Anda di halaman 1dari 17

BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

MENYELAMI BUDAYA MEMBACA SEJARAH


Desa Penataran Dan Konstruksi Identitas

Muhammad Risalul Amin1


risalul46@gmail.com
Hendra Afiyanto2
hendra.iainta11@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal. Pertama,diversifikasi dan keunikan desa Penataran
sebagai sebuah entitas yang memiliki nilai historis. Kedua, relasi desa Penataran dengan candi
Penataran yang notabene tinggalan masa Majapahit. Ketiga, kemampuan desa Penataran
menegosiasikan dengan perubahan zaman, sehingga beberapa tradisi masih lestari. Tulisan ini
meng-kaji Trikotomi dari latarbelakang yang memuat pertanyaan bagaimana nilai-nilai historis
desa Penataran?bagaimanakah nilai budaya masyarakat desa Penataran? Masih lestarinya tutur
lisan terkait nilai historis memunculkan pertanyaan terkait relasinya dengan budaya masyarakat.
Apakah budaya turut menjaga kelestarian itu?
Desa Penataran menjadi batasan spasial dalam penelitian ini karena beberapa nilai budaya
masih lestari di tengah-tengah modernisasi. Alhasil, dibandingkan desa lainnya, konstruksi historis
desa tersebut masih melekan secara turun-temurun dalam memori social. Tulisan ini menggunakan
metode sejarah ex-post factum sehingga sumber sejarah bisa ditelusi melalui wawancara dari
pelaku tradisi. Terkait monografi candi Penataran tentunya digunakan metode sejarah dan studi
literature.
Terdapat 3 (tiga) kesimpulan, pertama, terkait penamaan desa Penataran ada beberapa versi
yang masih dapat ditelusuri melalui tutur lisan. Kedua, adanya bangunan suci di desa Penataran
berelasi pada kehidupan budaya masyarakat. Beberapa tradisi masa tradisional masih dilakukan
hingga sekarang. Ketiga, nyatanya tradisi dan budaya efektif menjaga tutur lisan di desa Penataran,
sehingga beberapa masyarakat masih mengingat bagaimana babad desa Penataran.

Kata Kunci: Desa Penataran; Rabut Palah; Tradisi

A. Pendahuluan

Sejarah adalah peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lalu dan membawa perubahan bagi
masyarakat.3 Oleh karena sejarah adalah peristiwa masa lalu, makaselalu mengalami perkebangan

1
Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
2
Dosen Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

3
Amnuddin Kasdi, Memahmi Sejarah, (Surabaya: UNESA Press, 2005), Hlm. 02.
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 28
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

dan ditulis dari generasi ke generasi dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk tulisan sejarah atau
historiografi yang saat ini berkembang secara masif adalah historiografi dengan tema lokalitas atau
historiografi lokal. Historiografi lokal adalah penulisan sejarah suatu wilayah atau lokalitas
tertentu.Historiografi lokal menarik untuk dikembangkan karena tren saat ini adanya tansformasi
dari makro ke mikro history. Lebih lanjut, dengan historiografi lokal maka identitas atau
kepribadian sebuah lokalitas dapat diidentifikasi.4

Identitas sepenuhnya dimaknai sebagai konstruksi sosial dan diekspresikan dalam berbagai
bentuk perwujudan yang dikenali orang lain maupun diri sendiri. Identitas ini bersifat personal
sekaligus sosial yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.5 Identitas bisa berupa
individu, masyarakat, kebendaan, dan keruangan (wilayah). Identitas paling mudah diamati adalah
pola keruangan, karena mereka bertindak sebagai objek. Salah satu identitas keruangan yang
umumnya mudah diidentfikasi adalah desa. Sumber sejarah terkait desa sangat melimpah dan dapat
dijumpai melalui babad desa, baik berupa tulisan atau penuturan.Menjejak identitas desa sangat
menarik, karena dengan mengenali identitasnya, maka akan dapat mngetahui tradisi, kebiasaan, dan
nilai-nilai yang masih berkembang dan lestari.
Untuk itu kajian ini akan memfokuskan pada konstruksiidentitasDesa Penataran yang
meliputi babad desa, tinggalan masa lalu yang berwujud kebendaan, dan tradis atau kebudayan
masyarakat setempat yang masih berkembang. Pemilihan Judul “MENYELAMI BUDAYA
MEMBACA SEJARAH: Desa Penataran Dan Konstruksi Identitas” didasari oleh pentingnya
untuk terus memberikan sumbangsih historiografi local dalam kontek historiografi nasional.Salah
satu keunikan Desa Penataran adalah masih tersimpan dan melekatnya berbagai nilai historis dan
budayadesa tersebut melalui tinggalan sejarah, arsip desa, hingga memori sosial.Daripenjelasan di
atas maka, rumusan masalah, yaitu:pertama, bagaimana historisitas desa Penataran berdasarkan
tutur lisan masyarakat?Kedua, bagaimana relasihistoris desa Penataran dengan tinggalan masa
lalu?Ketiga,apa saja tadisi dan budaya masyakat yang masih lestari?apakah budaya-budaya tersebut
ikut menjaga memori social terkait sejarah desa?

