MURDHA WAKYA
Sane Mupulang
I Kadek Swaha Mandala
Jroan Gede Mangku Dalem Sukun
Muluk Babi
Sibang Kaja, Abiansemal
Badung
Tetangunan Bale Gede sane katungun riang Jroan Gede Mangku
Dalem Sukun puniki katangun duk penglisir utawi lelangit newata
kapertama sane ngawitin jenek ring Mulukbabi Sibangkaja duaning genah
utawi Jroane puniki pinaka uwed pemugeran kewentenan Pasemetonan
Mulukbabi sami, setiosan ring nika lelangit newata kapertama keadegang
Bala Putra ring Puri Praupan Sibanggede punika pinaka jalaran lelangite
nguni ngawitin ngawangun Saren Gede utawi Bale Gedene puniki. Saren
Gede utawi Bale Gede puniki sampun mayusa kirang langkung 100 warsa
sane kapugar sampun ping 3 nyantos mangkin .
1. Pemugaran kapertama kerebnyane nganggen ambegan.
2. Pemugaran kaping kalih kerebnyane nganggen ambegan sane
kagentos antuk raab genteng kapugar duk warsa, kirang langkung
1982.
3. Pemugaran kaping tiga mapugar mawit tanggal 9 Januari 2019 sane
kakawitin antuk nebang taru, mekarya gegulak, ngendag ngawitin
mekarya nyantos puput tanggal 28 Oktober 2019 sane kapuput antuk
Ida Pandita ring Griya Ole Sibanggede.
Inggian undagi sane ngambil perkaryan ngukir inggih punika :
1. I Gusti (Jero Lanang Sibangkaja)
2. I Gusti (Jero Bekul Sibangkaja)
3. I (Jero Kawan Lambing Sibangkaja)
4. I ( Tegal)
Inggian undagi sane ngambil perkaryan nyujukang utawi ngadegang inggih
punika :
1. Pak Yul
2. Buk Yul
3. Pak Arik
Sami mawit saking Abian Tuwung Tabanan
A. PENGERTIAN SIKUT :
Sikut adalah pedoman dasar tata ukur yang mengikat pada setiap karya arsitektur
tradisional di Bali. Wujud dari sikut itu sendiri ada yang menggunakan anatomi tubuh seperti
jari, lengan, dan kaki, serta ada juga yang menggunakan persepsi berdasarkan kemampuan
seseorang untuk menentukan suatu ukuran, contohnya cara mengukur menggunakan
pengelihatan terjauh (a penelengan) dan cara mengukur menggunakan lemparan terjauh (a
penimpugan). Secara rinci pengukuran melalui anatomi tubuh biasanya dilakukan dangan
menggunakan anatomi tubuh pemilik rumah seperti telapak kaki (tapak), lengan (depa), dan jari
(lengkat), serta dalam setiap penerapannya selalu ditambahkan ukuran ekstra yang dikenal
dengan istilah pengurip (merupakan ukuran tambahan yang memberikan makna tertentu bagi
pemiliknya). Dari unsur tangan skala ukuran berbentuk: a lengkal, a cengkal, a telek, a useran, a
lek, a kacing, a musti, a sirang, a gemal, a guli tujuh, a nyari, a rai, a duang nyari, a tampak lima,
a petang nyari, a tebah, tampak lima. Dari unsur lengan ukuran berbentuk: tengah depa agung,
tengah depa alit, a hasta. Dari unsur kaki : a tampak dan a tampak ngandang.
B. DASAR FILOSOFI :
Tuhan menciptakan manusia dengan ukuran disetiap anggota tubuhnya begitu pula
manusia menciptakan bangunan agar memiliki bagian – bagian tubuh manusia seperti kepala,
badan, dan kaki, serta setiap bagian bangunan diukur berdasarkan perbandingan dari anggota
tubuh manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan dengan maksud ingin menciptakan
keseimbangan antara bhuawana agung dan bhuwana alit. Selain itu agar si pemilik bangunan
dengan bangunannya secara psikologis menjadi satu dan akrab, terjadinya kesesuaian rasa ruang,
dan dapat menghindari ketakutan pada skala ruang yang kebesaran.
Permukiman tempat tinggal masyarakat di Bali yang tradisional, menggunakan konsep Tri
Mandala (nista,madya,utama) dan Tri Hita Karana. Semua ini bersumber dari lontar Asta
Kosala-Kosali dan Asta Gumi. Penjabaran ajaran Tri Hita Karana dan kaitanya dengan konsep
Tri Mandala adalah hubungan manusia dengan Tuhannya yang aktivitasnya dilakukan di utama
mandala, hubungan manusia dengan sesamanya dilakukan di madya mandala dan manusia
dengan alam lingkunganya di lakukan di nista mandala.
Masyarakat tradisional di Bali berusaha untuk hidup berdampingan, selaras serta menghindari
sifat pemaksaan atau pemerkosaan terhadap lingkungan, sehingga setiap unsur yang akan
dirubah fungsinya selalu didahului dengan melakukan suatu penghormatan, dengan
menyelenggarakan suatu upacara tertentu sesuai dengan ajaran susila yang termuat dalam ajaran
agama Hindu. Pelaksanaan dari upacara-upacara penghormatan selalu di lengkapi dengan
sarana-sarana yang berupa upakara-upakara berbentuk sesajen sebagai pernyataan rasa bhakti
terhadap sesama mahluk ciptaan.
Pada arsitektur tradisional Bali ha linin terlihat jelas dalam proses pembangunan yang selalu
disertai dengan serentetan upacara, mulai dari proses, pencarian bahan (menebang kekayuan),
penentuan lahan untuk pembangunan (pekarangan) dengan upacara “nyukat”
dan“mecaru”sebagai pernyatan permohonan untuk merubah fungsi site (lahan), upacara
pembuatan standar ukuran “gegulak”, upacara “ngeruak” sebagai pernyataan permohonan
mendirikan bangunan, upacara “memakuh” sebagai peletakan batu pertama “nyejer daksina”
sebagai permohonan keselamatan dan pengawasan kepeda Bhagawan Wiswakarma sebagai
dewanya para Arsitek tradisional Bali (undagi) agar selama proses pembangunan tidak ada
gangguan dan kesalahan, upacara “pemelaspas dan pengurip-urip” sebagai pernyataan
bersyukur atas terwujudnya bentuk baru, serta pengakuan dalam wujud tersebut memiliki
kekuatan magis dan jiwa sebagaimana halnya manusia dan mahluk-mahluk lainya.
D. SKEMA AWAL PEMBANGUNAN
E. BALE GEDE
Dalam Arsitektur Tradisional Bali dikenal sebuah unit bangunan dalam area rumah
tinggal yang disebut Bale Dangin, yang terdapat daam pola nata menjadi satu unit hunian. Bale
Dangin memiliki Sembilan tiang penyangga, enam tiang penyangga maupun
dua belas tiang penyangga. Bale Dangin yang terdiri atas dua bale (12 tiang) disebut dengan
Bale Gede.
Dengan demikian Bale Gede merupakan salah satu dari tipe Bale Dangin yang
mempunyai ukuran paling besar (Gede) yang biasanya hanya dimiliki oleh golonga masyarakat
tertentu saja. Sebagai salah satu tipe dari Bale Dangin, maka penempatan Bale Gede juga
mengikuti posisi dan fungsi bale Dangin yaitu terletak di bagian timur (Dangin) pada halaman
rumah tinggal.Sesuai dengan tuntutan fungsinya sebagai tempat upacara, dinding bangunan
hanya tertutup pada dua sisi (Sisi timur dan selatan) sehingga dapat memberikan kebebasan
gerak dalam kegiatan upacara.
Sebagai salah satu tipe dari Bale Dangin maka bale Gede juga memekai konsep dan
filosofi yang sama, seperti halnya bangunan tradisional Bali lainnya. Konsepsi orang Bali
tentang didasarkan atas pandangan bahwa dunia atau alam semesta tersusun
menjadi bagian yang disebut Tri Loka yaitu Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka. Dalam diri
manuasia pandangan itu terwujud ke dalam konsep Tri Angga, yaitu kaki, badan dan kepala.
