Anda di halaman 1dari 3

NYANYI SUNYI NYANYIAN RAKYAT

Oleh : Muh. Herdi Sigit Iswanto, S.Pd

Mahasiswa s2 PBSI UNSUR-CIANJUR

Sebagai orang yang tinggal di Jawa Barat khususnya suku Sunda tentu mengenal
nyanyian dibawah ini.
Lirik Lagu (Terjemah Bebas Bahasa Indonesia)
Oray-orayan Bermain ular-ularan
Luar leor ka sawah Meliak-liuk ke sawah
Entong kasawah Jangan ke sawah
Parena keur sedeng beukah padinya sedang merekah
Oray-orayan Bermain ular-ularan
Luar leor ka kebon Meliuk-liuk ke kebun
Entong ka kebon Jangan ke kebun
Di kebon loba nu ngangon Di kebun banyak pengembala
Mending ka leuwi Lebih baik ke lubuk saja
Di leuwi loba nu mandi Di lubuk banyak yang mandi
Saha anu mandi? Yang mandi yang mana?
Anu mandina pandeuri Yang mandinya terakhir

Nyanyian ini biasanya dilakukan sejumlah anak yang membentuk barisan


sambil berpegangan bahu dan berjalan menirukan gerak-gerik ular.
Anak-anak dulu sering memainkan permainan ini, dilakukan selepas mereka sekolah
Madrasah atau selepas mengaji di halaman rumah Pak Ustad mereka. Mereka
bernyanyi penuh kecerian dengan suka cita dan penuh kekompakan,
bertanggungjawab, disiplin, dan tak pernah mereka berlaku curang.

Dimanakah permainan itu sekarang? Sudah hilangkah dalam permainan


anak-anak zaman sekarang? Lirik lagu diatas sebenarnya merupakan nyanyian
yang sudah turun temurun ada, dan berkembang di masyarakat lewat bahasa lisan
yang sejatinya adalah merupakan salah satu karya sastra yang patut kita lestarikan.

Nyanyian “Oray-orayan” merupakan nyanyian rakyat dan termasuk folklor.


Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997:2) sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (nemonic device).
Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain,
yaitu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengan lisan (partly
folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).
Bila kita lihat pembagian folklor diatas tentunya nyayian yang berjudul “Oray-
orayan” termasuk kedalam folklor lisan (verbal folklore). Nyanyian rakyat adalah
salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang
beredar secara lisan di antarara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional,
serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997:141).
Contohnya 1). Kakawihan urang lembur (tokecang, eundeuk-eundeukan, ayang-
ayanggung, prang-pring, bulantok, dll). 2).Lagu-lagu calung, 3). lagu pa nyawer, 4).
Jampe pamake, dll.
Pada saat arus modernisasi masuk ke negeri ini dan seiring dengan
bercampurnya kebudayaan asing dan daerah, nyanyian rakyat mulai sepi dan jarang
terdengar lagi. Anak-anak sekarang di nina bobokan oleh tayangan film kartun
menjelang tidurnya, yang dulu disenandungkan ‘nengneleng nengkung’ atau ayang-
ayangung. Pesta sunat anak laki-laki sekarang, dipertontonkan pertunjukan dangdut,
yang dulunya dihibur dan diajak bercanda lewat pementasan calung atau reok yang
sarat dengan amanat dan hiburan. Pesta pernikahan tergerus oleh budaya asing
yang tidak jelas maksud dan tujuannya, sudah jarang syukuran pernikahan sekarang
menggunakan acara saweran, padahal isi dari lirik-lirik pa nyawer adalah lantunan
doa yang di nyanyikan oleh sinden.
Nyanyian rakyat dianggap sudah dianggap tidak modern, nyanyian rakyat
dianggap kuno, itu hanya warisan budaya leluhur kita, hanya sekedar hiburan
bahkan terkesan mistis dan dianggap takhayul? Jangan pernah kita beranggapan
demikian. Bila kita mampu mempertahankan budaya dan warisan leluhur kita, tentu
budaya yang dianggap kuno adalah suatu budaya yang patut kita pelajari dan kita
lestarikan keberadaannya, tidak mungkin ada budaya modern kalau tidak ada
budaya pendahulunya.
Upaya yang sudah dilakukan pemerintah daerah untuk menjaga kebudayaan
asli (Sunda) tentunya sudah dilakukan, contoh di lingkungan pendidikan yaitu
penggunaan pakaian adat di hari tertentu bagi para siswa. Ini diharapkan jangan
hanya menjadi simbol saja, tetapi harus terus dijaga dan dipertahankan, sehingga
dengan berpakaian adat daerah (Sunda) langkah selanjutnya pun dengan
bahasanya, bahasa yang pakai pada saat menggunakan pakaian adat, gunakan
juga dengan bahasa Adat (Sunda).
Tentunya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak akan berhasil
tanpa dukungan dari kita semua. Kita sebagai orang tua harus membiasakan
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dan mengajarkan kembali
‘pupuh’ dan tembang sunda. Kita kenalkan kembali permainan-permainan Galahsin,
bebentengan, sondah yang bila kita cermati permainan tersebut penuh dengan taktik
dan mengajarkan seorang anak untuk bermain strategi baik secara individu atau
kerja sama di dalam kelompoknya.
Nyanyian Perepet Jengkol, Cing-Ciripit, Bulantok, oray-orayan, Endog-
endogan, akan dinyanyikan lagi oleh anak perempuan disela anak laki-laki bermain
galahsin.

Anda mungkin juga menyukai