4
Heru Arif Pianto, “Pentingnya Penulisan Sejarah Lokal Di Pacitan Tahun 1999-2014,”
SOSIOHUMANIORA: Journal Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), 2.2 (2016), 61–69
.
5
Ada dua bentuk identitas, (1) identitas diri yang berupa konsep mengenai diri sendiri (the self).
Identitas diri mewujud pada konsep mengenai kemampuan untuk menarasikan bagaimana diri kita sendiri.
(2) identitas social merupakan bentukan dari lingkungan social. Identitas social dibangun atas dasar pondasi
persamaan dan perbedaan. Konsep identitas juga merujuk pada gaya hidup, selera, sikap, dll.
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 29
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untukmenambah khazanah
historiografi lokal di Indonesia. Dengan berkembangnya historiografi lokal, maka sebagai awal
mengenalkan potensi desa Penataran kepada masyarakat luas. Lebih jauh,tulisan ini sebagai
pemantik kesadaran baik bagi penulis dan pembaca untuk lebih memperhatikan lagi pentingnya
sejarah lokal. Sedangkan manfaatnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis
dan pembaca tentang historiografi suatu lokalitas serta mengangkat nilai historis dan budaya desa
Penataran untuk dapat lebih dikenal luassecara nasional.Saat ini, kesadaran sejarah harus semakin
ditingkatkan guna menjaga stabilitas moral dan peradaban bangsa. Begitu pula dengan kesadaran
budaya khususnya budaya lokal karena budaya lokal merupakan penyusun budaya nasional yang
harus tetap dijagadan diperkenalkan berulang-ulang agar bangsa ini tidak mengalami degradasi
budaya.6

B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Metode sejarah
adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian
sejarah, sedangkan metodologi adalah ilmu yang membicarakan jalan dan menguraikan berbagai
jenis penulisan sejarah seperti, unit kajian, permasalahan teori, konsep dan sumber sejarah.7Metode
sejarah juga diartikan sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau berdasarkan rekonstruksi yang imajinatif.8 Langkah-langkah dalam
melakukan metode penelitian terdiri dari 4 tahapan yaitu pencarian sumber, kritik sumber,
perumusan fakta dan penyajian pemikiran baru.9
Pertama, heuristik yakni pengumpulan sumber sejarah atau disebut juga sebagai data
sejarah. Sumber atau data sejarah harus relevan dengan judul sejarah yang akan ditulis. Sumber
sejarah berdasarkan bahannya terbagi menjadi dua yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis
atau sumber lisan. Sumber tertulis umumnya berupa historiografi atau dokumen tertulis terkait

6
Judistira K.Garna, Budaya Sunda Melintasi Waktu Menantang Masa Depan (Bandung: Lembaga
Penelitian UNPAD, 2008).
7
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta : TiaraWacana. 2003). Hlm XIX

8
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terjemahan oleh Nugroho Notosusanto (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986), hlm. 32.
9
Gilbert J. Garraghan, A Guide To Historical Method (New York: East Fordham Road, 1940),
Homer Carey Hockett, (1955/1967).

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 30


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

persmasalahan yangakan diteliti. Sumber tertulis dalam penelitian ini diambil dariartikel, bukuatau
sumber tertulis lainnya yang relevan dengan persoalan.Sumber tertulis dalam penelitian ini yang
terkait dengan Penataranadalah tulisan Deny Yudo Wahyudi berjudul “Rekonstruksi Keragaman
Candi Penataran Pada Masa Majapahit”yang membahas tentang relief-relief Candi Penataran dan
Tulisan Hariani Santiko berjudul “Candi Penataran: Candi Kerjaan Masa Majapahit” yang
membahas tentang fungsi-fungsi Candi Penataran. Perbedaan penelitian-penelitian sebelumnya
dengan penelitian ini lebih mengkaji nilai-nilai historis di desa Penataran melalui nilai-nilai budaya
yang ada di desa Penataran.

Adapun sumber tidak tertulis umumnya berupa rekaman visual atau verbal dan keterangan
dari pelaku sejarah atau pihak-pihak yang mengetahui dan memahami serta memiliki kredibilitas
dalam permasalahan yang akan diteliti. Sumber tidak tertulis dalam penelitian ini sebagaimana dari
penjelasan definisi sumber tidak tertulis sebelumnya yaitu diambil dari foto-foto, dan keterangan
dari pihak yang berkaitan dengan penelitian, seperti: perangkat desa, sesepuh desa, dan juru
pelihara candi atau benda cagar budaya lainnya.Kedua, verifikasi atau kritik sumber adalah proses
analisa keaslian dan kredibilitas sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Keaslian dan kredibilitas
sumber dapat dilihat daribentuk fisik misalnya saja jika sumber yang akan diuji adalah naskah kuno
maka keasliannya dapat dilihat dari kondisi kertas, tinta, dan gaya bahasa penulisan. Adapun untuk
sumber lisan dapat diuji kredibilitasnya dengan mempelajari latar belakang dan fisik narasumber
serta dengan membandingkan keterangan narasumber baik dengan narasumber lainnya ataupun
dengan sumber-sumber yang sudah terkumpul sebelumnya.

Ketiga, interpretasi atau penafsiran penulis yaitu proses penarikan kesimpulan melalui
analisa dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Interpretasi setidaknya memiliki dua tahap di
dalamnya yaitu penguraian data dan penggabungan data. Interpretasi sejarawan sangat penting
karena tanpa adanya penafsiran dari sejarawan maka data tidak dapat bebicara. Penafsiran harus
dilakukan dengan bijak,oleh karena itu sejarawan harus mencantumkan sumber dan dari mana
sumber tersebut diperoleh. Keempat, historiografi atau penulisan hasil penelitian yaitu proses
peyajian hasil yang diperoleh melalui pengumpulan sumber, kritik sumber dan interpretasi dalam
tulisan. Historiografi harus memiliki kronologi yang sistematis serta penyajiannya paling tidak
terdiri atas tiga bagian yakni pengantar, hasil penelitan dan kesimpulan.10

10
Kuntowijoyo, Introduction to Historical Science (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995).
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 31
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

C. Pembahasan
1. Desa Penataran Dalam Ruang Historis Babad Desa
Desa Penataran terletak di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Dengan
berada di bawah kaki gunung Kelud, desa Penataran berudara sejuk. Terdapat beberapa macam
versi tentang berdirinya desa Penataran menurut sesepuh desa. Menurut Miftachul Munir,11nama
“Penataran” sangat erat hubungannya dengan adanya candi yang ada didesa ini. Candi ini
ditemukan oleh seorang Letnan Jendral pemerintah Inggris yang berkuasa di Indonesia, yaitu Sir
Tomas Stamford Raffles sekitar tahun 1815-1850. Candi ini dinamakan Panataran, diambil dari
istilah undak-undakan yang ada dicandi tersebut, dari kata "natar" akhirnya berubah menjadi
“Penataran”. Adapun menurut Zainuri,12nama Penataran berasal dari dua suku kata yang digabung
yaitu “Panata” dan “Arya” yang artinya “orang-orang yang berkedudukan tinggi”. Daerah
penataran dipercaya merupakan tempat menatar atau melatih para prajurit Kerajaan Majapahit.
Sedangkan menurut Surip,13nama “Penataran” diambil karena daerah Penataran yang kondisi
tanahnya “bertatar-tatar” sehingga disebutlah desa ini sebagai “Penataran”.

Awal mula berdirinya desa Penataran diawali daripembukaan daerah atau wilayah yang ada
di dusun Penataran bernama “Sumberglodog”. Di awali oleh keluarga Mbah Yai Usman asal
Trenggalek pada tahun 1840 melakukan perjalanan untuk mencari tempat kehidupan yang lebih
baik. Perjalanan di mulai dari Trenggalek menuju Blitar dan sempat singgah untuk membuka atau
pembabadan di beberapa daerah sebelum akhirnya menetap di Sumberglodog. Saat itu daerah
Penataran masih merupakan kawasan hutan belantara. Daerah yang disinggahi pertama sebelum
menuju Blitar adalah wilayah Sobontoro, Tulungagung dan kemudian melanjutkan ke Bendogrit
(Kawasan makam Bung Karno) lalu berakhir di Sumberglodog. Rombongan keluarga Mbah Yai
Usman adalah Mbah Domo (ayah), Mbah Irokarto (kakak), Mbah Ragil (adik), namun Mbah Ragil
pindah ke Banyuwangi.

11
Miftachul Munir (41) tokoh masyarakat Desa Penataran dan Budayawan Keturunan Mbah
Irokarto (kakak Mbah Yayi Usman)., “Personal Interview,” 2020.
12
Zainuri (50) Penjaga Candi Penataran, “Personal Interview,” 2020.

