Disusun Oleh :
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Allah Roh Kudus atas
karunia-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas awal dari mata kuliah Teologi Agama-agama.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Dr.
suwondho sumen.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau
Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami
Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang
terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Ada 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser Menurut sensus BPS
tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga
yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya
(non Dayak dan non Banjar). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari.
Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan
dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun
Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat
5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-
Bajau), "Dayak Darat" (13 bahasa)
"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
"Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang
digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk
Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu.
Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak
adalah Tidung, Kutai, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito
Raya).
BAB II
ETIMOLOGI
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-
Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa
diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang
etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah,
yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin
juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia
juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang
berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang
daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula
istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun
Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan
Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan)
dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak
Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum
atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim
atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-
suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan
Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali
mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis
bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya
menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling
tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan
bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-
orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan
bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal
tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et
al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal
istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka
sebagai ‘Dayak’.
ASAL MULA
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000
tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan
Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat
bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu
tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam
rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak
Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai
dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara
tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar
dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya
sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu
Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan.
Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang
terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan
atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama
Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[butuh rujukan] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-
bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-
1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah
Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti
Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya
yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh
pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah
terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota
Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar
Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima
orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.
Dalam kepercayaan leluhur suku Dayak Ngaju yang mayoritas tinggal di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah, Ranying Hatalla Langit atau Ranying Mahatalla Langit adalah Tuhan
penguasa alam semesta.
Pada mulanya kisah tentang Ranying Hatalla Langit dituturkan turun temurun dari generasi ke
generasi dalam "Tetek Tatum", yaitu cerita tentang penciptaan manusia pertama oleh Ranying
Hatalla Langit. Konon sejak Tetek Tatum itu mulai dituturkan, sejak itulah "Kaharingan" sebagai
agama leluhur suku Dayak bermula.
Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada sejak Ranying Hatalla Langit
menciptakan alam semesta dan menurunkan manusia pertama.
Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju, Tuhan Pencipta Alam Semesta bergelar "Ranying
Pohatara Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan", yang bertahta di
suatu tempat yang bernama Balai Bulau Napatah Intan Balai Intan Napatah Bulau yang berada di
suatu dataran tinggi yang disebut Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang
Hapalangka Langit, yang dikelilingi perairan yang disebut Tasik Malambung Bulau Laut
Bapantang Hintan.
Menurut ajaran Kaharingan, diyakini bahwa manusia dalam kehidupannya mengemban tugas
dan misi tertentu. Sedangkan misi utama Kaharingan adalah mengajak umat manusia menuju
jalan yang benar dengan berbakti serta mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan
perbuatan.
Harapan "Eskatologis" dalam Kaharingan adalah kehidupan kekal di "Lewu Tatau" atau surga,
yang terkandung dalam ungkapan "Buli Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Isen
Kamalasu Uhat". Di sinilah upacara "Tiwah" punya peranan yang penting.
Agama Kaharingan tidak mengenal "neraka", namun bila umat manusia melakukan pelanggaran
atau tidak mentaati peraturan yang ditetapkan oleh Ranying Hatalla, maka malapetaka akan
ditimpakan kepada yang bersalah sebagai hukuman atas dosa yang diperbuat.
Dalam Kaharingan diyakini adanya makhluk yang tidak terlihat oleh mata jasmani. Hal ini erat
kaitannya dengan proses penciptaan dan perjalanan hidup manusia pertama di dunia
sebagaimana dituturkan dalam Tetek Tatum.
Diceritakan bahwa Maharaja Sangen dan Maharaja Sangiang berserta keturunannya yang
berhasil mencapai langit ketujuh tanpa harus mengalami kematian, menerima tugas dari Ranying
Hatalla untuk mengawasi dan memberikan pertolongan kepada adiknya Maharaja Buno beserta
keturunannya (umat manusia) yang harus menjalani penghukuman di Pantai Danum Kalunen
(dunia). Keturunan Raja Sangen dan Raja Sagiang inilah yang dipercaya sebagai "mereka" yang
tidak terlihat secara jasmani.
Dalam menjalankan tugas-Nya, Ranying Hatalla dibantu oleh beberapa orang "pembantu"
(malaikat dalam konsep agama samawi) yang diciptakan dari cahaya, jauh sebelum alam semesta
dan manusia diciptakan. Para Pembantu Ranying Hatalla ini mempunyai peran dan tugas
masing-masing, seperti menjamin kesejahteraan dan menjaga keselamatan manusia di bumi.
Berikut adalah nama-nama Pembantu Ranying Hatalla Langit beserta tugas yang diemban :
Raja Sapanipas
Pembantu Ranying Hatalla ini bertugas mengamati, memelihara dan memperbaiki kehidupan
manusia yang nasibnya kurang beruntung.
Beras mempunyai makna khusus bagi suku Dayak Ngaju. Selain sebagai makanan pokok, beras
juga memiliki peran penting sebagai media dalam hubungan antara umat manusia dan Ranying
Hatalla, itulah sebabnya dalam setiap upacara adat selalu disediakan beras.
Dalam proses upacara adat, beras biasanya ditaburkan ke udara atau ke atas kepala manusia.
Adapun maksud dari ditaburkannya beras tersebut adalah untuk memanggil "Putir Selong
Tamanang" dan "Raja Angking Langit" sebagai penguasa atas padi dan beras. Selain berkuasa
atas padi dan beras, keduanya selalu berada dekat Ranying Hatalla.
Kaharingan hanya dianut oleh masyarakat dayak maratus di kalimantan selatan, dayak tunjung,
benuaq di kalimantan timur, dayak ngaju di kalimantan tengah dayak luangan ma’anyan, Tumon
dan siang, sementara agama yang serupa dianut juga oleh dayak Uud danum (Ot danum) di
embalau dan serawai (kalbar) yang menggelar tiwah (upacara penguburan kedua)
Gb. Balai Basarah
Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan.
Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah
(Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara
menabur beras), dan sebagainya.
Salah satu ibadah dalam Agama Kaharingan adalah Ibadah Basarah yang diartikan
“menyerahkan segala kepasrahan kita kepada Tuhan Ranying Hatalla” membentuk lingkaran
mengelilingi sangku (tambak raja) yang diletakkan di atas meja dan simbol pohon batang haring
(pohon kehidupan) yang diujungnya terdapat burung Anggang (Enggang) masing-masing umat
mengumpulkan uang di tempat dupa sebagai simbol untuk memberikan rezeki dari uang yang
mereka dapatkan selama seminggu untuk kegiatan agama.
mereka membaca Talatah Basarah (penuntun persembahyangan) yang terdiri atas Kandayu:
nyanyian suci umat kaharingan yang dinyanyikan secara bersama dipimpin oleh seorang imam,
Dolok yang berdiri di altar yang berlanjut memberikan siraman rohani.
Persembahyangan ditutup dengan doa penutup Parawei Kahapus Basarah dengan menutup mata
dan menyalipkan kedua tangan. Lalu dua orang perempuan di antara umat yang beribadah
mememercikan air suci dan meletakkan beberapa butir beras ke kepala. Beras merupakan simbol
kehidupan bagi umat Kaharingan. Alat-alat yang disiapkan untuk Basarah di antaranya: sangku,
beras, bulu tinggang (enggang), sipa (daun sirih), kambang (bunga), mata uang, behas
hambaruan (beras terpilih) selain Basarah juga masih banyak ibadah dan upacara lain
Sebagai agama peninggalan leluhur, kaharingan erat kaitanya dengan aktifitas keseharian
masyarakat stempat. Yakni merambah hutan, berburu serta pelaksaan upacara adat. Akan tetapi
seiring waktu berjalan kegiatan upacara keagamaan dan kebudayaan masyarakat dayak telah
mengalami pergeseran dan kehilangan makna, desakan teknologi yang makin canggih dan
merambah hingga ke pedalaman dimana warga dayak tinggal. Mendorong generasi mudanya
beranggapan bahwa pelaksaan upacara adat dipandang sebagai hal yang “kuno”
Pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.
Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama
yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan
religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan
dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam
penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam
agama Hindu disebut Yadnya.
Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, agar Kaharingan sebagai
kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun mereka diakui sebagai agama di Indonesia.
Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat dayak yang menganut
kaharingan. Ketika membuat E-KTP penganut Kaharingan harus mengosongkan kolom agama.
Sehingga berdampak semua pintu, mulai dari pintu politik, pintu pernikahan, pendidikan,
pekerjaan, hingga birokrasi pemerintah akan tertutup bagi mereka.
Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai
60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta
jiwa. Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai
bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu
agama apapun.
TRADISI PENGUBURAN
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia
di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem
penguburan yang terakhir berkembang.
Penguburan primer :
1. Parepm Api (Dayak Benuaq)
2. Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder :
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-
dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil
dengan posisi ke arah matahari terbit.
Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan
arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun
setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi
abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
Marabia
Salumpuk Bereng yaitu raga atau tubuh manusia yang telah terpisah dari jiwa karena terjadinya
proses kematian. setelah mengalami kematian salumpuk Bereng diletakkan dalam peti mati
sambil menunggu pelaksanaan upacara Tiwah Salumpuk Bereng dikuburkan terlebih dahulu.
PENGERTIAN DOSA
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau (roh yang telah meninggal)
akibat perbuatannya semasa hidu antara lain:
A. Merampas/mengambil istri orang mencuri dan merampok. hukuman yang harus dijalani oleh
salumpuk Liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di tasik layang Jalajan (goa-
goa kecil yang terkunci)
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Agama Kaharingan sampai sekarang masih dianut oleh suku dayak, meskipun
jumlahnya semakin sedikit , namun lewat tokoh-tokohnya umat kaharingan tetap berjuang demi
diakuinya Kaharingan sebagai agama resmi di Indonesia. Sebagai sebuah kepercayaan adat tentu
harus dilakukan peneliitian lebih agar kaharingan dapat dikatagorikan sebagai agama dan bukan
sebagai bagian budaya dayak saja.
Kaharingan ternyata memiliki konsep keagamaan yang mirip dengan agama samawi.
Mereka pun ternyata memiliki tujuan setelah mati. Mereka juga mengenal adanya konteks jiwa
dan roh. Adanya dosa, adanya yang mahakuasa.
Tetapi sebagai seorang mahasiswa teologi, sangat penting untuk mempelajari agama suku
dan budayanya. Hal ini dapat membantu dalam proses penginjilan lintas budaya, demi
memenangkan jiwa bagi Kristus.
2. Saran
Sebagai Mahasiswa Teologi dan sebagai orang percaya yang mengerti mengenai amanat
agung yang disampaikan oleh Tuhan Yesus. seharusnya kita prihatin atas kondisi saudara-
saudara kita yang memeluk kepercayaan adat tersebut. Seharusnya setelah mempelajari
kebudayaan dan kepercayaan mereka, kita dapat mencari celah untuk masuk kedalam
kebudayaan mereka. Hal ini perlu dilakukan demi keberhasilan penginjilan. Mereka juga butuh
keselamatan, mereka butuh mengenal siapa itu Tuhan Yang Benar. Jika mempelajari secara
mendetail mengenai agama suku Dayak dan memahami kecacatan kepercayaan yang diakui oleh
mereka, dari situlah kita bisa masuk untuk memberitakan mengenai Tuhan Yesus Kristus.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/32984095/BUDAYA_NUSANTARA_-
_UPACARA_RITUAL_TIWAH_SUKU_DAYAK_NGAJU_KALIMANTAN_TENGAH
http://indonesia.stt-mandala.web.id/ind/2517-2408/Suku-Dayak_29896_stt-mandala_indonesia-
stt-mandala.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak#cite_note-28
https://www.kaskus.co.id/thread/59e2ed76642eb617488b4568/konsep-ketuhanan-dan-
kepercayaan-suku-dayak-ngaju/
Kaharingan dinamika-Analisis : marko mahin. FISIP UI. 2009