Anda di halaman 1dari 22

APA ITU DAYAK?

Dayak atau Daya ( ejaan lama: Dajak atau Dyak adalah nama yang oleh penduduk pesisir
pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang
terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari (Brunei, Malaysia,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku
asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut
sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di
Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia
(268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu,
budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan
orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau
sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Kelemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau,
rumpun Murut, rumpun Ot Danam-Ngaju danrumpun Punau. Namun secara ilmiah, para
linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing
memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan.

1. "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok Bahasa Madagaskar, dan
Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku
Paser.
2. "Dayak Darat" (13 bahasa )
3. "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang
berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung.
4. "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman,
Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.

"Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan
Saq Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak Kendayan
(Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan

Asal mula

Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur Bahasa Autronesia.
Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Belwood dan Blust,
yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalahTaiwan. Sekitar 4000 tahun lalu,
sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian,
ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan
ke timur menuju Pasifik.

Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60000 dan
70000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan
kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"). Manusia
sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia
yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.

Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam
rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir.
dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku
Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.

Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389 Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun1520).

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam
keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah
Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit , Batang Labuan Amas dan Batang
Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam
kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang
pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai Tidak
hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku 323
Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota
yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang
berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa
Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar
memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan
Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar
Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu
tempat dekat pantai pada tahun 1736.

Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan


penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan
orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar,
Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah
belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa
Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung
adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang
yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara
ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di
tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta
damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak
Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku
Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah
para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

* Mangkok merah.

Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak
merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut
Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di
edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang
tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan
supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal
dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat
acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu
roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu”
( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang
Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang
yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak
pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin
banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga
perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian
(ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu
obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun
rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang
persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain
merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan
politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut
ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek
moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau”
( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN

Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong
beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah
itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang,
kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.

Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon
hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan
beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah
mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.

Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi
pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya
dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin.
Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan
pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang
dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu
dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur
dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.

Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong
berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu
adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam
rarung.

Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang
nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua
nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di
dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah
disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.

Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke
kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang
kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah
sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.

SENI TARI DAYAK

1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu
penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan
wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari
ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian
ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar
Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang

Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya.
Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan
lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong


Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah,
sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi
yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan
pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini
ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak
Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan
tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo,
namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari
banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh
lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan
hinggap bertengger di dahan pohon.

5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh
orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam
hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta
menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat
hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari
Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak
tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita’


Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau
dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa
terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok
anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan
musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan
memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi
dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat
dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai

Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang
digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling
bambu).a kita memanfaatkan dan mengelolanya.

9. Tari Belian Bawo


Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar
dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara
penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang


Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-
pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon
tersebut.

11. Tari Pecuk Kina


Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan
(Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.

12. Tari Datun


Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10
hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak
Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas
kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau


Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian
ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi
mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga’ Bagantar


Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan
dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak
Benuaq.
Senjata Sukubangsa Dayak

1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm,
panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang
digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu
gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah
tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai
dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar
30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam
dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya
ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan
dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut
“Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai
religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan
dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau
batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya
terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala
suku, Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak

1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang,
dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada
dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan
sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas
datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita
duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua
meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa
dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya
ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada
dipohon itu.

BERBURU ALA SUKU DAYAK

Suku Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang.
Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di
desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.

Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi
mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?

Caranya tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka
akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan
ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa
selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan
pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.

Bagaimana dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk
(monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang
kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah
menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian alasan mereka.

Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan
selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu
Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang
mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.

Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang,
biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan
berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.

Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan
dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan
posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat
dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.

Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka
bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk
mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati
alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan
tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.

Tradisi Kebiasaan Suku Dayak

Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai
penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak
di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada
di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend
dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian
kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak
diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.

Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan
budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan
Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena
gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.

Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda
membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya
Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan
budaya, tradisi maupun adat.

Makanan khas Suku Dayak1. Juhu Singkah / Umbut Rotan


Umbut Rotan (rotan muda) adalah salah satu makanan khas yang dimiliki oleh Suku Dayak,
terutama dari Kalimantan Tengah. Dalam bahasa Dayak Maanyan, umbut rotan dikenal
dengan uwut nang'e. Sedangkan dalam bahasa Dayak Ngaju dikenal dengan juhu singkah.
Umbut rotan ini dikenal masyarakat dayak karena mudah diperoleh didalam hutan tanpa perlu
menanamnya terlebih dahulu.

Cara pengolahan Juhu Singkah yaitu pertama rotan muda dibersihkan kemudian kulitnya
dibuang dan dipotong dalam ukuran kecil. Umbut rotan seringkali dimasak bersama dengan
ikan baung dan terong asam. Umbut Rotan memiliki rasa gurih, asam, dan kepahit-pahitan
yang bercampur dengan rasa manis dari daging ikan sehingga membuat umbut rotan memiliki
citarasa tersendiri.

2. Kalumpe / Karuang
Kalumpe / karuang adalah sayuran yang dibuat dari daun singkong yang ditumbuk halus.
Kalumpe merupakan bahasa Dayak Maanyan dan karuang sebutan sayur ini dalam bahasa
Dayak Ngaju. Dalam pembuatannya, biasanya daun singkong ditumbuk halus dan dicampur
dengan terong kecil atau terong pipit. bumbu untuk masakan ini adalah bawang merah,
bawang putih, serai dan lengkuas yang dihaluskan. Apabila ingin bisa ditambahkan cabe.
Kalumpe terasa sangat enak apabila sedang panas. Masakan ini biasa disajikan bersama
dengan sambal terasi yang pedas dan ikan asin.

3. Wadi
Wadi adalah makanan berbahan dasar ikan atau menggunakan daging babi. Wadi bisa
dibilang adalah makanan yang "dibusukan". Namun pembusukan ini tidak dibiarkan begitu
saja, sebelum disimpan, ikan atau daging akan dilmuri dengan bumbu yang terbuat dari beras
ketan putih atau bisa juga biji jagung yang di-sangrai sampai kecoklatan kemudian di tumbuk
manual atau di blender. Dalam bahasa Dayak Maanyan bumbu ini disebut dengan Sa'mu dan
dalam bahasa Dayak Ngaju disebut dengan Kenta.

Pembuatan Wadi yaitu ikan atau daging yang hendak diolah dibersihkan terlebih dahulu,
kemudian direndam selama 5-10 jam dalam air garam. Kemudian daging atau ikan diangkat
dan dibiarkan mengering. Setelah cukup kering ikan atau daging dicampur dengan Sa'mu
sampai merata. Kemudian daging disimpan dalam kotak kaca, stoples, atau plastik kedap
udara yang ditutup rapat-rapat. Simpan kurang lebih selama 3-5 hari. Untuk daging
disarankan simpan lebih dari 1 minggu. Setelah selesao, wadi tidak bisa langsung dimakan
tapi harus diolah kembali antara lain dengan cara digoreng atau dimasak. Walau
pembuatannya terlihat mudah, tetapi apabila terjadi kesalahan sedikit saja dalam memasukan
bumbu serta perendaman maka akan membuat wadi menjadi tidak enak bahkan tidak bisa
dimakan. Oleh karena itu ada orang-orang tertentu yang memilki keahlian untuk membuat
wadi yang enak.

4. Bangamat / Paing
Bangamat dalam bahasa Dayak Ngaju atau paing dalam bahasa Dayak Maanyan adalah
masakan khas yang dibuat dari kelelawar besar / kalong (Pteropus vampyrus). Untuk
konsumsi, kelelawar dengan jenis pemakan buah terbesar. Untuk kelelawar jenis pemakan
serangga dan penghisap darah tidak digunakan dan tidak dikonsumsi untuk membuat
makanan ini. Walaupun paing dikenal dan dikonsumsi di beberapa daerah, tetapi orang
Dayak mempunyai ciri khas dalam pembuatannya.
Proses Pembbuatannya, Paing yang akan dimasak dibersihkan dengan membuang kuku, bulu
kasar ditekuk dan punggung, serta ususnya. Sementara sayap, bulu dan dagingnya dimasak.
Untuk orang Dayak Ngaju paing dimasak dengan bumbu yang lebih banyak. Sedangkan
untuk Dayak Maanyan, paing dimasak dengan bumbu yaitu serai dan daun pikauk (daun yang
memiliki rasa asam). Paing sering dimasak bersama sayur hati batang pisang yang dipotong-
potong, biasanya adalah pisang kipas. Serta juga bisa dimasak bersama dengan sulur keladi
yang dipotong-potong.

5. Kue lepet
Kue lepet adalah kue yang di lipat dengan daun pisang lalu di kukus. Lepet sebenar nya
bahasa dayak yang berarti dilipat. Bahan-bahan nya antara lain beras yang di tumbuk
sehingga menjadi tepung, kelapa parut, gula merah minyak goreng, dan daun pisang. Cara
membuat nya buat adonan dengan tepung lalu masukan ke daun pisang yang sudah
ditentukan ukuran nya juga sudah di oles dengan minyak goreng. Lalu buat isian dari kelapa
parut dan gula merah cair. Setelah di isi di tutup hingga rata dan selanjutnya dikukus hingga
matang. Kue lepet biasanya di hidangkan ketika ada pesta dan upacara adat.

6. Tampi
Kue tampi adalah kue yang tidak ada rasa tetapi wajib hadir ketika ada upacara adat. Ukuran
nya kecil-kecil bahan membuatnya adalah tepung beras yang di goreng.

7. Kue dange
Kue yang terbuat dari parutan kelapa, tepung dan gula. Lalu di panggang di pemanggang
khusus kue dange. Biasanya kue ini ada di saat pesta maupun biasanya dijual sebagai
camilan.

Paing

Suku Dayak  menyebutnya sebagai hawa, prok, cecadu, kusing tayo, paing atau
bangamet/bangamat. Suku dayak punya ciri khas dalam memasaknya. Paing yang akan
dimasak hanya dibuang kuku, bulu kasar di tekuk dan punggung, serta ususnya. Sementara
sayap, bulu serta dagingnya juga di masak, karena rasanya akan lebih enak dan khas.
AGAMA

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur
yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas
adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur
masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan
terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama
Balian.

Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi
Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya
berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan
memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan
Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[55]

Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan
Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[56] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini
menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan
budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan.

Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak
abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu
menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di
Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh
sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci),
namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum
adat/kepercayaan Kaharingan.

Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih
Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan.
Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil
masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama
Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan
antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas
disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada
masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan
Selatan.

Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak
Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini
tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam
namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.

Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku


hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam,
masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-
Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh
agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di
masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan
disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa.
Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak
sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk
pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.

Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu
yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di
Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi
pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang)
maupun ke Majapahit.[57] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang
memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[58] Laporan pedagang-
pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad
ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang
Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah
Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin
menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya
penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu
masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada
orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif
terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar
pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh
VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar
tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah
pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada
tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai
menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia
Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris

Rumah Adat Suku Dayak

Rumah Betang atau Rumah Panjang merupakan rumah panggung yang dibangun dengan
tinggi tiang sekitar 2 meter. Rumah ini dihuni oleh belasan rumah tangga yang terdiri dari
100-150 orang dan setiap ruangan didalam rumah dibatasi oleh sekat-sekat.
Pada halaman rumah betang terdapat sapundu, yaitu sebuah patung berbentuk manusia dan
berfungsi sebagai tempat untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan pada acara ritual
upacara adat. Selain itu pada beberapa halaman rumah betang juga memiliki Patahu yang
berfungsi sebagai tempat untuk pemujaan.

“Sampek” Alat Musik Tradisional Suku Dayak

Sampek adalah alat musik tradisional Suku Dayak atau masyarakat Kayaan menyebutnya
sape’ kayaan, alat musik ini terbuat dari berbagai jenis kayu ( kayu arrow, kayu kapur, kayu
ulin) yang dibuat secara tradisional. Proses pembuatan bisa memakan waktu berminggu
minggu.  Dibuat dengan 3 senar, 4 senar dan 6 senar. Biasanya sampek akan diukir sesuai
dengan keinginan pembuatnya, dan setiap ukiran memiliki arti.

Mendengarkan bunyi sape’ yang mendayu dayu, seolah memiliki roh/kekuatan. Di Pampang
banyak warga yang amat mahir memainkan sape’.  Bunyi sape’ biasa digunakan untuk
mengiringi sebuah tarian, atau memberikan semangat bagi para pasukan perang.

Ketika acara pesta rakyat atau gawai padai (ritual syukuran atas hasil panen padi) pada suku ini,
sape’ kerap dimainkan. Para pengunjung disuguhkan dengan tarian yang lemah gemulai. Aksessoris
bulu-bulu burung enggang dan ruai di kepala dan tangan serta manik-manik indah besar dan kecil
pada pakaian adat dan kalung di leher yang diiringi dengan musik sape’.

Musik ini dimainkan oleh minimal satu orang. Bisa juga dua atau tiga orang, sehingga suaranya lebih
indah. Jenis lagu musik sape’ ini bermacam-macam, biasanya sesuai dengan jenis tariannya.
Misalnya musik Datun Julut, maka tariannya juga Datun Julut dan sebagainya. Ada beberapa jenis
lagu musik sape’, di antaranya: Apo Lagaan, Isaak Pako’ Uma’ Jalaan, Uma’ Timai, Tubun Situn,
Tinggaang Lawat dan Tinggaang Mate. Nama-nama lagu tersebut semua dalam bahasa Kayaan dan
Kenyah.

Cara pembuatan sape’ sesungguhnya cukup rumit. Kayu yang digunakan juga harus dipilih. Selain
kayu Pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya, juga bisa kayu keras seperti nangka, belian
dan kayu keras lainnya.
Semakin keras dan banyak urat daging kayunya, maka suara yang dihasilkannya lebih bagus
ketimbang kayu lempung. Bagian permukaannya diratakan, sementara bagian belakang di lobang
secara memanjang, namun tidak tembus kepermukaan. Untuk mencari suara yang bagus maka
tingkat tebal tipisnya tepi dan permukannya harus sama, agar suara bisa bergetar merata, sehingga
mengehasilkan suara yang cekup lama dan nyaring ketika dipetik.

Garantung Alat Musik Suku Dayak

Garantung atau gong merupakan salah satu alat musik yang paling banyak terdapat dan
digunakan masyarakat Suku Dayak. Selain Garantung dalam istilah masyarakat suku Dayak
Ngaju atau yang berbahasa Ngaju, masyarakat Dayak juga menyebutnya dengan gong dan
agung. Garantung diklasifikasikan sebagai salah satu alat musik dalam kelompok idiophone
yang terbuat dari bahan campuran jenis logam (besi, kuningan dan perunggu)
Menurut sebagian orang, Garantung masuk ke wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan
Tengah dibawa oleh para pedagang dari tanah Jawa, tepatnya pada saat hubungan dagang
antara pedagang dari Kalimantan dan Kerajaan Majapahit.

Meski begitu, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa masuknya garantung ke
daratan Kalimantan dibawa oleh para pedagang asal Yunan (Cina, India dan Melayu yang
pada masanya memiliki pengaruh besar bagi perkembangan kehidupan masyarakat Suku
Dayak.

Pakaian Adat Suku Dayak


Pakaian adat suku dayat sangat khas sekali, dimana biasanya tersirat sebuah kehidupan, baik
itu ekosistem alam maupun ekosistem binatang, sungguh indah sekali corak corak khusus
yang di bentuk dari sebuah pernak pernik. Pakaian adat suku dayat disebut dengan Bulang.
Namun ada juga nama lain buat pakaian adat pria (sapaq) dan nama lain pakaian adat wanita
(Ta a). Pakaian adat suku dayak ini biasa digunakan pada acara acara khusus.

Ada juga nama bagian dari pakaian adat dayak yaitu bulang kurung, modelnya terdiri dari
sapk tangan (tidak ada lengan), kemudian dokot tangan (lengan pendek), dan langke
(berlengan panjang). Biasanya dipakai oleh para dukun / balien. Ada nama pakaian adat yang
dimiliki Semua suku dayak yaitu bulang burai king.

Suku Dayak Ngaju merupakan sebutan bagi penduduk yang mendiami wilayah Kalimantan
Tengah. Seperti daerah lainnya di Indonesia propinsi yang beribukota di Palangkaraya ini
juga memiliki pakaian adat tradisional yang dianggap sebagai simbol peradaban masyarakat
didaerah tersebut. Kelengkapan pakaian tradisional yang dikenakan oleh kaum pria dalam
adat Dayak Ngaju yaitu berupa rompi, kain penutup bagian bawah sebatas lutut, ikat kepala
berhiaskan bulu-bulu enggang, kalung manik-manik dan ikat pinggang, serta tameng kayu
beserta mandau dibagian pinggang. Sementara kelengkapan yang dikenakan oleh kaum
wanita yaitu berupa baju rompi, kain (rok pendek), ikat atau penutup kepala yang dihiasi
bulu-bulu enggang, kalung manik-manik, ikat pinggang serta gelang tangan. 

Sumber : http://2eyeswatching.com/

Busana Kulit Kayu

Dalam kesehariannya suku Dayak Ngaju banyak memanfaatkan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan kulit kayu siren atau kulit nyamu
sebagai bahan pembuatan pakaian. Kulit kayu yang diperoleh dari pohon yang keras ini,
kemudian diproses dengan cara ditempa menggunakan alat pemukul berupa kayu sampai
lemas menyerupai kain, barulah setelah itu dipotong untuk membuat baju dan celana. 
Sumber : http://wisata.jazz.or.id/

Busana suku Dayak Ngaju dibuat dengan model yang sangat sederhana yakni berupa rompi
unisex (sangkarut) tanpa hiasan apapun dan semata-mata hanya difungsikan untuk menutupi
badan saja. Pemakaian rompi ini dipadukan dengan celana berupa cawat yang pada bagian
depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang diberi nama ewah.
Lambat laun masyarakat Dayak Ngaju mulai membubuhkan warna dan corak hias yang
diilhami oleh keyakinan dan mitologi yang berkembang dimasyarakat untuk mempercantik
busana mereka.

Sumber : http://adattours.com

Busana Jalinan Serat Alam

Pada perkembangannya masyarakat Dayak Ngaju mulai mengembangkan keterampilan


menjalin serat alam yang konon diperkenalkan oleh orang-orang Bugis. Kulit kayu yang
mulanya diolah dengan cara ditempa kini dikembangkan  menjadi  serat halus yang diproses
dengan cara dicelup mengunakan bahan pewarna alam sehingga terciptalah benang yang
beraneka warna. Suku Dayak Ngaju pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai"
serat demi serat menjadi bentangan kain sebaai bahan dasar pembuatan busana untuk baju,
celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. 
Sumber : http://2eyeswatching.com/

Tidak hanya terbatas pada kulit kayu saja mereka kemudian melirik rotan, jenis rerumputan,
akar tumbuhan untuk diolah menjadi benang sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi sangat
beragam. Temuan-temuan baru tersebut kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para
perancang busana masyarakat Dayak Ngaju sehingga terciptalah busana-busana indah yang
memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, serta aplikasi manik-manik dari logam, keramik
dan arguci yang diperkenalkan oleh orang Cina dan India sebagai pelengkap acessories yang
sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. 

Sumber : http://www.skyscrapercity.com/

Busana Kain Tenun Halus

Dari penggunaan kulit kayu, dan serat alam kemudian berkembanglah kain tenun halus
dikalangan masyarakat Dayak Ngaju. Kain tenun halus terlahir dari kreatifitas penenun
masyarakat Ngaju yang banyak mendapat pengaruh dari para pedagang Gujarat dan India
yang datang ke Nusantara dengan membawa serta kain-kain tenun halus dari serat kapas atau
sutra sebagai barang dagangan. Hampir seluruh pakaian adat tradisional suku Ngaju yang
beredar sekarang ini dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra dengan tetap
mempertahankan corak hias dan modelnya yang tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. 
Sumber : http://len-diary.blogspot.com/

Sampai saat ini pakaian adat suku Dayak Ngaju yang berasal dari pengembangan busana
tradisonal masa lampau masih banyak dikenakan pada upacara pernikahan sebagai busana
pengantin, acara-acara adat, kostum tari-tarian, dan kebanyakan dibuat dari kain beludru,
satin, atau sutra.

Anda mungkin juga menyukai