemeu nang au Memn sebilei ite becei, ite
becei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek.

itu adalah Syair dari lalan belek yang jika


diartikan :

Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang


Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Ambil bambu sebelah-sebelah Ambil daun
dilipat dua, lipat dua Biar sepuluh orang
melarang Kembali rasa kita berdua Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau
kutahu buah Pare pahit Tidak kumasak buah
kedula Kalau kutahu hidup ini sengsara Tidak
kumau turun ke dunia Oi Lalan pulang… oi
lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi
lalan pulang, lalan pulang Kalau ada pelepah
pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada
bayangan hendak bertunangan Apa guna
berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan
pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan
pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu
Besok lusa menanam serai Hari ini kita
bertemu Besok lusa kita bercerai Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang.

Adapun Kisah Dibalik Lagu Lalan Belek


Diantaranya :

Cerita rakyat ini telah mendarah daging pada


keturunan masyarakat suku Rejang Bengkulu.
Cerita ini berkisah tentang seorang ibu yang
memiliki anak gadis yang sangat cantik bernama
Lalan. Sang anak menginginkan dirinya merantau
ke suatu tempat yang jauh, hendak mendapatkan
nasib yang lebih baik. Lama sekali sang anak
tidak pulang-pulang untuk sekedar menjenguk
ibunya yang sudah tua. Ibunya merasa sangat
merindukan anak satu-satunya itu. Sang ibu tidak
memiliki sanak lagi selain anaknya si Lalan itu. Di
suatu tempat, nampak si Lalan belum sampai
mendapatkan nasib baik. Dia menjadi seorang
pelayan di sebuah ladang milik saudagar cina.
Baru bekerja beberapa hari, si Lalan tidak
mendapatkan perlakuan yang baik dari
majikannya. Saudagar cina tersebut sering
membuat Lalan mendapatkan luka-luka di badan
karena perlakuan kasarnya. Sampai pada suatu
saat Lalan menderita sakit dan akhirnya dia mati.
Di kejauhan, tepatnya di kampung halamannya,
sang ibu masih menantikan kedatangan anak
gadis satu-satunya itu. Betapa kerinduan sang ibu
sampai dia merintih kesakitan. Tiap hari sang ibu
menantikan kedatangan Lalan di depan
gubuknya, tapi Lalan tak kunjung datang
menjenguk juga. Suatu pagi yang tiada cerah-
cerahnya bagi sang ibu, seperti biasanya dia tetap
menanti Lalan di depan gubuknya sambil
merintih menahan sakit karena kerinduan
kepada anaknya.
Sang ibu terus saja menunggu dan dia
merintih menyanyikan suatu lagu yang
menginginkan Lalan pulang. Oi Lalan pulang… oi
lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi
lalan pulang, lalan pulang Ambil bambu sebelah-
sebelah Ambil daun dilipat dua, lipat dua Biar
sepuluh orang melarang Kembali rasa kita
berdua Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan
pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan
pulang Kalau kutahu buah Pare pahit Tidak
kumasak buah kedula Kalau kutahu hidup ini
sengsara Tidak kumau turun ke dunia Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan
pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau ada
pelepah pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada
bayangan hendak bertunangan Apa guna
berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan
pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan
pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu
Besok lusa menanam serai Hari ini kita bertemu
Besok lusa kita bercerai Dari kahyangan, Lalan
mendengar rintihan lagu ibunya. Tidak sampai
hati melihat sang ibu terundung kerinduan pada
dirinya, dia segera turun ke bumi. Tampak dari
atas langit, si Lalan turun dari kahyangan
bersama dewi-dewi yang cantik-cantik. Sang ibu
sangat kaget karena melihat Lalan anaknya
menjadi seorang dewi, sehingga dia berpikir
bahwa Lalan telah mati dan menjadi seorang
dewi.
Dengan melihat si Lalan, kerinduan sang ibu
telah terobati. Sang ibu tersungkur di depan
gubuknya. Kemudian dia mati dengan tersenyum
tapi meneteskan air matanya. Konon, air mata
sang ibu terus saja mengalir di depan gubuknya
sampai menggenang dan menjadi sungai. Yang
sekarang menjadi sungai Putih. Sampai sekarang
oleh masyarakat suku Rejang, sungai Putih
dianggap keramat. Masyarakat suku Rejang
percaya bahwa Lalan yang telah menjadi dewi
tersebut masih sering turun ke sungai Putih
untuk mandi di air mata ibunya itu.
Dahulu ada cerita-cerita dari orang
tua,ceritanya seperti ini, ada di suatu desa
tinggallah seorang lelaki,namanya Bujang
Kurung, suatu hari dia pergi memancing disungai
yang tidak begitu jauh dari desanya, hanya
berbekal_nasi_dan_garam_ia_pergi_mancing,
sesampai_disungai tersebut dia mulai memancing
tapi pada hari itu tidak satu pun ikan yang
berhasil ia pancing,sehingga ia memutuskan
untuk pulang,diperjalanan pulang tiba-tiba dia
mendengar suara orang yang sedang bercakap-
cakap,tiba-tiba saja muncul niatnya ingin tahu
dari mana suara itu berasal.diikutinyalah suara
itu sampai akhirnya dia terkejut karena suara-
suara itu berasal dari para gadis-gadis yang
sangat cantik yang tengah mandi disungai,ada
satu gadis yang menarik perhatian bujang kurung
karena gadis tersebut paling cantik diantara
gadis-gadis lainnya.tanpa disadari oleh para
gadis-gadis tersebut si bujang kurung mencuri
salah satu pakaian dari mereka,sehingga sewaktu
mereka selesai mandi salah satu dari mereka
terkejut karena pakaiannya hilang,sibungsu
mengangis sejadi-jadinya,melihat hal tersebut
saudara sibungsu ikutan menangis,akhirnya
saudara-saudara sibungsu itu pulang dan
tinggallah sibungsu sendirian,sibujang kurung
terkejut karena dia tidak menyangka kalau gadis-
gadis yang mandi tersebut adalah para dewi-
dewi.setelah sibungsu tinggal sendirian
menangisi nasibnya yang tidak bisa pulang lagi
kelangit, sibujang kurung tiba-tiba mendekati
sibungsu tersebut dan bertanya kenapa kamu
tidak pulang bersama saudara-saudaramu
kelangit,sibungsu menjawab karena bajuku
hilang,lalu sibujang kurung menanyakan nama
gadis itu,gadis itu menjawab kalau namanya
adalah lalan setelah itu bujang kurung mengajak
sibungsu tersebut pulang ke desanya dan mereka
akhirnya menikah.
KISAH TENGGELAMNYA DUSUN TRAS
MAMBANG DAN TERBENTUKNYA
KERAMAT BINGIN KUNING.

