SKRIPSI
Oleh:
AMBROSIUS BILI
NPM. 2171000310055
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, kebudayaan
kian hilang dari peradaban sebab kemajuan sebuah masa saat ini selalu berkaitan
dengan teknologi namun di sisi lain kebudayaan memiliki daya tarik tersendiri
terutama dari segi destinasi wisata, sejarah dan ilmu pengetahuan yang selalu
menempatkan budaya, adat istiadat bersama tradisi nya sebagai objek penting
untuk di telusuri terutama dari aspek makna penamaan suatu wilayah khususnya
perkampungan lokal. Penelitian ini dapat membantu memahami lebih dalam
sejarah dan identitas kultural suatu daerah yang di wariskan baik secara tulisan
terutama yang masih dalam bentuk lisan, yang pada akhirnya penelitian ini dapat
mengabadikan warisan tersebut dalam beberapa batasan ilmu sekaligus
mempromosikan pelestarian dan penghargaan terhadap kekayaan-kekayaan
bidaya yang beragam.
Berdasar pada pengentahuan umum, penamaan tempat berfungsi sebagai
tanda pengenalan yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi dan
membentuk pemahaman tentang wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika manusia
menetap di suatu daerah di planet ini, mereka cenderung memberi nama pada
elemen-elemen lingkungan sekitarnya. Selain itu, manusia juga cenderung
melakukan klasifikasi, seperti dalam mengenali berbagai objek, termasuk tempat,
dengan memberikan label atau sebutan khusus. Latar belakang dan alasan di balik
proses penamaan tempat bisa sangat beragam, tergantung pada individu atau
kelompok yang melakukan penamaan. Dalam ranah ilmu linguistik, nama-nama
tempat dan dasar pemikiran di balik pemberian nama tersebut dikenal sebagai
toponimi. Proses pemberian nama pada suatu tempat sangat dipengaruhi oleh
pengalaman budaya manusia, sehingga toponimi bisa dianggap sebagai hasil dari
warisan budaya manusia. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Kosasih, yang
menegaskan bahwa penamaan suatu tempat atau wilayah tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor geografis, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya,
1
2
agama yang dianut oleh masyarakat di daerah tersebut, dan nilai-nilai yang
tercermin dalam sistem kebudayaan yang mereka anut. Dalam konteks yang lebih
khusus, Sudaryat mengelompokkan toponimi ke dalam tiga aspek utama, yaitu
aspek perwujudan, aspek kemasyarakatan, dan aspek kebudayaan. Oleh karena
itu, latar belakang penamaan suatu tempat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
salah satu atau bahkan beberapa aspek ini.
Nama-nama kampung di Desa Watu Karere memiliki toponimi yang dapat
di jadikan acuan penamaan kampung-kampung tersebut. Karena alasan tersebutlah
nama-nama kampung tersebut di jadikan identitas oleh masyarakat yang
menempatinya bersama dengan segala kisah lampau atau sejarah lisan yang
wariskan secara turun temurun.
Sumba sebagai bagian kepulauan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur
terkenal dengan destinasi alam dan budayanya yang lahir dari masyarakat
berkepercayaan lokal (marapu) dan tentunya masih memelihara kekayaan-
kekayaan adat istiadatnya dengan baik hingga saat ini. Salah satunya melalui
pemeliharaan dan pemungsian, penetapan kampung-kampung adat sebagai situs
budaya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
serta di dukung oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mengatur tentang alokasi dana bagi daerah untuk pengembangan pariwisata.
Sebagai bukti konkret, di Kecamatan lamboya secara keseluruhan terdapat empat
kampung situs yang terletak di beberapa desa dan salah satunya adalah kampung
Watu Karere di Desa Watu Karere.
Berdasarkan pengamatan peneliti sebagai anggota masyarakat di Desa
Watu Karere menemukan bahwa delapan dari sepuluh orang muda tidak
mengetahui alasan penamaan kampung dimana mereka lahir dan dibesarkan.
