Johan Iskandar
Pendahuluan
Ekologi tatar Sunda memiliki sifat karakteristik menarik.Lingkungan di bagian utaranya
berupa dataran rendah.Sementara itu, di bagian selatannya, merupakan kawasan bergunung-
gunung dengan ditutupi hutan khas pegunungan (Lombard, 1996: 29-30).Ditilik dari sejarah
ekologi, hingga akhir abad 17 hampir seluruh wilayah di tatar Sunda masih ditutupi hutan
lebat dengan populasi jarang (Hardjono, 1987: 26).Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa
Penutup
Pada makalah ini penulis telah mendiskusikan tentang kondisi gambaran tentang ekologi
tatar Sunda dan pengelolaan Orang Sunda terhadap sumber daya dan lingkungannya yang
khas, seperti wilayahnya bergunung-gunung ditutupi hutan, tanahnya relatif subur dan banyak
air. Mengingat kondisi lingkungan yang khas tersebut, orang Sunda di masa silam telah
mampu mengadaptasikan diri terhadap lingkungannya, dengan memanfaatkan sumber daya
dan lingkungannya secara lestari. Hal tersebut terutama karena dibekali oleh pengetahuan
ekologi tradisional, serta nilai dan kepercayaan (values and beliefs). Misalnya, walapun istilah
agroforestri, secara global di dunia baru populer sekitar akhir tahun 1970-an (Von Maydell,
1985: 84). Namun, sebelum istilah agrtoforestri itu popular, orang Sunda dengan
berlandaskan pengetahuan ekologi tradisional, telah mempraktikan macam-macam sistem
agroforestri tradisional, seperti sistem huma, talun-kebun dan pekarangan, secara turun
temurun. Ciri khas dari macam-macam sistem agroforestri tradisional tersebut, antara lain
memiliki keanekaan tanaman tinggi. Karena itu, secara umum sistem agroforestri tradisional
tersebut lebih tahan terhadap serangan hama; anomali iklim, seperti kekeringan dan banjir,
serta tahan terhadap pengaruh pasar. Sedangkan, manfaatnya secara ekologis dan sosial
ekonomi sangat banyak, seperti bahan pangan dan non pangan (Altieri dan Vulkasin, 1988:
117-119).
Berbagai manfaat ekologis, misalnya mengingat struktur vegetasinya kompleks berlapis-lapis,
maka lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti energi matahari, air, dan
unsur hara kebutuhan tanaman. Tidak hanya itu, fungsi ekologi lainnya, yaitu perlindungan
kesuburan tanah; menjaga permukaann tanah dari erosi; memelihara sistem hidrologi;
perlindungan keragaman plasma nutfah; menyediakan habitat satwa liar; memelihara iklim
mikro; menghasilkan oksigen; dan menyerap gas emisi pencemar ke udara, khususnya gas
rumah kaca CO2, yang menjadi salah satu penyebab pemenasan global.
Sementara itu, berbagai fungsi sosial ekonomi budaya agroforestri tradisional, antara lain
total produksi per unit lahan lebih efisien; produksinya dapat dipanen sepanjang tahun; dan
aneka ragam produksi dapat digunakan sebagai tambahan pangan pokok, bumbu masak,
bahan sayur, buah-buahan, bahan obat tradisional, bahan kerajinan, bahan upacara adat, dan
lainnya, untuk memenuhi kebutuhan subsisten dalam keluarga dan hasil lebihnya bisa dijual
untuk sumber pendapatan keluarga. Maka, keberadaan agroforestri tradisional, sungguh
penting untuk konservasi lingkungan dan menopang kehidupan sosial ekonomi budaya
penduduk lokal.
Selain itu, aspek nilai dan kepercayaan penduduk terhadap alam atau ekosistem dapat
berfungsi penting sebagai adaptasi manusia dengan lingkungan (Lovelace, 1984:
96).Misalnya, menghormati dan tabu mengganggu atau merusak lingkungan yang dianggap
Referensi
Altieri, M. and H.L. Vulkasin (eds), 1988. Environmentally Sound Small-Scale Agricultural
Projects: Guidelines For Planning. New York: Codel Inc.
Carlson, T.J.S and Maffi, L. 2004. Introduction: Ethnobotany and Conservation of Biocultural
Diversity. Dalam Carlson, T.J.S and Maffi, L. (eds), Ethnobotany and Conservation of
Biocultural Diversity. New York: The New York Botanical Garden Press, Pp.1-6.
Ellen, R.F and H.Harris, 2000.Introduction. Dalam R.F. Ellen, P. Parkes, A.Bicker (eds),
Indigenous Environmental Knowledge and its Transformation: Critical
Annthrophological Perspective. Amsterdam: Hardwood Academic Publishers.
Iskandar, J. 1998. Swidden Cultivation As A Form of Cultural Identity: The Baduy Case.
Unpublished Ph.D Dissertation, University of Kent, at Canterbury, United Kingdom.
Iskandar, J. 2007. Responses to Environmental Stress in the Baduy Swidden System, South
Banten, Java. Dalam Ellen, R. (ed), Modern Crises and Traditional Strategies: Local
Ecological Knowledge in Island Southeast Asia. New York-Oxford: Berghahn Books:
Pp. 112-132.
Iskandar, J. 2009b. Pelestarian Daerah Mandala dan Keragaman Hayati Oleh Orang Baduy.
Dalam H.Soedjito, Y.Purwanto, E.Sukara (eds), Situs Keramat Alami: Peran Budaya
Dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pp.
86-110.
Iskandar, J.and R.F. Ellen, 1999. In Situ Conservation of Rice Landraces Among the
Baduy of West Java.Journal of Ethnobiology 19 (1): 97-125.
Lansing, J.S. 1991. Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered
Landscape of Bali. Princeston, New Jersey: Princeston University Press.
Lombard, D. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Jakarta: Gramedia
Lovelace, G.W. 1984. Cultural Beliefs and the Mangement of Agroecosystems. Dalam
Rambo,
A.T., P.E. Sajise (eds), An Introduction to Human Ecology Research on Agricultural
Systems in Southeast Asia. Hawaii: East-West Center. Pp. 194-205.
Maffi, L. 2004. Maintaining and Restoring Biocultural Diversity: The Evolution of a Role for
Ethnobiology. Dalam Carlson, T.J.S and Maffi, L. (eds), Ethnobotany and
Conservation of Biocultural Diversity. New York: The New York Botanical Garden
Press, Pp.9-35.
Malia, R. 2007. Studi Pemanfaatan dan Pengelolaan Kultivar Padi Lokal di Desa
Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.Skripsi Jurusan
Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran (Tidak Dipublikasikan).
Murtiyoso, S. 1994. Klasifikasi Lahan Pada Masyarakat Sunda Kuno, Sangyang Siksakanda
ng Karesian. Dalam K.Adimihardja (ed), Sistem Pengetahuan dan Teknologi Rakyat:
Subsistensi dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Kalangan Masyarakat
Sunda di Jawa Barat. Bandung: Ilham Jaya Pp. 61-70.
Rahayu, S., B.Lusiana dan M.van Noordwijk, (tt). Pendugaan Cadangan karbon di Atas
Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan,
Kalimantan. Dalam B. Lusiana, M. van Noordwijk, S. Rahayu (eds), Cadangan
Karbon di Kabupaten Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial dan
Permodelan. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Pp. 23-36.
Rambo, A.T. 1984. No Free Lunch: A Reexamination of the Energetic Efficiency of Swidden
Agriculture. Dalam Rambo, A.T., and P.E. Sajise (eds), An Introduction to Human
Ecology Rresearch on Agricultural Systems in Sourheast Asia. Honolulu: East-West
Center, Pp. 154-163.
Richards, P. 1994. Local Knowledge Formation and Validation: The Case of Rice Production
in Central Sierra Leone. Dalam Scoones, I, Thompson, J. (eds), Beyond Farmer First:
Rural People’s Knowledge, Agricultural Research and Extension Practice. London:
Intermerdiate Technology Publication, Pp. 165-170.
Soemarwoto, O., L.Christanty, Henky, Y.H. Herri, Johan Iskandar, Hadyana and Priyono,
1985. The Talun-Kebun: A Man-Made Forest Fitted to Family Needs. Food and Nutrition
Bulletin 7 (3):48-51
Suparlan, P. 2005. Kebudayaan Dalam Pembangunan. Dalam Kusairi dkk (eds), Sustainable
Future: Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran
Surna Tjahja Djajadiningrat. Jakarta: ICSD.
Van Noordwijk, M., 2010. Climate Change, Biodiversity, Livelihoods, and Sustainagility in
Southeast Asia. In Sajise, P.E., M. V. Ticsay, G.C. Saguiguit (eds), Moving Forwards
Southeast Asian Perspectives and Climate Change and Biodiversity. Singapore:
ISEAS Publishing, Pp. 55-83.
Warsiti, I. 1997. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kultivar Padi Lokal dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kelestarian Kultivar Padi Lokal. Tesis Pada Program Studi Magister
Ilmu Lingkungan Unpad (Tidak dipublikasikan).
Wessing, R. 1978. Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement. Ohio:
Ohio University Center for International Studies.