OL Bengkulu
keramat Beringin Kuning dahulu sering
dibanjiri_peziarah_leluhur_rejang. 
Kompleks  keramat tersebut merupakan
situs sejarah tenggelamnya  Dusun Tras
Mambang kisaran tahun 1617-1640 masehi.
Dimana lokasi itu sekarang dinamakan Desa
Bungin, Kecamatan Bingin Kuning,
Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu.
Menurut tokoh adat  yang akrab disapa
Ukal, yang kebetulan salah seorang guru
Silat Rejang (Silek Jang) penduduk
setempat. Lokasi  Keramat Beringin Kuning
saat ini menjadi situs keramat bagi leluhur
Marga_Sukau_(Suku)_VIII_untuk
pelaksanaan  Kedurai_Apem.  Ternyata
keramat ini merupakan peninggalan dari
sembilan bersaudara yaitu, Rio Cende, Rio
Cili, Rio Mamboa, Rio Ulung, Rio Guting, Rio
Bas, Rio Pijar, Putri Bunga Melur dan
Bujang Ringki (anak peberian Ki Pandan).
Kala itu ketujuh saudaranya pergi ke
kerajaan seberang (Palembang) dengan
tujuan_mengikuti_sabung_ayam.
Sesampainya_di_sana,_mereka
diterima  baik oleh  para kesultanan di
Palembang. Dalam pertandingan,   ketujuh
ayam_bersaudara_ini_menang telak.
   diantara tujuh bersaudara yakni Rio
Cende  membawa pulang kemenangannya
ke Dusun Tras Mambang berupa
ikan  Seluang (Sebutan ikan orang rejang)
bersisik_warna_kuning_emas.
Suatu hari kemenangan itu akhirnya
dirayakan bersama penduduk setempat
(Marga Suku VIII Rejang). Mereka akan
mengadakan pertunjukkan, termasuk tarian
Kejai (Kejei)  selama sembilan bulan.
Namun, tarian Kejai yang satu ini agak
berbeda dengan tarian kejai dari marga
sukau (suku)  rejang lainnya. Sebab, dalam
cerita disebut Ukal,  jika tarian kejai milik
Marga Sukau VIII  yang terbaik dari marga
lainnya. Kondisi inilah yang akhirnya
membuat mereka menjadi terlalu
berlebihan dan saling berlawanan sesama
Marga Sukau VIII.  Mendegar akan adanya
perayaan besar selama sembilan bulan,
saudara dari Rajo Bang Bermani dari Kutai
Rukam (Tes) yakni Tahta Sekilan Teguling
Sakti tertarik untuk hadir dalam perayaan
itu, meskipun tak diundang secara resmi
oleh Rio Cende.
Sehari perayaan berlangsung, Rio
Cende  berpesan kepada  Tahta Sekilan
Teguling Sakti, supaya  jangan datang
lagi  ke Dusun Tras Mambang.  Lalu, Tahta
Sekilan Teguling Sakti setiba dirumah
pun  menceritakan situasi Dusun Tras
Mambang kepada saudaranya yang bernama
Tahta Tunggal.  Oleh saudaranya, Tahta
Tunggal akhirnya bersih keras melarang
Tahta Sekilan Teguling Sakti  untuk kembali
ke  Dusun Tras Mambang.

