Anda di halaman 1dari 33

TOPONIMI NAMA-NAMA KAMPUNG DI DESA WATU KARERE

KECAMATAN LAMBOYA KABUPATEN SUMBA BARAT


NUSA TENGGARA TIMUR (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Oleh:
AMBROSIUS BILI
NPM. 2171000310055

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIKAN BUDI UTOMO
MALANG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi Oleh Ambrosius Bili


Telah diperiksa dan disetujui untuk di uji

Malang, 21 juni 2022


Pembimbing

Kingkin Puput Kinanti, M.A


NIDN: 0713058801

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, kebudayaan
kian hilang dari peradaban sebab kemajuan sebuah masa saat ini selalu berkaitan
dengan teknologi namun di sisi lain kebudayaan memiliki daya tarik tersendiri
terutama dari segi destinasi wisata, sejarah dan ilmu pengetahuan yang selalu
menempatkan budaya, adat istiadat bersama tradisi nya sebagai objek penting
untuk di telusuri terutama dari aspek makna penamaan suatu wilayah khususnya
perkampungan lokal. Penelitian ini dapat membantu memahami lebih dalam
sejarah dan identitas kultural suatu daerah yang di wariskan baik secara tulisan
terutama yang masih dalam bentuk lisan, yang pada akhirnya penelitian ini dapat
mengabadikan warisan tersebut dalam beberapa batasan ilmu sekaligus
mempromosikan pelestarian dan penghargaan terhadap kekayaan-kekayaan
bidaya yang beragam.
Berdasar pada pengentahuan umum, penamaan tempat berfungsi sebagai
tanda pengenalan yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi dan
membentuk pemahaman tentang wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika manusia
menetap di suatu daerah di planet ini, mereka cenderung memberi nama pada
elemen-elemen lingkungan sekitarnya. Selain itu, manusia juga cenderung
melakukan klasifikasi, seperti dalam mengenali berbagai objek, termasuk tempat,
dengan memberikan label atau sebutan khusus. Latar belakang dan alasan di balik
proses penamaan tempat bisa sangat beragam, tergantung pada individu atau
kelompok yang melakukan penamaan. Dalam ranah ilmu linguistik, nama-nama
tempat dan dasar pemikiran di balik pemberian nama tersebut dikenal sebagai
toponimi. Proses pemberian nama pada suatu tempat sangat dipengaruhi oleh
pengalaman budaya manusia, sehingga toponimi bisa dianggap sebagai hasil dari
warisan budaya manusia. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Kosasih, yang
menegaskan bahwa penamaan suatu tempat atau wilayah tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor geografis, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya,

1
2

agama yang dianut oleh masyarakat di daerah tersebut, dan nilai-nilai yang
tercermin dalam sistem kebudayaan yang mereka anut. Dalam konteks yang lebih
khusus, Sudaryat mengelompokkan toponimi ke dalam tiga aspek utama, yaitu
aspek perwujudan, aspek kemasyarakatan, dan aspek kebudayaan. Oleh karena
itu, latar belakang penamaan suatu tempat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
salah satu atau bahkan beberapa aspek ini.
Nama-nama kampung di Desa Watu Karere memiliki toponimi yang dapat
di jadikan acuan penamaan kampung-kampung tersebut. Karena alasan tersebutlah
nama-nama kampung tersebut di jadikan identitas oleh masyarakat yang
menempatinya bersama dengan segala kisah lampau atau sejarah lisan yang
wariskan secara turun temurun.
Sumba sebagai bagian kepulauan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur
terkenal dengan destinasi alam dan budayanya yang lahir dari masyarakat
berkepercayaan lokal (marapu) dan tentunya masih memelihara kekayaan-
kekayaan adat istiadatnya dengan baik hingga saat ini. Salah satunya melalui
pemeliharaan dan pemungsian, penetapan kampung-kampung adat sebagai situs
budaya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014
serta di dukung oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mengatur tentang alokasi dana bagi daerah untuk pengembangan pariwisata.
Sebagai bukti konkret, di Kecamatan lamboya secara keseluruhan terdapat empat
kampung situs yang terletak di beberapa desa dan salah satunya adalah kampung
Watu Karere di Desa Watu Karere.
Berdasarkan pengamatan peneliti sebagai anggota masyarakat di Desa
Watu Karere menemukan bahwa delapan dari sepuluh orang muda tidak
mengetahui alasan penamaan kampung dimana mereka lahir dan dibesarkan.
Contohnya di kampung Watu Karere yang secara gamblang oleh masyarakat
menjelaskan bahwa penamaan itu karena watu yang berarti batu atau bijian dan
karere sejenis buah mentimun hutan yang tumbuh dengan liar disekitar
perkampungan tersebut. Namun hal ini kurang dipahami oleh generasi saat ini
3

sebab buah karere sudah langka disekitar perkampungan. Hal yang sama ini
berdasar kejadian dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
pemuda-pemudi di beberapa kampung. Hal ini terjadi karena memahami makna
dan tujuan pemberian nama suatu kampung bukanlah hal mudah bagi sebagian
masyarakat pada saat ini apalagi bila hanya berdasar cerita lepas para tetua adat
dan dokumentasi atau tulisan serta bukti konkrit berupa benda atau peninggalan
budaya yang mendukung sebuah cerita.
Etnolinguistik dalam penelitian ini akan mengkaji struktur bahasa berdasarkan
cara pandang budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami kampung-
kampung di Desa Watu Karere. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Humboldt
bahwa perbedaan persepsi kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu
masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Dikatakan bahwa “each
language...contains a characteristic worldview”(Wierzbicka, 1992 : 3). Dalam
pandangan etnolinguistik, terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pandangan
dunia penuturnya. Boas menyebutkan bahwa pendeskripsian terhadap suatu
bahasa hendaknya didasarkan pada apa yang ada di dalam bahasa itu sendiri (di
dalamnya berdasarkan budaya dan pandangan hidup), bukan berdasarkan pada
tata bahasa lain. Pengertian tersebut juga didukung oleh pendapat Troike (1990:1)
mengenai etnografi bahwa ethnography is a field of study which concerned
primarily with the description and analysis of culture, and linguistics is a field
concerned, among other things, with the description and analysis of language
code.
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan adanya makna atau toponimi
nama kampung yang dikaji begitu rinci meski tidak dalam perspektif
etnolinguistik namun sangat berkaitan erat dengan disiplin ilmu linguistik maupun
cabang ilmu linguistik yang lain dan tetntunya memiliki tujuan yang sama yakni
mengetahui sejarah dan makna penamaan kampung-kampung di wilayah tertentu.
Penelitian-penelitian itu di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Istiana (2012) dari hasil penelitiannya mengenai analisisis bentuk dan makna
nama kampung di Kecamatan Kotagede di kategorisasikan berdasar asal nama
4

dan asal Bahasa, proses morfologis serta di deskripsikan berdasar asal nama
berdasar nama tokoh, abdi dalem, pekerjaan penduduk, tanaman, benda
kerajinan, benda bersejarah, bangunan, letak geografis, dan fungsi
perkampungan.
2. Erta Ardheana (2018) penelitian ini menjelaskan pola-pola pembentukan dan
dasar penamaan nama kampung berakhiran –an di Kota Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap
penamaan kampung memiliki latar belakang kisah dan alasan tersendiri yang
menyesuaikan dengan keadaan lingkungan masyarakat, alam dan marga satwa
serta keadaan geografis yang merupakan ciri khas suatu wilayah. Dari segi kajian
keilmuan pun demikian beragam terutama dari segi cabang ilmu linguistik seperti
morfologi dan semantik. Sama seperti nama diri untuk manusia atau antroponim,
nama untuk wilayah atau toponim juga merupakan tanda konvensional dalam hal
pengidentifikasian sosial. Toponim memiliki hubungan erat dengan kondisi fisik
geografis, masyarakat yang menghuninya, dan kebudayaan yang tumbuh di
wilayah tersebut. Ikhwal nama maknanya sangat luas, tidak hanya secara fisik
seperti kondisi lokasi geografisnya saja, juga meliputi asal-usul, kondisi dan sosial
budaya, serta agama masyarakatnya, nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem
kebudayaan yang dimiliki secara sosial itu akan tampak dalam wujud simbol
pemberian nama dan perilaku suatu masyarakat (Kosasih, 2010: 34).
Pendapat Kosasih tentang nama memiliki makna yang sangat luas meliputi asal-
usul, kondisi dan sosial budaya, serta agama masyarakatnya memang benar jika
diterapkan pada nama-nama kampung di Desa Watu Karere. William Shakespiere
boleh menyatakan what’s in a name (apalah arti sebuah nama). Namun bagi
masyarakat di Desa Watu Karere tidaklah demikian. Pemberian nama merupakan
hasil pemikiran beradab (Pei via Kosasih, 2010: 34).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian terhadap makna toponim kampung-kampung di Desa Watu Karere
dalam kajian etnolinguistik yang akan memfokuskan penelitian pada aspek
kelekatan penggunaan nama kampung dan bahasa masyarakat setempat serta
5

budaya dan tradisi sebagai ciri khas setiap kampung. Dari wawancara peneliti
dengan tokoh adat setempat mengatakan bahwa setiap kampung memiliki syair
kebanggaan tersendiri sebagai identitas yang melekat pada nama dan kisah
didirikannya serta menyiratkan harapan warga suatu kampung. Cara berpikir dan
berperilaku biasanya terpengaruh oleh lingkungannya. Lingkungan budaya selalu
menjadi penopang pola pikir seseorang (Endraswara, 2015: 16).
Hal utama yang menjadi kendala dalam melakuka kajian toponimi suatu kampung
adalah kurangnya sumber yang berupa data tulisan atau dokumentasi yang bisa di
gunakan sebagai dasar referensi. Sebab nyatanya bagi sebagian besar budaya dan
adat-istiadat lokal didaerah Sumba masih berpegang pada sumber lisan berupa
kisah atau syair-syair yang dalam bahasa Lamboya disebut wur we yang artinya
lagu wajib sebuah etnis atau suku (kabihhu) yang menerangkan maksud dan
tujuan sebuah nama dan tradisi. Secara operasional, etnolinguistik dapat
didefinisikan sebagai cabang linguistik yang dapat digunakan untuk mempelajari
struktur bahasa dan/atau kosakata bahasa masyarakat etnis tertentu berdasarkan
cara pandang dan budaya yang dimiliki masyarakat penuturnya dalam rangka
menyibak atau mengungkap budaya masyarakat tertentu (Baehaqie, 2013: 15).
Nama-nama kampung di Desa Watu Karere masih dapat ditelusuri asal-
usulnya karena masyarakat di desa ini memelihara dengan baik cerita asal-usul
nama kampungnya dan menjadikannya sebagai salah satu kebudayaan yang harus
dilestarikan meski secara lisan. Apabila dilihat dari segi kewilayahan Desa Watu
Karere yang terletak di Kecamatan Lamboya berbatasan dengan Desa Rua yang
merupakan bagian dari Kecamatan Wanukaka dan menurut tuturan para
narasumber yang di wawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa wilayah Desa
Watu Karere pada jaman penjajahan merupakan wilayah Rua terbukti dari
beberapa kampung yang masih dengan nama berbahasa Rua misalnya Kampung
Prai Marau secara defenisi prai berasal dari bahasa Rua yang berarti kampung dan
Marau yang berarti jauh, jadi dapat di simpulkan bahwa Kampung Prai Marau
artinya kampung jauh di artikan dari bahasa Rua.
6

Peneliti menggunakan nama-nama kampung di Desa Watu Karere sebagai


subjek penelitian pada skripsi ini karena alasan-alasan di atas, yaitu asalusul
nama-nama kampung yang dapat di telusuri kebenaran kisahnya terutama dalam
kajian etnolinguistik dengan berlandas pada sayair khas setiap kampung yang
dilantunkan saat pesta budaya. Nama-nama kampung tersebut diteliti berdasarkan
bentuk dan maknanya. Diteliti berdasarkan bentuknya agar dapat diketahui proses
perubahan secara morfologis dari bentuk dasar menjadi bentuk yang sekarang.
Adapun diteliti berdasarkan maknanya agar dapat diketahui makna-makna yang
terkandung dalam nama-nama kampung tersebut. Maka peneliti bermaksud untuk
menganalisis toponimi nama-nama kampung tersebut yang diberi judul
“Toponimi Nama-Nama Kampung Di Desa Watu Karere Kecamatan
Lamboya Kabupaten Sumba Barat Nusa Tenggara Timur (Kajian
Etnolinguistik)”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dapat diidentifikasi
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Makna nama-nama kampung di Desa Watu Karere .
2. Sejarah pembentukan atau pembangunan kampung dan proses pembentukan
nama-nama kampung di Desa Watu Karere.
3. Budaya masyarakat setempat.
4. Kategorisasi nama kampung berdasarkan asal bahasa.
5. Kategorisasi nama kampung berdasarkan asal nama.

1.3 Batasan Masalah


Fokus penelitian ini adalah mengkategorikan nama-nama kampung di Desa
Watu Karere berdasarkan bentuk asalnya, proses pembentukan kata dari sejarah
yang sesuai, hingga nama desa yang digunakan saat ini. Selain itu, penelitian juga
memiliki fokus tujuan pada pemahaman makna di balik nama-nama desa di Desa
Watu Karere.
7

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan batasan masalah di atas, inti permasalahan dalam penelitian ini
dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mengkategorikan nama-nama kampung yang terdapat di Desa
Watu Karere berdasarkan asal sumber namanya?
2. Bagaimana proses pembentukan nama-nama kampung di Kecamatan Desa
Watu Karere dalam kajian ilmu etnolinguistik?
3. Bagaimana penafsiran makna dari nama-nama kampung di Desa Watu Karere
berdasarkan penjelasan asal usul nama tersebut?

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kategorisasi toponimi nama-nama kampung di Desa Watu
Karere berdasarkan sumber namanya.
2. Mendeskripsikan makna pembentukan nama kampung di Desa Watu Karere
berdasar kajian etnolinguistik.
3. Mendiskripsikan makna nama-nama kampung di Desa Watu Karere
berdasarkan deskripsi asal nama.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian penelitian ini diharapkan dapat mendorong berbagai
manfaat praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang mencakup
hal-hal berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa tulisan
terhadap budaya serta dapat mendokumentasikan sejarah-sejarah lisan budaya
yang berupa asal-usul nama-nama kampung di Desa Watu Karere Kecamatan
Lamboya.
2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan
wawasan, menumbuhkan kecintaan mahasiswa terhadap budaya lokal
khususnya yang bersangkutan dengan makna toponimi dan etnolinguistik
suatu daerah.
8

1.7 Defenisi Operasional


Defenisi operasional diberikan agar antara peneliti dan pembaca terjalin
kesamaan persepsi terhadap judul penelitian. Beberapa istilah yang terkait dengan
penelitian ini antara lain sebagai berikut.
1. Nama merupakan identitas yang melekat pada diri, sebuah atau sesuatu untuk
menyebut seseorang, tempat, barang, binatang dan sebagainya.
2. Toponimi adalah ilmu atau studi yang membahas tentang nama-nama
geografis, asal-usul nama tempat, bentuk, dan makna nama diri, terutama
nama orang dan tempat. Dengan kata lain toponimi merupakan ilmu tentang
nama tempat, arti, asal-usul, dan tipologinya.
3. Etnolinguistik adalah studi tentang bagaimana bahasa mencerminkan dan
mempengaruhi kehidupan sosial. Etnolinguistik berkaitan dengan hubungan
antara bentuk linguistik dan struktur sosial, dan bagaimana bahasa digunakan
untuk mengekspresikan dan memelihara hubungan sosial dan identitas
budaya.
9

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Toponimi
2.1.1. Pengertian Toponimi
Ilmu yang mempelajari tentang nama dan penamaan disebut onomastika.
Ilmu ini terbagi atas dua cabang yaitu antroponim yang mengkaji riwayat dan
asal-usul nama orang atau yang diorangkan serta toponimi sebagai ilmu yang
mempelajari riwayat atau asal-usul nama-nama tempat (Ayatrohaedi, dalam Rais
via Sudaryat, 2009: 9). Secara etimologi kata toponimi berasal dari bahasa Yunani
topoi = “tempat” dan onama= “nama” sehinggga secara harafiah toponomi
artinya “nama tempat”, diartikan sebagai ilmu yang mempelajari pemberian
nama-nama tempat (Sudaryat, 2009: 10). Jadi dapat dijelaskan bahwa toponimi
adalah cabang ilmu onomastika yang pengkajiannya meliputi riwayat dan unsur-
unsur penamaan geografis suatu wilayah. Merujuk pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Penamaan, Pendaftaran dan
Penggunaan Varietas Asal Untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial yang
mewajibkan penamaan suatu wilayah atau daerah di Indonesia yang berbasis lokal
dan tidak menggunakan bahasa asing. Tentunya ini menjadi dasar pentingnya
ilmu toponimi untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa yang
mencintai budaya dan tradisinya. Hal ini juga di dukung oleh pelestarian nama-
nama tempat yang didasarkan pada cerita rakyat (folklor) yang membahas tentang
asal-usul nama sebuah pulau, gunung, sungai, bukit, kota dan desa berdasarkan
sejarah, makna, penggunaan dan tipologi (Bachtiar dkk., 2008; perdana, 2013;
BRKP, 2003). Hal yang dijelaskan diatas pada dasarnya bermaksud menjelaskan
toponimi sebagai disiplin ilmu yang bertujuan mengkaji nama dan pnamaan
berdasarkan riwayat serta asal-usul kbrmaknaan nama suatu daerah. Sebagai suatu
usaha menandai dan dan membagikan informasi kepada kepada sesamanya
mengenai suatu wilayah tertentu, pemberian nama identiknya menyesuaikan
fenomena geografis yang menjadi ciri khas suatu daerah (Rais, 2008).

9
10

Sistem penamaan tempat adalah tata cara atau aturan memberikan nama
tempat pada waktu tertentu yang bisa disebut dengan toponimi (Sudaryat, 2009:
10). Pada pengertian yang lebih mendalam toponimi sebagai ilmu yang mempelari
nama dan penamaan suatu daerah memiliki fungsi mengaabadikan sejarah serta
melestarikan budaya atau tradisi lokal serta bahasa daerah yang berkaitan dengan
nama dan penamaan suatu wilayah. Hal ini juga mendukung minimalisir invasi
bahasa asing dalam penamaan wilayah lokal (Bachtiar dkk., 2008; Perdana, 2013,
BRKP, 2003).
Menurut Sudaryat (2009: 10) terdapat tiga aspek yang berpengaruh dalam
sistem penamaan tempat dalam kehidupan sosial masyarakat yakni sebagai
berikut:
1. Aspek Perwujudan
Aspek wujudiah atau perwujudan (fisikal) berkaitan dengan kehidupan
manusia yang cenderung menyatu dengan bumi sebagai tempat berpijak dan
lingkungan alam sebagai tempat hidupnya (Sudaryat, 2009: 12). Dalam kaitannya
dengan penamaan kampung, masyarakat memberi nama kampung berdasarkan
aspek lingkungan alam yang dapat dilihat seperti latar perairan (hidrologis), latar
rupa bumi (geomorfologis), latar lingkungan alam (biologis-ekologis) (Sudaryat,
2009: 12-15).
2. Aspek Kemasyarakatan
Penamaan suatu tempat identik berkaitan dengan lingkungan dan bagaimana
interaksi sosial suatu kelompok masyarakat terjadi serta melibatkan klasifikasi
sosial atau kedudukan fungsi seseorang dalam lingkungan masyarakatnya seperti
pekerjaan dan profesinya (Sudaryat, 2009: 17). Misalnya suatu tempat dengan
mayoritas penduduknya berprofesi sebagai seniman, maka nama tempat
tinggalnya diberi nama yang tidak jauh dari karya seni. Pemberian nama suatu
tempat juga sering kali berkaitan dengan tokoh tertentu yang mempunyai peran
atau jasa selama hidupnya bersama masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya
tentang toponimi Lamongan, penelitian oleh Camalia (2015) yang berkesimpulan
bahwa penamaan di kota tersebut sangat berkaitan dengan sosok bernama Hadi
11

yang merupakan murid Sunan Giri yang ditugaskan untuk membimbing


masyarakat lamongan dalam hal agama islam. Sebagai bentuk apresiasi dan
penghormatan atas jasa-jasanya maka wilayah kepemimpinan Hadi diberi nama
Lamongan yang artinya dalam bahasa Kawi merujuk pada dua sisi mata uang
yang tak terpisahkan menurut analisis semiotik. Hal ini menunjukkan bentuk
penghargaan terhadap ajaran Hadi yang menekankan pada toleransi dan saling
menhormati antara umat manusia.
3. Aspek Kebudayaan
Mitos atau mitologis, folklor, dan sistem kepercayaan (religi) disuatu daerah
merupakan hal-hal yang menjadi unsur pendukung terbentuknya suatu nama atau
penamaan tempat, bahkan nama tempat seringkali berangkat dari cerita-cerita
rakyat yang disebut legenda (Sudaryat,2009: 18). Di Indonesia misalnya,
Kabupaten Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur berangkat dari legenda dalam
kebudayaan masyarakat setempat yang mengisahkan seorang suami yang karena
meragukan kesucian istrinya ia membunuhnya, sehingga sebagai bukti
kesuciannya setelah meninggal istrinya itu menjadikan banyu yang berarti air
dalam bahasa Jawa beraroma wangi atau harum. Legenda inilah yang menjadi
acuan penamaan tempat Banyuwangi yang artinya air beraroma harum.

2.1.2. Jenis-jenis Toponimi


1. Toponimi Alami dan Buatan
Toponimi sebagai cabang ilmu geografi yang mengkaji tentang nama-nama
tempat. Toponimi dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu toponimi alami dan
toponimi buatan.
a. Toponimi alami adalah nama-nama tempat yang terbentuk secara alami, tanpa
pengaruh dari manusia. Zoetmulder (2005: 1) mengatakan bahwa toponimi
alami adalah nama tempat yang terbentuk karena faktor alam, seperti bentuk
topografi, vegetasi, atau fauna. Toponimi alami biasanya berkaitan dengan
bentuk topografi, vegetasi, atau fauna. Misalnya, nama gunung yang berasal
dari bentuk gunung tersebut, seperti Gunung Merapi, Gunung Semeru, dan
Gunung Rinjani. Nama sungai yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di
12

sekitarnya, seperti Sungai Nil yang berasal dari kata "Nilus" yang berarti
"hutan" dalam bahasa Yunani. Nama danau yang berasal dari fauna yang
hidup di sekitarnya, seperti Danau Toba yang berasal dari kata "Tuba" yang
berarti "ikan mas" dalam bahasa Batak.
b. Hatley (1995: 21) mengatakan bahwa toponimi buatan adalah nama tempat
yang terbentuk karena faktor manusia, seperti sejarah, budaya, atau aktivitas
manusia. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa toponimi buatan adalah
nama-nama tempat yang terbentuk oleh manusia. Toponimi buatan biasanya
berkaitan dengan sejarah, budaya, atau aktivitas manusia. Misalnya, nama
kota yang berasal dari nama tokoh sejarah, seperti Kota Jakarta yang berasal
dari nama "Jayakarta" yang berarti "kota kemenangan" dalam bahasa
Sanskerta. Nama desa yang berasal dari kepercayaan atau adat istiadat
setempat, seperti Desa Adat Penglipuran di Bali yang berasal dari kata
"penglipuran" yang berarti "tempat yang bersih" dalam bahasa Bali. Nama
jalan yang berasal dari aktivitas ekonomi, seperti Jalan Malioboro di
Yogyakarta yang berasal dari kata "Malioboro" yang berarti "pasar" dalam
bahasa Jawa.
Pembagian toponimi berdasarkan jenisnya ini didasarkan pada faktor yang
mempengaruhi pembentukan toponimi tersebut. Toponimi alami terbentuk karena
faktor alam, sedangkan toponimi buatan terbentuk karena faktor manusia.
Pembagian toponimi berdasarkan jenisnya ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
Membantu untuk memahami sejarah dan budaya suatu daerah. Toponimi alami
dapat memberikan informasi tentang kondisi alam suatu daerah pada masa
lampau, sedangkan toponimi buatan dapat memberikan informasi tentang sejarah,
budaya, atau aktivitas manusia di suatu daerah. Membantu untuk memahami
perkembangan suatu daerah. Perubahan toponimi dapat mencerminkan perubahan
yang terjadi di suatu daerah, baik perubahan fisik maupun perubahan sosial.
Membantu untuk perencanaan pembangunan dan pengembangan suatu daerah.
Toponimi dapat digunakan untuk mengetahui potensi dan kendala suatu daerah,
13

sehingga dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan dan pengembangan


yang lebih tepat.
2. Toponimi Berdasarkan fungsinya
Berdasarkan fungsinya, toponimi dapat dibagi menjadi toponimi politik,
toponimi administratif, toponimi ekonomi, toponimi sosial, dan toponimi budaya.
a. Toponimi politik adalah nama-nama tempat yang berkaitan dengan
pemerintahan. Misalnya, nama-nama negara, provinsi, kabupaten, dan kota.
b. Toponimi administratif adalah nama-nama tempat yang berkaitan dengan
administrasi pemerintahan. Misalnya, nama-nama kecamatan, kelurahan,
desa, dan dusun.
c. Toponimi ekonomi adalah nama-nama tempat yang berkaitan dengan
kegiatan ekonomi. Misalnya, nama-nama pelabuhan, pasar, dan pabrik.
d. Toponimi sosial adalah nama-nama tempat yang berkaitan dengan kehidupan
sosial masyarakat. Misalnya, nama-nama kampung, dukuh, dan gang.
e. Toponimi budaya adalah nama-nama tempat yang berkaitan dengan budaya
masyarakat. Misalnya, nama-nama situs purbakala, tempat ibadah, dan tempat
upacara adat.
2.2. Nama Diri
Menurut Hafmann (1993:117) nama adalah sesuatu yang dipahami dan
disebut oleh seseorang berupa kata, istilah atau ungkapan yang dapat digunakan
untuk mengenali seseorang atau sesuatu dari lainnya. Nama berfungsi sebagai
penunjuk seseorang atau suatu atau sesuatu. Menurut Djajasudarma (1999: 30)
nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas,
dan peristiwa di dunia ini, nama-nama ini muncul akibat dari kehidupan manusia
yang kompleks dan beragam. Dengan nama diri, penegasan ciri sesuatu yang di
tunjuk dapat di pastikan secara akurat. Itulah sebabnya dalam sudut pandang ilmu
bahasa menurut Widodo (2001: 45) nama diri merupakan satuan lingual yang
dapat disebut senagai tanda. Tanda merupakan konsep dari konsep atau petanda
dan bentuk atau penanda (Saussure via Widodo, 2001: 45). Dengan demikian,
nama diri selain berfungsi sebagai penanda identitas, juga dapat merupakan
14

simbol (Widodo, 2001: 45). Pada sisi lain nama diri identik dinyatakan sebagai
konsep. Pernyataan Charlesworth (1959) menegaskan konsep dan nama diri dalam
kaidah dan logika bahasa memiliki dasar pengertian yang berbeda. Nama diri
merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan
peristiwa di dunia ini, nama-nama ini muncul akibat dari kehidupan manusia yang
kompleks dan beragam (Djajasudarma 1999: 30). Sedangkan konsep diri lebih
kepada gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang mencakup
citra fisik dan psikologis (Hurlock 1993: 237).
Menurut Crystal (1987) arti sebuah nama selalu berkait dengan makna
rujukan yang selalu menunjuk pada sebuah atau sesuatu “ini adalah arti tersebut”
namun bila nama dimengerti hanya sebab rujukan maka memungkinkan
terjadinya kekacauan pengertian. Sedangkan Moore (1954) memberikan
penegasan bahwa sebuah nama mengartikan objeknya dan objek adalah arti.
Jadi, nama diri dapat disimpulkan sebagai bentuk penanda, identitas personal
suatu objek untuk menyatakan keberadaannya sebagai sesuatu yang ada. Menurut
Wibowo (2010: 45) nama diri dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai
sebutan untuk menunjuk orang atau sebagai penanda identitas seseorang.
2.3. Kajian Etnolinguistik
2.3.1. Pengertian Etnolinguistik
Teori yang mendasari penelitian ini adalah etnolingistik. Menurut Foley
(dalam Abdullah dan Pitana, 2016: 17) etnolinguistik adalah cabang ilmu
linguistik, etnografi dan etnologi. Etnolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik
menaruh perhatian pada posisi bahasa dalam konteks sosial budaya yang lebih
luas serta berupaya melestarikan praktik-praktik budaya itu beserta struktur sosial
yang ada dalam masyarakat. Secara etimologi, kata "etnolinguistik" berasal dari
dua kata bahasa Yunani, yaitu "ethnos" yang berarti "bangsa" dan "linguistik"
yang berarti "ilmu bahasa". Jadi, etnolinguistik dapat diartikan sebagai "ilmu
bahasa bangsa". Secara oprasional, etnolinguistik juga dapat didefinisikan sebagai
cabang linguistik yang dapat digunakan untuk membedah struktur bahasa hingga
kelas kosa kata bahasa masyarakat etnis tertentu berdasarkan cara pandang dan
15

budaya yang dimiliki masyarakat penggunanya dalam mengekspresikan budaya


atau tradisi tertentu (Baehaqie, 2013: 15).
Dalam pengkajian nama dan penamaan, bahasa tidak terlepas kaitannya
dengan subjek yang dinamakan. Etnolinguistik sebagai ilmu interdisipliner
kebahasaan mempunyai peranan penting dalam menentukan makna sebuah nama
tempat sebagai acuan pengertian, maksud dan tujuan penamaan. Dikemukakan
oleh Duranti (1997:2) bahwa etnolinguistik adalah kajian bahasa dan budaya yang
merupakan subbidang utama dari antropologi (ethnolinguistics is part of a
conscious attempt at consolidating and redefining the studi of language and
culture as one of the major subfield of anthropology). Penjelasan selanjutnya
menyatakan bahwa etnolinguistics is the study. of speech and language within the
context of anthropology. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
etnolinguistik merupakan studi linguistik yang menyelidiki bahasa kaitannya
dengan budaya suku bangsa di manapun berada. Kajian etnolinguistik tidak
terbatas pada suku bangsa yang tidak mempunyai tulisan tetapi yang sudah
mempunyai tulisan pun dapat dikaji. Spradley (dalam Elizabeth, 1997:140)
berpendapat bahwa setiap bahasa mempunyai banyak istilah penduduk asli yang
digunakan oleh masyarakat untuk merujuk hal-hal yang mereka alami dan nama
benda yang ada di sekitar mereka.

2.3.2. Hubungan Etnolinguistik dengan Bahasa dan Kebudayaan


Etnolinguistik dalam penjelasan yang dijabarka di atas merupakan cabang
studi yang menyelidiki hubungan erat antara bahasa dan budaya dalam konteks
masyarakat manusia. Menurut sejumlah ahli, etnolinguistik menggabungkan
aspek linguistik dan antropologi untuk memahami bagaimana bahasa
mencerminkan dan membentuk identitas budaya suatu kelompok etnis. Dalam
pandangan Edward Sapir (1939), seorang antropolog dan ahli bahasa terkemuka,
menyatakan bahwa bahasa dalam kaitannya dengan disiplin ilmu etnolinguistik
bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari pemikiran dan
realitas budaya. Sementara itu, Benjamin Lee Whorf (1941), menekankan peran
bahasa dalam membentuk persepsi yang lebih luas atau global, berpendapat
16

bahwa struktur bahasa dapat memengaruhi cara kita memahami dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitar. Dalam konteks pemeliharaan bahasa dan budaya
minoritas, Eugene Casad (2002) menyatakan bahwa etnolinguistik memberikan
kontribusi penting dalam mendokumentasikan dan memahami bahasa-bahasa
yang terancam punah, memainkan peran kunci dalam pelestarian warisan budaya.
Dengan demikian, etnolinguistik bukan hanya mengkaji bahasa sebagai
sistem komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan keberagaman kultural dan sarana
vital dalam pemertahan identitas suatu kelompok etnis. Pandangan terkait
etnolinguistik juga menggambarkan bahwa kajian ini tidak hanya memerhatikan
variasi linguistik di antara kelompok etnis, melainkan juga fokus pada konteks
sosial, ekonomi, dan politik di mana bahasa tersebut berkembang. Dalam
perspektif Dell Hymes (2009), etnolinguistik mencakup aspek kompetensi
komunikatif, yaitu pemahaman norma-norma budaya yang terwujud dalam
penggunaan bahasa sehari-hari. Dengan kata lain, etnolinguistik tidak hanya
melibatkan analisis linguistik semata, tetapi juga menelaah fungsi sosial bahasa
dan peranannya dalam membentuk interaksi sosial. Etnolinguistik juga memiliki
keterkaitan erat dengan studi-studi kebijakan bahasa. Ahli-ahli seperti Joshua
Fishman (2015), menyoroti pentingnya kebijakan bahasa dalam mendukung
pemeliharaan dan pelestarian bahasa-bahasa minoritas. Kajian etnolinguistik
mencakup pemahaman terhadap dampak kebijakan bahasa terhadap keberlanjutan
dan keberagaman bahasa dalam masyarakat. Secara keseluruhan, etnolinguistik
melibatkan pendekatan holistik yang memahami bahasa sebagai cerminan dan
pemain kunci dalam kehidupan budaya masyarakat. Kajian ini mencakup dimensi
linguistik, antropologis, dan kadang-kadang bahkan sosiologis untuk memberikan
pemahaman yang mendalam tentang hubungan yang kompleks antara bahasa dan
budaya dalam berbagai konteks masyarakat manusia.
2.4. Bahasa Sebagai Produk Kebudayaan
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri (Alwi, 2005: 88). Sedangkan kebudayaan menurut
17

Koentjaraningrat (2000: 181) berasal dari kata dasar budaya dalam bahasa
sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang
berupa cipta, karsa dan rasa, kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Bahasa dan budaya adalah dua faktor pendukung peradaban manusia sebagai
makhluk sosial yang berbudi dan tentunya membutuhkan bahasa untuk
berinteraksi. Chaer dan Agustina (1995:14) mengutarakan bahwa fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Hal ini sejalan dengan Soeparno (1993:5)
yang menyatakan bahwa fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi
sosial. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (sosial
behavior) yang dipakai dalam komunikasi sosial. Sebuah budaya pada hakekatnya
lahir bersamaan dengan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang
disetujui oleh sekelompok masyarakat berbudaya.
Bahasa sebagai produk kebudayaan sebab bahasa pada umumnya berangkat
dari sebuah kebudayaan, bahasa selalu mempunyai ciri khas tersendiri untuk
mencerminkan kebudayaan dari mana bahasa itu berasal. Bahasa memiliki sifat-
sifat, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem; (2) bahasa itu berwujud lambang;
(3) bahasa itu berwujud bunyi; (4) bahasa itu bersifat arbitrer; (5) bahasa itu
bermakna; (6) bahasa itu bersifat konvensional; (7) bahasa itu bersifat unik; (8)
bahasa itu bersifat universal; (9) bahasa itu bersifat produktif; (10) bahasa itu
bervariasi; (11) bahasa itu bersifat dinamis; (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat
interaksi sosial; dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya (Chaer, 2007:
33). Dilihat dari sifat-sifat bahasa diatas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa
memiliki peranan penting untuk kehidupan sosial manusia. Pada butir ke-
13khususnya meyatakan bahwa bahasa merupakan identitas penuturnya. Bahasa
terikat erat dengan penggunanya seperti budaya yang melekat pada karakter dan
sikap setiap orang dalam bersosialisasi.

2.5. Kebudayaan Sebagai Identitas Diri


Kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
seni, moral, hukum, adapt, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
18

diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. (EB Taylor, 1871). Jadi


kebudayaan sangat lekat dengan kepribadian atau diri manusia yang
menjadikannya sebagai makhluk sosial dengan identitasnya sendiri. Sedangkan
oleh Ki Hajar Dewantara mengartikan kebudayaan sebagai buah budi hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat yakni zaman dan alam sebagai
bukti kejayaan hidup manusia dalam mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran
dalam proses hidup dan oenghidupannya guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Dari dua pendapat ahli
datas maka dapat dapat di simpulkan kebudayaan sebagai identitas diri adalah
suatu pencapaian yang melewati tahap pencarian jati diri seorang manusia.
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar.
Kebudayaan tidak diturunkan secara biologis atau pewarisan melalui unsur
genetis.
Melalui kebudayaan manusia sebagai makluk berbudi secara jelas dibedakan
dengan makhluk lain yang segala tingkah dan perbuatannya hanya berdasarkan
insting dan naluri. Gerak-gerik awal saat manusia dilahirkan adalah dorongan
insting dan nalurinya sebagai makhluk hidup, namun insting dan naluri bukanlah
bagian dari kebudayaan tetapi dapat mempengaruhi kebudayaan. Sebagi contoh
dilihat dari cara makan yang berlaku pada saman dahulu dengan masa sekarang,
dimana pada saman dahulu peradaban manusia hanya menggunakan tangan
tangan untuk menyuapakan makanan kedalam mulut, tetap cara itu perlahan lahan
mengalami perubahan, manusia mulai menggunakan benda-benda seperti kayu
dan logam yang dibentuk menjadi alat makan yang disebut sendok. Pada saman
dahulu makan adalah hal yang dilakukan berdasarkan kebutuhan seseorang,
dimana saja dan kapan saja. Namun saat ini, makan bukan saja sebagai kebutuhan
namun sebagai wujud persaudaraan saat makan bersama, setiap kelompok
masyarakat memiliki etika saat makan dan waktu serta tempat makan yang tepat
juga diatur atau dianjurkan. Hal-hal yang demikian telah menjadi sebuah
kebiasaan dan kebudayaan dan ciri khas manusia yang lebih maju dari peradaban
generasi terdahulunya. Sebaliknya kelakuan yang hanya didorong oleh insting dan
19

naluri seperti yang terjadi pada semut. Meskipun dikatakan sebagai makluk
bersosial karena keteraturannya membagi pekerjaan dan membangun sarang yang
dilakukan tanpa pernah diajari atau meniru semut tidak dapat dikatakan sebagai
makhluk ber-budaya sebab tingkah laku tersebut diwarisi secara genetis dan tidak
memiliki perubahan dan perkembangan yang berbeda dari sebelumnya.
Eksistensi manusia sebagai makhluk berbudaya, menjadikan kebudayaan
sebagai identitas diri nyata dalam segala tingkah lakunya terutam dalam hubungan
sosial dan bermasyarakat. Segala bentuk perilaku yang digerakkan oleh
kebudayaan tentu memiliki nilai dan manfaat bagi kelompok dan lingkungan
masyarakat dimana manusia itu ada. Dengan ungkapan “bermanfaat bagi
kelompok dan lingkungan nya” hendaklah ditafsirkan sebagai perilaku-perilaku
yang tidak merugikan orang lain. Misalnya mencuri, jelas yang demikian adalah
perbuatan manusia tidak berbudaya, sebab walaupun perbuatan itu mendatangkan
manfaat bagi diri dan keluarganya, tetapi merugikan orang lain dan yang jelas
menyalahi aturan masyarakat serta ajaran budaya. (Widagdho, dkk (2010: 25).
Identitas mengacu pada karakter khusus individu atau anggota suatu
kelompok atau kategori sosial tertentu. Identitas berasal dari kata “idem” dalam
bahasa latin yang berarti sama. Dengan demikian identitas mengandung makna
kesamaan atau kesatuan dengan yang lain dalam suatu wilayah tertentu
(Rummens, 1993:157-159), selain mengandung makna kesamaan, identitas juga
mengandung makna perbedaan. Identitas juga bermakna suatu karakter yang
membedakan suatu individu atau kelompok lainnya. Dengan demikian identitas
mengandung dua makna, yaitu hubungan persamaan dan perbedaan. Hubungan
persamaan dalam identitas muncul ketika beberapa individu mempunyai
kesamaan sebagai suatu kelompok. Sedangkan perbedaan dapat muncul ketika
individu atau kelompok harus menunjukan karakteristik, ciri khas, yang
membedakannya dengan individu atau kelompok lain. Karakteristik dan ciri khas
tersebut dapat berbentuk kebudayaan setiap individu dalam rupa bahasa, dialeg,
pakaian dan tingkah laku.
20

Kebudayaan sebagai identitas diri adalah bentuk interpretasi manusia


sebagai pribadi yang unik dan personal. Kebudayaan sebagai identitas dilihat dari
perspektif etnolinguistik dalah hal yang berkaitan dengan kehidupan dan
kelangsungan penghidupan masyarakat dalam lingkup lingkungan kelompoknya.
Menurut Koenjaraningrat (Setiadi, 2006: 29) bahwa kebudayaan terdiri atas tiga
wujud, ketiga wujud kebudayaan itu semuanya merupakan kebutuhan masyarakat
yaitu:
1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
normanorma, dan peraturan
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Menurut Setiadi (2006: 28) kebudayaan berfungsi untuk memelihara
ketidaksamaan sosial, dengan kata lain kebudayaan sesungguhnya berfungsi untuk
memelihara dominasi kelompok tertentu dalam masyarakat terhadap kelompok
lainnya. Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan strukturstruktur sosial, religius, dan lain-lain. (Setiadi dkk.
2006: 37).
Pada akhirnya kebudayaan dilihat sebagai suatu hal yang mengandung
pengertian dan manfaat bagi masyarakat, diantaranya adalah sebagai nilai sosial,
norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain. Keberagaman budaya memberikan banyak keuntungan yang
membentuk suatu kelompok masyarakat yang kaya akan perbedaan namun satu
dalam kesamaan misi yang ingin di tuju, identik dengan kesejahteraan bersama.

2.6. Tradisi dan Adat Istiadat


Dalam penelitian ini akan membahas beberapa tradisi masyarakat Kecamatan
Lamboya khususnya Desa Watu Karere dalam kehidupan sosial lingkup
perkampungan. Tradisi selalu berkaitan dengan suatu warisan nenek moyang yang
21

berupa kepercayaan atau keyakinan yang memiliki manfaat dan kedudukan


tersendiri dalam tatanan masyarakat sosial. Tradisi selalu disertai dengan adat
istiadat yang merupakan kebiasaan berperilaku secara turun temurun dan telah
menjadi ciri khas suatu kelompok masyarakat dimana tradisi dan adat istiadat itu
lahir dan diberlakukan.
Menurut Funk dan Wagnalls (2013:78) istilah tradisi dimaknai sebagai
pengetahuan, doktrin, kebiasaan, dan lain-lain yang dipahami sebagai
pengetahuan yang telah diwarisikan secara turun-temurun termasuk cara
penyampaian doktrin. Jadi tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat dulu sampai sekarang.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Penelitian yang diterapkan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian jenis ini
dilakukan berdasarkan fenomena-fenomena faktual yang secara nyata ada dan
berlaku serta berlangsung dalam hidup penganut-penganutnya, maka bentuk
pembuktiannya bersifat seperti potret atau dipaparkan sebagaimana adanya
(Sudaryanto, 1988:22).
Penelitian ini dilakukan setelah melewati beberapa proses dan tahap yang
sesuai dengan kaidah pengumpulan data, klasifikasi data, dan menyimpulkan data
sesuai kajian teori yang di berlakukan. Sebelum mengumpulkan data, peneliti
sebagai bagian dari masyarakat objek penelitian telah melakukan pengamatan
yang berusaha memahami beberapa fenomena sosial yang termasuk dalam
klasifikasi latar belakang masalah yang akan di teliti. Langkah-langkah yang
dilakukan ini sangat bermanfaat dalam tahap pengumpulan dan analisis data.

3.2. Tempat Penelitian


Tempat penelitian adalah hal yang bersangkutan dengan letak tempat objek
yang akan diteliti. Penelitian ini dilakukan di Desa Watu Karere Kecamatan
Lamboya, Kabupaten Sumba Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebelum
melakukan penelitian ke kampung-kampung, peniliti terlebih dahulu menyerahkan
surat penelitian serta melakukan tanya jawab bersama pejabat/aparat Desa Watu
Karere terkait kedaan geografis, ekonomi, budaya, serta kepadatan penduduk.
Hal-hal tersebut menjadi informasi yang mendukung peneliti untuk memetakan
alur penelitian ini.

3.3. Subjek dan Objek Penelitian


Subjek penelitian adalah sesuatu yang menjadi fokus penelitian. Dalam
penelitian ini, subjek penelitian adalah nama-nama kampung di Desa Watu

22
23

Karere, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara


Timur. Nama-nama kampung ini dipilih sebagai subjek penelitian karena
memiliki potensi untuk memberikan informasi tentang budaya masyarakat Desa
Watu Karere. Nama-nama kampung ini biasanya terbentuk berdasarkan faktor-
faktor budaya, seperti sejarah, kepercayaan, atau adat istiadat setempat yang
selanjutnya oleh peneliti di teliti berdasarkan disiplin ilmu toponimi dalam kajian
etnolinguistik.
Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi kajian dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, objek penelitian adalah proses pembentukan dan
pemakanaan nama-nama kampung tersebut berdasarkan kajian etnolinguistik.
Proses pembentukan nama-nama kampung ini dapat memberikan informasi
tentang bagaimana budaya masyarakat Desa Watu Karere mencerminkan diri
dalam bahasa. Misalnya, nama-nama kampung tersebut berasal dari nama tokoh
sejarah dan bahasa tertentu, maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa
Watu Karere menghargai sejarahnya.

3.4. Sumber Data


Data yang dikumpulkan oleh peneliti berupa daftar nama-nama kampung di
Desa Watu Karere Kecamatan Lamboya. Data/daftar tersebut didapatkan dari
kantor Desa Watu Karere. Setelah daftar nama-nama kampung tersebut diperoleh
kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa kampung terdekat untuk
melakukan wawancara bersama informan-informan yang mengetahui asal-usul
serta makna penamaan kampung. Adapun informan dalam penelitian ini
berjumlah tiga orang.
Informan dalam penelitian ini memiliki beberapa kriteria, seperti
berpengetahuan yang luas, ahli atau pakar dalam kasus yang akan didiskusikan.
Berpengalaman serta mampunyai kepedulian terhadap masalah. Pribadi yang ikut
terlibat dalam fokus masalah. Berperan sebagai tokoh penting dalam kasus yang
didiskusikan. Informan berlaku sebagai masyarakat awam namun ikut serta
merasakan dampak persoalan atau masalah yang dibicarakan (Bungin, 2005: 226-
227).
24

Menurut William J. Samarin, sebaiknya informan memenuhi kriteria


sebagai berikut:
1. Usia
Dalam penelitian etnolinguistik, pemilihan informan yang tepat menjadi
krusial. Informan harus dapat mewakili masyarakat bahasa yang diteliti dan
memiliki pengalaman yang mendalam dalam subjek penelitian. