Anda di halaman 1dari 7

Hubungan SUKU DAYAK dengan alam sekitarnya

Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat


dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka
merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung
dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu
dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara
turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi
hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka
memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.

Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap
ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan
berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang
sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang
tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian
kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).

Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih
dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman
perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea
brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan
seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah
berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.

Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak
alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain
pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya
(Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran
melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995),
menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.
Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation
atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang
merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999),
memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang
lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantan
telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas
orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat
pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah
atau membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.

Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah.
Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara
serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani
merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian
dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam,
terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi
beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala
suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang
cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau
tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan
memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah
diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan,
sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka
dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.

Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua
adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan
hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku ke
dalam dan ke luar. Berlakunya ke luar menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu
yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah
yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang
karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau
dua musim tanam.
Berlakunya ke dalam menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan
norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak
untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap
meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi
hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat
dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai
pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat
diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan
Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk
berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah
dicapai.

Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu di Kalimantan Barat Dove, (1988)
merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas
tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon
kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4)
setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman
lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan
pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang
dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil
panen ke rumah.

Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang
tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu
menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan); (2) membangunan
pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap
tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara
tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat
berkah dan terhindar dari malapetaka.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di
Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi
seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi
(Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain
ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok karet, tombak dan
lain-lain. Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak
antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat
dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan tungku
batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu
tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan
kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.

Kearifan Lokal Suku Dayak Terhadap Alam

Jauh sebelum munculnya pemikiran mengenai konservasi serta perlindungan alam moderen,
masyarakat suku Dayak sejak jaman dahulu telah mempraktekan secara turun temurun, apa yang
menjadi esensi dari konsep konservasi dengan mencadangkan kawasan hutan di lingkungan
huniannya. Alam pikiran Manusia Dayak yang bercirikan sosio religio magis, pada gilirannya
melahirkan sikap serta tingkah laku yang religius berbentuk praktik pengelolaan sumber daya
hutan secara arif serta bertanggungjawab.
Implemetasi konservasi dan perlindungan alam oleh masyarakat Suku Dayak dapat ditelusuri
melalui penggunaan beragam terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, Pukung
Himba dan lain-lainnya. Makna terminologi dan relevansinya dengan usaha dan upaya
konservasi modern diuraikan sebagai berikut :

Tajahan

Tajahan adalah suatu tempat yang dikeramatkan oleh Suku Dayak terutama yang beragama
Kaharingan. Di lokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil untuk tempat menyimpan sesajen
sebagai persembahan bagi roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumah kecil itu
umumnya dilengkapi dengan patung-patung kecil sebagai simbol atau replika dari anggota
keluarga yang telah wafat yang rohnya dipercaya berdiam dalam patung-patung kecil tersebut
dan tidak akan mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.

Lokasi tajahan pada umumnya berada di kawasan rimba belantara yang masih lebat dan terkesan
angker. Di kawasan yang merupakan lokasi Tajahan tersebut ada larangan untuk melakukan
berbagai aktifitas manusia seperti menebang pohon, memungut hasil hutan, berburu dan aktifitas
lainnya. Pemberlakuan larangan beraktifitas di lokasi Tajahan ini sangat relevan dengan konsep
konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan hutan dan keanekaragaman
hayatinya.
Kaleka

Kaleka adalah suatu lokasi peninggalan nenek moyang suku Dayak sejak jaman jaman dulu yang
umumnya ditandai dengan adanya sisa tiang-tiang bangunan betang/rumah panggung, pohon-
pohon besar berusia tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut biasanya selalu
dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta warisan yang
peruntukan dan pemanfaatannya semata-mata untuk kepentingan bersama. Dari perspektif
konservasi ekologis, Kaleka adalah "lumbungnya" Plasma Nuftah versi orang Dayak.

Sepan Pahewan

Sepan Pahewan adalah lokasi sumber mata air asin yang merupakan tempat bagi binatang-
binatang hutan seperti rusa, kijang, kancil dan binantang lainnya meminum air asin sebagai
sumber mineral. Lokasi Sepan Pahewan adalah tempat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi
kebutuhan hewani sehingga lokasi tersebut senantiasa dipelihara serta dilindungi. Kearifan lokas
suku Dayak dengan melindungi dan mememlihara lokasi Sepan Pahewan sangatlah relevan
dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi moderen.

Pukung Himba

Pukung Himba merupakan bagian dari kawasan hutan yang difungsikan sebagai tempat untuk
memindahkan roh-roh halus (Ganan Himba dalam bahasa Dayak Ngaju) dari daerah/lokasi yang
bakal dijadikan sebagai tempat berladang, oleh karena itu lokasi Pukung Himba sengaja tidak
ditebang dan dibiarkan sebagai kawasan reservasi.

Para peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah umumnya sangat faham bahwa dalam aktivitas
pembukaan ladang, harus menyediakan lokasi Pukung Himba yaitu kawasan hutan yang
dicadangkan sebagai tempat bagi roh-roh penunggu hutan yang dipindahkan dari lokasi yang
akan dijadikan ladang.

Tanda-tanda daerah yang dijadikan Pukung Himba biasanya berhutan lebat, terdapat pohon-
pohon tua dengan diameter vegetasi kayu yang besar-besar, belum banyak terjamah oleh
aktivitas manusia serta banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berusia tua dengan ukuran
kayu besar serta berkesan begitu angker dipercayai sebagai tempat yang disukai roh-roh
penunggu hutan untuk tempat bermukim.

Keberadaan dan konsep Pukung Himba dipandang dari perspektif konservasi merupakan usaha
pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati didalamnya.

Falsafah harmonisasi suku Dayak dengan alam, dengan Tuhan Sang Pencipta, dan dengan
sesama manusia telah terbangun dan tercermin dalam implementasi kearifan ekologi Tajahan,
Kaleka, Sapan Pahewan, Pukung himba dan lain-lainnya. Itulah Kearifan Lokal Suku Dayak
Terhadap Alam dengan menjalankan adat dan tradisi sebagai bakti bumi, dan menjaga
keseimbangan ekologis yang ada.

Sumber :

http://aluedohong.blogspot.co.id/2009/05/kearifan-lokal-dayak-dalam-perlindungan.html

http://arkandien.blogspot.com/2010/06/kebudayaan-dayak-dulu-dan-sekarang.html

Anda mungkin juga menyukai