Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

BAB 1
1.1 Letak Geografis......1
1.2 Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup.1
BAB 2
2.1 Rumah Adat Lamin.7
2.1.1 Pengertian.8
2.1.2 Tipologi dan Pola Pemukiman Rumah Lamin....11
2.1.3 Pemilihan Lokasi.12
2.1.4 Denah dan Tampak Rumah Lamin..14
2.1.5 Susunan Ruang Rumah Lamin.15
2.1.6 Konstruksi Rumah Panjang...16
2.1.7 Simbologi..17
2.1.8 Fungsi Sosial Rumah Lamin..18

1.1 LETAK GEOGRAFIS


Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Timur mempunyai
luas wilayah kurang lebih 211.440 Km2 yang terletak di
daerah khatulistiwa antara 11344 bujur timur dan 11900
bujur barat dan 4241-225 lintang utara. Sebelah selatan
berbatasan dengan negara Sabah / Malaysia. Sebelah
timur membentang daerah rendah sepanjang kurang lebih
500 mil menyusuri pantai Laut Sulawesi dan Selat
Makasar, yang merupakan perbatasan di sebelah timur,
sedangkan
sebelah
barat
membentang
dinding
pegunungan Iban dan pegunungan Muller. Sebelah timur
berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Selat Makassar
yang merupakan alur perhubungan transaksi untuk
perdagangan Lintas Nasional dan Internasional.
1.2 SISTEM MATA PENCAHARIAN DAN PERALATAN HIDUP
2

Dalam melangsungkan dan mempertahankan


kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan
dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di
sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya
dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung
dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa
hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka
sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi
kawasan habitat mereka secara turun temurun dan
bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara
holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka
telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut
mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi
mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan,
perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buahbuah dan lain-lain, serta kegiatan berladang
(Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak
yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk
menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat
sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan
untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun
demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat
subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang
mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang
pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka
mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung
memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet
(Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan
tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu
bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari
hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabadabad dengan hutan dan segala isinya.

Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan


hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan
kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya
orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa
mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang
dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam
antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran
melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan.
Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem
perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan
Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994),
mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting
cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan
sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan
sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam
Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang
dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu.
Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang
diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun
Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan
bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di
Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini
terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat
dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau
membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga
kerja dan sebagainya.
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu
didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah
yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak
bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan
bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani
merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai,
dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup.
Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum
mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin
membuka atau menggarap hutan yang masih perawan
harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu:
4

pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada


kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau
beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok.
Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk
memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan
persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi
dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk
berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh
secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara
pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan
bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan
bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka
itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa
kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku
memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian
hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan
suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku ke
dalam dan ke luar. Berlakunya ke luar menyatakan
bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang
hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan
memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun
demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan
yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang
berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim
tanam.
Berlakunya ke dalam menyatakan mengatur hak-hak
perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma
adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan
dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah,
kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap
meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi
maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak
penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan
melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya
kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika
5

seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di


daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat
diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian
Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi
(1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada
umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang
berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu
subur dan mudah dicapai.
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku
Kantu di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahaptahap perladangan berpindah sebagai berikut:
(1) pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan
pertanda burung;
(2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil
dengan parang;
(3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan
beliung Dayak;
(4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang
dibersihkan;
(5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu
yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya
mengadakan pencangkokan padi);
(6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);
(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas;
(8) mengadakan panen tanaman padi; dan
(9) mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982)
ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting
dalam kegiatan berladang adalah:
6

(1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi,


membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau
rotan);
(2) membangunan pondok di ladang;
(3) memproses padi;
(4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap
tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya
selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu.
Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang
mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar
dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung
(1986) tentang suku Dayak di Kalimantan Barat, bahwa
peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas
sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan,
berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi
(Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos
nucifera), buah-buahan, antara lain ialah pisau, kapak.
baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok
karet, tombak dan lain-lain. Dalam pada itu, jenis-jenis
peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak
antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau
besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat dari tanah liat
atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari
bahan logam, dan tungku batu. Jenis alat tidur antara lain
tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa
yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari
kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain, klambu,
katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari
kayu.

