Anda di halaman 1dari 18

Makna tattoo bagi suku kaum dayak

Abstraksi
Tato adalah hasil ciptaan karya seni yang menggunakan media kulit atau tubuh manusia. Di
zaman sekarang ini, tentu dapat dijumpai pada kebanyakan orang, terlebih di kalangan anakanak muda. Bentuk dan coraknya pun beragam. Namun, suatu penghayatan yang kerap kali
muncul dari mulut orang adalah bahwa tato di identik dengan premanisme. Orang yang
memiliki tato kerap diduga sebagai tokoh tindak kekerasan dan kejahatan. Berbeda dengan
suku Dayak.
Bagi suku Dayak, tato (seni merajah tubuh) merupakan ungkapan kepada yang ilahi terkait
konsep kosmologi dan status sosial. Tato mendapat tempat terhormat pada budaya dan seni
suku Dayak. Memiliki tato merupakan hal yang lumrah mengingat setiap ukiran itu
menekankan aspek ciri khas dan makna-makna penting lainnya.

BAB I
PANORAMA UMUM SUKU DAYAK
1. 1. Topografi dan Letak Geografis
Pulau Kalimantan merupakan pulau yang memiliki keragaman hayati, daya tarik yang unik
dan eksotik terutama bagi para antropolog, arkeolog dan sosiolog, apalagi bagi para
penjelajah alam yang suka akan hutan belantara luas di Kalimantan. Luas keseluruhan
pulaunya 553.000 km atau 28,3 % dari luas seluruh Indonesia. Pulau Kalimantan juga
merupakan pulau yang dilewati garis lintas matahari (garis Khatulistiwa). Ada beberapa nama
dari zaman ke zaman yang digunakan termasuk juga nama daerah yang dipakai, diantaranya;
Brunai, Borneo, Tanjung Negara (pada masa Hindu), dan Pulau Begawan Bawi Lewu Telo.
Tanah Kalimantan memiliki formasi tertiair yang amat tebal serta terbentuk di bawah
permukaan laut pada zaman purbakala. Hal ini menyebabkan tanah tersebut banyak
mengandung batubara dan batu karang di kaki gunung bekas pesisir.
Tanah di Kalimantan menjadi tidak subur ketika terjadi peninggian permukaan air laut yang
mengakibatkan formasi tertiair tererosi dan terpotong-potong serta bergelombang sehingga
menjadi semacam bukit-bukit dan sungai-sungai kecil. Oleh sebab itu, kandungan tanahnya
hanya cocok untuk tanaman di tanah kering saja.
1. 2. Siapakah Suku Dayak itu?
Suku Dayak adalah salah suku yang menempati pulau Kalimantan. Kajian para ahli yang
dimulai sejak tahun 1800-an mencoba menggali lebih dalam siapa suku Dayak itu
sebenarnya. Walaupun sepanjang waktu itu mereka masih menemukan banyak kesimpangsiuran mengenai suku Dayak, tetap masih ada teori-teori lain yang layak diterima kalangan
masyarakat.
Nama umum Dayak tidak mengandung arti bahwa suku-suku Dayak merupakan kelompok
antropologi yang satu dan sama. Nama ini memang biasa dipakai untuk menunjuk pada suku

Dayak di Kalimantan yang tidak beragama Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh historisitas
asal-muasal suku Dayak yang datang dalam waktu tidak bersamaan.
Istilah Dayak, pertama kali dipakai oleh Rademaker (1780) dalam literaturnya tahun 1790
sebagai hasil rekonstruksi untuk menyebut penduduk asli pulau Borneo non-Muslim guna
memudahkan proses administrasi. Sebelum istilah itu muncul, orang Eropa menyebut
penduduk asli pulau Borneo dengan istilah Borneers dan ada juga yang menyebut Beyajos.
Istilah Dayak mengandung beberapa arti; hulu, manusia (dalam bahasa Heban),
pedalaman, orang kampung, dan orang darat. Tjilik Riwut menuliskan bahwa orang
Melayu di pesisir menyebut orang Dayak sebagai orang Gunung. Hal ini ditunjukan dengan
posisi tempat tinggal orang Dayak yang kebanyakan tinggal di daerah gunung. Istilah ini
dipakai oleh orang-orang pendatang untuk menyebut penduduk asli ini.
Lebih lanjut, Tjilik Riwut mengikuti beberapa penulis berbahasa asing yang ditulis sebelum
perang dunia ke-II antara lain: J. Mallincrodt, Bauman, Spaan T. A. G, Nieuwenhuis, dll.
Istilah yang dipakainya adalah Oloh yang berarti orang.
1. 3. Asal Usul Suku Dayak
Semua suku Dayak termasuk ke dalam kelompok-kelompok yang berimigrasi secara besarbesaran dari daratan Asia. Kelompok suku Dayak ini berasal dari keturunan para imigran di
wilayah Yunan di Cina Selatan. Pengembaraan mereka melalui Indo-Cina ke jazirah
Malaysia, yang menjadi batu loncatan ke pulau-pulau di Indonesia.
Selain itu, ada kelompok pengembara kecil lainnya yang menempuh perjalanan melalui
Hainan, Taiwan, dan Filipina. Perjalanan ini tidak begitu sulit dilakukan karena peristiwa itu
terjadi di zaman glasial (zaman es), di mana permukaan air laut tidak tinggi sehingga
beberapa daerah daratan di Asia masih terhubung. Maka, perjalanan itu ditempuh dengan
perjalanan darat atau melalui sungai-sungai kecil.
Perjalanan yang jauh dan memakan waktu cukup lama itu menjadikan sebagian dari
kelompok ini memilih menetap di suatu daerah dengan cukup lama. Oleh sebab itu, ada
kelompok yang memutuskan untuk tetap menetap di tempat persinggahan itu dan ada juga
yang memutuskan untuk tetap pergi mengembara. Kelompok pertama yang masuk ke
Kalimantan ialah kelompok Negrid dan Wedid (sekarang sudah tidak ada lagi). Lalu disusul
oleh kelompok lebih besar yang disebut Proto-Melayu. Peristiwa ini dapat dimungkinkan
terjadi antara tahun 3000-1500 s. M.
Sejumlah literatur menyebutkan, kemungkinan besar suku-suku bangsa Dayak di Kalimantan
Tengah untuk beberapa waktu singgah di Sumatra dan Jawa. Sementara suku Dayak di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur diperkirakan tidak singgah di Jawa. Suku bangsa
Murut (di Utara Kalimantan Timur), diperkirakan masuk ke Kalimantan melalui Filipina, dan
boleh jadi kelompok ini menetap cukup lama di sana sebelum masuk ke Kalimantan.
Sekitar abad ke-5 s. M, terjadi lagi perpindahan penduduk dari Asia ke pulau-pulau di
Indonesia yang disebut kelompok Deutro-Melayu. Tidak diketahui jumlah kelompok imigrasi
yang kedua ini. Kelompok ini juga memasuki daerah Kalimantan dan menempati daerah
pesisir. Menurut tulisan Fridolin Ukur, suku Dayak Manyaan (di Kalimantan Tengah)
termasuk ke dalam kelompok Proto-Melayu. Sedangkan suku Banjar termasuk ke dalam
Deutro-Melayu.
Menurut kepercayaan Kaharingan (agama leluhur suku Dayak), nenek moyang suku Dayak

