Anda di halaman 1dari 9

Oleh

Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si


Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Pada FISIP Universitas Tanjungpura

Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan
dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain
itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari hutan tersebut
mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Persentuhan yang mendalam antara orang
Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sistem perladangan, yakni
bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Bahkan sistem perladangan itu telah
menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang berkebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya manusia
tidak hanya dapat menyelaraskan tetapi juga dapat merubah lingkungannya demi kelangsungan
hidupnya. Hal ini karena kebudayaan itu menurut Tylor merupakan keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan
lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157).
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa dengan kebudayaan yang baberisi seperangkat
pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya,
baik fisik maupun sosial.
Seperangkat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses pembelajaran dari
apa yang dilihat, diraba, dirasa dari lingkungannya, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk
perilaku serta diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika manusia
mengaktualisasikan perilaku yang didasarkan pada pengelaman-pengalaman yang positif terhadap
lingkungannya maka manusia akan menjadi arif, dalam mengelola sistem kehidupan yang
berwawasan lingkungan. Nilai-nilai kearifan mengelola sumber daya alam sangat penting, karena
secara empiris salah satu aspek fenomena krisis yang paling menghawatirkan bilamana dalam
pengeksploitasian sumber daya alam tidak dilakukan secara arif, maka lambat laun akan menjurus
kepada kehancuran atau kepunahan.
Salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem
perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan. Menurut Dove
(1994:xxxi) kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia
tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah
pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa bero
panjang. Walaupun sudah seabad usaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam
sistem penanaman pangan di dalam proyek-proyek transmigrasi yang ternyata gagal dan tidak ada
sistem bercocok tanam yang telah ditemukan yang seberhasil sistem perladangan dalam
penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian lingkungan hutan tropika.
Sungguhpun demikian menurut Dove (1994:xxxii), sistem pertanian yang asli yang sudah
menyatukan dengan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan telah diabaikan dengan
menggantikannya dengan sistem yang lain yang masih dianggap asing. Dan pemerintah
memandang bahwa sistem perladangan hanyalah merupakan suatu usaha yang membuang-buang
tenaga saja di dalam suatu sistem yang tidak menjanjikan apapun. Walaupun ada anggapan yang
demikian, namun terhadap kebiasaan yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak
yang ada di Kalimantan terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat tergantung
dari hasil hutan sulit untuk ditinggalkan. Bahkan menurut Widjono (1998:95), suku Dayak di
Kalimantan menganggap hutan merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara mereka
dengan hutan telah terintegral secara menyejarah. Maka tak pelak, segala kepercayaan, budaya
dan perilaku mereka senantiasa bersentuhan dengan aspek kelestarian belantara.

