Anda di halaman 1dari 6

Mata Kuliah :

BENTANG ALAM DAN LANDSKAP BUDAYA

( Kelas B / Kode MK PWK3281 )

Tugas :

LANDSKAP BUDAYA SUKU DANI, PAPUA

Mahasiswa/Nim :

JUEEN MEIKHALS TITIAHY/210211050028

Dosen Pengampu :

INGERID LIDIA MONIAGA ST, M.Si

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR

PRODI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


Landskap Budaya Suku Dani Papua

Landskap sering diartikan sebagai taman atau pertamanan. Dalam KBBI landskap
diartikan sebagai tata ruang diluar gedung (untuk mengatur pemandangan alam). Menurut
Simonds (1983), landskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang
dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter menyatu secara alami dan
harmonis untuk memperkuat karakter lansekap tersebut. Menurut Suharto (1994) lansekap
mencakup semua elemen pada tapak , baik elemen alami (natural landscape), elemen buatan, dan
penghuni atau makhluk hidup yang ada didalamnya. Jadi pengertian landskap adalah suatu lahan
atau tata ruang dengan elemen alami dan elemen buatan yang dapat dinikmati oleh indera
manusia.

Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya adalah suatu dataran berlembah pada


Pegunungan Jayawijaya, secara administratif wilayah ini termasuk dalam Kabupaten Jayawijaya.
Wilayah lembah ini dibatasi Pegunungan Jayawijaya yang terkenal akan puncak-puncak salju
abadinya. Lembah Baliem terletak pada ketinggian 1.600-2.000 m dpl. Bentang alam Kabupaten
Jayawijaya merupakan areal datar perbukitan dan pegunungan dengan kelerengan beragam,
berupa daerah kemiringan dengan klasifikasi sangat curam. Daerah ini juga merupakan daerah
yang rawan terhadap bencana. Penduduk asli yang mendiami Lembah Baliem di Jayawijaya
terdiri dari 4 suku besar, yakni Suku Dani, Suku Yali, Suku Lanny dan Suku Nduga.

Landskap Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya

Suku Dani merupakan suku terbesar dan tertua yang mendiami lembah Baliem.
Masyarakat Suku Dani hidup berkelompok dan biasa menyebut dirinya sebagai Orang Parim
(Veronica, 2013). Walaupun dikenal sebagai suku yang suka berperang, namun umumnya orang
Dani menolak dikatakan sebagai pengayau. Keberadaan suku dani sebagai suku asli Papua sudah
dikenal hingga ke mancanegara. Nama Dani berasal dari bahasa Moni yakni “Ndani” yang
berarti ‘Sebelah timur arah matahari terbit” namun masyarakat dani mengenal kata Ndani
sebagai arti perdamaian.

