Leli Yulifar
Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung
e-mail: leli_yulifar@upi.edu
Naskah Diterima: 28 Juli 2018 Naskah Direvisi: 22 Oktober 2018 Naskah Disetujui: 8 November 2018
Abstrak
Komunitas Kabuyutan Cipageran Cimahi layaknya “museum” hidup yang
menghubungkan masa lalu dan kini. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-
usul dan eksistensi Kabuyutan Cipageran. Metode penelitian sejarah yang dimulai dari heuristik
sampai dengan historiografi merupakan tahapan yang tidak mudah dilewati, mengingat
keterbatasan sumber, terutama sumber tertulis. Melalui teknik pengumpulan data berupa sumber
tertulis/dokumentasi, wawancara terhadap empat narasumber yakni pupuhu (tokoh), budayawan,
wakil komunitas kabuyutan, dan observasi di lapangan, ditemukan bahwa Kabuyutan Cipageran
diduga kuat mulai ada sejak zaman Kerajaan Sunda yang eksis antara akhir abad ke-7 sampai
akhir abad ke-16. Mengacu pada perjalanan sejarahnya, Kabuyutan Cipageran merupakan salah
satu bukti adanya tempat leluhur Sunda, dan replika kampung Sunda tempo dulu. Amanat leluhur
Sunda yang sangat dihormati oleh generasi penerusnya, menunjukkan nilai-nilai tinggi dan
strategis dalam kebudayaan, khususnya kebudayaan Sunda. Hasil penelitian tersebut diharapkan
dapat menjawab asal-usul Komunitas Kabuyutan dan sebagai bahan awal yang tertulis untuk
penelitian selanjutnya.
Kata Kunci : Kabuyutan, replika, dan Kebudayaan Sunda.
Abstract
Kabuyutan Cipageran Cimahi Community is like a living "museum" that connects the
past and present. Therefore, this study aims to determine the origin and existence of Kabuyutan
Cipageran. Historical research methods starting from heuristics to historiography are stages that
are not easily passed, given the limited resources, especially written sources. From some
techniques of collecting data; in the form of written or documentation sources, interviews with
four speakers, pupuhu (figures), cultural observers, representatives of the Kabuyutan community,
and observations in the field, it was found that Kabuyutan Cipageran was strongly suspected to
have existed since the 7th century of Sunda Empire to the end of the 16th century. Referring to its
historical journey, Kabuyutan Cipageran is one proof of the existence of a Sundanese ancestral
place, and a replica of the old Sundanese village. The mandate of Sundanese ancestors who are
highly respected by their next generation shows high and strategic values in culture, especially
Sundanese culture. The results of the study are expected to be able to answer the origins of the
Kabuyutan Community as well as the starting written material for further research.
Keywords: Kabuyutan, replicas and Sundanese culture.
prasasti untuk pertama kalinya (Prasasti tempat yang sekarang bernama Padalarang,
Cibadak). Cimahi, Lembang, Banjaran, Soreang,
Dalam kondisi sekarang, Kabuyutan Majalaya, Ciparay, Cililin, Ujungberung,
Cipageran termasuk ke dalam wilayah Cicalengka, Dago, bahkan Nagreg.
administratif Pemkot (Pemerintah Kota) Peta di bawah menunjukkan tempat
Cimahi, tepatnya bagian dari wilayah yang sekarang bernama Cimahi berada di
Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi daerah Cekungan Bandung bagian utara,
Utara, Kota Cimahi. Berarti sampai dan Gua Pawon di tepian “Danau Bandung
sekarang perjalanan sejarah Kabuyutan Purba” bagian barat. Berdasarkan hasil
Cipageran melalui tiga zaman, yaitu zaman penelitian geologi dan arkeologi, antara
kerajaan, zaman penjajahan, dan zaman lain yang dilakukan oleh G.H.R. von
kemerdekaan. Dengan kata lain, eksistensi Koeningswald dan R.W. Bemmelen, di
Kabuyutan Cipageran berlangsung pada daerah Cekungan Bandung ditemukan
zaman dulu dan zaman sekarang. benda-benda peninggalan manusia
Sejak dulu sampai sekarang, Cimahi prasejarah, berupa alat-alat dari batu
masuk ke dalam wilayah Jawa Barat. obsidian. Di daerah itu ditemukan pula
Ditemukannya benda-benda peninggalan sampah dapur (kyokenmodinger) dari
budaya zaman prasejarah dan fosil kehidupan manusia prasejarah, antara lain
manusia prasejarah di beberapa tempat di berupa kulit kerang.
Jawa Barat, menunjukkan bahwa daerah Temuan-temuan itu secara tidak
Jawa Barat pernah ditinggali oleh manusia langsung menunjukkan beberapa daerah di
prasejarah. Zaman Prasejarah terbagi atas tepian Danau Bandung pernah menjadi
Zaman Batu Tua (Paleolitikum), Zaman pemukiman manusia prasejarah, karena
Batu Tengah (Messolitikum), Zaman Batu danau itu sangat penting artinya bagi
Baru (Neolitikum), dan Zaman Logam kehidupan mereka. Oleh karena itu, di
(Perundagian) (Soekmono, 1995, Jilid I, Tatar Sunda/Jawa Barat banyak tempat
Kartodirdjo, 1975, Jilid I, PaEni 2009). yang namanya diawali oleh kata ci yang
Pada zaman Mesolitikum yang berarti air. Selain untuk kebutuhan air, di
diperkirakan berlangsung antara 4.000 danau purba itu manusia prasejarah dapat
sampai dengan 10.000 tahun sebelum melakukan penangkapan ikan. Memang
masehi, Gunung Sunda di dataran tinggi menangkap ikan adalah satu budaya
Bandung meletus. Sebagian laharnya manusia prasejarah sejak Zaman
menyumbat aliran Sungai Cilameta di Paleolitikum (Zaman Batu Tua).
daerah Padalarang sekarang, tepatnya di
tempat yang dikenal dengan sebutan
“Sanghiyang Tikoro”. Akibatnya, lama
kelamaan air sungai itu menggenangi
dataran tinggi Bandung seluas lebih-
kurang 150 kilometer persegi. Dalam
kondisi sekarang genangan air danau itu
meliputi daerah antara Padalarang sampai
Cicalengka, dan daerah Lembang hingga
Soreang. Daerah seluas itu menjadi “danau
raksasa” yang biasa disebut “Danau
Bandung Purba”. Keberadaan danau itu Gambar 1. Peta Danau Bandung Purba
berlangsung dalam waktu sangat lama. Sumber: T. Bachtiar (Juli 2005) dalam
Dalam bidang geologi, daerah di tepian Hardjasaputra dan Yulifar (2017)
danau itu disebut Cekungan Bandung,
yakni area yang secara morfologis Pada akhir Zaman Mesolitikum,
berbentuk lembah, yang meliputi tempat- manusia prasejarah kehidupannya tidak
lagi berpindah-pindah tempat (nomaden),
Leli Yulifar..... (Kabuyutan Cipageran Cimahi) 475
tetapi sudah tinggal menetap di suatu (1030-1042 M.), pada awal pemerintahan
daerah. Maka tidaklah mustahil bila sang raja menyatakan sebagian dari daerah
Cimahi pun yang merupakan bagian dari Sungai Sanghyang Tapak ditetapkan
wilayah Cekungan Bandung, pernah sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang
ditinggali oleh manusia prasejarah Zaman memiliki pantangan (tabu) yang harus
Mesolitikum. ditaati oleh seluruh rakyatnya. Pernyataan
Bahwa daerah Cekungan Bandung Raja Sunda dalam prasasti tersebut,
pernah dihuni oleh manusia prasejarah, terjemahannya dalam bahasa Indonesia,
antara lain dibuktikan pula oleh antara lain sebagai berikut:
keberadaan fosil manusia purba di Gua Selamat, pada tahun Saka 952 bulan
Pawon daerah Padalarang. Hasil kajian Kartika tanggal 12 bagian terang hari
sementara pakar arkeologi dari Balai hariyangkliwon-Ahad wuku tambir.
Arkeologi Bandung, yaitu Tony Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri
Djubiantoro (alm.) dan Lutfi Yondri, fosil Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti
manusia di Gua Pawon adalah fosil Samarawijaya Sakalabuana-
manusia prasejarah Zaman Mesolitikum. mandaleswaranindita Harogowardana
Namun, tempat pemukiman manusia Wikramotunggadewa membuat tanda
prasejarah waktu itu belum memiliki nama, di sebelah timur Sanghyang Tapak,
karena mereka belum mengenal bahasa. dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja
Berarti Cimahi baru menjadi nama tempat Sunda, dan jangan ada yang melanggar
di bekas Cekungan Bandung setelah ketentuan di sungai ini. Jangan ada
tempat itu menjadi pemukiman yang menangkap ikan di bagian sungai
sekelompok manusia Sunda yang telah ini mulai dari batas daerah Kabuyutan
memiliki bahasa. Sanghyang Tapak di bagian hulu
Dalam kehidupan masyarakat (Danasasmita, 1984).
Sunda, bisa jadi konsep kabuyutan mulai
ada pada zaman kerajaan yang bercorak Keterangan tersebut menunjukkan
Hindu-Budha, tetapi penyebutan dua hal. Pertama, kabuyutan di wilayah
kabuyutan secara tertulis baru ditemukan Kerajaan Sunda mulai ada paling tidak
pada abad ke-11 M. Kerajaan Hindu- sejak awal abad ke-11 M. Kedua,
Budha yang pernah eksis di daerah Jawa pengertian kabuyutan, yaitu tempat
Barat adalah Kerajaan Tarumanagara (abad tertentu yang memiliki makna sakral.
ke-4 hingga pertengahan abad ke-7), Pengertian kabuyutan demikian itu,
Kerajaan Galuh (awal abad ke-7 hingga mengandung kearifan raja untuk
akhir abad ke-16), dan Kerajaan melestarikan lingkungan alam di daerah
Sunda/Pajajaran (akhir abad ke-7 hingga tertentu. Pada zaman kerajaan memang
akhir abad ke-16) (Soekmono, 1995, Jilid raja memiliki kearifan, antara lain kearifan
II, Kartodirdjo, 1975, Jilid I, PaEni, untuk memelihara kelestarian lingkungan
2009) alam. Hal itu sesuai dengan konsep raja,
Pada zaman Kerajaan Tarumagara, yaitu sebagai penguasa bumi dan isinya di
warga masyarakat kerajaan itu belum wilayah kekuasannya. Namun kearifan itu
menyebut dirinya orang Sunda. Sebutan tidak dinyatakan secara tersurat (jelas),
masyarakat Sunda baru terjadi seiring melainkan secara tersirat, seperti kearifan
dengan eksistensi Kerajaan Sunda yang dari tujuan dan makna kabuyutan.
merupakan penerus Kerajaan
Tarumanagara, karena kerajaan itu b. Pengertian dan Pemaknaan
didirikan oleh raja terakhir Tarumanagara, Kabuyutan
yaitu Maharaja Tarusbawa. Secara etimologis, istilah kabuyutan
Ketika Kerajaan Sunda dipimpin berasal dari kata dasar “buyut”, mendapat
oleh Sri Jayabhupati, Raja Sunda ke-19 awalan “ka” dan akhira “an”. Awalan dan
akhiran itu menunjukkan tempat. Berarti
476 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 471 - 486
Bogor sekarang), tetap menjadi bagian dari melawan hawa nafsu, “perang” melawan
wilayah Kerajaan Sunda. Melalui ketidakadilan demi menegakkan
perundingan, Raja Sunda dan Raja Galuh kebenaran, dan lain-lain.
menetapkan Sungai Citarum menjadi batas Kerajaan Sunda yang membawahi
wilayah kedua kerajaan itu. Daerah sebelah Kabuyutan Cipageran, eksistensinya
barat Sungai Citarum menjadi wilayah berakhir pada tahun 1579/1580, akibat
Kerajaan Sunda, dan daerah di sebelah Islamisasi dari Kesultanan Banten yang
timurnya menjadi wilayah Kerajaan Galuh. dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Jika dugaan itu benar, berarti Raja Sunda Setelah Kerajaan Sunda runtuh dan
menetapkan Cipageran sebagai kabuyutan sebelum berlangsungnya zaman
merupakan salah satu upaya Raja Sunda penjajahan, Kabuyutan Cipageran
untuk memperkuat legitimasi berkedudukan sebagai daerah merdeka.
kekuasaannya. Sampai dengan paruh kedua abad ke-17
Pada zaman kerajaan, sabda raja kabuyutan itu seolah-olah merupakan
dianggap oleh masyarakat sebagai hukum “daerah tak bertuan”. (Hardjasaputra dan
yang pantang dilanggar. Jika semula Yulifar, 2017: 7)
daerah itu bukan bernama Cipageran,
mungkin atas dasar hal tersebut itulah b. Zaman Penjajahan
tempat/kabuyutan itu kemudian diberi Zaman Kompeni (1677-1799)
nama Cipageran. Seolah-olah potensi Tatar Sunda/Jawa Barat mengalami
daerah itu yang harus dijaga dan dipelihara zaman penjajahan dari dua bangsa, yaitu
dan “dipager” (“dipagar”) oleh aturan- Belanda dan Jepang. Tatar Sunda,
aturan atau hukum raja, dan amanat leluhur khususnya daerah Priangan, mulai berada
(buyut). Amanat itu substansinya (intinya) pada zaman penjajahan Belanda diawali
adalah mengingatkan generasi penerus oleh kekuasaan Kompeni, aparat bersenjata
untuk selalu memelihara lingkungannya. dari perusahaan dagang Belanda di Hindia
Amanat tersebut, oleh komunitas Timur, yaitu VOC (Vereenigde Oost-
kabuyutan modern dituliskan kembali Indische Compagnie), yang berdiri tahun
dalam bentuk semacam replika prasasti di 1602.
kawasan Kabuyutan Cipageran, tepatnya di Kompeni menguasai daerah
depan Balai Pasamon (tempat pertemuan). Priangan mulai bagian akhir tahun 1677,
Selain itu, Kabuyutan diduga ketika daerah Priangan berada di bawah
sebagai tempat pendidikan khususnya hegemoni Kerajaan Mataram mulai akhir
pendidikan keagamaan. Dalam budaya abad ke-16, pada waktu Kerajaan Mataram
Hindu, tempat dengan fungsi demikian itu dirajai oleh Sutawijaya alias Panembahan
disebut “mandala”. Senopati (1586-1601). Daerah pertama di
Waktu itu mandala merupakan Priangan yang dikuasai oleh Mataram
daerah yang disakralkan. Di tempat itu adalah Kerajaan Galuh (1595). Daerah
kaum brahmana atau begawan bertugas Priangan dikuasai oleh Mataram terutama
memelihara ajaran agama. Di tempat itu ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan
pula para pujangga menulis kitab-kitab, Agung (1613-1645) dan Sunan Tegalwangi
terutama tentang agama. Dengan demikian, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan
pada zaman kerajaan, kabuyutan memiliki Amangkurat I (1645-1677), pengganti
fungsi yang mengandung kekuatan magis Sultan Agung. Di daerah Priangan, Sultan
dan nilai/makna penting. Dalam Agung mengubah Kerajaan Galuh dan
pandangan masyarakat Sunda Kuno, Kerajaan Sumedang Larang masing-
kedudukan dan fungsi kabuyutan setara masing menjadi kabupaten, dan
dengan “nilai kemenangan dalam perang”. membentuk Kabupaten Sukapura (1632),
Mungkin ”perang” yang dimaksud bukan Kabupaten Bandung dan Kabupaten
perang secara fisik, tetapi “perang” Parakanmuncang (1633). Setelah
480 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 471 - 486
Danasasmita, Saleh et al. 1983/1984. Rintisan Suryalaga, H.R. Hidayat. Amanat Galunggung
Penelusuran Masa Silam; Sejarah Jawa Prabuguru
Barat. jilid Ketiga. Bandung: Darmasiksa,http://www.sundanet.com/a
Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Proyek rtikel.php?id=117.Diakses 31 Agustus
Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat. 2-17.
Garaghan, Gilbert J. 1946.
4. Undang-Undang
A Guide to Historical Method. New
York: Fordham University Press. UU No.11/2010 tentang Cagar
Budaya.
Gottschalk, Louis. 1986.
UU No. 10/2009 tentang
Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho
Kepariwisataan.
Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia.
Kartodirdjo, Sartono. 1975.
Sejarah Nasional Indonrsia I. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kidoeng Soenda. 1878. Batavia: Bale Poestaka.
Kuntowijoyo. 1995.
Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Bentang.
Lubis, Nina H. 1998.
Kehidupan Kaum Menak Priangan
1800-1942. Bandung: Pusat Informasi
Kebudayaan Sunda.
PaEni, Mukhlis (Ed. Umum). 2009.
Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem
Sosial.Jakarta: Rajawali Pers.
Renier, G.J. 1997.
Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah.
Terjemahan A. Muin Umar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sjamsuddin, Helius. 2016.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
Soekmono, R. 1995.
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid I.
Cetakan ke-11. Jogyakarta: Kanisius.
3. Internet
Kurniawan, Asep Indra. “Kabuyutan Solusi
Kemajuan Bangsa yang Semakin
Terancam”. http://www.
Bedanews.com/kabuyutan-solusi-
kemajuan-bangsa-yang-se-makin-
terancam. Diakses 11 Juni 2017.
Kusmayadi, Dedi E. 2015. “Pengertian
Kabuyutan”.
http://cipakudarmaja.blogspot.co.id/201
5/11/ pengertian-kabuyutan. Html.
Diakases 27 Agustus 2017.