Namun, pesan itu justru tidak dihiraukan


dan keesokan harinya  Tahta Sekilan
Teguling Sakti  kembali  Dusun Tras
Mambang. Pada pertengahan jalan tepatnya
di Air Tik Tiub, Ia (Tahta Sekilan Teguling
Sakti)   menyamar dengan mengganti
pakaiannya yang terbuat  dari kulit kayu
(Baju Khas Rejang = Teeb) dan persis
menyerupai orang buruk rupa. Dilokasi
acara  tak ada seorang pun yang peduli
terhadap dirinya. Dengan sikap acuh dan
sinis mereka mengusir dirinya dari pesta
dengan paksa karena dianggap pengemis
yang menjijikkan dan memalukan.
Meskipun dalam keadaan lapar, ia tetap
bertahan di depan balai hingga ia bertemu
dengan seorang nenek  tua yang baik hati.
Tahta Sekilan Teguling Sakti berkata pada
nenek tua itu Nek saya lapar, saya minta
makan” dan nenekpun menjawab Ya cung,
nenek minta maaf, jangankan nasi beraspun
tidak ada dirumah nenek”. Kemudian Tahta
Sekilan Teguling Sakti kembali melanjutkan
perkataannya, Dirumah nenek sebenarnya
serba ada nek, nasi dan sayur nenekpun
banyak”. Si nenek pun menarik tangan
Tahta  Sekilan Teguling Sakti untuk menuju
kerumahnya, dengan maksud membuktikan
bahwa nenek itu tidak  berbohong. Aneh
bin ajaib, ternyata  dapur sang nenek  yang
awal mulanya kosong tiba-tiba  ada
nasi  lengkap dengan sayur-sayurnya.