Contohnya di kampung Watu Karere yang secara gamblang oleh masyarakat
menjelaskan bahwa penamaan itu karena watu yang berarti batu atau bijian dan
karere sejenis buah mentimun hutan yang tumbuh dengan liar disekitar
perkampungan tersebut. Namun hal ini kurang dipahami oleh generasi saat ini
3
sebab buah karere sudah langka disekitar perkampungan. Hal yang sama ini
berdasar kejadian dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
pemuda-pemudi di beberapa kampung. Hal ini terjadi karena memahami makna
dan tujuan pemberian nama suatu kampung bukanlah hal mudah bagi sebagian
masyarakat pada saat ini apalagi bila hanya berdasar cerita lepas para tetua adat
dan dokumentasi atau tulisan serta bukti konkrit berupa benda atau peninggalan
budaya yang mendukung sebuah cerita.
Etnolinguistik dalam penelitian ini akan mengkaji struktur bahasa berdasarkan
cara pandang budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami kampung-
kampung di Desa Watu Karere. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Humboldt
bahwa perbedaan persepsi kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu
masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Dikatakan bahwa “each
language...contains a characteristic worldview”(Wierzbicka, 1992 : 3). Dalam
pandangan etnolinguistik, terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pandangan
dunia penuturnya. Boas menyebutkan bahwa pendeskripsian terhadap suatu
bahasa hendaknya didasarkan pada apa yang ada di dalam bahasa itu sendiri (di
dalamnya berdasarkan budaya dan pandangan hidup), bukan berdasarkan pada
tata bahasa lain. Pengertian tersebut juga didukung oleh pendapat Troike (1990:1)
mengenai etnografi bahwa ethnography is a field of study which concerned
primarily with the description and analysis of culture, and linguistics is a field
concerned, among other things, with the description and analysis of language
code.
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan adanya makna atau toponimi
nama kampung yang dikaji begitu rinci meski tidak dalam perspektif
etnolinguistik namun sangat berkaitan erat dengan disiplin ilmu linguistik maupun
cabang ilmu linguistik yang lain dan tetntunya memiliki tujuan yang sama yakni
mengetahui sejarah dan makna penamaan kampung-kampung di wilayah tertentu.
Penelitian-penelitian itu di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Istiana (2012) dari hasil penelitiannya mengenai analisisis bentuk dan makna
nama kampung di Kecamatan Kotagede di kategorisasikan berdasar asal nama
4
dan asal Bahasa, proses morfologis serta di deskripsikan berdasar asal nama
berdasar nama tokoh, abdi dalem, pekerjaan penduduk, tanaman, benda
kerajinan, benda bersejarah, bangunan, letak geografis, dan fungsi
perkampungan.
2. Erta Ardheana (2018) penelitian ini menjelaskan pola-pola pembentukan dan
dasar penamaan nama kampung berakhiran –an di Kota Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap
penamaan kampung memiliki latar belakang kisah dan alasan tersendiri yang
menyesuaikan dengan keadaan lingkungan masyarakat, alam dan marga satwa
serta keadaan geografis yang merupakan ciri khas suatu wilayah. Dari segi kajian
keilmuan pun demikian beragam terutama dari segi cabang ilmu linguistik seperti
morfologi dan semantik. Sama seperti nama diri untuk manusia atau antroponim,
nama untuk wilayah atau toponim juga merupakan tanda konvensional dalam hal
pengidentifikasian sosial. Toponim memiliki hubungan erat dengan kondisi fisik
geografis, masyarakat yang menghuninya, dan kebudayaan yang tumbuh di
wilayah tersebut. Ikhwal nama maknanya sangat luas, tidak hanya secara fisik
seperti kondisi lokasi geografisnya saja, juga meliputi asal-usul, kondisi dan sosial
budaya, serta agama masyarakatnya, nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem
kebudayaan yang dimiliki secara sosial itu akan tampak dalam wujud simbol
pemberian nama dan perilaku suatu masyarakat (Kosasih, 2010: 34).
