Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha
Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, makalah Bahasa Bali dengan materi mengenai
“Kesusastraan Bali Purwa atau Tradisional” ini dapat selesai dan terkumpul tepat pada
waktunya.
Makalah ini selain dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran Bahasa Bali
Kelas XI semester 2, juga digunakan untuk menjelaskan dan menambah pengetahuan serta
pemahaman mengenai Kesusastraan Bali. Makalah ini berisi referensi-referensi dari berbagai
buku dan internet. Selesainya makalah ini tidak luput dari campur tangan berbagai pihak yang
telah membantu. Oleh karena itu, kami selaku penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr I Wayan Rika, M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 4 Denpasar.
2. Ibu Ayu selaku guru Mata Pelajaran Bahasa Bali kelas kami (X MIPA 6) yang
memberikan tugas sekaligus membimbing dalam penyusunan makalah ini.
3. Orang tua yang selalu memberi dukungan dan doa sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu.
Tiada gading yang tak retak, oleh karena itu kami membuka kesempatan untuk
menyampaikan kritik atau saran yang membangun dari para pembaca. Tidak lupa kami
ucapankan juga terima kasih untuk para pembaca.
Akhirnya, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kami sebagai penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya untuk pengembangan dan menambah pengetahuan serta
pemahaman mengenai “Kesusastraan Bali Purwa atau Tradisional” yang tentunya berguna untuk
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I :
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Ruang Lingkup Materi
BAB. II :
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesusastraan Bali
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali memilki sejuta budaya, di masing-masing Daerah yang ada di Bali. Dan karena
itulah Bali menjadi pusat tujuan wisata internasional. Dan dengan perkembangan kepariwisataan
di Bali akan mempengaruhi budaya Bali. Pada zaman modern ini banyak orang yang mulai
meninggalkan budaya Bali. Contonya para orang tua lebih banyak mengajarkan anaknya
menggunakan bahasa Indonesia tidak lagi menggunakan Bahasa Daerah Bali. Kalau semua orang
tua seperti itu maka lambat laun bahasa Bali akan hilang, karena kita saja sebagai orang Bali
tidak mau melestarikan budaya Bali, dan siapa lagi yang kita suruh untuk melestarikannya kalau
bukan kita semua. Untuk itulah kita sebagai orang Bali setidaknnya untuk belajar tentang
Kesusastraan Bali. Karena Kesusastraan Bali sangat banyak dan luas. Contonya lagu-lagu dari
anak-anak sampai orang tua berbeda-beda jenis nyanyiannya. Dan pada saat mengiringi upacara
keagamaan juga berbeda-beda. Itu semua merupakan Budaya Bali yang perlu kita lestarikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kasusastraan Bali
Kasusastraan berasal dari kata sastra yang mendapat awalan su- dan konfiks ka-an
sehingga menjadi ka-susastra-an. Sastra berasal dari akar kata sas yang artinya ajar dan tra yang
artinya alat. Sastra berarti alat belajar atau ilmu pengetahuan (ajah-ajah). Awalan su- dalam
bahasa Bali berarti baik, bagus, indah (luih/becik), sedangkan konfiks ka-an berarti keberadaan
(kewentenan).
Jadi dapat di simpulkan bahwa kesusastraan bali adalah hasil karya atau
cipta seorang pengarang atau pujangga yang menceritakan dinamika kehidupan
masyarakat Bali serta mengandung nilai estetika yang menggunakan bahasa
sebagai mediumnya. Kesusastraan Bali dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau Tradisional
Kesusastraan Bali Anyar atau Modern
1. TEMBANG
Sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang) ini merupakan formulasi dari sastra Bali
sebagai suatu karangan dengan pola yang terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya,
kesusastraan Bali dalam hal ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-
konvensi tertentu yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula. Di Bali tembang
dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Gegendingan
Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya
pendek dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap
kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk pengertian. Ada tiga jenis gegendingan,
yaitu:
1. Gending Rare
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang
bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat
dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan
bergembira. Ini juga mengajarkan anak-anak sejak usia dini bagaimana bekerja sama, serta
berbahasa Bali. Biasanya tiap lagu dilengkapi atau sebagai pelengkap dari sebuah permainan
(dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat
(gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak
terlalu diikat oleh hukum atau aturan-aturan seperti Guru Lagu atau Padalingsa. Beberapa contoh
tembang adalah juru pencar, jenggot uban, made cenik, mati delod pasih, Meong-meong,
Ongkek-ongkek Ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, Pul Sinoge,
dan lain-lain.
Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang
mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas
artinya.
Contoh gending rare
Juru pencar, juru pencar
Jalan jani mencar ngejuk be
Be gede-gede, be gede-gede
Di sawane ajake liu
Lagu Juru Pencar adalah sebuah lagu sarat makna. Juru pencar di sini adalah tukang jala ikan
atau nelayan dengan alat pencar yaitu sejenis jaring, untuk menangkap ikan. Di sini disiratkan
bagaimana kita harus menjalani dan memilih sebuah pekerjaan nantinya sewaktu dewasa.
Berangkat mencari nafkah dengan tujuan memenuhi kebutuhan. Pekerjaan ini melahirkan
konsekuensi kita harus berangkat bekerja walau bagaimanapun suasana hati dan keadaan kita Be
(ikan) di sini adalah peluang, peluang di kehidupan kita. Be (ikan) di sini jumlahnya banyak
(ajake liu), Jadi semuanya kita bisa dapatkan tergantung seberapa keras anda berusaha dan
memanfaatkan peluang di hidup kita.
a) Guru Wilangan : ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu
macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi
pelanggaran atas guru wilangan maka kesalahan ini disebut elung.
b) Guru Dingdong : aturan – aturan suara vocal pada akhir suku kata dalam
tiap baris. Bila terjadi pelanggaran atas guru dingdong maka kesalahan ini disebut ngandang.
c) Guru Gatra : aturan – aturan banyak baris dalam tiap bait
Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah
dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya
dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan)
Tembang macapat dibagi menjadi 12 bagian, yaitu :
SUASANA
Suasana Jenis Pupuh
Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati dan
aman, tenang, tentram
lain-lainnya
Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada
gembira, riang, meriah
Basur, Adri, Megatruh dan lain sebagainya
Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana,
sedih, kecewa, tertekan Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung dan
lain-lainnya
marah, tegang, kroda Durma dan Sinom Lumrah
Padalingsa
Jumlah suku kata dan huruf hidup akhir pada setiap baris kalimat tembang
Nama Pupuh beserta nomor barisnya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sinom 8a 8i 8a 8i 8i 8u/o 8a 8i 12a
Ginada 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a
Pucung 4u 8u 6a 8i 12a
Maskumambang 4a 8i 6a 8i 8a
Ginanti 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Durma 12a 8i 8a 8a 8i 5a 8i
Pangkur 8a 12i 8u 8a 12u 8a 8i
Semarandana 8i 8a 8o 8a 8a 8u 8a
Mijil 10i 6o 4e 10e 8i 6i 8u
Magatruh 12u 8i 8u 8i 8o
Demung 12a 8i 8u 8i 8a 8u 8a 8i 8a 8u
Dangdang 14a 14e 8u 8i 8a 8u 12a 8i 8a
Adri 12u 8i 8i 12u 8u 8a/e 8u 8a 8a
Tembang macapat merupakan kasusastraan yang merupakan unsur pembentuk dalam geguritan.
Geguritan adalah kakawian atau karangan yang terbentuk oleh tembang macapat. Contohnya :
a. Geguritan Sampik Ingtai, menggunakan tembang macapat campuran, oleh Ida Ketut Sari.
b. Geguritan Jaya Prana, menggunakan tembang macapat ginada kewanten, olih I Ketut Putra.
c. Geguritan Basur, menggunakan tembang ginada kemanten, oleh Ki Dalang Tangsub.
d. Geguritan Sucita serta Subudi, menggunakan tembang macapat campuran, oleh Ida Bagus Ketut
Jelantik.
e. Geguritan Tamtam, menggunakan tembang macapat campuran, oleh I Ketut Sangging.
1. Maskumambang
Menggambarkan bayi masih dalam kandungan ibunya, yang belum diketahui jenis kelaminnya,
kumambang berarti mengambang dalam kandungan ibu.
2. Mijil
Berarti sudah dilahirkan dan jelas laki-laki atau perempuan.
3. Sinom
Berarti masa muda, yang paling penting untuk pemuda adalah mencari ilmu sebanyak-
banyaknya.
4. Ginanti
Dari kata kanthi atau tuntun yang berarti dituntun supaya bisa menjalani kehidupan di dunia.
5. Asmarandana
Berarti cinta, cinta laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya yang merupakan takdir Ilahi.
6. Gambuh
Dari kata jumbuh / bersatu yang berarti apabila sudah bersatu dalam cinta, perempuan dan laki-
laki tersebut bisa menjalani hidup bersama.
7. Dhandhanggula
Menggambarkan kehidupan manusia dalam kebahagiaan ketika berhasil meraih cita-
cita.Menemukan jodoh, melahirkan anak, kehidupan yang sejahtera.
8. Durma
Dari kata darma / sedekah. manusia jika sudah merasa hidup cukup, dalam dirinya tumbuh rasa
kasih sayang kepada sesamanya yang sedang kesusahan, sehingga akan tumbuh keinginan untuk
berbagi.Hal tersebut didukung juga dari moralitas agama dan watak sosial manusia.
9. Pangkur
Dari kata mungkur yang berarti menyingkirkan hawa nafsu angkara murka.Yang menjadi
prioritas hidup adalah keinginan unutk berbagi dan peduli dengan sesama.
10. Megatruh
Dari kata megat roh/pegat rohe atau terpisahnya nyawa, ketika takdir kematian datang.
11. Pucung
Ketika tinggal jasad tersisa, dibungkus dengan kain mori putih atau dipocong sebelum
dikuburkan.
Contoh pupuh :
Sasuduk nangunang yadnya (8a)
Gama Hindu kene cening (8i)
Dewa yadnya matur baktia (8a)
Mamuja Ida Hyang Widhi (8i)
Masedana sarwa wangi (8i)
Dulurin manah rahayu (8u)
Manguncarang wedda mantra (8a)
Merihang krahayon gumi (8i)
Lunas lanus (4u)
Sarwa tumuwuh makejang (8a)
Makna yang terkandung dari pupuh di atas mencerminkan bagaimana cara bakti kita terhadap
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan melaksanakan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya yang di
dasari dengan persembahan suci sebagai rasa syukur kita terhadap segala panugerahan-Nya.
Pelaksanaan Dewa Yadnya disini juga bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia dan
keajegan umat Bali, beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
c. Sekar Madya/Kekidungan
Disebut sekar madya karena merupakan peralihan antara sekar alit dan sekar agung.
Sekar alit menonjolkan keindahan nada sedangkan sekar agung menekankan isi (tattwa agama)
sedangkan sekar madya diantaranya. Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan,
umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok
tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan,
yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat
oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian
seperti:
Pangawit (pembuka)
2. GANCARAN
Gancaran (prosa) adalah karya sastra yang menggunakan Bahasa Bali
yang ditulis tidak mengikuti aturan-aturan dalam tembang. Gancaran (prosa)
dapat dibagi menjadi :
1. Satua.
2. Babad,
Babad merupakan karya sastra, yang berarti salah satu historiografi tradisional yang
merupakan karya sastra sejarah. Jika babad yang termasuk sejarah mempunyai arti kawitan atau
silsilah. Sifat sifat Babad :
Bersifat anonim, berarti tanpa nama pengarangnya.
Bersifat lokal, hanya hidup dalam kelompok masyarakat tertentu.
Bersifat historis viktif, tentang sejarah dan kebanyakan unsur-unsur viktif di dalamnya
(legendaries, mitologis, legendaries, simbolis, sugesti).
contoh : Babad Brahmana, Babad Kesatria Taman Bali, Babad Pasek Gegel
3. Mitos
Mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang
diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam.
Contoh : Kisah Mayadanawa, Dalem Balingkang, Sang Hyang Saab.
4. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap cerita tersebut benar-benar terjadi oleh
pengarang atau yang mempunyai cerita.
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama.
Contoh : Prasasti Bebetin, Belanjong.
6. Epos
Terutama yang tradisional, biasanya ditulis dalam bentuk syair. Epos
umumnya berisi kisah kisah yang berpusat pada tokoh tokoh yang dihadapkan
pada tugas tugas mahapenting bagi alam semesta.
a) Sesonggan.
Sesonggan memiliki kata dasar 'ungguh', yang berarti tempat. Kruna ungguh memiliki
imbuhan berupa pangiring (akhiran) "an", menjadi ungguhan yang berarti janji. Kata ungguhan
kasandiang (mengalami perubahan sandi suara) menjadi unggwan. Dalam pengucapan kata
unggwan bisa diucapkan unggan. Selain itu kata unggan mendapat pangater (awalan) "sa"
menjadi saunggan, juga dengan kata lain menjadi songgan. Kata songgan didwipurwakan (proses
pengulangan sebagian atau seluruh suku awal sebuah kata) menjadi sesonggan.
Sesonggan seperti perumpamaan tingkah laku manusia, dengan tingkah laku barang atau
binatang. Contoh : "bedug pengorengan". Pengorengan dibangun atau keberadannya seperti
bandel, dan dibengkokkan supaya sama (lurus / datar). Jadi artinya : diucapkan oleh anak yang
terlalu nakal dan bandel, yang tidak bisa diberi tau.
Contoh :
b) Sesenggakan.
Sasenggakan sama seperti ibarat, dalam bahasa Indonesia. Sasenggakan, kata dasarnya
"Senggak", artinya "bersinggungan" atau "Sentil" dalam percakapan. Senggak mendapat akhiran
"an" menjadi senggakan, didwipurwakan menjadi "Sasenggakan" kata ungkapan, artinya
"Babinjulan" membahagiakan pendengar, selagi dalam suasana sedih atau galau si pengguna
sasenggakan, dapat mengalihkan pikirannya.
Sasenggakan juga seperti sesonggan, perbedaannya sasenggakan diawali dengan kata
"Buka", dan ada yang seperti sampiran . Kalimat awal menjadi sampiran, baris belakang menjadi
keterangan tingkah laku atau keadaan, kemudian dilanjutkan dengan maknanya.
Contoh:
Contoh :
d) Papindan
Papindan sama dengan sesawangan akan tetapi bedanya papindan mendapat anusuara,
sementara sesawangan di dahului dengan kata buka, kadi, luir, waluya kadi.
Papindan : Alise medon intara.
Sesawangan : Alise buka (kadi, luir) don intaran.
Papindan artinya : gambaran seperti, sehingga jika dibandingkan mirip dengan....,
contoh : papindan burung, artinya : bentuk gambaran mirip burung. Mapinda sedih, artinya :
mirip muka anak yang sedih. Yang boleh di papindan, adalah kata nama yang berisi anusuara.
Contoh:
1. Boke malayah alu, artinya : boke mirib layah alu masepak muncuk ipun.
2. Beragaring tulangne mamukun kalotteges, artinya : mirib bun kalot.
3. Panyingakane nunjung biru, artinya : penyigakane mirib tunjung biru nganggo cilak.
4. Cunguhe menyambu rakta , artinya : cunguh gede tur barak.
5. Kumise majadengkol, artinya : kumis samah tur gelgel.
6. Kupinge nyanggar sekar, artinya : karnane becik sumpangin sekar.
7. Kukune memapah biu, artinya : kukune mirip papah biu, sada lengkung.
8. Lambene barak ngatirah, artinya : lambene mirip buah katirah barak.
e) Sasemon
Sasemon juga sama seperti sesimbing, akan tetapi lebih halus pengucapannya.
Sasemon ini ada yang membangun tembang atau gancaran seperti yang dibawah ini.
Contoh : apa perlunya memelihara kayu yang seperti ini, tidak ada gunanya, hanya bisa membuat
jadi susah karna menyapu sampah tiap hari.
f) Sloka
Sloka di bahasa Indonesia sama artinya dengan “Bidal”. Sloka mirip dengan
sesonggan, maknanya juga tersembunyi. Akan tetapi bedanya adalah sloka menggunakan kata :
Buka slokane,......., Buka slokan gumine,......., Kadi slokan jagate,........,miwah sane lianan.
Contoh:
1. Buka slokane tusing ada abian ane tusing misi lateng,
Artinya : nenten wenten Banjar sane nenten medaging anak sane kual
2. Buka slokane disisine maukir di tengahne pulasan,
Artinya : pekatenan ipun ring sisine becik kewanten sujatin ipun manah nyane kaon(dusta).
g) Sesimbing
Sesimbing merupakan kata ucapan yang sangat pedas maknanya. Membuat orang
yang disindir menjadi malu dan sedih, karena merasa dirinya disindir. Sesimbing ini sering
diucapkan didepan orang yang ingin di sindir, menggunakan kata perumpamaan yang sangat
tersembunyi artinya, menggunakan perumpamaan tentang dua manusia, barang atau hewan.
Biasanya sesimbing menggunakan lawan kata.
Contoh : orang bodoh di sindir pintar, orang curang atau malas di sindir rajin.
Ada banyak sesimbing yang membangun tembang dan gancaran, contoh : "Kadang tan
tinolihin", artinya : anak yang hanya mementingkan diri sendiri, itu tidak akan perduli dengan
orang orang di sekitarnya.
Contoh :
h) Wewangsalan
Wewangsalan puniki pateh sakadi tamsil ring Bahasa Indonesia. Wewangsalan kata
dasarnya adalah “wangsal” yang artinya alur, dapat akhiran “an” menjadi wangsalan, lalu di
dwipurwakan menjadi wewangsalan, yang artinya diumpamakan perilaku dua manusia, mirip
dengan sesimbing yang makna kata katanya sangat pedas.
Wewangsalan dibangun dengan dua baris kalimat. Kalimat awalnya seperti sampiran,
tentang yang ingin diucapkan akan tetapi tersembunyi. Kalimat di belakang sampiran merupakan
kalimat sesungguhnya yang menerangkan artinya dan diucapkan secara berwirama atau bersajak.
Ada juga yang tidak mengucapkan kalimat dibelakangnya karena dianggap semua orang sudah
memahaminya.
Contoh :
i) Peparikan
Peparikan sama seperti wewangsalan. Akan tetapi bedanya wewangsalan hanya 2
baris sedangkan peparikan dibangun dengan 4 baris menjadi 1 bait, juga berwirama atau
purwakanti. Peparikan sama seperti majas dalam bahasa indonesia. Jika disamakan sebanding
dengan pantun, dengan ri sering ditukar dengan ntun. Seperti sari dengan santun. Peparikan kata
dasarnya parik berarti karang, mendapat akhiran an menjadi parikan, lalu di dwipurwakan
menjadi peparikan.
Contoh:
j) Cecangkitan
Cecangkitan ini adalah kalimat yang arti kata nya berputar putar.. Cecangkitan ini
biasanya dipakai saat sedang bersenda gurau. Disamping itu ada juga yang dipakai untuk
membodohi teman.
Contoh:
Contoh:
l) Cecimpedan
Cecimpedan dalam bahasa indonesia sama dengan teka teki. Cecimpedan itu
digunakan untuk pelipur lara pada saat bersenda gurau. Kata dasarnya “cimped”, mendapat
akhiran “an” menjadi cimpedan, kemudian di dwipurwa kan menjadi cecimpedan yang artinya
teka-teki.
Contoh :
1. Apa maglebub masuryak? Cawisannyane: danyuh.
2. Apa maglebug nelik? Cawisannyane: pongpongan.
3. Apa krek krek ngejohan? Cawisannyane : nak nyampat
4. Apa anak cenik ngemu getih? Cawisannyane : nyamuk
5. Apa panakne jekjek, memene sleleganne? Cawisannyane : jan
6. Apa ulung nyaup saput? Cawisannyane : durian
m) Cecangkriman
Cecangkriman adalah cecimpedan yang berbentuk lagu atau tembang. Menggunakan
tembang madya atau pupuh. Umumnya menggunakan pupuh pucung, mungkin ada yang belum
sempat membaca tentang cecimpedan.
Contoh:
n) Bebladbadan
Bebladbadan berasal dari kata dasar babad artinya petuah yang benar dan sudah dijalani pada
kehidupan yang lampau. Setelah mendapat sisipan “el” dan akhiran “an” kemudian di
dwipurwakan menjadi bebladbadan yang berarti kata yang sudah dibumbui dan biasanya
bersajak.
Bebladbadan ini terdiri dari 3 baris. Baris yang pertama disebut “giing” atau “bantang” ,
baris yang kedua sama seperti sampiran yang bersajak, dan baris yang ke tiga adalah arti
peribahasa. Misalnya :
1. Giing (bantang) : majempong bebek,
2. Arti sujati (sampiran) : jambul,
3. Arti peribahasa : ngambul.
Kata "mbul" yang berasal dari kata "jambul", bersajak "mbul" pada kata "ngambul".
Bebladbadan ini mirip dengan wewangsalan diumpamakan seperti tingkah laku dua
manusia dimana sangat pedas maknanya. Akan tetapi jika seseorang berbladbadan arti
sebenarnya tidak diucapkan karena dianggap semua sudah tau artinya.
Contoh :
o) Sesapan
Sesapan artinya menyapa yang bertujuan mencari keselamatan agar tidak terkena
bencana.
Contoh :
1. Kaki-kaki Bentuyung, eda kasabanina tiang, tiang cucun kakine. Ini diucapkan ketika ada
hujan lebat dan ada petir menyambar, maka karena takut diucapkanlah sesapaan tersebut.
2. Ih, kayu sakti tiang nunas sikepan apang rahayu tiang mamargi. Diucapkan ketika akan
bepergian bersama dengan anak kecil, agar dilindungi oleh Hyang Widhi.
3. PALAWAKYA
Palawakya merupakan karya sastra gancaran yang dibaca menurut hreswa (pendek) dan
dhirga (panjang) pada labuh suara ( kata terakhir tiap baris ), yang terikat dalam tata titi
membaca Basa Jawa Kuna, seperti kasusastraan Parwa yang umum terdapat pada kasusastraan
epik Mahabrata dan kanda yang berasal Ramayana.
Contoh dari Palawakya ini adalah drama. Antara drama dan sastra sangat erat
hubungannya. Hampir semua drama di Bali berasal dari khasanah sastranya.
Munculnya drama dalam sastra Bali merupakan hasil ciptaan langsung sebagai karya
pentas. Tidak ada drama yang merupakan hasil olahan karya sastra seperti novel. Hal ini
disebabkan karena sangat sedikitnya karya prosa dalam sastra Bali.
Drama dalam kesusastraan Bali terbagi atas 2, yaitu drama Bali klasik dan modern. Unsur-
unsur drama Bali klasik dapat kita lihat dari segi cerita dan suasana cerita , ilustrasi dan beberapa
aspek gerak. Sedangkan unsur-unsur drama Bali modern terletak pada dialog dan tata lampu atau
dekorasi.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kesusastraan Bali adalah hasil karya atau cipta seorang pengarang atau pujangga yang
menceritakan dinamika kehidupan masyarakat Bali serta mengandung nilai estetika yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Kasusastraan di Bali dibagi menjadi 2 yaitu kasusastraan Bali Purwa (tradisional) dan
kasusastraan Bali Anyar (Modern). Jenis jenis dari Kesusastraan Bali Purwa atau Klasik atau
Tradisional adalah Tembang (puisi), Gancaran (Prosa), dan Palawakia (prosa liris).
Kesusastraan Bali memiliki karakteristik yang unik. Setiap karya sastranya memiliki ciri
dan ketentuan khusus yang berbeda, tergantung dari jenis karya sastranya. Selain ciri dan
ketentuan khusus tersebut karya sastra tentulah memiliki makna tersirat maupun tersurat yang
ingin disampaikan oleh pencipta atau pengawinya. Makna tersebut akan dapat kita temukan
apabila kita mempelajari, menyenangi serta memahami karya tersebut.