2.1 RUMAH ADAT LAMIN

2.1.1 Pengertian

Rumah Lamin = Rumah Panjang. Rumah panjang diasumsikan


milik kita semua, sebab rumah ini digunakan untuk beberapa
keluarga yang tergabung dalam satu keluarga besar. Rumah
lamin merupakan hunian adat Masyarakat Dayak, khususnya
yang berada di Kalimantan Timur. Kata Rumah Lamin memiliki
arti rumah panjang, yang diasumsikan dengan milik kita semua,
sebab rumah ini digunakan untuk beberapa keluarga yang
tergabung dalam satu keluarga besar, bisa digunakan untuk 25
sampai 30 keluarga sekaligus, bahkan dapat mencapai 60
keluarga. Bentuk arsitektur rumah lamin antara suku yang satu
dengan yang lain memiliki kemiripan. Perbedaan hanya
terdapat pada penamaan komponen bangunan dan motif
ornamennya. Namun diantara semua suku, Suku Dayak
Kenyah memiliki ciri yang paling khas, yakni ornamen yang
lebih meriah dengan hiasan seni ukir dan lukisan yang bermotif
lebih khas dan dinamis.
Satu hal yang menarik, bahwa kepercayaan pada alam gaib
sangat mempengaruhi proses pembangunan rumah adat. Nilai
spiritual yang dijunjung tinggi tersebut membentuk suatu ikatan
kultural yang kuat antara manusia dan alam. Terdapat dua roh
nenek moyang yang dipercaya mempunyai kekuatan besar dan
berperan sebagai pengatur seluruh kehidupan. Roh nenek
moyang tersebut dinamakan Jalong Nyelong (roh lelaki yang
menciptakan manusia) dan Bungan Malan (roh wanita yang
mengatur seluruh kehidupan manusia). Dalam kehidupan
sehari-hari, kekuatan kedua roh nenek moyang itu menjelma
dalam bentuk binatang seperti kijang, musang, ular dan
9

beberapa jenis burung. Simbol ini merupakan pertanda untuk


kebaikan yang bisa menyebabkan masyarakat hidup makmur
atau celaka. Maka dalam pembuatan rumah adatpun, pertanda
dari roh nenek moyang tersebut juga memegang peranan
penting.

Karakteristik
Berbentuk panggung dengan ketinggian kolong kurang
kebih 2 meter
Umumnya dihuni oleh 10-50 keluarga inti

Ukuran lamin bisa mencapai 300m

Tiap keluarga inti tinggal di dalam bilik yang berukuran


34 m atau lebih.

Setiap

ada

pertambahan

keluarga,

lamin

akan

diperpanjang atau membangun lamin baru, oleh karena itu


lamin bersifat tumbuh.
Tiap bilik berisi tempat tidur, tempat bersalin, tungku, dan
tempat sampah.

2.1.2 Tipologi & Pola Pemukiman Rumah Lamin


Pada umumnya rumah lamin berbentuk persegi panjang,
memanjang ke kiri ataupun ke kanan, dan bisa mencapai
puluhan pintu/lawing
10

2.1.3 Pemilihan Lokasi


Sebidang tanah yang subur dan kering. Lokasi yang strategis
akan memberi keberuntungan dan kebahagiaan bagi warga
yang bermukim di dalamnya. Menghadap ke sungai, baik
sungai besar ataupun kecil. Kepercayaan pada alam gaib
sangat mempengaruhi proses pembangunan rumah adat.
Proses pembangunan lamin harus memperhatikan segala
aspek. Sejumlah pertimbangan yang dipilih untuk mencari
lokasi pendirian rumah lamin menjadi hal penting, sebab lokasi
11

yang strategis akan memberi keberuntungan dan kebahagiaan


bagi warga yang bermukim di dalamnya. Sebelum pembuatan
lamin dimulai, terlebih dahulu kepala kampung, kepala adat
dan para orang tua memilih dua orang warga untuk mencari
lahan tempat didirikannya lamin yang disebut lasan palaki
(lapangan elang), yang mengandung makna apakah daerah
tersebut akan mendatangkan kebaikan atau celaka. Syarat
utama yang dipilih yaitu sebidang tanah yang subur, kering dan
menghadap ke sungai, baik sungai besar ataupun kecil. Selalu
diutamakan menghadap ke sungai, karena terdapat suatu
kepercayaan bahwa jika meninggal dunia, jiwa dan raganya
akan pergi ke suatu tempat yang sempurna, yang biasanya
dilihat dalam impian. Tempat tersebut disebut Alam Malao,
yang diartikan sebagai sungai yang indah dan makmur, atau
semacam surga bagi orang beragama.
Untuk menentukan lahan yang tepat, dua orang yang telah
ditugaskan tersebut menunggu pertanda dari roh nenek
moyang. Selama masa tersebut, dua orang terpilih ini harus
menjalani sejumlah pantangan, yaitu berpuasa dengan tidak
memakan apapun kecuali nasi, tidak berkumpul dengan istri,
tidak bepergian jauh, tidak boleh mengenakan pakaian
berwarna dan rambut digundul. Pada hari pertama, utusan
tersebut akan pergi ke sebuah daerah atau lapangan dengan
membawa sesaji kepada para roh nenek moyang berupa
beberapa ekor ayam yang sudah dipotong dan telur ayam
mentah. Hal ini dilakukan agar mendapat restu dari roh nenek
moyang. Kemudian mereka berjalan terus selama beberapa
12