berasal dari langit ke-7 dan diturunkan dengan Palangka Bulau oleh Ranying Hatalla Langit,
biasa disingkat saja dengan Ranying atau Hatalla ( artinya Allah atau Tuhan).
Nenek moyang ini dipercayai diturunkan di empat tempat, yaitu:
1. Di Tatan Puruk Pamatuan, yang terletak di hulu sungai Kahayan dan Barito.
2. Di Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Gunung Raya.
3. Di Tatah Tangkasiang, di hulu sungai Malahui yang terletak di daerah Kalimantan Barat.
4. Di Puruk Kambang Tanah Siang, yang terletak di hulu sungai Barito.
1. 4. Pembagian dan Persebaran Suku-Suku
Pembagian besar suku Dayak di Kalimantan ada 7, yakni:
1. Dayak Ngaju menempati Kalimantan bagian selatan; terbagi lagi dalam 4 suku kecil dan
suku kecil terbagi lagi dalam 90 suku paling kecil, yaitu:
a. Dayak Ngaju terbagi dalam 53 suku kecil-kecil.
b. Dayak Maanyan, terbagi lagi dalam 8 suku kecil-kecil.
c. Dayak Dusun, terbagi lagi dalam 8 suku kecil-kecil.
d. Dayak Lawangan, terbagi lagi dalam 21 suku kecil-kecil.
2. Dayak Apu Kayan (menempati daerah Kalimantan bagian Timur); terbagi lagi dalam 3
suku kecil dan 3 suku kecil terbagi lagi 60 suku paling kecil, yaitu:
a. Dayak Kenyah, terbagi lagi dalam 24 suku kecil-kecil.
b. Dayak Kayan, terbagi lagi dalam 10 suku kecil-kecil.
c. Dayak Bahau, terbagi lagi dalam 26 suku kecil-kecil.
3. Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut; terbagi lagi dalam 11 suku kecil-kecil.
4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi lagi dalam 2 suku besar dan suku besar lagi
terbagi dalam 87 suku kecil.
a. Dayak Klemantan (Dayak Darat); terbagi lagi dalam 47 suku kecil-kecil.
b. Dayak Ketungau; terbagi lagi dalam 40 suku-suku kecil.
5. Dayak Murut; terbagi lagi dalam 3 suku dan ini terbagi lagi menjadi 44 suku kecil-kecil.
a. Dayak Murut; terbagi dalam 28 suku kecil.
b. Dayak Idaan (Dusun); terbagi lagi dalam 6 suku kecil-kecil.
c. Dayak Tidung; terbagi lagi dalam 10 suku kecil-kecil.
6. Dayak Punan; terbagi lagi dalam 52 suku kecil-kecil atau 4 suku daerah.
a. Dayak Basap; terbagi dalam 20 suku.
b. Dayak Punan; terbagi lagi dalam 24 suku.
c. Dayak Ot; terbagi lagi dalam 5 suku.
d. Dayak Bukat; terbagi dalam 3 suku.
7. Dayak Ot Danom; terbagi lagi dalam 61 suku kecil-kecil.
Jadi, jumlah seluruhnya ada 18 suku kecil dan 405 suku kecil-kecil dan masing-masing
dengan bahasanya masing-masing. Untuk melihat daerah pemetaannya dapat dilihat pada
lampiran1.
1. 5. Mata Pencaharian
Secara umum, mata pencaharian suku Dayak adalah bercocok tanam yang sangat dikenal
dengan sistem ladang berpindah. Sistem ladang berpindah adalah pekerjaan bertani yang
berlangsung selama satu tahun penuh yaitu dengan membuka lahan di hutan yang baru.

Proses dari awal membuka lahan hingga panen padi selalu disertai dengan upacara adat.
Sistem perladangan ini membutuhkan waktu selama satu tahun karena merupakan lahang
kering yang sangat tergantung pada curah hujan biasa, bukan pengairan seperti yang
dilakukan di persawahan. Sawah hampir tidak dikenal di antara suku Dayak di Kalimantan.
Maka, hutan menjadi pilihan untuk membuka lahan baru. Mereka memilih lahan yang tidak
diolah selama 8 atau 10 tahun. Maka, pilihan yang sering terjadi adalah hutan belantara.
Selain pertanian, suku Dayak juga sangat handal dalam berburu dan menangkap ikan. Buruan
utama adalah babi hutan, rusa, dan kijang. Daging hasil buruan biasanya akan disimpan untuk
beberapa waktu lamanya dengan menggunakan cara pengasinan, dan pengasapan . Maka,
persediaan makanan suku Dayak sangat mencukupi disamping beras sebagai pangan utama
dan mengandung nilai yang amat tinggi bagi kehidupan suku Dayak.
Menangkap ikan merupakan salah satu seni berburu bagi suku Dayak. Hal ini tidak
mengherankan karena permukiman suku Dayak tidak jauh dari sungai-sungai, seperti sungai
Kapuas (sungai yang terbesar dan terpanjang di Kalimantan) dan sungai-sungai kecil lainnya.
Dengan kata lain, mereka sangat senang menangkap ikan di sungai yang mengalir. Alat yang
digunakan pun sangat beragam, mulai dari pancing, sauk-sauk, jala, pukat, tombak dengan
satu mata (bakir) atau pun tiga mata (serapang), bubu, dan lain sebagainya. Di samping itu
mereka juga mengakap ikan dengan menggunakan tuba dari akar kayu tuba.
1. 6. Bahasa
Bahasa yang terdapat pada suku Dayak berbeda antara satu suku yang satu dengan yang
lainnya. Sebab itu, suku Dayak tidak memiliki bahasa persatuan yang mengokohkan.
Biasanya setiap rumpun suku memiliki kesamaan arti, kata hanya cara mengucapkannya saja
yang berbeda. Dalam hal ini termasuk adanya dialek kasar dan lembut.
Untuk berkomunikasi, zaman sekarang suku Dayak menggunakan bahasa Indonesia
sementara pada zaman dahulu tetap mengadalkan bahasa daerah masing-masing. Andaikata
mereka bisa berkomunikasi dengan suku yang berbeda dengan rumpunnya itu dikarenakan
perantauan. Maka, untuk mengetahui sejauh mana perantauan seseorang dilihat dari tato yang
terdapat pada tubuhnya.
1. 7. Sistem Kepercayaan
Konsep kepercayaan pada suku Dayak memiliki persamaan antara sub-sub sukunya. Konsep
kepercayaan ini disebut Kaharingan dan menekankan unsur kepercayaan kepada leluhur atau
nenek moyang. Para ahli sulit menemukan model yang tersusun utuh dan sistematis yang
kiranya layak disebut sebagai suatu aliran kepercayaan. Hal ini dikarenakan bahwa tidak
adanya literatur atau sumber tertulis yang bisa dijadikan patokan di mana biasanya dapat
ditemukan ajaran-ajaran, pandangan-pandangan maupun peraturan-peraturan. Maka, dapat
disimpulkan bahwa agama Kaharingan tidak mempunyai Kitab Suci.
Sebaliknya, Kaharingan mengenal mitos-mitos yang menerangkan banyak hal. Ada mitos
yang menerangkan terjadinya langit dan bumi, matahari, bulan, manusia, sungai, bukit, hutan
dan banyak lagi gejala-gejala alam ini yang coba diterangkan dengan mitos-mitos itu. Dalam
mitos-mitos tersebut terdapat pula pembagian alam semesta (konsep kosmologi), yaitu:
Negeri di Atas Langit, Dunia di Bawah Tanah, dan Negeri Arwah.
Bagi suku Dayak, peranan mitos-mitos ini amat penting karena memberi suatu petunjuk