Dalam struktrur bangunan Bale Gede susunan tersebut terlihat secara vertikal yaitu atap
(kepala), Tiang dan tembok (badan) dan bebaturan (kaki). Sistem struktur yang dipergunakan
pada Bale Gede adalah sistem struktur rangka yang bentangannya masih cukup kecil, sehingga
beban yang diakibatkan oleh beratnya sendiri masih relatif kecil. Dinding yang terletak di
sebelah Timur dan selatan hanya sebagai dinding pemisah dan memikul bebannya sendiri serta
tidak mempengaruhi struktur utama Komponen struktur rangka yang terpisah dengan komponen
dindingnya, maka komponen-komponen tersebut akan dapat berdiri sendiri untuk menahan
pembebanan sesuai dengan bahannya. Oleh kerena itu maka dalam penulisan ini tidak akan
menyinggung lebih jauh mengenai dinding, karena tidak berperan sebagai konstruksi yang
meperkuat sistem struktur rangka, yang pada bagian badan bangunan dipikul oleh sistem
konstruksi saka (tiang) dengan sendi di bagian bawahnya dan lambang, canggah wang, maupun
kencut di bagian atasnya.
Bagian badan dari bangunan adalah dinding dan Saka (tiang). Dinding tradisional
dibanguan terlepas tanpa adanya ikatan dengan konstruksi rangka bangunan, dan dipertegas
dengan adanya celah antara kepala tembok dan sisi bawah atap, sehingga tembok terkesan bebas
dan tidak memikul beban. Dengan konstruksi tembok yang terlepas dari struktur diharapkan
dapat terhindar dari bahaya gempa, karena tembok/dinding tidakterpengaruh bila terjadi
goncangan pada konstruksi rangka. Celah antara kepala dengan tembok dan sisi bawah atap juga
berfungsi sebagai sirkulasi udara.Saka (tiang) pada baledangin ditopang oleh enam, sembilan
atau dua belas tiang sesuai dengan namanya.Kedudukan tiang distabilkan oleh sunduk, waton
dan likah.Tiang yang tidak terdapat sunduk, kedudukannya distabilkan oleh sangga wang di
bagian atas dan pebuntar sesaka pada pangkal tiang yang dimasukkan ke lubang sendi. Tiang
yang tidak memenerima beban, kepalanya dihias dengan kencut. Sesaka tugeh yang bertumpu di
atas pementang sebagai balok tarik, yang sesungguhnya merupakan tiang maya yang seakan
menyangga dedeleg atau petaka.Kencut sebagai tugeh mengungkapkan bahwa tugeh
bebas beban.
Bentuk atap bale dangin pada umumnya adalah bentuk kampiah atau limasan.
Konstruksi bagian atap bale dangin terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut:
a. Iga-iga.
Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai
dengankolong yang merupakan bingkai teapi luar atap dan ujung atasnya menyatu dengan
puncakatap yang disebut dedeleg
atau petaka.Iga-iga juga dirangkai dengan apit-apit yang membentuk bidang atap.
b. Pemade.
Merupakan iga-iga yang menempati tiang-tiang di tengah bangunan.
c. Pemucu.
Iga-iga yang yang menempati sudut atap ke tiang sudut.
d. Apit-apit
Merupakan konstruksi bidang atap yang mengikat iga-iga.
e. Gerantang.
Terletak pada pada bagian bawah iga-iga untuk mendapatkan perbedaan bidang
kemiringan atap di bagian bawah.
f. Pementang.
Balok tarik yang membentang di tengah-tengah dan mengikat jajaran tiang tengah.
g. Sineb lambang.
Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi disebut lambang. Sedangkan
lambang rangkap yang disatukan oleh balok di sisi bawahnya disebut sineb.
h. Tada paksi.
Balok tarik yang memngikat pementang, berakhir di atas tiang tengah.
i. Tugeh
Tiang penyangga konstruksi atap
j. j. Raab
Penutup /atap tradisional Bali yang umumnya terbuat dari alang-alang atau bahan alam
lainnya. Saat ini Raab sudah banyak yang menggunakan bahan-bahan buatan pabrik,seperti
genteng, seng,dsb.
Demikian juga halnya dengan pembagian Tri angga yang menempatkan bagian
bebaturan sebagai kaki bangunan, maka dalam pembahasan selanjutnya tidak akan membahas
konstruksi pada bebaturan karena tidak termasuk sebagai interior Bale Gede. Dalam Kaitannya
dengan Bale Gede.