Persepsi orang Dayak tentang hutan dan sistem perladangan di Kalimantan

Masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan sebagaimana masyarakat adat lainnya, pada
khakikatnya memiliki persepsi holistik terhadap hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya semata-
mata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-relegius. Juga bukan hanya semata-mata
berisi ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga mereka sendiri merupakan bagian dari hutan
yang tak terpisahkan, dan hutan yang ada dalam wilayah kedaulatan mereka mempunyai hak
kepemilikan yang jelas dan terpastikan secara hukum adat setempat (Widjono, 1998:67-68).
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan
dengan hutan. Atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian
dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan
(Arkanudin, 2001:56). Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai
ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari
hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok (Sapardi, 1994:45).
Menurut Arman (1994:128-129), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, kalau
mereka berladang mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau
mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang
menyerupai hutan, seperti karet, rotan, tengkawang. Kecenderungan seperti itu bukan suatu
kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-
abad dengan hutan dan segala isinya. Pilihan tersebut merupakan “adaptive strategis” yang telah
diuji oleh waktu dan pengalaman. Michael A. Jochim dalam Arman (1994:128), menamakannya
“strategy of survival”, yang mempengaruhi perilaku kultural dari orang Dayak.
Bagi orang Dayak di Kalimantan pandangan mereka tentang hutan tidaklah dapat dipisahkan
dengan persepsi mereka tentang benua, yakni suatu wilayah persekutuan hukum adat. Berdasarkan
pandangan yang demikian tentang hutan, maka mereka membagi hutan dalam beberapa kawasan.
Di Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian Sapardi (1991:71-72); Arkanudin (2001: 67)
terhadap orang Dayak Ribun Sanggau, menemukan bahwa orang Ribun, membaginya hutan ke
dalam tiga jenis yaitu: (1) hutan rimba (hutan primer) sebagai hutan yang mempunyai pohon-
pohon yang tinggi dan besar dan dibawahnya banyak terdapat semak belukar yang tipis; (2) hutan
bawas (hutan sekunder) merupakan hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanam dengan
berbagai jenis tanaman seperti durian, kelapa, tengkawang dan karet; (3) lalang (padang alang-
alang) yaitu bekas ladang yang ditumbuhi rumput lalang (alang-alang).
Diantara ketiga jenis hutan ini, menurut mereka hutan yang paling baik dan disukai untuk
berladang adalah jenis hutan rimba, namun hutan jenis ini menurut ketentuan adat tidak boleh
dijadikan sebagai ladang, karena merupakan hutan cadangan, kayu-kayu yang ada dalam hutan ini
hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan rumah atau memperbaiki rumah, jika
ingin menmgambilnya harus terlebih dahulu meminta izin pada ketua adat.
Hasil penelitian Mudiyono (1990:26-27), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh
ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan
hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke
dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu
yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah
yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang
karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua
musim tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan
norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk
menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap meninggalkan
wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak
penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat
memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada
kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat
diwariskan kepada anak cucunya.
Dalam masyarakat Simpang di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, juga dikenal adanya
penamaan “tanah” berdasarkan tipe-tipe vegetasi dan letaknya, yaitu padang, lunang, tonyong,
nate, dorik dan banala (Djuweng, 1992). Demikian juga pada masyarakat Dayak Krio
Menyumbung Ketapang, juga mengenal berbagai jenis tanah berdasarkan tumbuhan-tumbuhan
yang ada diatas yaitu: (1) babas rimba ruyutn (tanah rimba primer) yaitu tanah yang belum pernah
diolah yang memiliki pohon besar dan terdapat berbagai jenis binatang buas; (2) babas
pangorakng (tanah rimba sekunder) yaitu tanah yang pernah diladangi dandibiarkan selama
berpuluh-puluh tahun, kayu yang tumbuh pada umumnya kayu jenis kelas dua derngan diameter
antara 2- - 40 cm; (3) babas mudak (tanah perladangan) yaitu tanah bekas ladang yang berumur