bagaimana suatu upacara harus dilakukan atau bagaimana manusia harus bersikap dengan
lingkungan alam sekitar. Singkatnya, dalam mitos-mitos itu terletak sebagian besar sikap
hidup dan padanya pula pandangan hidup berakar.
1. 8. Konsep Kosmologi
Seperti yang telah tertulis di atas bahwa suku Dayak memiliki konsep kosmologi yang telah
terbagi dalam tiga dunia, Negeri di Atas Langit, Dunia di Bawah Tanah, dan Negeri Arwah.
1.8.1 Negeri di Atas Langit (Negeri Kahayangan)
Negeri di Atas Langit adalah negeri tempat tinggal para dewa, leluhur, dan para mahkluk gaib
yang tinggi martabatnya dari yang lain. Di situ juga tempat tinggal Lahtala Djuus Tuha, yaitu
di langit ke tujuh. Maka, negeri ini masih dibagi menjadi tujuh tingkat dan setiap tingkat
dihuni oleh penguasa dan jiwa dari seluruh benda yang ada di dunia ini.
Di tingkat pertama, dikuasai oleh dewa yang memberitahu firasat kepada manusia. Firasat itu
disampaikan melalui seekor burung yang disebut burung Baja. Akhirnya, burung ini dianggap
keramat oleh suku Dayak karena membari tahu sesuatu yang akan terjadi.
Di tingkat kedua, tinggal dewa yang menguasai angin dan dewa yang menguasai bulan. Di
langit ketiga, tinggal dewa yang mengatur pasang-surut air dan dewa Rawing Tempon Telon
yang dipercaya kerap menolong manusia di dunia.
Langit keempat dan kelima ditempati oleh dewa perantara. Di langit keenam, ditempati oleh
dewa yang mengatur musim buah-buahan, ulat, dan bukit-bukit. Dan, pada langit ketujuh,
ditempati oleh Lalunganing Singkor Olo, dewa yang tertinggi suku Dayak. Melalui dewadewa perantara, kepada dewa inilah manusia memohon bantuan untuk menyembuhkan
penyakit.
1.8.2. Dunia di Bawah Tanah
Dunia di bawah tanah tidak seperti dunia atas yang dibagi menjadi tujuh tingkat. Dunia di
bawah tanah ini mirip dengan dunia yang ditempati oleh manusia. Perbedaannya, dunia di
bawah tanah dikuasai oleh dewa Djewata, yaitu dewa yang menguasai air. Biasanya, manusia
akan memberi persembahan kepada dewa ini. Persembahan ini merupakan perjanjian antara
manusia (yang sakit) dengan dewa Djewata apabila penyakitnya sembuh.
1.8.3. Negeri Arwah
Negeri ini merupakan negeri yang ditempati oleh roh atau arwah orang-orang yang telah
meninggal dunia. Oleh sebab itu, yang sampai ke negeri ini hanyalah roh. Namun, setiap roh
orang yang sudah meninggal tidak langsung naik ke langit di tingkat yang ketujuh. Untuk
mengantar roh itu, keluarga harus mengadakan upacara Wara atau Tiwah yang berlangsung
tujuh hari dan tujuh malam lamanya.
1. 9. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan suku Dayak dipimpin oleh kepala suku yang disebut Damang. Pengaruh
adat masih sangat kental maka Damang disebut juga pemangku adat yang mengatur adat
istiadat leluhur. Jabatan Damang ini setingkat dengan Bupati atau wali kota.
Damang dibantu oleh para penasihatnya, yaitu para tetua terkemuka dan para penghulu adat
dari setiap suku yang terdapat daerah pemerintahan tersebut. Di bawah para pembantu ini
masih terdapat para kepala kampung yang merupakan tetua di dalam kampung.

BAB II
TRADISI TATO DI KALANGAN SUKU DAYAK
2. 1. Sejarah Seni Tato
Proses penciptaan sebuah karya seni dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor
terpenting adalah budaya tempat masyarakat karya seni itu lahir dan terbentuk. Sebuah karya
seni adalah ekspresi perasaan, emanasi dan ide-ide yang muncul dalam interaksi dengan
budaya masyarakatnya. Dalam arti inilah seni menggantungkan dirinya pada latar belakang
sosial dan budaya masyarakat. Sebuah karya seni dapat menjadi cerminan bahkan sumber
pengetahuan dari nilai sosial budaya masyarakat pemilik seni tersebut. Artinya karya seni
merupakan ungkapan hidup atas realita sosial dan budaya masyarakat. Seni memiliki roh
yang menghidupkan, daya pendorong dan penggerak. Setiap lekuk sisi dan figur karya seni
mengandung makna yang bertautan dengan masyarakatnya. Demikianlah halnya dengan
karya seni tato dalam masyarakat Dayak.
Apa nilai tato itu? Tato adalah salah satu bentuk karya seni, yakni seni dalam menghias
tubuh. Seni menghias tubuh dengan tato terdapat dalam beberapa kelompok suku di dunia
misalnya suku Indian, Jepang, Cina, Maori dan beberapa suku di Indonesia seperti Dayak di
Kalimantan dan Asmat (Irian).
Kebiasaan menato bagi suku Dayak Kalimantan merupakan bagian dari budaya yang
mempunyai nilai tinggi. Tato merupakan satu di antara seni yang sangat penting dan memiliki
nilai sakral terutama bagi para laki-laki. Untuk kaum perempuan, mulai mengenal tato pada
saat menginjak remaja. Biasanya, masa menghias tubuh dengan tato hanya berlangsung
selama satu tahun lebih dan untuk penatoan selanjutnya tergantung pada status sosial dalam
masyarakat. Seni tato juga mempunyai hubungan dengan kepercayaan keagamaan, sama
seperti banyak hal lain dalam kehidupan suku Dayak. Perbedaan dalam gambar-gambar yang
dibuat merupakan salah satu ciri utama bagi subsuku yang beraneka ragam.
Menurut orang Dayak Kayan, binatang-binatang juga memainkan peranan penting dalam seni
mentato. Hal ini dibuktikan dengan adanya mitos antara burung Gagak Borneo (Corone
Macrorhyncha Wagl) dan burung Kuau Argus (Argusianus Grayi Elliot). Burung Gagak
menurut orang Dayak Kayan adalah burung yang pintar membuat tato. Burung ini berjanji
dengan burung Kuau bahwa mereka akan saling menghiasi bulu mereka dengan tato sesuai
dengan keahlian masing-masing. Burung Gagak mendapat giliran pertama untuk melakukan
tugasnya. Burung Gagak dengan penuh ketekunan dan semangat berhasil mentato bulu
burung Kuau dengan indah sekali serta penuh warna-warni. Lalu giliran burung Kuau menato
burung gagak dan dengan penuh semangat pula burung Kuau mulai bekerja. Tetapi burung
Kuau adalah burung yang bodoh. Burung Kuau menyadari bahwa ia tidak sanggup menato
bulu burung Gagak seindah yang dilakukan terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia mengambil
arang damar yang hitam dan menggosokkannya pada semua bagian bulu temannya itu, bulu
burung Gagak pun menjadi hitam semua. Dan sejak saat itulah bulu burung gagak hitam
sampai sekarang dan bulu burung Kuau indah berwarna-warni.
2. 2. Mengapa Suku Dayak Bertato?
Untuk mengetahui suku-suku yang berkerabat, biasanya kaum perempuan dapat dijadikan

patokan, karena motif-motif tato pada tubuh kaum perempuan hanya boleh memakai ciri khas
daerah sendiri dan tidak boleh dicampur dengan motif Suku Dayak yang lain. Kaum lelaki
mempunyai tato wajib yang menjadi ciri khas daerahnya, tetapi tato kaum lelaki tidak dapat
dijadikan patokan untuk ciri khas daerahnya sendiri, karena kaum lelaki muda pada
umumnya sering melakukan pengembaraan atau merantau ke daerah lain untuk mencari
pengetahuan.
Dalam pengembaraannya itu, mereka sering minta ditato dengan motif daerah di mana
mereka menumpang dan tentunya dengan izin dari kepala suku daerah tersebut. Motif yang
dipakai hanya motif tato biasa dan bukan menunjukkan ciri khas suku. Tato itu pun hanya
boleh diambil dari keluarga yang memberi tumpangan, apakah ia menumpang di keluarga
rakyat biasa atau keluarga kepala suku. Tato dari suku lain hanya boleh dipakai oleh orang
tertentu yang mempunyai kepribadian yang luhur dan minimal satu tahun ia menetap di
daerah itu.
Tato seperti itu tidak ditemukan pada kaum perempuan sebab mereka tidak diizinkan
merantau kecuali ada hal-hal tertentu yang harus melibatkan mereka. Pada umumnya kaum
perempuan hanya tinggal di rumah. Jadi, kaum lelaki yang sering merantau akan membawa
tato tersebut sebagai laporan perjalanannya, karena motif-motif itu menunjukkan di daerah
mana mereka pernah tinggal dan menetap. Perantauan pada umumnya dilakukan oleh sukusuku yang berkerabat.
Kadang-kadang juga terjadi percampuran motif-motif tato dari suku yang berlainan dan tidak
berkerabat. Di Kalimantan Tengah ada 3 kelompok baik dilihat dari cara kerja maupun dari
hasil seni tatonya. Mungkin hal ini sejalan dengan berpisahnya suku-suku dalam abad
terakhir. Kelompok suku Bahau bersama Suku Punan, Kelompok suku Bukat bersama Suku
Beketan, kelompok suku di daerah Barito dan Melawi termasuk suku Ulu-Air dari Mandai.
Suku Dayak Bahau dan Punan memakai gambar bergaris gelap pada tatonya. Kaum
perempuan ditato pada lengan bagian bawah, paha dan kaki. Sedangkan kaum laki-laki
meminta ditato pada bahu, dada dan lengan. Pada kaum laki-laki yang sangat berani, tangan
kiri dan ibu jari ditato belakangan setelah pengerjaan bagian tubuh yang lain telah selesai.
Bagi laki-laki dan perempuan, usia pubertas merupakan masa untuk dihiasi dengan gambargambar tato. Kaum laki-laki dari Suku Bukat dan Beketan dihiasi seluruh tubuhnya dari
rahang bawah sampai lutut dengan bidang-bidang besar berwarna gelap. Motif-motif itu
dimunculkan dengan warna kulit yang alami. Para pemuda mulai dihiasi pada dada dan
pinggang. Di kemudian hari setelah mengikuti pertempuran atau perjalanan jauh, pipi pada
rahang bawah dihiasi dan menyusul bagian tubuh lain seperti leher, perut, pinggang, pantat,
paha dan lutut.
Orang-orang Dayak di Barito dan Melawi dikenali dengan gambar bulatan berukiran besar
atau kecil di bawah lekuk lutut pada betis. Tato pada kaum lelaki muda dimulai dengan
gambar ini, baru di kemudian hari menyusul bagian lengan, badan dan pada bagian leher
ditutupi dengan motif-motif yang di susun atas garis-garis gelap yang menutupi seluruh
anggota tubuh. Berbeda dengan tato Suku Dayak Kayan dan Punan yang hanya terdiri dari
beberapa motif. Untuk kaum perempuan bagian tubuh yang pertama kali ditato adalah bagian
lutut dan tangan.

2. 3. Proses Pembuatan Tato


Cara pengerjaan Tato setiap suku berbeda. Pada kedua kelompok yaitu kelompok Bahau
bersama Suku Punan, kelompok Bukat bersama Suku Beketan. Pertama-tama, motif-motif
mulai dibuat atau diukir pada kayu sejenis stempel yang kemudian ditekan pada kulit, lalu
arang damar ditusukkan ke dalam badan pada garis-garis yang ditinggalkan oleh stempel
yang berupa model. Pada orang Dayak Ulu-Air yang termasuk kelompok ketiga, gambar tato
langsung dibuat pada kulit tanpa pakai model.
Orang Dayak Kayan, pekerjaan Menato dilakukan oleh kaum perempuan sebagai suatu usaha
yang biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga. Sama seperti keahlian khusus
lainnya, seperti pekerjaan menempa besi dan mengukir tanduk rusa. Seni tato juga diatur oleh
hukum adat dengan berbagai peraturan yang telah membatasi pelaksanaannya. Para pekerja
dari ketiga kelompok itu dianggap mendapat perlindungan dari roh yang istimewa dan
mereka harus sesering mungkin menyampaikan persembahan kepada roh pelindung itu
melalui para Dayung. Demi roh itu juga, para pekerja tato sering pantang makan berbagai
macam ikan dan sayur-sayuran jenis tertentu. Bila mereka melanggar hal ini, garis-garis tato
yang mereka buat tidak akan menjadi hitam dan tidak menyatu dengan kulit. Bila pekerja tato
baru pertama kali melakukan usahanya maka, harga yang boleh mereka minta sebagai upah
harus sebanding dengan jumlah berapa kali mereka mempersembahkan babi. Apabila mereka
minta terlalu banyak mereka akan meninggal dalam jangka waktu satu tahun.
Di samping itu setiap adanya pasien baru mengharuskan pekerja untuk mempersembahkan
kurban, ia harus Mela sedangkan di dalam keranjang penyimpanan perkakas tato, selalu
terdapat kawit dan manik-manik untuk memuaskan roh pelindungnya. Juga terhadap mereka
yang minta ditatokan, adat memberikan beberapa peraturan. Tidak diperbolehkan untuk
manusia ditato pada musim panen padi atau kalau ada orang meninggal dalam keluarga yang
bersangkutan baik keluarga penato atau pun yang ditato. Pada situasi seperti itu
pengerjaannya ditangguhkan, kecuali dalam hal-hal ini, ada dua kendala yang menghambat
pengerjaan yang cepat dan yang lengkap; takut akan sakit terutama di antara para gadis dan
kemiskinan yang menyebabkan bahwa seseorang tidak mau menjalani pengerjaannya,
sehingga kita dapat bertemu dengan orang yang tidak memiliki tato atau hanya sedikit yang
ditato.
Untuk kaum lelaki, gambar terakhir tidak terlalu berlaku, karena gambar yang dipakai bagi
mereka tidak begitu luas. Bagi mereka hal itu hak istimewa yang diperolehnya, sedangkan
bagi perempuan hal itu merupakan mode yang diwajibkan. Salah satu gambar tato paha pada
kaum perempuan adalah klinge, gambar utama berupa tiruan kepala manusia yang hanya
kelihatan dua mata dan beberapa helai rambut keriting. Sekeliling gambar dihiasi dengan
garis-garis lengkung atau lurus.
Pengelompokan gambar terserah pada seniman yang memahatnya pada kayu stempel. Itu
sebabnya gambar-gambar pada setiap perempuan akan menunjukkan perbedaan yang
mencolok dalam detailnya. Tetapi ada beberapa peraturan bagi penyusunannya yang
mengatur jumlah garis berdampingan yang harus dipakai oleh perempuan-perempuan dari
kedudukan yang berbeda. Tiga garis merupakan jumlah minimum yang boleh dipakai oleh
hamba-hamba perempuan dan perempuan lain yang status sosialnya sebagai rakyat biasa
sedangkan enam garis hanya boleh dipakai oleh anak-anak perempuan kepala suku atau
mereka yang berkedudukan tinggi. Pada seorang gadis yang keluarganya terpandang dan

kaum pemimpin, gambarnya disusun dengan dua gambar kepala burung Enggang seperti
yang dipakai oleh perempuan suku Dayak Long-Glat di Mahakam.
Pada suku Dayak Kayan juga ada kecenderungan untuk memakai model-model ini bagi kaum
yang berkedudukan lebih tinggi. Model dan cara penatoan seperti ini berangsur-angsur hilang
seiring berkembangnya seni yang lain. Di masa lampau yang masih diingat memakai tato
hiasan pada paha hanya istri kepala suku. Bagi perempuan di bawah kedudukan mereka,
dibuat tato hitam menyeluruh pada kaki dari lutut ke bawah dan hanya beberapa garis sempit
yang tidak ditato sehingga memperlihatkan warna kulit asli yang membatasi bidang-bidang
berbentuk belah ketupat. Perempuan tua yang masih memakai hiasan tato seperti itu hanya
terdapat di daerah Mahakam. Dalam menghiasi bagian atas tangan dan kaki, dapat dilihat
perbedaan kedudukan yang kontras. Pada istri-istri kepala suku terdapat gambar-gambar pada
bagian tubuh itu. Sedangkan untuk kaum perempuan yang umum hanya dipakai bidangbidang yang gelap.
Walaupun proses pengerjaan tato pada orang Dayak Kayan lebih baik dan kurang pendarahan
dibanding dengan pengerjaan tato oleh orang Dayak Ulu-Air, namun proses pengerjaan itu
tetap mengakibatkan pembengkakan pada bagian tubuh yang ditato dan sering
mengakibatkan peradangan yang lebih parah. Berhubung dengan proses pengerjaan tato yang
rumit pada kaum perempuan, diyakini bahwa setelah lama meninggal, tulang-belulangnya
dapat dikenali oleh sanak keluarganya dari butir-butir arang damar yang melekat.
2. 4. Cara membuat tato
Damar dibakar sampai menyala dan upik pinang dibengkokkan di atas asapnya, agar arang
yang hitam melekat di upik pinang. Setelah itu arang dikumpulkan dan disimpan di lumbung
buluh dan dicampur dengan sedikit air dan diletakkan di dalam bambu yang sudah dibelah.
Setelah itu kulit digaris atau ditato dengan mata tato dan dipukul dengan tabalie bulat kahai
tunjuk sampai keluar darah, selanjutnya masukkan sale damar. Boleh juga dicampur dengan
emas atau tembaga. Seminggu atau sebulan barulah bekas luka yang ada dapat sembuh total.
Bila seluruh badan yang akan ditato, biasanya menyita waktu sampai 2 tahun karena tidak
dapat dilakukan sekaligus (yang ditato akan sangat menderita).
2. 5. Peralatan dan material tato
Proses pembuatan tato tidak lepas dari perlengkapan yang diperlukan. Untuk membuat tato
ini pada umumnya setiap Suku Dayak di Kalimantan mempunyai bahan dasar dan
perlengkapan yang hampir sama. Bahan-bahan yang harus disediakan di antaranya:
1. Sale damar, sale nyaring (arang damar), yaitu damar mata kucing atau damar batu, kalau
damar lain menurut adat tidak diperbolehkan karena menurut pengalaman jika menggunakan
damar lain akan mengakibatkan infeksi.
2. Upik pinang.
3. Lawas humbang buluh (seruas bambu buluh).
4. Humbang basila due (bambu terbelah dua).
5. Sanaman lapis isin tutang kahi tunjuk (besi gepeng untuk mata tato sebesar telunjuk).
6. Kabalien bulat kahai tunjuk (kayu ulin bulat sebesar telunjuk).
Perkakas tato pada orang Dayak Ulu-Air terdiri dari sepotong lempeng tembaga panjangnya
kira-kira 10 cm dan selebar 1 cm, yang dilekuk dari depan secara tegak lurus dengan gigi-gigi

tajam dan kecil. Dengan memukul bagian tembaga itu, gigi-giginya masuk ke dalam kulit.
Para seniman Dayak Kayan memakai potongan kayu yang dilekuk tegak lurus sebagai hulu
jarum, dimana dipasang dua sampai tiga jarum tembaga dengan getah perca. Kayu ini dan
pemukulnya yang dibungkus dengan kain katun sering dihiasi dengan ukiran yang indah.
Setelah gambar-gambar ditekan pada kulit dengan cairan yang lazim dipakai yakni campuran
air dan arang dari damar putih, penato akan mencelupkan jarum-jarum itu ke dalam bak kecil
yang berisi cairan tadi dan memukul butir-butir utamanya ke dalam kulit dengan mengetok
pada bagian belakang kayu pegangan gigi sehingga jarum masuk ke dalam kulit.
Pengerjaannya mula-mula tidak menimbulkan pendarahan, hanya pada tempat dimana garisgaris tebal yang menjadi tempat bekas tusukan jarum berulang kali di situ kadang-kadang
keluar darah yang bercampur dengan cairan hitam. Darah itu dibersihkan oleh seorang
pembantu tukang tato dengan kain biasa.
Selama proses pembuatan tato, seorang pasien duduk atau berbaring di lantai, sedangkan
pembuat tato dan pembantunya duduk saling berhadapan pada kedua sisi dari bagian tubuh
yang dikerjakan dan dengan jari kaki tetap meregang kulit yang ditato. Penato kemudian
memakai pegangan jarum yang disandarkan pada bantalan dengan daya melenting sehingga
mudah dijangkau. Kalau yang dikerjakan adalah bagian tubuh yang peka, seperti pada kaum
perempuan biasanya mereka menangis dan meraung kesakitan dan nanti peradangan akan
menyulitkan pembuatan kembali sehingga menunggu waktu beberapa bulan hingga satu
tahun. Pembuatan tato pada paha diperlukan waktu tiga hari dan biasanya paha kedua baru
dikerjakan bila tato yang pertama sudah sembuh. Pada kaum perempuan urutan
pengerjaannya dimulai dari tangan, kaki, lengan bawah dan paha, tergantung pada
keadaannya. Kadang-kadang penyelesaiannya berlangsung selama dua tahun.
Suku Dayak Bahau mempunyai cara menato tersendiri yang khas untuk masing-masing suku,
baik mengenai gambar-gambar yang dipakai maupun mengenai perluasan garis-garis dan
motifnya. Tetapi mereka saling mengambil alih gambar. Di dalam suku sendiri orang-orang
yang berkedudukan lebih tinggi akan ditiru oleh orang yang berkedudukan rendah. Hal yang
sama terjadi di antara suku di Mahakam. Dapat dilihat banyak di antara Suku Long-Glat yang
lebih maju cara pembuatan tatonya telah diambil atau ditiru oleh suku Dayak di sekitarnya,
baik suku di daerah Mahakam maupun di sekitar Kapuas.
Pembuatan tato pada kaum lelaki lebih sederhana dari pada kaum perempuan. Kaum pemuda
yang belum pernah mengadakan perjalanan jauh atau ikut dalam pengayauan, biasanya hanya
mempunyai sebuah gambar bermotif bunga mawar pada bahunya. Dalam perjalanannya nanti
mereka akan minta dipasang gambar pada tangan atau dada yang tanpa pengecualian disebut
Oso (anjing). Biasanya gambar itu hanya terdiri atas bentuk kepala dengan mata dan rahang
yang digambar dengan garis-garis melengkung yang panjang sehingga merupakan satu
kesatuan yang indah. Dari bentuk garis-garis ini, suku Dayak Kayan mengetahui di suku
mana gambar itu dibuat.
Di antara orang Dayak Bahau dan Dayak Punan, menghiasi paha hanya diperbolehkan untuk
lelaki yang sangat berani, begitu juga untuk hiasan pada tangan kiri atau ibu jari. Di daerah
Suku Mendalam, di Mandai yang memakai tato di bagian tubuh ini hanya kepala Suku Punan
yang terkenal. Gambar itu terdiri atas segi tiga tinggi dengan pucuknya di bawah, yang diisi
dengan garis lengkung yang indah. Kepala suku orang Kayan Mendalam hanya sedikit saja
yang melakukan penatoan seperti ini dan kurang menjadi kebiasaan. Di Mahakam, kaum

perempuan Dayak Pnihing dan Dayak Kayan meniru model-model perempuan Long-Glat
untuk tato mereka. Pembuatan cacah seperti ini sering dilakukan orang Dayak Kayan. Pada
perempuan-perempuan, sering terdapat motif penatoan gelap dan penatoan datar dari lengan
bawah di bawah siku sampai di atas pergelangan tangan. Di atas pergelangan kaki, mereka
memakai gambar gelang gelap dan datar selebar 8 cm. Tato gelang ini masih ada sampai
sekarang. Hiasan yang datar mulai dari lengan bawah sampai punggung tangan. Model ini
sudah bukan mode lagi dan para pekerja tato memakai contoh dari suku Long-Glat; suatu
jalur selebar 4 cm pada sisi punggung pergelangan tangan yang dipisahkan oleh 4 garis lurus
dari jalur yang sama pada sisi punggung dari tangan bagian bawah, kemudian gambar
bersudut yang datar pada jari seperti pada tato tangan dari daerah Mahakam.
Kaum perempuan Dayak Pnihing sama seperti perempuan Dayak Long-Glat, yang memakai
hiasan pada punggung kaki, di samping tato bentuk gelang pada pergelangan kaki. Hal ini
tidak dilakukan oleh permpuan Dayak Kayan di daerah Bluu. Perempuan-perempuan yang
lebih tua dan berani kadang-kadang dapat dilihat dengan gambar cacah di kaki dan tangan
yang sama seperti yang dimiliki oleh kaum pria.
Gambar tato paha perempuan Dayak Kayan dari Mendalam gambarnya disusun dari berbagai
bagian. Bagian yang utama dibentuk dengan kohong klinge. Orang Dayak Bahau memakai
nama klinge untuk gambar-gambar yang diukir pada kayu (sejenis stempel) untuk menekan
garis yang diinginkan pada kulit. Bagian yang disebut nang klinge dengan iko (garis ekor)
dan kalong nyipa (gambar ular) sekelilingnya terdapat pada lutut. Bagian atas gambar
terdapat pada bagian depan dan sisi paha sehingga kedua sisi ketong pat terdapat pada bagian
belakang paha. Di bawah gambar pada lutut dibuat sebaris gambar yang dikenal sebagai
pejako dan juga terdapat pada gambar tato tangan. Dari atas dan dari bawah seluruh gambar
ditutup dengan Iko. Hanya kohong dan ketong pat diukir pada kayu.
Untuk pengerjaan dilakukan dengan kayu tato (stempel) ditekan pada kulit, dan yang lainnya
seperti iko, pejako, nang klinge dan kolong nyipa ditambah pada tangan. Karena banyaknya
garis, baik klinge maupun ketong pat berjumlah 4 garis, gambar tato ini memperlihatkan tato
seorang perempuan Kayan biasa.
Tato seorang perempuan terkemuka akan memperlihatkan lima sampai enam garis, terutama
di sekeliling kepala klinge. Pada klinge yang dipakai di sini motif utama adalah kepala
manusia tetapi yang digambarkan hanya dua mata dan mulut (bah) dengan hidung (hidun).
Gambar tato tangan perempuan Dayak Kayan Mendalam yang dipertunjukkan adalah dari
tangan kanan; bagian kiri yang lebih pendek adalah sisi dalam dan lengan bawah di atas
pergelangan tangan. Pada ujung bawah dapat dilihat hiasan pada punggung kiri. Untuk
perempuan dewasa hiasan ini datar tanpa gambar, jumlahnya lima baris yang sering muncul
menunjukkan bahwa ini merupakan tato seorang perempuan terkemuka. Bagian yang paling
penting dari sisi lengan adalah Pusung. Lebih ke bawah terdapat gambar yang beberapa
bagiannya disebut manok wok (burung hantu), krawit (garis lingkar), sedangkan garis-garis
lurus disebut dolong harok (pinggiran perahu). Juga pada sisi dalam bawah terdapat pinggiran
pejako yang agak diubah sedangkan iko membagi keseluruhannya dalam gambar-gambar dan
mengelilinginya.
2. 6. Menato sebagai realitas Seni Suku Dayak
Pada zaman dahulu hampir semua laki-laki dan perempuan Suku Dayak menghias tubuhnya
dengan tato yang menakjubkan. Bagian tubuh yang di tato umumnya tidak sama pada

masing-masing suku. Orang Bekantan menato bagian wajahnya dengan mengikuti garis-garis
pada warna kulit dan orang Dayak Ngaju dan Ut-Danum menato sekujur tubuh mereka.
Bagi orang Dayak menato tubuh bukan sekedar untuk mendapatkan kepuasan estetis. Tato
tidak dibuat agar kelihatan macho (jantan) atau cantik dan bukan pula sebagai pengganti
pakaian. Anggapan demikian kiranya terlalu naif dan kurang berdasar. Untuk Suku Dayak,
tato adalah ungkapan seni. Melalui tato Suku Dayak mau mengungkapkan keyakinan religius,
status sosial dalam masyarakat, garis keturunan dan sebagai ungkapan akan kedewasaan
sebagai anggota masyarakat( proses inisiasi). Dengan demikian tato adalah seni yang
sungguh-sungguh memiliki roh yang hidup.
2. 7. Nama-nama Tato
Gambar-gambar dan motif tato dari setiap suku berbeda-beda, namun ada juga yang persis
sama. Contohnya pada suku-suku yang berkerabat. Setiap gambar dan motif mempuyai
makna dan arti yang dihayati oleh masing-masing suku. Inspirasi gambar dan motif tato dapat
berasal dari realitas hidup yang tampak secara kasat mata dan ada juga yang berasal dari
dunia atas. Inspirasi gambar tato yang berasal dari dunia atas tidak dipakai oleh orang
sembarangan bahkan kepala suku pun belum tentu bisa memakainya. Gambar tato yang
berasal dari dunia atas biasanya dipakai oleh mereka yang terpanggil secara khusus baik dari
kelompok rakyat biasa atau kelompok orang yang terkemuka. Tato yang berasal dari dunia
atas biasanya datang lewat penglihatan atau lewat mimpi dan tidak jarang tato itu muncul
secara ajaib tanpa dibuat oleh tukang tato. Mereka yang memakai tato ini bermati raga dan
meninggalkan kehidupan dunia yang biasa serta hidup di atas gunung atau di hutan untuk
bertapa. Diyakini mereka yang memakai tato ini pada jangka waktu tertentu akan naik ke
dunia atas dan tidak bisa dilihat oleh orang biasa hanya orang yang punya kemampuan
supranatural dapat berkomunikasi dengan mereka ini.
Gambar tato yang berasal dari realitas nyata dapat berupa gambar binatang, simbol-simbol
dan motif yang dikaitkan dengan status sosial maupun religius. Tato yang berasal dari realitas
nyata tidak datang lewat penglihatan atau lewat mimpi tetapi dibuat oleh tukang tato. Setiap
suku biasanya mempunyai seorang ahli tato yang berprofesi secara turun-temurun.
Gambar yang dipakai antara lain gambar naga, tato ular, Lampinak, aloi, palapas langau,
matan punei, saluang murik, manok tutang penang, manok tutang usuk, tutang bajai, tutang
pasak bajai dinding dan masih banyak lagi sesuai dengan subsuku, keadaan sosial masyarakat
masing-masing.

BAB III
MAKNA TATO BAGI SUKU DAYAK
3. 1. Makna Religius
Secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai obor
dalam perjalanan seseorang dalam menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu,

semakin banyak tato, obor akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin
lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya dan
seenaknya, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.
Dalam Kaharingan dipercaya bahwa tato pada tubuh seseorang yang semula berwarna hitam
akan memancarkan kilau seperti warna emas apabila ia telah meninggal dan telah menjalani
upacara Tiwah.
Dalam keyakinan suku Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan
kepada leluhur. Di kedua suku itu, menato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk
mengungkapkan penguasa alam. Tato juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta
mengusir penyakit atau pun roh kematian. Tato sebagai wujud ungkapan kepada Tuhan terkait
dengan kosmologi Dayak.
3. 2. Makna Kedewasaan
Dalam menunjukkan kedewasaan dalam suku Dayak salah satunya ditunjukkan dengan
adanya Tato dalam tubuhnya. Hal ini juga dengan tegas bahwa orang tersebut sudah siap
untuk mengayau. Pada laki-laki suku Iban, tato justru dibuat setelah seseorang itu sudah
mengayau dan tato itu biasanya terlihat di leher. Jadi, makna kedewasaan ini nantinya terkait
dengan sifat kepahlawanan sebab apabila seorang laki-laki tidak memiliki tato pada
tubuhnya, kurang mendapatkan penghargaan dari gadis-gadis karena dianggap kurang jantan.
Biasanya, pada tradisi suku lain tato akan dibuat pada seorang laki-laki maupun perempuan
apabila mereka sudah mulai menginjak usia pubertas. Artinya, seseorang juga siap bergabung
dengan masyarakat atau mengandung maksud inisiasi dalam masyarakat.
3. 3. Untuk Menunjukkan Status Sosial dalam Masyarakat
Dalam hal ini jelas untuk menunjukkan tingkat dan strata sosial dalam masyarakat. Gambar
tato pada seorang pemimpin tentu berbeda dengan gambar seorang biasa dan berbeda pula
dengan seorang ksatria.
Pada zaman dahulu, kedudukan sosial dalam masyarakat dibagi ke dalam tiga golongan,
yaitu; golongan terkemuka atau bangsawan, golongan menengah, dan golongan bawah.
Motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung Enggang yakni burung
endemik Kalimantan yang dikeramatkan. Bagi suku Dayak burung Enggang merupakan
rajanya segala burung yang melambangkan sosok yang gagah perkasa, penuh wibawa,
keagungan, dan kejayaan. Sehingga tato motif jenis ini biasanya diperuntukkan bagi orangorang tertentu saja. Motif dengan burung Enggang ini melambangkan dunia atas atau
sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum
bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah
(panyen).
Tato bagi kaum menegah umumnya melambangkan pohon kehidupan seperti gambar
lingkaran pakis dan tunas bambu. Sedangkan bagi golongan bawah, ditunjukkan dengan
gambar ular naga.
3. 4. Garis Keturunan
Sebagai bukti seseorang itu adalah berasal dari suku Dayak maka, seseorang harus bertato.
Menurut tradisi tetek tetum, (sejarah/silsilah suku Dayak), bahwa semua keturunan Antang
Bajela Bulau, dan Tunggal Garing Janjahunan Laut, harus mempunyai tato sebagai bukti

nenek moyangnya.
Sementara itu, untuk mencari garis keturunan biasanya dipakai tato yang ada pada tubuh
seorang perempuan sebagai patokan. Hal ini wajar sebab tato kaum pada laki-laki merupakan
tato yang diperoleh dalam pengembaraan sedangkan kaum perempuan tidak melakukan
pengembaraan tapi melakukan pekerjaan di rumah.
3. 5. Hubungannya dengan Konsep Kosmologi
Konsep kosmologi suku Dayak turut mempengaruhi penempatan dan penggunaan tato pada
seseorang. Dunia atas misalnya, harus benar-benar menggambarkan dunia yang di atas sana
sehingga tidaklah salah jika burung Enggang, bulan, dan matahari dipakai sebagai lambang
dunia atas karena ia perkasa.
Pada dunia tengah tempat orang hidup dilambangkan dengan pohon kehidupan yaitu dengan
lambang gulungan pakis dan tunas bambu. Hal ini jelas menunjukkan bahwa lambang itu
benar-benar hidup di dunia tengah, tempat di mana kita hidup sekarang.
Pada dunia bawah, dipakai lambang ular naga yang melambangkan kehidupan seekor ular
berada di dalam tanah. Tapi, konsep kosmologi ini tidak dunia bawah ini tidak terkait dengan
golongan atau status sosial dalam masyarakat.

BAB IV
EKSISTENSI TATO (DULU Vs. SEKARANG)
4. 1. Eksistensi Tato pada Masa Lalu
Zaman sekarang terutama di kota dan sebagian kecil desa, ada sebagian orang yang mentato
tubuhnya. Banyak sekali alasan: diantaranya mungkin Seni, Gaya, atau Biar kelihatan Seram
(preman). Tapi apabila ditanya tentang makna, atau pilihan gambar, dan mengapa peletakan
gambarnya di bagian tertentu, kemungkinan mereka tidak bias menjelaskannya.
Berbeda dengan yang di atas, pada masyarakat Dayak, terutama di Kalimantan, masyarakat
mentato badannya dengan alasan dan latar belakan yang jelas. Tato yang menghiasi tubuh
mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, tato bagi
masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam.
Tato bagi masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, symbol status sosial
seseorang dalam masyarakat, serta bias juga sebagai bentuk penghargaan suku terhadap
kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat secara sembarangan .
Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato, baik itu pilihan gambarnya, status sosial
orang yang ditato, maupun penempatan tatonya. Meski demikian, pada dasarnya tato
memiliki makna religi yang sama bagi setiap sub suku Dayak yakni sebagai obor dalam
perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu, semakin banyak
seseorang memiliki tato, obor diyakini juga akan semakin terang dan lapang jalan menuju
alam keabadian. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat secara
sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat. Setiap sub-suku Dayak memiliki
aturan yang berbeda dalam pembuatan tato.

Bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia, misalnya,
tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli
pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak
menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.
Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato
menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampung memiliki
motif tato yang berbeda, maka banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi
banyak kampung. Jangan bayangkan bahwa kampung tersebut hanya berjarak beberapa
kilometer. Di Kalimantan, dahulu jarak antarkampung bisa belasan kilometer, bahkan
terkadang harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan. Oleh
karena itu, penghargaan masyarakat kepada perantau diberikan dalam bentuk tato.
Tato, Bisa pula diberikan kepada para bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah,
motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung
endemik Kalimantan yang di angap keramat. Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta
keturunannya ditato dengan motif dunia atas atau sesuatu yang berada di angkasa. Selain
motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail
dibandingkan tato untuk golongan menengah atau masyarakat bawah.
Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau (head hunter) atau
memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Lelaki Dayak Iban misalnya. Mereka
boleh di tato apabila sudah mengikuti mengayau. Tradisi ini sudah lama tidak dilakukan lagi,
akan tetapi, dahulu semakin banyak mengayau, maka motif tatonya pun semakin khas dan
istimewa. Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan di pundak
kanan. Namun ada juga subsuku lainnya yang menempatkan tato di lengan kiri jika
keberaniannya biasa, dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan
pertempuran sangat luar biasa (pemberani).
Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, adalah bentuk penghargaan dan
penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa.
Pembuatan tato, tidak hanya dilakukan pada kaum laki-laki, tetapi juga pada kaum
perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat di setiap bagian tubuhnya, sedangkan pada
perempuan biasanya hanya pada kaki atau tangan. Pada laki-laki, pembuatan tato biasanya
dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, sedangkan pada perempuan pembuatan
tato lebih bermotif religius. Pembuatan tato pada tangan dan kaki diyakini bisa
menghindarkan pemiliknya dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan
Yang Maha Kuasa. Pada subsuku tertentu, pembuatan tato pada perempuan juga terkait
dengan harga dirinya, Perempuan yang tidak bertato dianggap lebih rendah derajatnya
dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku di
sebagian kecil subsuku Dayak.
Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya di sandang perempuan, antara
lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh
tangan dan tedak hapii pada seluruh paha. Pada umumnya, tato tersebut dibuat setelah
perempuan tersebut mencapai usia dewasa.
Pada sub suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai setelah haid pertama.
Ketika pembuatan tato bagi perempuan dilakukan, biasanya disertai dengan dengan upacara
adat di sebuah rumah khusus dan selama pembuatan tato tersebut berlangsung semua pria

mengunakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan tidak boleh keluar rumah. Selain itu
seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana
bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.
Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam (tumbuhan pakis) yang
ditato di sekitar ruas jari disebut song irang atau (tunas bambu). Adapun yang melintang di
belakang buku jari disebut ikor. Tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut
silong lejau.
Selain itu, ada pula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak, memiliki tato di
bagian paha berarti perempuan itu memiliki status sosial yang tinggi dan biasanya dilengkapi
gelang di bagian bawah betis.
Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagian lutut
pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan.
Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya
anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.
Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri pohon
jeruk yang panjang. Akan tetapi lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum
sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan
jelaga dari periuk yang berwarna hitam (arang). Karena itu, tato yang dibuat warna-warni,
ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna
filososfis yang tinggi.
Tato warna-warni yang dibuat anak muda dewasa ini, hanyalah tato hiasan yang tidak
memiliki makna seperti jaman dahulu. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan
tanpa makna (asal-asalan). Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan
penghargaan, tetapi cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap
sebagai jagoan.
4. 2. Eksistensi Tato pada Masa Sekarang
Tato adalah jenis seni yang membuat nilai kepribadian seseorang. Dengan berbagai corak dan
gambar, kulit dapat dibentuk sesuai keinginan. Tato, pada masa kini sepertinya
melambangkan suatu pemberontakan dengan berbagai bentuk ke munafikan dari dalam diri
manusia. Zaman sekarang, tato sring kali tidak mempunyai makna. Tato di buat sekadar
untuk gaya hidup bagi orang yang ingin menonjolkan diri dari lingkungannya dan ingin
mendapatkan perhatian.
Ada beberapa hal yang mesti di ingat. Tato, bisa menjadi suatu kebudayaan apabila hidup
dalam suatu daerah yang masih menggunakannya sebagai komunikasi bagi anggotan
sekomunitasnya.
tato merupakan suatu aktifitas seni yang di kembangkan dari berbagai gambar atau model
garis yang berbentuk warna yang di kolaborasikan sehingga tercipta tato yang sesuai dengan
kinginan dan kebutuhan. dalam pembuatannya, tato sangat mengedepankan nilaikeindahan.
Seni tato sekarang bukan hanya sebagai hobi pribadi tetapi juga bisa mendatang nilai tambah
mencari keuntungan dalam bisnis.
Berbeda halnya dengan Suku Dayak. Tato memiliki arti tersendiri. Bagi masyarakatnya. Tato
bagi masyarakat dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam
masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan

seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan. Ada aturan tertentu dalam
pembuatan tato. Baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato maupun
penempatan tatonya. Bahkan tidak semua orang boleh membuat tato itu.
Pada umumnya, tato yang dikenal oleh suku Dayak hanya berwarna hitam. Oleh karena itu,
tato yang dibuat warna warni, ada hijau kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional
yang mengandung makna filosofis yang tinggi. Tato warna warni yang dibuat kalangan
anak-anak muda saat ini hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar
dan penempatan dilakukan sembarangan dan tampa asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali
tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekedar untuk keindahan, dan
bahkan ada yang sekedar ingin dianggap sebagai jagoan.
Tato pada zaman sekarang dipandang sebagai sesuatu yang modis, trendi. Karena itu tidak
salah apabila zaman sekarang banyak orang mengindentikan tato dengan budaya
pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat tentang tato dan larangan memakai tato bagi
penganut agama tertentu semakin menyempurnakan citra tato sebagai sesuatu yang dilarang,
haram, dan tidak boleh. Maka memakai tato sama dengan memberontak terhadap tatanan
nilai sosial yang ada, sama dengan membebaskan diri terhadap segala tabu dan norma-norma
masyarakat yang membelenggu. Orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat memakai
tato sebagai simbol pemberontakan dan eksistensi diri. Anak-anak yang disingkirkan oleh
keluarga sering kali memakai tato sebagai simbol pembebasan.

BAB V
PENUTUP
REFLEKSI
Keberadaan tato pada suku Dayak menjadi ciri khas daerah dan membedakannya dengan
daerah lain. Keunikan coraknya menjadi daya tarik tersendiri apalagi ditambah perpaduan
warna (antara warna kulit dan warna tinta untuk tato itu sendiri). Pilihan modelnya sangat
menentukan status seseorang sehingga tato bukanlah suatu realitas seni menghias tubuuh
dengan kepuasan estetika semata tapi mengandung unsur sakral bagi suku Dayak di
Kalimantan.
Tato zaman dahulu tidak bisa disama artikan dengan tato zaman sekarang. banyak aspek yang
telah membedakan kedua zaman itu, misalnya: waktu pembuatan, pilihan gambar, seniman
pembuatnya, status sosial sipemakai, maknanya dan lain-lain. Tato pada zaman sekarang
cenderung mencari kepuasan estetik saja dan tidak lagi menghayati nilai luhur itu sendiri.
Jika hal itu terus terjadi, tradisi menghias tubuh dengan tato pada suku Dayak akan benarbenar tergerus dan kehilangan makna. Maka, sudah sepantasnya kita memelihara tradisi unik
ini sebagai suatu pencapaian karya seni dan proteksitas makna sakral bagi suku Dayak
dewasa ini supaya masyarakat Dayak zaman sekarang tahu bahwa leluhurnya telah
melakukan itu.

DAFTAR PUSTAKA
Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan.Yogyakarta: NR Publishing,
1993.
Bamba, John. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan
Barat. Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.
Coomans, Mikail. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia, 1987.
Nieuwenhuis, Anton W. Di Pedalamn Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Kertodipoero, Sarwoto. Kaharingan: Religi dan penghidupan di Pehuluan Kalimantan.
Bandung: Sumur Bandung, 1963.
Natalis, Fulgen. Nilai Tato Dalam Masyarakat Dayak dalam Kalimantan Review, No.
35/Juli 1998.
Paraja dan Theresia Game. Tato Kini Kehilangan Makna: Akibat Modernisasi dan Tuduhan
Komunis/PKI, dalam Kalimantan Riview. No 61/ IX/ 10 September 10 Oktober 2000.

Anda mungkin juga menyukai