hari hingga mendapatkan pertanda melalui perantara burung


elang. Pertanda baik akan didapatkan jika dijumpai burung
elang yang datang tepat diatas sebidang lahan, berputar di
udara sebanyak delapan kali dan meninggalkan tempat
tersebut menuju ke suatu arah dengan tidak berbelok. Lahan
tersebut lah yang kemudian ditetapkan sebagai lasan palaki.
Setelah lasan palaki ditemukan, barulah para utusan tersebut
diperbolehkan pulang kampung dan mengabarkan kepada
kepala adat, maka kepala adat akan mengumumkan kepada
warga dan seluruh anggota masyarakat akan menyambut
gembira kabar tersebut.
Sebelum

memulai

pembangunan

lamin,

terlebih

dahulu

diadakan sebuah upacara adat dengan sesaji berupa puluhan


ternak seperti ayam, babi dan kerbau. Upacara tersebut
dilanjutkan dengan acara pesta yang melibatkan seluruh
warga, baik tua maupun muda. Setelah upacara adat dan pesta
selesai diadakan, barulah pembangunan lamin dapat dimulai.
Seperti diketahui, jiwa dan semangat gotong royong sudah
menjadi tradisi yang mendarah daging. Oleh sebab itu,
pencarian bahan-bahan untuk mendirikan lamin pun dilakukan
secara suka rela, begitu juga pada proses pembangunannya.
Rumah

lamin

untuk

para bangsawan

berbeda

dengan

masyarakat biasa. Rumah lamin bangsawan dibangun dengan


bahan-bahan yang lebih bagus, dinding berbahan papan.

13

Sedangkan rumah lamin masyarakat biasa, dinding bagian luar


terbuat dari kayu.

2.1.4 Denah Dan Tampak Rumah Lamin

14

2.1.5 Susunan Ruang Rumah Panjang

1. Bagian Dalam Rumah


Sais Homing, berfungsi sebagai tempat tidur:
orangtua, gadis, duda yang mempunyai anak, anak
yang baru menikah dan tamu wanita. Ruangan ini
tidak dibatasi dinding, hanya dibatasi
kelambukelambu
Dapur, untuk memasak dan menyiapkan makanan
Tongu/bak tongu: tempat menyimpan barang-barang
keramat
2. Bagian Luar Atau Muka
Sidok, tempat untuk menumbuk padi
15

Sowah/Sawoh, tempat menerima tamu wanita/pria di


malam hari
Pinae/ pangong wak sowah, sebagai balaibalai tempat
tidurr perjaka dan duda yang tidak mempunyai anak
Jungkar, berfungsi sebagai tempat bekerja membuat
senapan, sarung parang tempat menjaga padi yang
dijemur, membuat peralatan rumah tangga dan
sebagainya untuk menuju pontatn ini.

2.1.6 KONSTRUKSI RUMAH PANJANG

Tiang rumah panjang terbuat dari kayu belian dengan


ukuran 1515 cm.
16

Tinggi tiang 2m, hubungan tiang dengan balok


menggunakan system sambungan pasak dengan pen
Lantai bagian luar terdiri dari bamboo yang diikat tali
rotan. Lantai bagian dalam menggunakan papan kayu.
Kolomnya biasanya merupakan balok menerus dari
tiang pondasi sampai atap.
Hubungan balok dan kolom menggunakan system
pasak dan pen
Tangga utama biasanya pada bagian samping.

1) Komponen Lamin Tiang Bawah

Sukaq
Sukaq adalah tiang bawah (tiang utama) yang berfungsi
sebagai pondasi bangunan lamin. Sukaq dibuat dari kayu ulin
(kayu besi) berdiameter - 1 m dan panjang 6 m, dipancang
ditanah dengan kedalaman 2 m dan berjarak 4 m antar tiang
satu dengan tiang yang lain.

