Anda di halaman 1dari 8

TUGAS IPS

Nama kelompok:
1. Nadia
2. Sari Muliani
3. Faradilla Susanti
4. Saufi

















TUGAS INDIVIDU
1. Siapa (nama) suku dayak yang tinggal di kawasan kalimantan selatan?
2. Dimana suku dayak tersebut tinggal?
3. Bagaimana cara bertani atau berladang mereka dahulu dan sekarang?
4. Bagaimana corak kehidupan dan kegiatan hidup mereka sekarang?

JAWAB:
Suku Dayak Meratus
Suku Dayak Meratus terbagi dalam beberapa kelompok suku, yaitu :
Dayak Pitap, di desa Dayak Pitap dan sekitarnya.
[5]

Alai terdiri atas:
Dayak Labuhan
Dayak Atiran,
Dayak Kiyu mendiami desa Hinas Kiri
Dayak Juhu
Haruyan Dayak.

Amandit), di kecamatan Loksado.

esa Harakit dan sekitarnya.
Paramasan.
Dayak Kayu Tangi (mendiami kawasan Riam Kanan sebelum dijadikan waduk)
desa Bangkalan Dayak.
[20][21][22]

Sampanahan, Kotabaru.
Riam Adungan.
Bajuin.
Sebamban Baru



Cara Bertani dan berladang mereka dari dulu sampai sekarang
Masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kawasan Pegunungan Meratus, yang
merupakan bagian dari penduduk asli Kalimantan Selatan, terus mempertahankan cara
bertani mereka yang memperhatikan lingkungan.
Cara bertani komunitas masyarakat adat terasing di kawasan Meratus Kalsel itu, selain
sarat dengan nuansa ritual, mereka sangat menghormati kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, kata seorang tokok Dayak, kurang tepat kalau ada pihak yang menuduh
masyarakat adat Dayak sebagai perusak lingkungan, seperti munculnya kabut asap
sebagaimana terjadi beberapa tahun belakangan.
Memang komunitas dayak, yang oleh warga daerah hulu sungai atau "Banua Anam"
Kalsel disebut orang bukit itu pada tempo dulu merupakan peladang berpindah.
Mereka, kata Adit, dulu selalu menebang hutan dan membakarnya untuk menyiapkan
lahan untuk berladang. Mereka melakukan kegiatan itu untuk keperluan "manugal" atau
menanam padi di lahan kering. Namun sebagaimana, kata tokoh dayak di Harungan,
Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, itu, perputaran
dalam sistem perladangan berpindah yang dilakukan pendahulunya itu minimal memakan
waktu sekitar 15 tahun. "Dengan kurun waktu 15 tahun atau lebih itu, bekas
perladangan tersebut bisa menghutan kembali. Karena seiring manugal, adat
mengharuskan masyarakat menanam bibit pohon sebagai pengganti hutan yang
ditebang," ujarnya. Pepohonan tersebut berupa pohon yang bisa besar dan daunnya
rimbun, seperti meranti dan ramin. Pada umumnya, kata Adit, penanaman pepohonan
jenis kayu hutan itu bercampur dengan tananam yang menghasilkan buah, seperti durian,
kemiri, dan pohon langsat. Kelak, hasil hutan itu bisa berguna bagi generasi mendatang.
Menurut dia, ada pula yang menjadikan bekas ladang itu menjadi kebun karet, yang
penanamannya bersamaan saat "menugal" atau saat lahan masih bersih dan sehabis panen
padi. Mengenai pembakaran lahan untuk persiapan berladang, kata Adit, warga Dayak
tidak sembarangan. Sebelum melakukan pembakaran pepohonan yang mereka tebang,
kata dia, terlebih dahulu melakukan penumpukan dan membuat sekat-sekat agar api tidak
menjalar ke lain tempat. Selain itu, sebelum melakukan pembakaran lahan, warga
Dayak terlebih dahulu memperhitungkan waktu tibanya musim penghujan. "Pada
menjelang musim penghujan tersebut, mereka melakukan pembakaran, sehingga kabut
asap tidak menyebar ke mana-mana," kata Adit. Untuk memperkirakan musim
penghujan bakal tiba, kata dia, mereka melihat tanda-tanda alam, seperti letak bintang
"haur bilah" (empat bintang dengan bentuk posisi seperti layang-layang) serta fenomena
alam lainnya, antara lain sarang laba-laba dan pohon lurus (sungkai).
Wanang Dalam kegiatan bertaninya, kata Adit, Dayak Meratus memiliki tradisi yang
disebut "wanang" atau "bawanang", tradisi bersifat ritual berupa acara selamatan untuk
memohon dan menyatakan syukur kepada Sang Hyang, yang menguasai dan mengatur
alam semesta. Sebagai contoh, sebelum "manugal", mereka terlebih dahulu
mengadakan acara selamatan yang disebut "wanang umang", selamatan sebelum benih
padi dimasukan ke dalam lubang. Kemudian menjelang panen, mereka terlebih dahulu
mengadakan "wanang sambu", selamatan untuk memulai panen. Ketika selesai panen
dan padinya sudah masuk dalam "lulung", lumbung terbuat dari kulit kayu tahan hujan,
mereka kembali mengadakan acara selamatan yang disebut "aruh ganal" atau kenduri
besar-besaran. Menurut Adit, sejak tempo dulu, masyarakat Dayak Meratus tak akan
menikmati hasil panen pada tahun tersebut kecuali sesudah mengadakan selamatan.
Acara "bawanang" dipimpin seorang tokoh masyarakat Dayak yang memiliki ilmu tinggi
dari kepercayaan mereka, yaitu pemuka agama yang disebut "balian" dan pelaksanaan
kegiatan tersebut secara gotong-royong. Pada acara "bawanang" selalu tak ketinggalan
jenis makanan berupa "lamang", nasi ketan bakar dalam bumbung bambu.

Corak Kehidupan Suku Dayak Meratus
Suku Dayak Meratus, adalah suatu komunitas adat yang ada di pegunungan
Meratus, sebelumnya lebih di kenal dengan sebutan sebagai Dayak Bukit. Dayak Meratus
adalah salah satu dari sekian banyak sub suku Dayak, yang bertempat tinggal di sekitar
pegunungan Meratus.

Sub etnis suku Dayak Meratus berdasarkan "bubuhan":
- bubuhan Lok Sado,
- bubuhan Halong
- bubuhan Labuhan
- bubuhan Atiran
- bubuhan Pitap
- bubuhan Sampanahan
- bubuhan Harakit
- dan banyak lagi.

Terdapat silang pendapat tentang asal-usul suku Dayak Meratus, menurut Tjilik Riwut
(1979) Dayak Meratus termasuk dalam kelompok Dayak Ngaju, namun masih diragukan
karena dari segi bahasa dan kepercayaan ada perbedaan, sedangkan Idwar Saleh (1984)
mempunyai pendapat bahwa Dayak Meratus merupakan penduduk asli Kalimantan
Selatan yang dahulunya mendiami daerah pesisir dan pinggiran aliran sungai Tabalong,
namun karena datangnya imigran Melayu pada abad 400-500 M penduduk asli ini tersisih
ke daerah pegunungan. Orang Dayak Meratus mempunyai kebudayaan dan kepercayaan
sendiri yang dinamai dengan Balian.
Kepercayaan Balian orang Meratus bersifat lisan
(oral), hampir tidak ditemui berupa buku (kitab) tertentu
yang mengatur umat menjalankan ajaran-Nya.
Kepercayaan Orang Meratus dapat dikatakan sebagai
kepercayaan masyarakat Huma terkait dengan
penghormatan terhadap Padi secara sakral yang
terwujud dalam upacara-upacara ritual.

Tuhan bagi orang Meratus pantang disebut-sebut, karena
merupakan hal yang tabu. Mereka mempercayai adanya
Tuhan nama Ilah (sang pencipta) berikut kekuatan
supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya Tuhan mereka tidak
meninggalkan adanya sejumlah nama Ilahiyat yang harus dipuja-puji dan
dihormati misalnya (1) Arwah nenek moyang (Datu-Nini); (2) Arwah yang masih
gentayangan di sekitar tempat tinggal (Pidara); dan (3) Roh para penguasa yang
berjasa (Kariau), serta roh-roh alam (Penguasa dan pemelihara hutan, lading,
pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya).

Bumi dipercayai sebagai Ibu (Indung-Pangasihan), Langit disebut Bapak
Penguasa (Bapak Kuwasa), Diri manusia (Limbagan) mempunyai saudara empat
(Dangsanak empat) ada yang baik, ada yang buruk sehingga mempengaruhi diri
manusia. Padi diagungkan sebagai buah Langit (sebut = rezeki, buah tahun, buah
pohon, kembang musim) diberi gelar Diyang.

Orang meratus secara umum mempercayai adanya 3 (tiga) Ilah Utama, adalah
sebagai berikut:
1. Suwara, adalah Ilah pencipta alam raya, Manusia pertama, serta tujuh
tumbuhan pelindung;
2. Nining Bahatara, adalah Ilah Pengatur (Pencatu) rezeki, nasib manusia berikut
dan
3. Sangkawanang, adalah Ilah yang memberi dan menentukan kewenangan
terhadap Padi.








Religi orang Meratus dinamakan religi Balian, namun harus dipisahkan
dengan pimpinan keagamaan mereka juga diberi nama Balian, ialah orang
yang memimpin seluruh aspek upacara ritual kehidupan orang Meratus. Balian
bertingkat-tingkat. Pertama, Guru Jaya; yakni orang yang berwenang penuh

Balian
suku Dayak Meratus
(dayakmeratushst.blogspot.com)

rumah suku Dayak Meratus
(travel.detik.com)
memimpin semua upacara, membuka upacara, seorang guru keagamaan
tradisional dan merangkap sebagai dukun (ahli pengobatan penyakit) dan
dipandang sebagai symbol pemersatu bubuhan.
Kedua, urutan Balian adalah Balian Tuha; orang yang berwenang penuh
memimpin upacara religius adat bubuhan tertentu, lebih rendah dari guru Jaya,
tetapi berpengaruh kuat dalam adat, ia cikal bakal guru Jaya. Ketiga Balian
Tengah dan Balian Anum, orang yang sementara waktu bisa menggantikan peran
Guru Jaya dan Balian Tuha, apabila diperlukan, iapun masih dalam tahap yang
belum tinggi dan masih belajar.

Semua aspek upacara tidak bisa dipisahkan dari tarian Tandik atau Batandik
dan kerasukan (in-trance), dibantu Juru Patati (orang yang menjawab pertanyaan,
menjelaskan dan menterjemahkan kemauan Balian) saat kesurupan. Di samping
itu peran tukang tabuh gendang sangat berperan dalam upacara yang dimainkan
oleh laki-laki ataupun perempuan, di mana pukulan gendang harus sesuai dengan
gerak Ilah yang dijadikan komunikasi untuk dipanggil.

Orang Dayak Meratus juga mengenal Kepercayaan (Agama) Kaharingan dan
Buddha, Agama Kaharingan akibat pengaruh masuknya orang Dayak Maanyan ke
Pegunungan Meratus. Sedangkan Religi Buddha pengaruh dari Kerajaan Melayu
bernama Tanjungpuri ketika pengaruh Kerajaan Negaradipa mulai kuat sehingga
sebagian orang-orang Tanjungpuri menyingkir ke Pegunungan Meratus, sebagai
contoh pengaruh Buddha ada di daerah Halong yg sebagian penduduknya
menganut ajaran Buddha, juga adanya sebuah kampung di kab. Balangan bernama
Bihara yang berasal dari istilah Vihara.

Hubungan dengan Orang Banjar pun tidak bisa dipisahkan karena orang Banjar
itu sendiri kemungkinan berasal dari keturunan Orang Dayak baik berasal dari
Ngaju, Maanyan maupun Bukit (Meratus).
Jadi masalah bahasa kenapa lebih mirip bahasa Melayu, itu dikarenakan interaksi
dengan orang-orang Melayu selama berabad-abad, namun untuk bahasa asli orang
Meratus masih bisa dijumpai ketika digelarnya upacara-upacara adat.

Para penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-
desa besar di kawasan pantai kaki pegunungan Meratus yang lambat laun
berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan laut
dengan India dan Cina, di samping hubungan dagang interinsuler.

Selanjutnya konsentrasi populasi terjadi di aliran Sungai Tabalong sebagai daerah
yang terpadat penduduknya. Kemungkinan pada abad ke-5 Masehi telah berdiri
Kerajaan Tanjungpuri sebagai pusat kolonisasi orang-orang Melayu yang berasal
dari Kerajaan Sriwijaya. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan
Melayu sambil berdagang dan kemudian berasimilasi dengan penduduk
sekitarnya yang terdiri dari suku-suku Maanyan, Lawangan, dan Bukit (Dayak
Meratus)

Saat ini bahasa yg digunakan masyarakat Dayak Meratus lebih cenderung
menggunakan bahasa Banjar Pahuluan (Melayu Kuno).

































Tugas kelompok:
1. Kapan agama hindu budha masuk ke daerah kalimantan selatan?
2. Sebutkan dimana wilayah-wilayah kerajaan hindu budha di kalimantan selatan?
3. Siapakah raja hindu budha yang pertama?
4. Candi-candi apa saja yang terdapat di kalimantan selatan?

JAWAB :
1. Agama Hindu Budha Pertama masuk ke Kalimantan selatan

2. A). Kerajaan Negara Daha Berada di Muhara Hulak/kota Negara (sekarang kecamatan
Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan)
B). Kerajaan Cantung (Tjangtoeng dan Batoe Litjin ) Berada Di aliran sungai Cantung dan
Daerah Aliran Sungai Batulicin
C). Kerajaan Kuripan Berada Di kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan
Selatan
D). Kerajaan Negara Dipa ( Pendahulu Kerajaan Negara Daha ) Berada Di Tanjung Silat Dan
Tanjung Putting
3. Raden Sukrama Kakek Dari Sultan Suriansyah
4. Candi Laras di Margasari Dan candi Agung Di Amuntai


SUMBER : http://unikshare.blogspot.com/2013/05/5-Kerajaan-yang-berada-di-Kalimantan-Selatan.html

Anda mungkin juga menyukai