Tahta Sekilan Teguling Sakti


kembali  berkata pada sang nenek kalau
stok  beras nenek itu masih banyak.   Lagi  si
nenek terkejut setelah melihat dirumahnya
Tujuh Slebau Belas (Tempat Penyimpanan
Beras Orang Rejang Dulu) dipenuhi dengan
beras. Akhirnya sang nenek itu
memperlakukan dirinya seperti tamu yang
layak dihormati dan kembali menyiapkan
hidangan. Di rumah sang nenek, oleh Tahta
Sekilan Teguling Sakti berpesan
menceritakan kepada sang nenek untuk
tidak pergi kemana - mana lagi. Hal ini
mengingat,  dalam waktu dekat  Dusun Tras
Mambang disebutnya akan segera
tenggelam. Kemudian,  dirinya  pergi keluar
mengambil Lesung (alat penumbuk padi)
dan meletakkan Lesung tersebut diatas
Ga’ang (tempat mencuci orang Rejang
zaman dulu) untuk diduduki oleh sang
nenek, dengan tujuan selamat dari ancaman
banjir.  Sebelum meninggal rumah sang
nenek, ia berpesanKalau terdengar suara
gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar
selamat!”. Nenek pun akhirnya menuruti
saran anak itu. Sesaat kemudian, Tahta
Sekilan_Teguling_Sakti  kembali_menghamp
iri  keramaian dengan membawa tujuh
batang_lidi.  Tepatnya_didepan_balai,  Taht
a  menancapkan tujuh batang lidi ke tanah
sambil menantang siapa penduduk
setempat yang bisa mencabutnya. Bahkan,
tak satupun  yang mampu mencabut lidi itu
dan akhirnya ia sendiri mencabutnya.
Ternyata, lubang tancapan tadi memuncul
mata air yang deras  makin besar dan
menggenangi desa itu. Lama kelamaan air
ini kian membesar disertakan hujan lebat
dan angin rebut. Oleh sebab itu,   akhirnya
Dusun Tras Mambang yang diceritakan
Tahta Sekilan Teguling Sakti benar-benar
tenggelam. Setelah tenggelamnya Dusun
Tras Mambang tersebut, Tahta Sekilan
Teguling Sakti pun hilang (raib). Sementara
nenek yang tadinya duduk di atas Lesung
hanyut dan selamat dari terjangan air.
Sementara itu,  saudara Rio Cende
yakni  Rio Pijar saat itu kebetulan dalam
perjalanan ingin meninggalkan tanah
Rejang atau tepatnya di Bukit Besar
(Namanya sekarang Tebo Lai) menyaksikan
kalau Dusun Tras Mambang tempat
saudaranya tinggal sudah tenggelam. Rio
Pijar sendiri sesegera mungkin
bermaksud  ingin menyelamatkan warga
Dusun Tras Mambang. Usahanya sendiri
dengan_cara_membawa_sebatang_Manau  y
ang ia ambil dari Tebo Lai. rencana
penyelamatan pun gagal. Sebab, air yang
sudah melambung besar dan tak dapat
elakkan lagi. Untuk mengukur kedalaman
air, Rio Pijar menancapkan Manau ke dasar
mata air.  Saat Manau tersebut di angkat ke
atas permukaan air,  banyak penduduk Tras
Mambang tersangkut dan terangkat dengan
kondisi yang mengenaskan, yakni muka
(wajah) telah pindah ke belakang dan tumit
mereka juga telah pindah ke depan. Pada
saat itu, penduduk yang berhasil
diangkatpun masih sempat bicara dan
berkata pada pada Rio Pijar Hai tuanku Rio
Pijar, pergilah kamu karena kami tidak
akan kembali lagi".  Percakapan kembali
dilanjutkan dengan berpesan kepada Rio
Pijar, Ya Tuanku Rio Pijar, kalau bumi
sedang kacau suasana kampung panas
datangilah tempat kami, dimana terdapat
tanda satu batang pohon Beringin, berserta
Serai Kunyit tumbuh di samping Beringin
itu, setelah sesampainya disana panggillah
kami bawalah cara adat kita tari
Kejai  beserta tujuh diwo beserta Apem
yang dimaksudkan untuk penyelamat dan
Tolak_Balak”.
Inilah menurut cerita penduduk  setempat
kenapa masih perlunya menjaga tradisi
Kedurai Apem. Selain itu, menurut cerita
Ukal, tenggelamnya Dusun Tras Mambang
awal mulanya kemunculan seekor ular
mondar mandir hilir-mudik melewati aliran
air sungai itu. Pada kesempatan yang sama,
tuanku Rajo Megat memotong ular menjadi
tujuh dengan sebuah keris yang
menurutnya masih bisa dilihat di Desa
Pungguk Pedaro, Kecamatan Bingin Kuning
(Pusaka_Pungguk_Pedaro).

Setelah dipotong menjadi tujuh,  ular


tersebut kembali menyatu dan menjadi Ular
kepala tujuh. Pesan Rajo Megat kala
itu,  Jika air ini merusak atau menyebabkan
musibah, hendaklah memotong kambing
hitam dua ekor untuk sebagai permohonah
maaf dan tolak balak kepada ketua atau
penguasa Tebo Lai”.
Nama : Bofi Nandorio
Tanggal Lahir : Talang Ulu 11-02-2000
Npm : 1821120097
Fakultas : FKIP
Studi : Bahasa Dan Sastra Indonesia
Alamat : Kampung Muara Aman, Kec Lebong
Utara, Kab Lebong.

Anda mungkin juga menyukai