Maka unsur-unsur geometris seperti titik, garis, bidang dan volume dapat dirangkai untuk
menegaskan dan membentuk ruang. Dalam skala arsitektur,unsur-unsur pokok ini menjadi
kolom(saka) dan balok (lambang) yang linier.serta dindinglantai dan atap yang berupa bidang-
bidang datar.
Sebuah tiang menandakan adanya sebuah titik dalam ruang dan menjadikan titik tersebut
terlihat nyata.
Dua buah tiang membentuk sebuah membran ruang yang dapat kita lalui.
Dengan menyangga sebuah balok, tiang-tiang berubah menjadi garis tepi sebuah bidang
datar transparan
Sebuah diding, sebuah bidang masif, menandakan adanya sebagian dari ruang yang
terbentuk dan memisahkan antara “di sini” dan “ di sana”
Lantai membentuk dasar ruang dengan batas-batas teritorinya
Atap memberi naungan untuk isi ruang yang ada di bawahnya.
Dalam desain arsitektur, unsur-unsur tersebut dirangkai sehingga suatu bangunan
memperoleh bentuknya, membedakan anatara bagian dalam dan luar, dan membentuk batas-
batas ruang interiornya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan interior adalah ruang yang
terbentuk oleh lantai, dinding/tiang dan atap, sehingga konstruksi yang akan dibahas adalah
elemen-elemen yang terletak pada interior yaitu pada bagian atas lantai hingga di bawah atap
Bale Gede. Lebih jauh disebutkan bahwa interior adalah karya seni yang mengungkapkan
dengan jelas dan tepat akan tata kehidupan manusia dari suatu masa melalui media
ruang.Interior desain adalah karya arsitek yang khusus menyangkut bagian dalam dari
suatu bangunan.
Tiang-tiang pada bale gede yang berjumlah 12 tiang tidak semuanya menyangga bale.
Kedudukan tiang distabilkan oleh elenmen-elemen pengakunya. Untuk tiang yang menyangga
bale, kedudukan distabilkan oleh Sunduk ,waton dan likah. Tiang yang tidak terdapat
sunduk, kedudukannya distabilkan oleh sangga wang di bagian atas dan pebuntar sesaka di
pangkal tiang yang dimasukkan di lubang sendi.Tiang-tiang yang tidak menerima atau bebas
dari beban, kepalanya dihias dengan kencut/kapu-kapu. Selain sesaka utama yang menyangga
bale Gede, terdapat juga sesaka( tiang) pandak yang menyangga salah satu sisi bale yang tidak
menyatu dengan tiang utama.Sesaka tugeh yang tertumpu di atas pementang sebagai balok tarik,
sesungghnya merupakan tiang maya yang seakan menyangga petaka/dedeleg, Kencut sebagai
kepala sesaka tugeh mengungkapkan bahwa tugeh bebas beban. Bila tugeh dilepaspun
konstruksi tidak akan jebol.
d. Elemen Konstruksi Bale Gede
Elemen konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang yang disebut Sesaka
atau Saka.Penampang tiang bujur sangkar dengan sisi-sisinya berkisar dari amusti, asangga atau
ruas-ruas jari telunjuk sesuai dengan fungsi bangunan dan factor-faktor penentu: kasta, peranan
dan kecenderungan pemakai. Panjang tiang berkisar antara19 rai sampai 23 rai masing-masing
dengan pelebih yang disebut pengurip. Rai adalah lebar sisi penampang tiang, asirang = diagonal
penampang tiang dan pengurip bervariasi dari tebal ruas sela diantara ruas-ruas jari, lebar
masing-masing jari, atau pecahan dari ¼,½, ¾ atau 1 rai yang dapat pula dikombinasikan. Lebar
ruangan juga ditentukan oleh panjang tiang. Jarak tiang ke tiang ke arah lebar 2/3 panjang tiang
ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambang sampai ke atas slimar atau sunduk
dawa atau sunduk bawak dan bagian-bagiannya. Masing-masing juga dengan
penguripnya.Kedudukan tiang distabilkan oleh elemen-elemen pengakunya.Untuk tiang-tiang
yang menyangga balai-balai kedudukannya distabilkan oleh sunduk, waton dan likah.
Tiang yang tidak ada sunduknya kedudukannya distabilkan oleh Sanggawang di bagian
atas dan pebuntar sesaka di pangkal tiang dimasukkan kedalam lubang sendi.
Tiang-tiang yang bebas beban kepalanya dihias dengan kencut/kapu-kapu sebagai
kepala tiang dengan penampang cekingnya sekitar 3 cm sebagai pernyataan bebas beban. Sesaka
tugeh yang tertumpu di atas tada paksi atau pementang sebagai balok Tarik sesungguhnya tiang
maya yang seakan menyangga petaka. Kencut/ Kapu-kapu sebagai kepala sesaka tugeh
mengungkapkan bahwa tugeh bebas beban. Bila tugeh dilepas konstruksinya tidak akan jebol.
Bangunan tradisional yang dibangun dengan konstruksi rangka, sesaka dan bagian-
bagian rangka lainnya hubungan elemen-elemen strukturnya dikerjakan dengan system lait, baji
dan ikatan-ikatan tali temali. Struktur dan konstruksi serupa itu merupakan struktur dan
konstruksi yang tahan gempa, yang diperlukan untuk bangunan-bangunan di daerah yang sering
terjadi gempa.Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional
disebut lambang . Lambang rangkap yang disatukan, balok rangkaian yang di bawah disebut
lambang yang di atas disebut Sineb.
Balok tarik yang membentangkan di tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah
disebut pementang. Balok yang mengikat pementang berakhir di atas tiang tengah disebut
tadapaksi. Pementang dan tadapaksi merupakan balok tarik yang menstabilkan lambang sineb
dan tiang-tiang penyangga. Usuk-usuk bangunan tradisional disebut iga-iga. Pangkal iga-iga
dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan bingkai tepi luar atap.Ujung atasnya
menyatu dengan puncak atap. Batang simpul penyatu dipuncak disebut Petaka/dedeleg, dengan
konstruksi atap limasan. Iga-iga yang menempati sudut-sudut atap dari tiang-tiang sudut ke
puncak disebut pemucu dan yang menempati tiang-tiang tengah ke puncak disebut pemade. Iga-
iga dirangkai dengan apit-apit merupakan konstruksi bidang atap. Untuk mendapatkan bidang
atap, lengkung, kemiringan di bagian bawah lebih kecil dari bagian atas.Dibuat iga-
iga bersambung yang disebut gerantang(.
Keseluruhan konstruksi rangka bangunan membentuk suatu kesatuan stabilitas struktur
yang estetis fungsional.Hubungan elemen-elemen konstruksi dikerjakan dengan sistem pasak,
baji dan tali tali ikatan.
5.3 Pengamatan pada sentra kerajinan ukir kayu dan bangunan tradisional Bali
Pengamatan secara lansung pada bangunan bale gede hanya mampu
menggambarkan posisi dari masing-masing elemen yang menjadi konstruksinya,
namun tidak bisa melihat bagaimana masing-masing elemen tersebut dihubungkan. Konstruksi
tradisional Bali tidakmengenal pemakaian paku sebagai penguat konstruksinya, sehingga
bentuk-bentuksambungan yang menghubungkan elemen-elemen tersebut sangat berpera penting.
Olehsebab itu Survey dilanjutkan ke tempat perajin yang biasa membuat bangunan
tradisionalBali agar bisa melihat bagian bagian konstruksi yang belum terpasang, untuk melihat
lebihlebih jauh bentuk-bentuk elemen konstruksi, Dari pengamatan ini menghasilkan
beberapaelemen yang menjadi konstruksi yang menghubungkan satu bagian bangunan
dengan bagian. Melalui wawancara dengan perajin dan nara sumber didapatkan beberapa
elemen-elelemen sambungan yang belum terpasang dengan bentuk sambungannya masing-
masing.
Gambar 23. Pebuntar/Purus pada bagian bawah saka yang menghubungkan saka dengan sendi
Gambar 24. Ujung saka yang menyangga lambang pada sisi tengah
Sineb
Lambang
Cangah wang
Saka
Sendi