Surip (42) Perangkat Desa, “Personal Interview,” 2020.


13

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 32


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Daerah Sumberglodog (sekarang Klinik Puspa Husada) menjadi pilihan sebagai tempat
tinggal dikarenakan tempatnya yang mempunyai potensi baik khususnya sumber air yang
melimpah. Kabiasaan orang-orang zaman dahulu adalah bepergian untuk mencari tempat hidup
yang lebih baik. Untuk melangsungkan hidup, sumber air dipercaya sebagai sumber kehidupan,
dimana ada air berarti di sana terdapat kehidupan. Nama “Sumberglodok” diambil dari wilayah
tersebut yang terdapat “Sumber” atau mata air yang besar sehingga karena besarnya air yang
keluar, sumber tersebut menghasilkan suara yang berbunyi “dog..dog..dog..”.

Gambar. 1

Mata Air Sumberglodog Sumber: Dokumentasi Pribadi


Fenomena mata air yang berbunyi menyebabkan daerah tersebut dinamakan
“Sumberglodog”.Umumnya beberapa masyarakat suku Jawa memiliki kebiasaan yang unik untuk
menamakan daerah yang baru dibuka atau benda-benda yang belum memiliki nama. Penamaan
umumnya didasarkan pada kesan pertama yang ditemui ketika membuka sebuah wilayah, atau
terkadang harapan terhadap daerah tersebut di kemudian hari.Metode penamaan ini juga
digunakanuntuk pemberian nama dusunlainnya, seperti dusun “Sumber Kecek”, karena banyak
mata air dan bunyi mata air yang “krecek-krecek”.

Setelah pembukaan hutan, maka dibangunlah desa dan pemukiman oleh Mbah Yai Usman
di Sumberglodog. Proses selanjutnya, datanglah salah satu penduduk baru yang juga berasal dari
Trenggalek yaitu Kyai Nur Djaripah, beliau juga merupakan menantu dari Bathara Kathong yang
pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Kyai Nur Djaripah bersama Mbah Yai Usman terus
membuka Hutan di sebelah timur Candi Penataran dan kemudian membangun langgar yang
sebelumnya direncanakanakan didirikan di daerah Kenayan (Selatan Sumberglodog). Beberapa
pertimbangan akhirnya didirikan agak ke utara dari Sumberglodog. Langgar tersebut merupakan
Langgar tertua di Penataran dansekarang bernama Masjid Al-Falah.

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 33


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Gambar. 2

Masjid Al-Falah

Pembukaan hutan terus berkembang sehingga para pendatang terus bertambah


banyak.Masifnya pembukaan hutan oleh Kyai Usman dan Kyai Nur Djaripah menjadi pemukiman,
memantik datangnya tokoh-tokoh lainnya, seperti: Imam Munadjat dari Solo, Parthowijoyo dari
Pacitan dan Kyai Abu Kasan alias Sambernyowo berasal dari Jawa Tengah. Para tokoh-tokoh
tersebut kemudian membuka hutan terus keutara dan banyak menemukan sumber air. Sumber air
yang ditemukan begitu banyak sehingga biasa orang Jawa menyebutnya pating tlecek. Dari kata
pating tlecekitulah kemudian menjadi sebuah nama dusun yaitu dusun “Sumberkecek”. Daerah
Sumberkecek adalah salah satu daerah yang sangat subur tanahnya dan sangat kondusif untuk
dijadikan sebagai tempat tinggal sehingga kemudian Kyai Abu Kasan memboyong seluruh
keluarganya ke Sumberkecek. Selanjutnya, pembukaan hutan terus berlangsung hingga dusun
“Pacuh” dan terus meluas hingga seluruh bagian desa Penataran.

Setelah hutan dibuka menjadi perkampungan, lahan pertanian, dan ladang, kehidupan
semakin makmur, banyak pendatang-pendatang baru hingga desa menjadi ramai. Rakyat
menganggap orang pertama yang berjasa membuka hutan untuk diubah menjadi desa adalah Mbah
Yai Usman, maka berdasar kesepakatan beliau diangkat menjadi tetua desa atau kepala desa
pertama yang diakui oleh Belanda dan modinnya adalah Imam Munadjat sekitar tahun 1857-1885
M.

StrukturKepala Desa Penataran adalah sebagai berikut:

1. Notorejo : 1885-1890
2. Mukawi : 1890-1901
3. Partowijoyo : 1901-1932
4. Mursodo : 1932-1934
5. Kyai Muksim : 1934-1935

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 34


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

6. Irontono : 1935-1940
7. Marsaid/Pawiro Sentono : 1940-1977
8. Meselan : 1977-1990
9. Soni Sudarminto : 1990-2000 ( 2 periode)
10. Endro : 2000-2003 (Kepala desa PJ)
11. Laudji S.E : 2003-2013 ( 2 periode)
12. Kateno S.E : 2013-2018. 2019-2024 (2 periode)

2. Daerah Sima dan Adanya Bangunan Suci Penataran

Kompleks Candi Panataran terletak di desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten


Blitar.Candi Penataran terletak sekitar 13 km sebelah timur kota Blitar dan berada di sebelah barat
daya lereng Gunung Kelud. Candi Panataran merupakan kompleks candi yang luas, dibangun di
atas hamparan tanah seluas 12,946 m2, di samping itu candi dibangun di atas tanah yang berpotensi
sakral sejak jaman Kadiri.14 Dalam kompleks tersebut terdapat sebuah prasasti dari masa Kerajaan
Kadiri, yaitu prasasti Palah dari tahun 1197 Śaka yang dikeluarkan atas perintah raja Śṛṅga.
Sampai saat ini letak prasasti masih in-situ, berisi tentang hadiah sima untuk seseorang yang
bernama Mpu Iswara Mapanji Jagwata, yang telah berjasa karena melakukan puja setiap hari
kepada Paduka Bhatara ri Palah.

Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, seperti:KakawinNagarakeṛtagama,


KidungMargasmara yang berasal dari tahun 1380 Saka (1458 Masehi) dan naskah Sunda Kuna
Bhujangga Manik yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1500 M, kompleks candi ini
memiliki memiliki penyebutan yang berbeda. Dalam Nagarakeṛtagama disebut Palah
(Nagarakeṛtagama pupuh XVII, pupuh LXI:2, pupuh LXXVIII:2). Sementara itu dalam
KidungPanjiMargasmara, dan naskah BhujanggaManik, menyebut bangunan suci ini sebagai
RabutPalah. Dalam Kidung Margasmara terdapat pula nama Panatarannamun, dengan
memperhatikan konteks dalam kalimatnya, “panataran” merupakan bagian dari Palah, bukan nama
lain dari Palah. Kemungkinan terkait dengan kata “natar” yang berarti “halaman”,apabila benar
maka“Rabut Palah”dapat diduga merupakan penyebutan nama sebuah kompleks percandian
tempat upacara berlangsung yang berupa sebuah dataran, sedangkan Panataran mungkin
merupakan nama dari salah satu bangunan sucinya yang paling besar. Dugaan tersebut masuk akal,

14
Deny Yudo Wahyudi. “Rekonstruksi Keagamaan candi Panataran Pada Masa Majapahit”,
(Depok:Tesis Magister Program Pascasarjana Arkeologi FIB-UI,2005). Hal-36.
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 35
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

namun “panataran” mungkin berasal dari kata “natar” yang berarti “halaman”, maka kata
“panataran”berarti seluruh halaman kompleks tempat aktivitas agama, dan RabutPalah adalah
nama bangunan sucinya.

Kompleks candi Penataran terbagi dalam 3 halaman, halaman terpenting tempat candi
induk didirikan adalah halaman ke-III atau halaman paling belakang. Ketiga halaman tersebut
memperlihatkan ketinggian yang tidak sama, halaman III dahulunya lebih tinggi permukaan
tanahnya dari halaman II dan I. Akibat muntahan lahar Gunung Kelud, maka tinggi permukaan
tanah ketiga halaman hampir sama. Bahkan posisi kontur tanah dari Dwarapala (penjaga pintu
gerbang) kompleks Panataran sekarang lebih rendah dari jalan di depan kompleks. Secara
keseluruhan, candi menghadap ke barat, atau lebih tepatnya antara barat dan barat daya. Berbagai
sisa sarana ibadah yang ada di ketiga halaman tersebut, di tambah 2 (dua) buah pemandian suci
(patirtan) dibuat pada masa berbeda. Diperkirakan pembuatan kompleks candi berlangsung dalam
kurun waktu257tahun.Halaman I, dapat dimasuki melalui pintu gerbang candi Bentaryang
sekarang tinggal sisa-sisanya, dan sepasang Dwarapala sebagai penjaga pintu gerbang tersebut.

Gambar. 3

PATUNG PENJAGA PINTU MASUK (DWARAPALA)

Di halaman pertama ini terdapat 2 (dua) pendapa teras, sebuah struktur bata, dan sebuah
candi yang disebut Candi Angka Tahun. Pendopo teras pertama oleh Satyawati Sulaiman (1981)
disebut “Bale Agung” terletak di sebelah barat laut, membujur utara-selatandengandinding tidak
terdapat relief, namun di bagian bawah terdapat hiasan berupa 10 ekor naga yang berlilitan, seolah
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 36
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

menyangga teras tersebut. Kepala naga yang ada di sudut pipi-pipi tangga menjadi lapik arca
Dwarapala tangga tersebut. Pendapa teras (batur) kedua juga membujur utara-selatan, tetapi lebih
kecil ukurannya dari “Bale Agung” dan seperti teras pertama, pendapa teras ini berada di atas
lilitan 8 ekor naga. Di depan pendapa teras ini terdapat sisa-sisa struktur bata, di atasnya terdapat 4
buah umpak batu di keempat sudutnya. Perhatian ditujukan kepada struktur bata dan umpak, karena
pada umpak terdapatrelief“kelinci bulan” (binatang suci). Terkait fungsi struktur bata dan kedua
teras belum diketahui secarapasti. Dengan dipilihnya “kelinci bulan” sebagai ragam hias umpak,
maka struktur bata tersebut adalah sisa-sisa bangunan terdahulu

Gambar. 4

Pendapa Teras I (Bale Agung)


Gambar. 5

Pendapa Teras II (Bale Agung)


Umumnya jika melihat bangunan tinggalan masa tradisional, seringkali mencantumkan
angka tahun (candrasengkala)waktu pendirian atau peresmian. Kompleks candi Penataran
dibangun pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit dengan pembangunandi mulai saat masa
raja Jayanagara (1309-1328). Sepeninggal Jayanagara pembangunan bangunan suci ini dilanjutkan
oleh Ratu Tribhuwanotunggadewī yang memerintah tahun 1328-1350. Hingga pada masa
keemasan Majapahit di bawah raja Rajasawarddhana dyah Hayam Wuruk tahun 1350-1389
kompleks bangunan suci ini masih dikerjakan.Alhasil, kompleks bangunan suci ini selesai
dibangun masa Suhitā yang memerintah tahun 1400-1477. Misalnya dua buah Dwarapala

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 37


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

(penjaga pintu) gerbang masuk kompleks candi Panataran berangka tahun 1242 Śaka (1320
Masehi), Candi Angka Tahun 1291 Śaka (1369 Masehi), Dwarapalacandi induk semuanya
berangka tahun 1239 Śaka (1347 Masehi) dan lain sebagainya.

Berdasarkan angka tahun tersebut, pembangunan komplek candi Panataran dikaitkan


dengan 4 (empat)masa pemerintahan, yaitu: Raja Jayanagara (1309-1328), Ratu
Tribhuwanottungadewi (1328-1350), Raja Hayam Wuruk (1350-1389), dan Ratu Suhita(1400-
1477). Angka tahun semasa pemerintahan Raja Wikramawarddhana, ayah Ratu Suhita, yang
memerintah tahun 1389-1400, tidak ditemukan. Alasannya bahwa di Majapahit ketika itu sedang
terjadi krisis eksternal maupun internal. Perang saudara antara Wikramawarddhana (keraton timur)
melawan Wirabhumi dari Blambangan (keraton barat) telah dimenangkan oleh
Wikramawarddhana. Nyatanya kemenangan tersebut tetap tidak mengembalikan kejayaan
Majapahit, intrikantar keluarga kerajaan tetap berlanjut, oleh karenanya Wikramawarddhana tidak
mungkin konsentrasi pada bidang kesenian. Di samping pertentangan keluarga, wabah kelaparan
juga sedang terjadi di Majapahit.15

Gambar. 6

Candi Angka

15
Deny Yudo Wahyudi. “RekonstruksiKeagamaan candi Panataran Pada Masa
Majapahit”, (Depok:Tesis Magister Program Pascasarjana Arkeologi FIB-UI,2005), Hal 122.
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 38
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Halaman II, merupakan halaman yang paling sempit. Terdapat sebuah bangunan yang
dikenal dengan nama candi Naga, dan sisa pintu gerbang berukuran lebar, menuju ke halaman I,
dijaga oleh sepasang Dwarapala.Tubuh candi dililit oleh seekor naga, yang tubuhnya disangga oleh
tokoh wanita yang ada di sudut dan bagian tengah dinding tubuh candi. Struktur bangunan hanya
menunjukkan kaki dan badan candi yag masih terlihat utuh. Batuan penyusun candi adalah andesit
sama seperti keseluruhan candi di komplek ini

Gambar. 7

Candi Naga
Halaman III, lebih luas dari halaman II, dan dapat dimasuki melalui gerbang yang dijaga
oleh sepasang Dwarapala. Di halaman III ini terletak candi induk Panataran, yang terlihat sekarang
adalah kaki candi induk, berundak teras 3, sedangkan tubuh candi belum dapat dipasang kembali,
sekarang masih berupa susunan percobaan yang terletak di sebelah utara struktur kaki candi.

Gambar. 8

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 39


BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Candi Induk
Gambar. 9

Kompleks Candi Penataran Patirtan

Rabut Palah atau Panataran dahulunya selain tempat suci yang banyak didatangi orang
untuk melakukan pūja, juga merupakan sebuah tempat pendidikan agama yang disebut mandala
atau kadewaguruan yang dipimpin oleh seorang Siddharsi atau Dewaguru yang marak di Majapahit
khususnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Selain candi pemujaan kepada dewa Śiwa, dan
sebagai pusat pendidikan agama, Candi Panataran adalah candi kerajaan (StateTemple) Majapahit,
yang dibangun bertahap sejak Raja Jayanagara hingga Ratu Suhita. Salah satu indikasi Candi
Panataran berfungsi sebagai candi kerajaan, adalah dipilihnya 2 relief tentang Wisnu, yaitu
KakawinRāmāyana dan Kresnayana, untuk menghias kaki candi induk Panataran. Di Jawa,
Waisnawa bukan agama besar, namun raja-raja, mulai jaman Mataram Hindu di Jawa Tengah
kebanyakan memilih Wisnu sebagai Iṣṭadewata(dewa pelindung).16

3. Nyewu Simbolisasi Budaya Masyarakat Desa Penataran

Masyarakat desa Penataran masih memegang teguh prinsip gotong royong. Prinsip gotong royong
berarti saling bekerja sama membantu satu sama lain demi terciptanya kehidupan yang rukun.
Menurut Ambar, kerja bakti masih rutin dilakukan begitu juga mereka saling membantu tetangga

16
Hariani Santiko, “Candi Penataran”,(Majalah Arkeologi Vol. 21 No.1, Mei 2012), Hal
27.
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 40
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

jika sedang melangsungkan acara-acara selamatan dan semacamnya. Salah satu bentuk budaya
yang teramati adalah budaya yang sudah menjadi tradisi yaitu “Nyewu”.17
Nyewu adalah acara selametan untuk memperingati 1000 hari orang yang sudah meninggal.
Pelaksanaan Nyewu diawali dengan pembacaan do’a sesaji khusus, pembukaan acara, pembacaan
do’a sesaji yang di hidangkan, pembacaan Tahlil, dan ditutup dengan doa penutup kemudian
dilanjutkan makan bersama. Acara ini biasanya dihadiri oleh tetangga sekitar dan para anggota
keluarga. Setelah acara selsai para tamu undangan akan membawa pulang makanan atau berkat
yang sudah disediakan oleh pemilik acara. Banyak makna kehidupan yang dapat dijadikan
pelajarandari berbagai ritual dan simbol-simbol yang terdapat pada setiap elemen dari acara Nyewu.

Gambar. 10

Sesajen Nyewu

Dalam pelaksanaaan Nyewu biasanya di setiap daerah memiliki perbedaan atau tata cara. Di
desa Penataran umumnyamemakai susunan acara yang telah disebutkan terdahulu dan
menghadirkan sesaji, seperti: nasi gurih dan lauk ati ayam sebagai simbol untuk memohon syafaat
Nabi Muhammad SAW. Kemudian ada kue apem yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan
karena “apem” yang dimaksud berasal dari Bahasa Arab “Afwun” yang berarti “maaf”, artinya
sebagai harapan bahwa almarhum dimaafkan baik di dunia maupun di akhirat. Selanjutnya ada
golongsebagai simbol memberi hormat kepada para nabi dan supaya almarhum dapat diterima
disisi Allah SWT seperti para nabi. Bagian inti dari acara Nyewu adalah adanya Buceng Pungkur
yang melambangkan proses atau tahap-tahap kehidupan manusia dari sebelum ia hadir di dunia
hingga meninggalkan dunia ini. Buceng berbentuk sepereti gunung dan dibuat dari nasi. Bentuk

17
Hasil wawancara dengan Carik Desa Penataran, Ambar (45).
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 41
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

buceng menggambarkan tingkatan proses hidup manusia dari awal hingga akhir. Sedangkan
wedang digambarkan sebagai hal-hal yang disukai almarhum ketika didunia.Jika hal-hal yang
disukai orang yang sudah meninggal ketika masih hidup di dunia adalah ayam, maka boleh saja
wedang diganti dengan ayam.
Bunga-bunga yang ada di dalam buceng adalah mawar yang melambangkan kehidupan
manusia yang berwarna-warni, kantil yang berarti kemantil atau bergantung kepada sang pencipta,
sedangkan kenanga melambangkan bahwa kehidupan seseorang akan dikenang setelah pergi, maka
setiap orang harus berbuat baik terhadap sesama agar ketika meninggal hidupnya dikenang baik
oleh orang lain. Gedhang (pisang) dalam bahasa Jawa berasal dari istilah “nggeget barang
padhang” atau menggigit sesuatu yang terang, padhang (terang)menggambarkan ilmu yang
bermanfaat. Dalam menjalani kehidupan seseorang seharusnya mencari ilmu dan agar bisa
membedakan yang baik dan buruk serta kemudian diamalkan agar dirasa manfaatnya oleh orang
lain.Begitupun dengan kelapa, sesorang diharapkan dapat berguna dalam berbagai aspek karena
buah kelapa mulai dari ujung daunnya yang paling atas hingga akarnya yang paling bawah dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan.
Gambar. 11

Buceng Pungkur Gedang


Sesaji sesungguhnya merupakan nasihat atau pesan yang disimbolkan melalui bentuk fisik.
Pesan-pesan tersebut oleh para orang terdahulu dimasukkan dalam bentuk fisik dan diajarkan turun
temurun agar mudah diingat dan tidak hilang. Setiap peringatan seribu hari, orang-orang yang
datang untuk mendoakan akan melihat sesaji sehingga hanya dengan melihat sesaji mereka akan
diingatkan lagi makna kehidupan dan kematian.18

D. Penutup

18
Hasil wawancara dengan Kasiono (60), beliau adalah orang yang dianggap bisa
menghajiti atau mendoakan sesaji
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 42
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

Desa Penataran sebagai sebuah ruang atau kewilayahan telah, telah melewati proses historis yang
panjang. Dijadikannya daerah Penataran sebagai sima pada masa Majapahit, berakibat pada eratnya
tradisi dan budaya masyarakat.Munculnya awal pemukiman juga sebagai penanda bahwa dari masa
tradisional, daerah ini sudah menjadi wilayah yang representative untuk pemukiman.Lebih lanjut,
dengan ditemukannya beberapa mata air semakin menunjukkan daerah Penataran merupakan area
tepat untuk mengembangkan beberapa segi kehidupan masyarakat.

Adanya perubahan dan perkembangan zaman nyatanya juga tidak membuat tradisi dan
budaya masyarakat desa Penataran terdistorsi.Kemungkinan adanya bangunan suci di daerah ini
yang diikuti dengan pengembangan budaya, tradisi, dan religi berakibat masih diwarisinya budaya
dan tradisi tersebut melalui tutur lisan.Masyarakat desa Penataran nyatanya pintar dalam
menegosiasikan tradisi dan budaya dengan perubahan dan perkembangan zaman.Di samping itu
masyarakat juga tidak mengilangkan identitas leluhurnya masa tradisional, yaitu Hindu-
Budha.Terwarisnya budaya dan tradisi melalui tutur lisan, cepatnya perubahan dan perkebangan
zaman, berelasi dengan kemampuan masyarakat dalam mengakultrasikan budaya.

Daftar Pustaka
Aminudin Kasdi, 2005, Memahami Sejarah, Surabaya, UNESA Press

Garraghan J Gilbert, 1940, A Guide To Historical Method, New York: East Fordham Road

Heru Arif Pianto, “Pentingnya Penulisan Sejarah Lokal Di Pacitan Tahun 1999-2014,”
SOSIOHUMANIORA: Journal Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), 2.2 (2016), 61–
69

Judistira K.Garna, 2008, Budaya Sunda Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, Bandung,
Lembaga Penelitian UNPAD

Kuntowijoyo. 1995.Introduction to Historical Science. Yogyakarta: Tiara Wacana

. 2003.Metodologi Sejarah.Yogyakarta: TiaraWacana

Louis Gottschalk , 1986, Mengerti Sejarah. Terjemahan oleh Nugroho Notosusanto Jakarta,
Universitas Indonesia Press

Miftachul Munir (41) tokoh masyarakat Desa Penataran dan Budayawan Keturunan Mbah Irokarto
Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 43
BAKSOOKA│Jurnal Penelitian Ilmu Sejarah, Sosial dan Budaya

(kakak Mbah Yayi Usman)., “Personal Interview,” 2020

Surip (42) Perangkat Desa, “Personal Interview,” 2020

Zainuri (50) Penjaga Candi Penataran, “Personal Interview,” 2020

Volum 1 Nomor 1 Januari 2022 44

Anda mungkin juga menyukai