kurang dari 10 tahun; (4) babas kore (tanah kritis) yaitu tanah yang tidak dapat dibuat ladang lagi;
(5) babas abur (tanah payak) yaitu tanah yang ditumbuhi sejenis rerumputan yang biasa disebut
rambang (Ignasius, 1998:110). Dayak Banuaka di Kabupaten Kapuas Hulu juga memiliki istilah
penamaan tentang tanah, yaitu tana’ ujung, tana’rambur, tana’kereng, tana’paya, tana’ kerangas,
tana’ulut, tana’toan (Frans, 1992).
Di Kalimantan Timur hal ini antara lain ditemukan pada masyarakat Dayak Benuaq yang
membagi hutan dalam enam kategori sesuai dengan fungsi peruntukannya yaitu: (1) Talutn luatn
yaitu dikategorikan sebagai hutan bebas yang tidak termasuk wilayah persekutuan mereka; (2)
Simpunkng Brahatn yaitu dikategorikan sebagai hutan yang diperuntukan untuk berburu serta
memungut hasil hutan bukan kayu; (3) Simpukng Ramuuq yaitu hutan yang dikategorikan sebagai
persediaan yang diperuntukan bagi pembuatan bangunan rumah dan kampung; (4) Simpukng
Umaq Tautn yaitu hutan yang diperuntukan untuk kawasan praktek perladangan karena memang
umaq tautn merupakan hutan persediaan yang difungsikan untuk perladangan; (5) Kebotn Dukuh
yaitu merupakan hutan yang dimanfaatkan untuk lahan perkebunan; (6) Simpukng Munan, yakni
hutan bekas ladang atau kawasan sekitar kampung yang ditanami pohon dan atau tanaman keras
(Widjono, 1998:68). Dalam masyarakat Kenyah juga mengenal aturan tentang kapan, siapa dan
bagaimana hutan sekunder atau ladang yang sedang diistirahatkan dapat dimanfaatkan kembali.
Di Kalimantan Tengah, pada masyarakat Dayak Katingan juga dikenal istilah Petak Lewu/Petak
Wales/Petak Sutrat, Petak Kebun yang terdiri dari kebun Gita/Bua, Kebun Ueu, Kebun Kupi,
kemudian Petak Tana, Petak Luaw/Petak Ayap, Taya, Petak Kereng/Petak Napu, Himba Lakau dan
Petak Malai (Moniaga, 1994:72).
Berbagai persepsi orang Dayak terhadap hutan tersebut, memberi pemahaman bahwa hubungan
antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam
memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak
orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya
(Arman, 1994:129). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran
melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan, yakni suatu bentuk model kearifan
tradisional dalam pengelolaan hutan. Ukur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem
perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Atas dasar inilah Widjono (1998:77)
secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan
kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya. Dayak. Ave dan
King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau
swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan
sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam Soedjito (1999:115), memperkirakan
sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan
Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah
dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.
Menurut Arkanudin (2001:40), bahwa dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu
didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang
mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994:13), menjelaskan bahwa orang Dayak
pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan
seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991:60-63), orang Dayak
sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan
yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama,
memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau
beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di
hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha
mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk
berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai,
segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi
itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu
berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Adanya korelasi yang adikodrati antara manusia dan hutan tersebut menurut Ukur (1994:14)
terlihat dari lambang-lambang yang ditemukan seperti Kayu Ara, Pasang Rura, Pisang Bangkit,
Batang Garing, Pohon Kupang, Akar, Tulang Daun dan sebagainya semuanya menggambarkan
keterkaitan yang sangat erat antara manusia dengan pohon/hutan. Dijelaskan oleh Ukur dalam
salah satu mite yang menunjukkan adanya keterkaitan tersebut, yaitu cerita Petara bersama
isterinya menciptakan pasangan manusia dari pohon Pisang Bangkit, sedangkan darahnya dibuat
dari getah Pohon Kupang. Dekatnya hubungan sosial ekonomi dan religi antara orang Dayak dan
hutan membuat mereka merasa dilecehkan atau direndahkan ketika hutan yang merupakan bagian
dari kehidupannya diekploitasi sedemikian rupa oleh perusahaan HPH.
Sistem Perladangan merupakan bukti kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber
daya hutan