Tradisi Budaya

Sebagai besar Suku Dani memeluk agama Kristen protestan namun tidak bisa lepas dari
adat istiadatnya. Suku Dani masih sangat menjaga adat dan budaya dari nenek moyang mereka,
bahkan mereka masih sering mengadakan upacara besar, tradisi dan keagamaan sebagai tanda
penghormatan. Upacara Suku Dani yang cukup ekstrim dalam menunjukkan dukacita atas
kematian orang terdekat adalah tradisi potong jari (niki paleg), pemotongan jari ini wajib
dilakukan jika ada kerabat terdekat seperti ayah, ibu, adik dan kakak yang meninggal. Selain
menunjukkan rasa dukacita tradisi ini diartikan sebagai pencegah datangnya malapetaka. Tradisi
dukacita lainnya yang ada di Suku Dani yaitu tradisi mandi lumpur , tradisi ini memiliki arti
bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali kealam. Sedangkan tradisi Wam Mawe
(Pesta Babi), tradisi ini tidak berlangsung setiap tahun dan khusus untuk laki-laki. Pelaksanaan
Wam Mawe sebagai tradisi untuk menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi didalam
masyarakat seperti masalah maskawin yang belum dibayar atau masalah hutang piutang,
penghormatan dan penghargaan atas aliansi atau persekutuan antar suku dalam sebuah
peperangan. Setelah pesta selesai para pemuda melantunkan nyanyian-nyanyian sebagai tanda
selesai tradisi lalu membagikan daging babi yang sudah dibakar kepada seluruh masyarakat ada
yang telah ditentukan. Masyarakat Suku Dani juga masih percaya bahwa roh-roh nenek moyang,
laki-laki (suanggi ayoka) dan perempuan (suanggi hosile) masih ada di hutan-hutan dan tinggal
di tumbuhan, pohon, hewan dan benda-benda, karena itulah mereka sangat menjaga hubungan
baik dengan alam dan hutan.
Dari cara berpakaian masyarakat laki-laki Suku Dani masih menggunakan koteka atau
holim yang berfungsi menutupi alat vital dan digunakannya tanpa baju serta alas kaki juga
menggunakan aksesoris berupa topi bulat dari bulu burung dibagian kepala yang bernama sewsi
atau dari kuskus hitam yang disebut siloki inon. Selain itu menggunakan aksesoris taring babi
(Wam Maik) dan anyaman rotan (Sekan) pada lengan dan pergelangan tangan Koteka ini terbuat
dari labu kuning yang berbentuk runcing, pemakaian koteka juga memiliki makna jika tegak
lurus memiliki arti masih perjaka, jika miring kekana artinya pemakaian memiliki status sosial
yang tinggi atau bangsawan dan jika miring ke kiri melambangkan pria dewasa golongan
menengah dan keturunan panglima perang. Sedangkan perempuan pakaian yang terbuat dari
rumput yang bernama wah

Landuse dan aktivitas perekonomian masyarakat

Masyarakat suku dani hidup dengan bercocok tanam atau bertani, berburu dan berternak.
Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan. Mereka memiliki
kemampuan untuk menggunakan perkakas dan alat pertanian tradisional seperti kapak batu,
pisau dari tulang binatang, bambu dan tombak dari kayu Tanaman lain yang dibudidayakan
adalah pisang,buah merah, keladi, singkong, kacang-kacangan, tebu dan tembakau. Kebun-
kebun milik Suku Dani memiliki 3 jenis yaknik kebun daerah dataran rendah dan datar, kebun di
lereng gunung dan kebun diantara dua uma atau perumahan. Kebun- kebun tersebut biasanya
dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kerabat. Batas-batasnya biasanya berupa sungai, gunung
atau jurang. Selain berkebun Suku Dani juga berternak babi dalam kandang yang berada di rawa-
rawa yang bernama wamai (wam = babi ; ai = rumah). Bagian dalam kandang terdiri dari petak-
petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan bagian atas kandang berfungsi untuk tempat
penyimpanan kayu bakar dan alat berkebun. Suku Dani memiliki kontak dagang dengan
kelompok masyarakat di sekitarnya.
(Purwanto, 2003). Pada tahun 1980 Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya secara resmi
memulai penanaman padi di kawasan ini untuk menambah diversitas Lahan ini merupakan hasil
introduksi penanaman tanaman pangan baru kepada masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem.
Penanaman padi sawah pertama dikenalkan oleh guru dari Toraja yang membawa bibit padi asal
Sulawesi untuk ditanam di Baliem, sekitar tahun 1974 pangan lokal dan meningkatkan ekonomi
masyarakat di Lembah Baliem. Pada tahun 1990-an tanaman padi di Kabupaten Jayawijaya
termasuk di kawasan Lembah Baliem semakin berkembang dengan pesat, didukung dengan
pembangunan infrastruktur pengairan sawah untuk mengurangi pasokan padi dari luar dan
meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.

Respon Terhadap Lingkungan

Lahan bekas kebun Suku Dani sengaja dibiarkan sebagai lahan masa bera (amas
istirahat). Pada dasarnya masyarakat Suku Dani sama dengan masyarakat lokal lainnya di Papua,
mengusahakan pertanian dengan cara perdagangan berpindah. Perlakuan ini bertujuan untuk
memulihkan kesuburan tanah pada lahan yang telah ditanami. Wen kulama merupakan hutan
sekunder bekas ditanami hipere yang akan dibiarkan selama 5 sampai 15 tahun. Pada umumnya
masyarakat akan menanami kembali dengan melihat tanda bahwa pohon-pohon yang tumbuh
atau ditanam sudah dapat menghasilkan biji untuk anakan. Masyarakat Suku Dani mengenal 2
jenis lahan masa bera (wen kulama), yaitu 1) wen kulama kitma, lahan dengan masa bera 0-5
tahun atau hutan sekunder muda, dan 2) wen kulama alekma, lahan bera lebih 5 tahun atau hutan
sekunder tua.

Landskap budaya masyarakat Suku Dani dikelilingi oleh hutan dengan banyak
pepohonan besar. Adanya sumber daya tersebut dimanfaatkan masyarakat dalam pembangunan
rumah. Rumah (sili) merupakan kesatuan teritorial terkecil dari Suku Dani yang ditempati oleh
beberapa keluarga yang mempunyai ikatan pertalian darah. Sili terdiri dari bangunan-bangunan
berupa pilamo (honai khusus laki-laki), ebei (honai khusus perempuan dan anak bentuknya
persegi panjang), hunina (honai untuk menyimpan makanan dan dapur), wamai/ wamdabu (honai
untuk kandang babi), wadloleget (tempat keramat), silimo (halaman untuk menggelar ritual adat
dan tempat bermain anak-anak), wen ukutlu (pekarangan kecil di sekitar honai). Sili akan
dikelilingi pagar kayu yang rapat (leget) dengan satu pintu untuk keluar masuk (mukarai). Honai
dibangun begitu mungil dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan terbagi 2 lantai, sehingga apabila
masuk ke dalamnya kita tidak bisa berdiri. Dalam honai terdapat perapian yang digunakan untuk
menghangatkan badan jika udara terasa dingin. Perkampungan atau ouna dalam Bahasa Dani,
adalah satuan permukiman yang terdiri dari beberapa sili. Suatu perkampungan tradisional
masyarakat Suku Dani biasanya ditandai dengan adanya tanaman-tanaman tertentu yang
mempunyai manfaat untuk kehidupan sehari-hari yaitu pohon cemara (Cassuarina spp)
dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung, buah merah (Pandanus conodeus).

Bahan bangunan pembuat honai terdiri dari jenis-jenis tanaman tertentu yang tumbuh di
kawasan hutan sekitar permukiman. Kayu yang digunakan untuk dinding luar bangunan (honai,
ebei dan wamai) adalah kulit kayu pinus dengan panel terbuat dari dari kayu sengon dan jenis
kayu keras lainnya. Panel dinding bagian dalam terbuat dari kayu jenis melur/jati. Atap
bangunan biasanya terbuat dari jenis alang-alang dan jenis rotan Jenis-jenis tanaman ini sangat
berarti dalam konservasi tanah, sehingga jika terlalu sering diambil akan terjadi kerusakan yang
berakibat fatal pada erosi dan sedimentasi. Oleh karena itu perlu pengaturan lokal dalam
pengambilan jenis kayu ini atau diatur secara adat agar tidak mudah ditebang untuk diambil
kayunya. Misalnya dengan aturan-aturan seperti: pengambilan tanaman-tanaman tersebut harus
seijin kepala suku, harus disertai penanaman jenis tersebut dan adanya sanksi adat yang
dibebankan kepada masyarakat yang melanggar aturan-aturan adat tersebut.

DiSuku Dani terdapat lahan tempat keramat yang tidak bisa dimasuki seseorang secara
sembarang. Hanya tokoh-tokoh adat (Ap metek/ kepala suku) bisa memasuki hutan terlarang ini.
Kawasan ini merupakan tempat untuk menyimpan mayat yang ditandai dengan adanya tombak
(sege) yang dibungkus dengan daun alang-alang dan rotan yang diletakkan di lahan tersebut.
Kawasan keramat ini dalam pengawasan sanak kerabat sang mayat. Tidak seorang pun warga
biasa yang berani memasuki kawasan ini, apalagi mengambil dan menebang pohon-pohon yang
ada. Kawasan ini bagaikan hutan primer dengan vegetasi-vegetasi besar dan rapat.

Anda mungkin juga menyukai