Pendapat Kosasih tentang nama memiliki makna yang sangat luas meliputi asal-
usul, kondisi dan sosial budaya, serta agama masyarakatnya memang benar jika
diterapkan pada nama-nama kampung di Desa Watu Karere. William Shakespiere
boleh menyatakan what’s in a name (apalah arti sebuah nama). Namun bagi
masyarakat di Desa Watu Karere tidaklah demikian. Pemberian nama merupakan
hasil pemikiran beradab (Pei via Kosasih, 2010: 34).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian terhadap makna toponim kampung-kampung di Desa Watu Karere
dalam kajian etnolinguistik yang akan memfokuskan penelitian pada aspek
kelekatan penggunaan nama kampung dan bahasa masyarakat setempat serta
5
budaya dan tradisi sebagai ciri khas setiap kampung. Dari wawancara peneliti
dengan tokoh adat setempat mengatakan bahwa setiap kampung memiliki syair
kebanggaan tersendiri sebagai identitas yang melekat pada nama dan kisah
didirikannya serta menyiratkan harapan warga suatu kampung. Cara berpikir dan
berperilaku biasanya terpengaruh oleh lingkungannya. Lingkungan budaya selalu
menjadi penopang pola pikir seseorang (Endraswara, 2015: 16).
Hal utama yang menjadi kendala dalam melakuka kajian toponimi suatu kampung
adalah kurangnya sumber yang berupa data tulisan atau dokumentasi yang bisa di
gunakan sebagai dasar referensi. Sebab nyatanya bagi sebagian besar budaya dan
adat-istiadat lokal didaerah Sumba masih berpegang pada sumber lisan berupa
kisah atau syair-syair yang dalam bahasa Lamboya disebut wur we yang artinya
lagu wajib sebuah etnis atau suku (kabihhu) yang menerangkan maksud dan
tujuan sebuah nama dan tradisi. Secara operasional, etnolinguistik dapat
didefinisikan sebagai cabang linguistik yang dapat digunakan untuk mempelajari
struktur bahasa dan/atau kosakata bahasa masyarakat etnis tertentu berdasarkan
cara pandang dan budaya yang dimiliki masyarakat penuturnya dalam rangka
menyibak atau mengungkap budaya masyarakat tertentu (Baehaqie, 2013: 15).
Nama-nama kampung di Desa Watu Karere masih dapat ditelusuri asal-
usulnya karena masyarakat di desa ini memelihara dengan baik cerita asal-usul
nama kampungnya dan menjadikannya sebagai salah satu kebudayaan yang harus
dilestarikan meski secara lisan. Apabila dilihat dari segi kewilayahan Desa Watu
Karere yang terletak di Kecamatan Lamboya berbatasan dengan Desa Rua yang
merupakan bagian dari Kecamatan Wanukaka dan menurut tuturan para
narasumber yang di wawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa wilayah Desa
Watu Karere pada jaman penjajahan merupakan wilayah Rua terbukti dari
beberapa kampung yang masih dengan nama berbahasa Rua misalnya Kampung
Prai Marau secara defenisi prai berasal dari bahasa Rua yang berarti kampung dan
Marau yang berarti jauh, jadi dapat di simpulkan bahwa Kampung Prai Marau
artinya kampung jauh di artikan dari bahasa Rua.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Toponimi
2.1.1. Pengertian Toponimi
Ilmu yang mempelajari tentang nama dan penamaan disebut onomastika.