Menurut Widjono (1998:69), alam pikiran orang Dayak sesungguhnya memiliki sentuhan yang
mendalam dengan alam lingkungan sekitar. Pemikiran semacam itu amat bercorak sosio religius
megis. Hal inilah yang mendasari realita bahwa, masyarakat Dayak merupakan bagian tak
terpisahkan dari lingkungan itu sendiri. Wawasan yang holistik ini membuat orang Dayak tidak
melakukan pemilahan antara manusia dengan alam sekitarnya, malah keduanya memiliki kekuatan
dan kekuasaan yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran
yang semacam itu, dalam kehidupan sehari-hari terimplementasi dalam praktek tradisi dan upacara
adat, termasuk pula dalam perilaku mereka terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Dalam kegiatan bertani suku bangsa Dayak dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang, tidak
dilakukan sesuka hatinya, terdapat sejumlah aturan yang harus dipatuhi, hal ini dimaksudkan
untuk menjaga agar hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tetap terjaga
kelestariannya. Dalam pengelolaan hutan pada dasarnya orang Dayak selalu berpangkal dari
sistem religi. Hakekat yang terkandung di dalam sistem religi adalah menuntun dan meneladani
masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta, sehingga
terwujud keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan.
Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya
dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan.
Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan
melain sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang
mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat
unsur permisi atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang
tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.
Menurut Kiang (1994:33), ada beberapa jenis burung yang dipercayai menjadi rasi bagi orang
Dayak ketika mereka akan membuka hutan untuk dijadikan sebagai ladang yaitu: (a) burung Keto;
(b) burung Buria; (c) burung Jantek; (d) burunh Jeje; (e) burung Bubut; (f) burung Bura; (g)
burung Lang; (h) burung Tabulangking; (i) burung Cabik Kapan; dan (j) burung Cacap.
Sedangkan jenis binatang yang menjadi pratanda rasi menurut kepercayaan masyarakat adalah: (a)
Kokor (sejenis Tupai); Kunink (sejenis Jangkrit); (c) Ular; (d) Kijang (Kijank); (e) Semut
Sembada (Semut Merah); (f) Ilik-ilik (sejenis Belalang); (g) Ansit (sejenis Jangkrik) dan (h)
Papo/Geragah. Disamping itu juga ada beberapa jenis burung yang bukan meruakan rasi, tapi
apabila masuk ke rumah bisa menjadi rasi misalnya burung Hantu dan burung Imbuk.
Adapun ciri dan makna dari rasi tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: Burung Keto,
badannya kecil bunyi suara besar, sama dengan namanya dan jarang terdengar. Menurut
kepercayaan orang Dayak Kanayant bahwa: (a) burung Keto lah yang membawa padi dari tempat
tinggal Tuhan (dalam istilah Kanayant disebut Jubata) ke dunia; (b) jika suara burung Keto
bersuara tunggal dab hanya satu ekor yang bersuara, maka ladang yang ada boleh dikerjakan, dan
jika suaranya banyak sekali maka ladang yang ada tidak boleh dikerjakan; Burung Cece, badannya
kecil suaranya sama dengan namanya dan suara cukup besar. Menurut kepercayaan orang Dayak
Kanayant suara burung Cece pertanda kurang kurang baik. Burung ini dipercaya mempunyai
hubungan dengan dewa yang sangat ditakuti (dewa tanah, istilah Kanayant disebut kamang). Jika
suara burung ini terdengar dari samping, belakang, atau depan menandakan: (a) dalam perjalanan
pulang akan mendapat kesulitan; (b) pada waktu mengerjakan ladang, ladang tidak akan berhasil.
Kemudian bila suara burung ini terdengar pada malam hari menandakan: (a) mungkin ada diantara
keluarga yang akan meninggal; (b) rumah atau lumbung padi akan terbakar; Adatn, yaitu ranting
atau dahan kayu jatuh tanpa ada penyebabnya, hal ini dipercaya akan mendatangkan bencana.
Menurut kepercayaan orang Dayak, bilamana dalam aktivitas berladang terutama dalam memilih
lakosi yang akan digarap, bilamana menjumpai berbagai rasi tersebut, maka perlu dilakukan
upacara dengan mempersembah sesajen dengan maksud agar roh-roh halus yang memiliki
kekuatan gaib tidak mengganggu kehidupan mereka baik secara individu ataupun kelompok.
Berbagai kepercayaan sebagaimana yang digambarkan tersebut, menandakan bahwa orang Dayak
memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yakni suatu kejadian yang dipandang suci,
atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu
tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi
sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang
kearifan pengelolaan sumber daya hutan (Widjono, 1995: 34).
Alam pikiran orang Dayak menerangkan bahwa, selain manusia dan makhluk hidup lain yang
hidup dibumi, terdapat pula sosok lain yang tinggal dalam alam semesta ini. Mereka menyebut
tempat itu sebagai Negeri diatas langit, Negeri dibawah tanah, Negeri Arwah. Dewa penghuni
negeri di atas langit digambarkan sebagai burung Enggang, lambang keperkasaan, sedang bumi
dibawah tanah, digambarkan sebagai Naga, lambang kesuburan (Widjono,1995:35)
Menurut orang Dayak, alam semesta ini memiliki tata tertib, demikian juga hubungan manusia
dengan penghuni di negeri lain, juga memiliki aturan dimaksudkan untuk menjaga
keberlangsungan antara negeri-negeri tersebut. Sedangkan hukum alam yang berlaku di dunia,
merupakan penjelmaan tata tertib alam semesta. Demikian juga etika sosial dan tradisi masyarakat
yang turun temurun merupakan penjelmaan tata tertib yang baku dari alam semesta ini (Widjono,
1995:36). Bahkan Ukur (1994:15), menyatakan bahwa bagi orang Dayak, makna hidup tidak
terletak dalam kesejahhteraan, realitas, atau obyektivitas seperti dipahami oleh manusia modern,
tetapi dalam keseimbangan kosmos. Kehidupan itu baik apabila kosmos tetap berada dalam
keseimbangan dan keserasian. Setiap bagian dari kosmos itu (termasuk manusia dan makhluk
lainnya), menurut Ukur mempunyai kewajiban memelihara keseimbangan semesta. Peristiwa-
peristiwa mitis bagi orang Dayak adalah realitas transendental, artinya obyektivitas mite yang
telah kita lihat menjadi jelas bahwa lingkungan sekitar dipahami sebagai segala sesuatu ada di
lingkungan hidup, flora, fauna, air, bumi, udara dan sebagainya. Makna religi dari lingkungan
sekitar ini dilihat baik dari segi obyektif maupun dari segi subyektifnya.
Berdasarkan mitologi tersebut orang Dayak, percaya dan berkayakinan bahwa alam semesta ini
penuh dengan kekuatan gaib. Bila tata tertib alam semesta ini terpelihara dengan baik, maka
kekuatan gaib itu dalam keadaan harmoni. Namun bila tata tertib alam semesta ini terganggu,
maka kekuatan-kekuatan gaib itu mengalami kegoncangan. Untuk menjaga itu semua agar
kelangsungan hidup mereka dapat terjamin, maka tata tertib alam semesta tetap mereka patuhi.
Salah satu upaya mereka dalam mematuhi tata tertib tersebut, terlihat dalam pelaksanaan sistem
berladang, dimana dalam berladang mulai dari memilih hutan yang akan dijadikan sebagai tempat
untuk berladang hingga sampai panen padi selalu dilakukan suatu upacara tertentu. Disamping itu
juga hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tidak semuanya diperuntukan sebagai
tempat untuk berladang.
Dalam berladang pada suku Dayak umumnya yang menjadi perioritas utama bukan produktivitas
tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku dayak
bersifat subsisten. Keanekaragaman ini diperlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk
juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi,
tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan
umur padi.
Disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga mereka menyempatkan
diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok Kalau diamati jenis
tanaman yang ditanami antara lain tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa,
pinang, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan sebagai pratanda bahwa hutan
tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu,
haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Kemudian setelah seluruh
pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu
sebagiannya mereka tanam kembali dengan pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh
menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.
Kearifan tradisional melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon buah-buahan yang
bermanfaat serta berbagai jenis tanaman keras pada bekas ladang ini, menurut Widjono (1998)
telah mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Menurut Dove
(1988); Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para
ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan
mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya,
kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai
ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem ekonomi mereka bersifat subsisten
dan terlepas dari ekonomi pasar.
Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumber daya hutan di Kalimantan masih dapat kita
temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di
tempat lain, misalnya di Kalimantan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumber daya
hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan
istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumber daya hutan
oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan kontribusi untuk
pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumber daya hutan.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka sebagai perusak hutan tidaklah beralasan,
hal ini karena dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang peralatan yang digunakan hanyalah
mengandalkan kapak dan parang. Berbeda dengan para pemegang HPH yang memobilisasi
banyak pekerja dan memanfaatkan teknologi tinggi. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan
teknologi tinggi membuat konsep berladang sebagai salah satu model kearifan suku Dayak
semakin tergusur dan nampaknya hal ini hanya akan tinggal menjadi cerita sejarah orang Dayak
dalam mengelola sumber daya alam.

Penutup
Kearifan tradisional orang Dayak dalam megelola sumber daya hutan, secara khakiki pada
dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk
senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta.
Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak logis karena mereka masih
percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib, sehingga dalam setiap memulai
sesuatu pekerjaan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan selalu terdapat unsur permisi atau
minta izin terhadap penghuni hutan. Namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang
dilakukan orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan
pemeliharaan lingkungan, sehingga harapan yang lebih jauh adalah tercipta keseimbangan
hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh orang Dayak, terutama dalam mengelola sumber daya
hutan, memang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk melestarikannya, karena hal
tersebut merupakan nilai-nilai tradisional yang berakar dari budaya bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau
Kalimantan Barat, Bandung: Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Arman, Syamsuni. 1989. Perladangan Berpindah Dan Kedudukannya Dalam Kebudayaan Suku-
Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah di Sampaikan Dalam Dies Natalis XXX
Dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.

Bamba, John, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut Budaya Dayak Dan Tantangan
Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V, Maret-April 1996, Pontianak.

Djuweng, Stepanus. 1992. Kampong Loboh Laman Banua: Konsep dan Praktek Pengusahaan
Teritorial Pada Suku Dayak Simpang, Kota Kiniu Balu: Makalah disampaikan dalam Konfrensi
Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat,
Yogyakarta: Gajahmada University Press.

-------------------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan,


Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta: LP3S-
IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Frans, S. Jacobus E. 1992. Pola Pengusahaan Tanah dan Beberapa Permasalahan Pada Masyarakat
Dayak Banuaka’ di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Kota Kini Balu: Makalah
disampaikan dalam Konferensi Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Garna, Judistira. K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program


Pascasarjana UNPAD

Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak
Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pem,berdayaan Pengelolaan
Sumber Daya Alam Berbasis Masayarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur Kasih.
Kiang, Edy, 1994. Naik Dango Antara Suatu Kepercayaan Dan Upacara Adat, Dalam: Suara
Almamater Nomor 1 Tahun XI, April 1994, Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.

Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak:Dalam Suara
Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.

Mubyarto, dkk. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan Di Kalimantan Timur,
Yogyakarta: Aditya Media.

Moniaga, Sandra. 1994. Ppengetahuan Masyarakat Dayak Sebagai Alternatif Dalam Penanganan
Permasalahan Kerusakan Sumber Dayak Alam di Kalimantan, Suatu Kebutuhan Mendesak.
Dalam: Paulus Florus (ed),Kebudayaan Dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta:LP3S-
IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan
Parindu, Jakarta:Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

-----------------.1994. Ilmu Pengetahuan Masyarakat Asli Tentang Ladang: Suatu Studi pada
Masyarakat Ribun dan Parindu di Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau Kalbar, Pontianak:
Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura No VI Tahun XI, September.

Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma
Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor),Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi,
Pendayaangunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama
Press.

Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dar Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus
Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transfortasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan
Gramedia Widiasarana Indonesia.

Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional
Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor 13 Tahun IV,
Oktober- Desember.

------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
http://prof-arkan.blogspot.co.id/2012/04/sistem-perladangan-dan-kearifan_25.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai