Anda di halaman 1dari 4

ASAL USUL SUKU DAYAK

Suku dayak adalah salah satu suku asli Kalimantan yang sangat terkenal karena
keunikan etnik budayanya, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga hingga ke
mancanegara. Suku dayak dikenal sebagai suku yang memiliki warisan magis yang kuat.
Ilmu-ilmu spiritual menjadi simbol kekhasan dari adat suku yang mendiami pedalaman tanah
Borneo ini.

Suku dayak diperkirakan merupakan keturunan dari ras Mongolid, Asia. Seperti
diketahui bahwa 2000 tahun sebelum masehi, benua Asia masih menyatu dengan Pulau
Kalimantan. Ras mongolid yang terdesak karena kalah perang, mengembara ke arah Selatan,
mulai dari Semenanjung Malaya, Serawak, hingga Kalimantan. Ras Mongolid ini kemudian
menetap, mendirikan perkampungan di tepian-tepian sungai, beranak pinak, dan membangun
kebudayaannya sendiri di tanah Borneo.

Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan
masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan
Barat. Ada berbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada
yang betul-betul memuaskan। Namun, pendapat yang diterima umum menyatakan bahawa
orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau
Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231)। Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada
teori migrasi penduduk ke Kalimantan। Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai bahawa
nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Mikhail Coomans (1987: 3):

Semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-
besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang
berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok
kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk
memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu
loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit,
kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan
perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-
pulau itu.
Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini
mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat. Akan tetapi
tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ
terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat
pulau Kalimantan.

Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa
Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama ada dalam bahasa maupun
dalam ciri-ciri budaya mereka

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-
Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan। Keenam rumpun ini terbagi
lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok
suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas। Ciri-ciri tersebut menjadi faktor
penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak।
Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit
beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan
seni tari.

Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya
pulau ini tidak hanya merupakan "daerah asal" orang Dayak semata karena di sana ada orang
Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu
dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain,
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian,
satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai
mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya,
kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol
seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki
unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan,
perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-
tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses
pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan
(pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka
mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan
untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka
rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini
fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang
koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering
disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari
kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai
orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan
orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.


Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi
adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era
Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan


tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti
piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja
Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah
belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Referensi

http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/asal-usul-suku-dayak.html

https://www.facebook.com/notes/arif-joko-bantolo-putro/inilah-sejarah-dan-asal-usul-suku-
dayak-kalimantan/655579397821399/

Anda mungkin juga menyukai