Ilmu ini terbagi atas dua cabang yaitu antroponim yang mengkaji riwayat dan
asal-usul nama orang atau yang diorangkan serta toponimi sebagai ilmu yang
mempelajari riwayat atau asal-usul nama-nama tempat (Ayatrohaedi, dalam Rais
via Sudaryat, 2009: 9). Secara etimologi kata toponimi berasal dari bahasa Yunani
topoi = “tempat” dan onama= “nama” sehinggga secara harafiah toponomi
artinya “nama tempat”, diartikan sebagai ilmu yang mempelajari pemberian
nama-nama tempat (Sudaryat, 2009: 10). Jadi dapat dijelaskan bahwa toponimi
adalah cabang ilmu onomastika yang pengkajiannya meliputi riwayat dan unsur-
unsur penamaan geografis suatu wilayah. Merujuk pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Penamaan, Pendaftaran dan
Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial yang
mewajibkan penamaan suatu wilayah atau daerah di Indonesia yang berbasis lokal
dan tidak menggunakan bahasa asing. Tentunya ini menjadi dasar pentingnya
ilmu toponimi untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa yang
mencintai budaya dan tradisinya. Hal ini juga di dukung oleh pelestarian nama-
nama tempat yang didasarkan pada cerita rakyat (folklor) yang membahas tentang
asal-usul nama sebuah pulau, gunung, sungai, bukit, kota dan desa berdasarkan
sejarah, makna, penggunaan dan tipologi (Bachtiar dkk., 2008; perdana, 2013;
BRKP, 2003). Hal yang dijelaskan diatas pada dasarnya bermaksud menjelaskan
toponimi sebagai disiplin ilmu yang bertujuan mengkaji nama dan pnamaan
berdasarkan riwayat serta asal-usul kbrmaknaan nama suatu daerah. Sebagai suatu
usaha menandai dan dan membagikan informasi kepada kepada sesamanya
mengenai suatu wilayah tertentu, pemberian nama identiknya menyesuaikan
fenomena geografis yang menjadi ciri khas suatu daerah (Rais, 2008).
9
10
Sistem penamaan tempat adalah tata cara atau aturan memberikan nama
tempat pada waktu tertentu yang bisa disebut dengan toponimi (Sudaryat, 2009:
10). Pada pengertian yang lebih mendalam toponimi sebagai ilmu yang mempelari
nama dan penamaan suatu daerah memiliki fungsi mengaabadikan sejarah serta
melestarikan budaya atau tradisi lokal serta bahasa daerah yang berkaitan dengan
nama dan penamaan suatu wilayah. Hal ini juga mendukung minimalisir invasi
bahasa asing dalam penamaan wilayah lokal (Bachtiar dkk., 2008; Perdana, 2013,
BRKP, 2003).
Menurut Sudaryat (2009: 10) terdapat tiga aspek yang berpengaruh dalam
sistem penamaan tempat dalam kehidupan sosial masyarakat yakni sebagai
berikut:
1. Aspek Perwujudan
Aspek wujudiah atau perwujudan (fisikal) berkaitan dengan kehidupan
manusia yang cenderung menyatu dengan bumi sebagai tempat berpijak dan
lingkungan alam sebagai tempat hidupnya (Sudaryat, 2009: 12). Dalam kaitannya
dengan penamaan kampung, masyarakat memberi nama kampung berdasarkan
aspek lingkungan alam yang dapat dilihat seperti latar perairan (hidrologis), latar
rupa bumi (geomorfologis), latar lingkungan alam (biologis-ekologis) (Sudaryat,
2009: 12-15).
2. Aspek Kemasyarakatan
Penamaan suatu tempat identik berkaitan dengan lingkungan dan bagaimana
interaksi sosial suatu kelompok masyarakat terjadi serta melibatkan klasifikasi
sosial atau kedudukan fungsi seseorang dalam lingkungan masyarakatnya seperti
pekerjaan dan profesinya (Sudaryat, 2009: 17). Misalnya suatu tempat dengan
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai seniman, maka nama tempat
tinggalnya diberi nama yang tidak jauh dari karya seni. Pemberian nama suatu
tempat juga sering kali berkaitan dengan tokoh tertentu yang mempunyai peran
atau jasa selama hidupnya bersama masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya
tentang toponimi Lamongan, penelitian oleh Camalia (2015) yang berkesimpulan
bahwa penamaan di kota tersebut sangat berkaitan dengan sosok bernama Hadi
11
sekitarnya, seperti Sungai Nil yang berasal dari kata "Nilus" yang berarti
"hutan" dalam bahasa Yunani. Nama danau yang berasal dari fauna yang
hidup di sekitarnya, seperti Danau Toba yang berasal dari kata "Tuba" yang
berarti "ikan mas" dalam bahasa Batak.
b. Hatley (1995: 21) mengatakan bahwa toponimi buatan adalah nama tempat
yang terbentuk karena faktor manusia, seperti sejarah, budaya, atau aktivitas
manusia. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa toponimi buatan adalah
nama-nama tempat yang terbentuk oleh manusia. Toponimi buatan biasanya
berkaitan dengan sejarah, budaya, atau aktivitas manusia. Misalnya, nama
kota yang berasal dari nama tokoh sejarah, seperti Kota Jakarta yang berasal
dari nama "Jayakarta" yang berarti "kota kemenangan" dalam bahasa
Sanskerta. Nama desa yang berasal dari kepercayaan atau adat istiadat
setempat, seperti Desa Adat Penglipuran di Bali yang berasal dari kata
"penglipuran" yang berarti "tempat yang bersih" dalam bahasa Bali. Nama
jalan yang berasal dari aktivitas ekonomi, seperti Jalan Malioboro di
Yogyakarta yang berasal dari kata "Malioboro" yang berarti "pasar" dalam
bahasa Jawa.
Pembagian toponimi berdasarkan jenisnya ini didasarkan pada faktor yang
mempengaruhi pembentukan toponimi tersebut. Toponimi alami terbentuk karena
faktor alam, sedangkan toponimi buatan terbentuk karena faktor manusia.
Pembagian toponimi berdasarkan jenisnya ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
Membantu untuk memahami sejarah dan budaya suatu daerah. Toponimi alami
dapat memberikan informasi tentang kondisi alam suatu daerah pada masa
lampau, sedangkan toponimi buatan dapat memberikan informasi tentang sejarah,
budaya, atau aktivitas manusia di suatu daerah. Membantu untuk memahami
perkembangan suatu daerah. Perubahan toponimi dapat mencerminkan perubahan
yang terjadi di suatu daerah, baik perubahan fisik maupun perubahan sosial.
Membantu untuk perencanaan pembangunan dan pengembangan suatu daerah.
Toponimi dapat digunakan untuk mengetahui potensi dan kendala suatu daerah,
13
simbol (Widodo, 2001: 45). Pada sisi lain nama diri identik dinyatakan sebagai
konsep. Pernyataan Charlesworth (1959) menegaskan konsep dan nama diri dalam
kaidah dan logika bahasa memiliki dasar pengertian yang berbeda. Nama diri
merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan
peristiwa di dunia ini, nama-nama ini muncul akibat dari kehidupan manusia yang
kompleks dan beragam (Djajasudarma 1999: 30). Sedangkan konsep diri lebih
kepada gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang mencakup
citra fisik dan psikologis (Hurlock 1993: 237).
Menurut Crystal (1987) arti sebuah nama selalu berkait dengan makna
rujukan yang selalu menunjuk pada sebuah atau sesuatu “ini adalah arti tersebut”
namun bila nama dimengerti hanya sebab rujukan maka memungkinkan
terjadinya kekacauan pengertian. Sedangkan Moore (1954) memberikan
penegasan bahwa sebuah nama mengartikan objeknya dan objek adalah arti.
Jadi, nama diri dapat disimpulkan sebagai bentuk penanda, identitas personal
suatu objek untuk menyatakan keberadaannya sebagai sesuatu yang ada. Menurut
Wibowo (2010: 45) nama diri dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai
sebutan untuk menunjuk orang atau sebagai penanda identitas seseorang.
2.3. Kajian Etnolinguistik
2.3.1. Pengertian Etnolinguistik
Teori yang mendasari penelitian ini adalah etnolingistik. Menurut Foley
(dalam Abdullah dan Pitana, 2016: 17) etnolinguistik adalah cabang ilmu
linguistik, etnografi dan etnologi. Etnolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik
menaruh perhatian pada posisi bahasa dalam konteks sosial budaya yang lebih
luas serta berupaya melestarikan praktik-praktik budaya itu beserta struktur sosial
yang ada dalam masyarakat. Secara etimologi, kata "etnolinguistik" berasal dari
dua kata bahasa Yunani, yaitu "ethnos" yang berarti "bangsa" dan "linguistik"
yang berarti "ilmu bahasa". Jadi, etnolinguistik dapat diartikan sebagai "ilmu
bahasa bangsa". Secara oprasional, etnolinguistik juga dapat didefinisikan sebagai
cabang linguistik yang dapat digunakan untuk membedah struktur bahasa hingga
kelas kosa kata bahasa masyarakat etnis tertentu berdasarkan cara pandang dan
15
bahwa struktur bahasa dapat memengaruhi cara kita memahami dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar. Dalam konteks pemeliharaan bahasa dan budaya
minoritas, Eugene Casad (2002) menyatakan bahwa etnolinguistik memberikan
kontribusi penting dalam mendokumentasikan dan memahami bahasa-bahasa
yang terancam punah, memainkan peran kunci dalam pelestarian warisan budaya.
Dengan demikian, etnolinguistik bukan hanya mengkaji bahasa sebagai
sistem komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan keberagaman kultural dan sarana
vital dalam pemertahan identitas suatu kelompok etnis. Pandangan terkait
etnolinguistik juga menggambarkan bahwa kajian ini tidak hanya memerhatikan
variasi linguistik di antara kelompok etnis, melainkan juga fokus pada konteks
sosial, ekonomi, dan politik di mana bahasa tersebut berkembang. Dalam
perspektif Dell Hymes (2009), etnolinguistik mencakup aspek kompetensi
komunikatif, yaitu pemahaman norma-norma budaya yang terwujud dalam
penggunaan bahasa sehari-hari. Dengan kata lain, etnolinguistik tidak hanya
melibatkan analisis linguistik semata, tetapi juga menelaah fungsi sosial bahasa
dan peranannya dalam membentuk interaksi sosial. Etnolinguistik juga memiliki
keterkaitan erat dengan studi-studi kebijakan bahasa. Ahli-ahli seperti Joshua
Fishman (2015), menyoroti pentingnya kebijakan bahasa dalam mendukung
pemeliharaan dan pelestarian bahasa-bahasa minoritas. Kajian etnolinguistik
mencakup pemahaman terhadap dampak kebijakan bahasa terhadap keberlanjutan
dan keberagaman bahasa dalam masyarakat. Secara keseluruhan, etnolinguistik
melibatkan pendekatan holistik yang memahami bahasa sebagai cerminan dan
pemain kunci dalam kehidupan budaya masyarakat. Kajian ini mencakup dimensi
linguistik, antropologis, dan kadang-kadang bahkan sosiologis untuk memberikan
pemahaman yang mendalam tentang hubungan yang kompleks antara bahasa dan
budaya dalam berbagai konteks masyarakat manusia.
2.4. Bahasa Sebagai Produk Kebudayaan
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri (Alwi, 2005: 88). Sedangkan kebudayaan menurut
17
Koentjaraningrat (2000: 181) berasal dari kata dasar budaya dalam bahasa
sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang
berupa cipta, karsa dan rasa, kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Bahasa dan budaya adalah dua faktor pendukung peradaban manusia sebagai
makhluk sosial yang berbudi dan tentunya membutuhkan bahasa untuk
berinteraksi. Chaer dan Agustina (1995:14) mengutarakan bahwa fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Hal ini sejalan dengan Soeparno (1993:5)
yang menyatakan bahwa fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi
sosial. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (sosial
behavior) yang dipakai dalam komunikasi sosial. Sebuah budaya pada hakekatnya
lahir bersamaan dengan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang
disetujui oleh sekelompok masyarakat berbudaya.
Bahasa sebagai produk kebudayaan sebab bahasa pada umumnya berangkat
dari sebuah kebudayaan, bahasa selalu mempunyai ciri khas tersendiri untuk
mencerminkan kebudayaan dari mana bahasa itu berasal. Bahasa memiliki sifat-
sifat, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem; (2) bahasa itu berwujud lambang;
(3) bahasa itu berwujud bunyi; (4) bahasa itu bersifat arbitrer; (5) bahasa itu
bermakna; (6) bahasa itu bersifat konvensional; (7) bahasa itu bersifat unik; (8)
bahasa itu bersifat universal; (9) bahasa itu bersifat produktif; (10) bahasa itu
bervariasi; (11) bahasa itu bersifat dinamis; (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat
interaksi sosial; dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya (Chaer, 2007:
33). Dilihat dari sifat-sifat bahasa diatas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa
memiliki peranan penting untuk kehidupan sosial manusia. Pada butir ke-
13khususnya meyatakan bahwa bahasa merupakan identitas penuturnya. Bahasa
terikat erat dengan penggunanya seperti budaya yang melekat pada karakter dan
sikap setiap orang dalam bersosialisasi.
naluri seperti yang terjadi pada semut. Meskipun dikatakan sebagai makluk
bersosial karena keteraturannya membagi pekerjaan dan membangun sarang yang
dilakukan tanpa pernah diajari atau meniru semut tidak dapat dikatakan sebagai
makhluk ber-budaya sebab tingkah laku tersebut diwarisi secara genetis dan tidak
memiliki perubahan dan perkembangan yang berbeda dari sebelumnya.
Eksistensi manusia sebagai makhluk berbudaya, menjadikan kebudayaan
sebagai identitas diri nyata dalam segala tingkah lakunya terutam dalam hubungan
sosial dan bermasyarakat. Segala bentuk perilaku yang digerakkan oleh
kebudayaan tentu memiliki nilai dan manfaat bagi kelompok dan lingkungan
masyarakat dimana manusia itu ada. Dengan ungkapan “bermanfaat bagi
kelompok dan lingkungan nya” hendaklah ditafsirkan sebagai perilaku-perilaku
yang tidak merugikan orang lain. Misalnya mencuri, jelas yang demikian adalah
perbuatan manusia tidak berbudaya, sebab walaupun perbuatan itu mendatangkan
manfaat bagi diri dan keluarganya, tetapi merugikan orang lain dan yang jelas
menyalahi aturan masyarakat serta ajaran budaya. (Widagdho, dkk (2010: 25).
Identitas mengacu pada karakter khusus individu atau anggota suatu
kelompok atau kategori sosial tertentu. Identitas berasal dari kata “idem” dalam
bahasa latin yang berarti sama. Dengan demikian identitas mengandung makna
kesamaan atau kesatuan dengan yang lain dalam suatu wilayah tertentu
(Rummens, 1993:157-159), selain mengandung makna kesamaan, identitas juga
mengandung makna perbedaan. Identitas juga bermakna suatu karakter yang
membedakan suatu individu atau kelompok lainnya. Dengan demikian identitas
mengandung dua makna, yaitu hubungan persamaan dan perbedaan. Hubungan
persamaan dalam identitas muncul ketika beberapa individu mempunyai
kesamaan sebagai suatu kelompok. Sedangkan perbedaan dapat muncul ketika
individu atau kelompok harus menunjukan karakteristik, ciri khas, yang
membedakannya dengan individu atau kelompok lain. Karakteristik dan ciri khas
tersebut dapat berbentuk kebudayaan setiap individu dalam rupa bahasa, dialeg,
pakaian dan tingkah laku.
20
22
23
Tahun
> 40 50 %
Tahun
> 40 60 %
Tahun
Sumber Data: Olahan Penulis 2021
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dapat menjadi aspek pendukung tercapainya suatu penelitian
karena ucapan dan cara penyampaian suatu informasi seringkali berkaitan dengan
jenis kelamin terutama dengan memperhitungkan perbedaan fisik. Sebagai contoh,
kaum wanita pada umumnya sulit menyesuaikan tingkat nada ucapannya dengan
kaum pria. Hal ini sering terjadi apabila peneliti berjenis kelamin pria dan
informannya adalah wanita sebab wanita identik diharuskan berbicara dengan
cara-cara berbeda bila berkomunikasi dengan seesama jenisnya atau kaum pria.
Pada penelitian ini, informan yang dipilih 100% adalah berjenis kelamin laki-
laki.
Pemilihan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh mayoritas kebudayaan
terutama pada kebudayaan yang menganut sistem patriarki seperti yang dianut
oleh masyarakat Desa Watu Karere dengan ciri selalu mengatur dan membatasi
bahkan mengikat wanita dengan etika-etika yang terkadang menghendaki kaum
wanita untuk tidak mengetahui keseluruhan adat tidak seperti yang diharuskan
kepada kaum pria yang diwajibkan mempelajari kebudayaan secara menyeluruh
(Samarin, 1988: 57-58).
3. Mutu Kebudayaan dan Psikologi
Seorang informan yang efektif adalah individu yang mampu berkomunikasi
secara jelas dan relevan mengenai topik pembicaraan yang luas namun tetap
26
terkait dengan konteks budayanya. Keahlian khusus dalam seni, budaya, atau
bidang tertentu tidak menjadi syarat mutlak, asalkan informan dapat berperan
dengan baik dalam masyarakatnya. Meskipun pengetahuan informan tidak selalu
sempurna, hal ini dapat memengaruhi interaksi antara peneliti dan informan
(Samarin, 1988: 58).
Kemampuan daya ingat yang baik juga menjadi kunci dalam menunjang
kelancaran penelitian, menghindarkan peneliti dari perlu mengulang pertanyaan
atau mengingatkan pada topik pembahasan, sehingga hasil jawaban yang
diberikan tetap sesuai dengan pertanyaan yang diajukan (Samarin, 1988: 60-61).
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan informan secara
keseluruhan dengan tingkat psikologi yang baik serta latar kebudayaan dari Desa
Watu Karere.
4. Kewaspadaan
Informan yang baik bagi peneliti adalah informan dengan karakteristik
menaruh perhatian serta tidak mudah terganggu, baik oleh lingkungan maupun
pikiran-pikiran yang sepintas. Informan dengan sifat kewaspadaan akan selalu
sadar terhadap kesalahan-kesalahan atau pertentangan yang ditimbulkan melalui
jawaban yang diberikan kepada peneliti (Samarin, 1988; 61).
5. Bahasa
Penutur asli dari bahasa dan dialek yang sedang diteliti adalah informan
yang baik. Hendaknya informan tersebut berbahasa atau berdialek tunggal, sebab
bila menguasai lebih dari satu bahasa atau dialek akan sangat memungkinkan
terjadinya kesalahan akibat pengaruh dialek dan bahasa yang lain tersebut
(Samarin, 1988: 62).
Berdasarkan penjelasan syarat-syarat ketentuan informan menurut William
J. Samarin, maka dalam penelitian ini melibatkan informan-informan dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Usia antara 25-60 tahun
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Memiliki bahasa ibu bahasa Kecamatan Lamboya
27
kesamaan antara teori agar dapat dinyatakan sebagai teori yang absah (Patton Via
Maleong, 2010: 331).
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara melakukan bedah persentase
kebenaran suatu data berdasarkan sumbernya dalam jangka waktu dan alat yang
berbeda (Patton Via Maleong, 2010:330). Dalam penelitian ini, peneliti
membandingkan informasi dari hasil wawancara dengan isi dokumen-dokumen
pendukung lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Penunjang berhasilnya
triangulasi teori dan sumber dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Linguistik, dan Kamus Bahasa Lamboya.