17

Tangga
Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari
batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan
tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua
ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman
serangan musuh ataupun binatang buas.
Lamin mempunyai beberapa buah can (tangga) yang dibuat
dari batang pohon berdiameter 30 - 40 cm. Tangga ini bisa
dibalik atau kalau perlu dinaikkan dan diturunkan.

18

Lantai
Asoq (lantai lamin)

terdiri

yaitu usoq (serambi), bilik (kamar

dari

tiga
tidur)

bagian,
dan jayung

(dapur). Asoq tersusun atas 4 lapisan, yaitu merurat (gelagar


pertama), matuukng (gelagar kedua), lala (lantai bagian bawah)
dan diatas lala dipasang lantai yang sebenarnya. Asoq terbuat
dari jejeran kayu meranti yang di buat papan dengan ukuran
1x10 m.

19

2) Komponen Lamin Dinding dan Tiang Atas

Dinding
Dinding lamin terbuat dari jejeran papan berbahan kayu
meranti. Dinding inilah yang akan membentuk peruntukan
ruang

pada lamin.

Dinding bagian luar dilapisi

dengan

ornamen-ornamen ukiran khas suku Dayak. Sedangkan tiang


atas dibuat dari batang pohon belengkanai berdiameter 0,5 m.
Fungsi utama tiang-tiang atas adalah untuk menyangga atap
pada bagian usoq (serambi) karena tidak berdinding. Tiangtiang atas juga berfungsi sebagai hiasan karena dipahat
menjadi

patung-patung

dengan

berbagai

bentuk,

pada

umumnya berbentuk wajah manusia dan binatang.

20

Dinding dan lantai Lamin dibuat dari papan-papan kayu


Meranti. Kayu ini juga kuat seperti kayu ulin. Dinding ini kuat
untuk menahan goncangan angin, hujan dan meredam panas
sehingga

menjadikan

rumah

Lamin

senantiasa

nyaman

ditinggali. Di dinding yang membatas ruang depan dan


belakang, saya melihat beberapa ikat padi digantung. Kata Pak
Yohanes, padi menjadi simbol kemakmuran bagi masyarakat
penghuni Lamin.
PINTU
Pintu yang terdapat di keala tangga berbentuk persegi empat,
agak lebar dan tidak mempunyai daun pintu.Terdapat di ujung
rumah panjang sebelah kiri dan ujung sebelah kanan. Selain
pintu utama terdapat pula pintu darurat yang letaknya di
samping kiri dan kanan dinding kamar (homing) bagian dalam
rumah yang disebut tlingu
JENDELA
Bentuknya terbuka tanpa jendela, ukuran 1m x 1,5m tinggi 70
cm
Atap
Kepang (Atap), terbuat dari jejeran kepingan kayu keras
berukuran 70 x 40 cm. Setiap lembaran kayu tersebut diberi
lubang sebagai tempat pengikat, kemudian disusun dengan
21

teratur, sehingga bagian tepi lembar yang satu menutupi tepi


lembar yang lainnya. Bagian puncak atap ditutup dengan kulit
kayu keras yang diikat sedemikian rupa sehingga cukup kuat
untuk menahan terpaan angin. Pada bagian ujung-ujung atap
dipasang hiasan berupa kayu les yang sudah diukir dan
mencuat hingga 2 m. Ukiran tersebut bermotif kepala naga
sebagai simbol keagungan, budi luhur, dan kepahlawanan.

Atap lamin dibuat dengan merangkai potongan kayu ulin yang


dibentuk persegi panjang berbilah tipis-tipis. Ditumpuk-tumpuk
seperti sisik pada ikan. Air hujan dijamin tak masuk. Saya kian
yakin bahwa ini adalah bukti mahakarya arsitektur suku Dayak.
Ukuran sebuah lamin bervariasi menyesuaikan kebutuhan.
Panjangnya berkisar antara 100 - 200 m dan lebarnya antara
20 25 meter, serta dapat menampung 60 keluarga. Secara
umum pembagian ruang pada lamin adalah sebagai berikut :

22

Rumah Lamin dihiasi dengan ornamen dan dekorasi yang


memiliki makna filosofis khas adat Masyarakat Dayak.
Ornamen yang khusus dari rumah lamin milik bangsawan
adalah hiasan atapnya memiliki dimensi dengan ukuran
mencapai 4 m dan terletak di bumbungan. Warna-warna yang
digunakan untuk rumah lamin juga memiliki makna tersendiri.
Warna kuning melambangkan kewibawaan, warna merah
melambangkan

keberanian,

warna

biru

melambangkan

loyalitas dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa.

23

2.1.7 SIMBOLOGI

24

warna kuning melambangkan kewibawaan, warna


merah melambangkan keberanian, warna biru
melambangkan loyalitas dan warna putih
melambangkan kebersihan jiwa
Ornamen yang khusus dari rumah lamin milik
bangsawan adalah hiasan atapnya memiliki dimensi
dengan ukuran mencapai 4 m dan terletak di
bumbungan.
Ornament yang terletak pada dinding yang paling
menonjolkan karena menggunakan
warna,Kuning,putih dan hitam yang berbentuk salur
pakis dan mata yang mengandung makna
persaudaraan suku dayak
Pada bagian atap ornamen ini berbentuk naga dan
burung enggan yang mengandung arti kesaktian dan
kewibaan masyarakat dayak
Pada bagian kaki rumah lamin terdapat ukir-ukiran berupa
manusia baik pria dan wanita.Tetapi ukiran pria dan wanita
25

pada rumah lamin memberi kesan gothic dan


menyeramkan. Pada bagian penyangga rumah lamin ini
mirip dengan rumah kaki seribu tetapi pada rumah lamin
terdapat ukiran dan jumlah tiang penyangga yang lebih
sedikit.

2.1.8 Fungsi Sosial Lamin


Karena begitu panjangnya rumah lamin, ketika berada di ujung
sisi tertentu, maka manusia pada ujung sisi yang lain, hanya
terlihat kecil. Selain untuk bermukim warga, dalam rumah yang
panjang ini dapat menampung ribuan orang tamu.
Di rumah lamin ini pula sering diadakan upacara-upacara
perkawinan, kelahiran, kematian, pesta sebelum menanam
padi, pesta sesudah panen, dan lain-lain yang kesemuanya
dilakukan

secara

gotong

royong.

Upacara-upacara adat

tersebut biasanya dipimpin oleh Kepala Adat dan melibatkan


seluruh warga.

26

Ciri utama rumah ini adalah berbentuk panggung dengan


ketinggian kolong kurang kebih 2 m. Pada kolong biasanya
digunakan untuk memelihara ternak. Usoq yang panjang dapat
menampung ratusan tamu, ditempat inilah diadakan beberapa
upacara atau ritual adat yang diselenggarakan secara gotong
royong. Namun jika usoq sudah tidak mampu menampung,
maka upacara tersebut diadakan di halaman/pekarangan.
Halaman lamin yang luas juga menjadi tempat bermain anakanak setiap hari. Selain itu, di pojok-pojok halaman menjadi
tempat peletakan patung-patung persembahan nenek moyang
berukuran besar berdiameter - 1 m dan tingginya 3 - 4 m.
Wajah-wajah patung tersebut bervariasi, diantaranya berupa
sosok hantu-hantu yang mengerikan, sosok wajah wanita
cantik, sosok manusia jadi-jadian dan lain-lain. Patung kayu
yang terbesar dan tertinggi berada di tengah-tengah, bernama
sambang lawing yang digunakan untuk mengikat binatang
korban yang dipersembahkan dalam upacara adat. Halaman
bagian samping sampai belakang lamin berfungsi sebagai
kebun, dengan ditumbuhi bermacam-macam pohon sayursayuran dan buah-buahan.
1. Kekurangan:
Serumah dengan banyak sodara, maka jika salah 1
sakit kemungkinan tertular keluarga lain/sodara lain
amat besar

27

Apabila ada pencuri, maka barang-barang yang


dicuri tidak hanya 1 keluarga
2. Kelebihan :
Terhindar dari binatang buas karena lantai rumah
berada di atas
Biasa nya hawa nya sejuk karena dengan material
kayu yang terkesan alami

DAFTAR PUSTAKA
Taman Budaya Kalimantan Timur. (1976) Kumpulan
Naskah Kesenian Tradisional Kaltim. Samarinda: Taman
Budaya Kalimantan Timur.
Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur. (2011) Profil Dayak
Kalimantan Timur: Profil Seni Budaya dan Adat Istiadat
Dayak Kalimantan Timur. Samarinda: CV. Hagitadharma.
http://mastri.staff.ugm.ac.id/wisatapedia/index.php/telus
ur/kalimantan-timur/komponen-budaya/lamin/

28

Anda mungkin juga menyukai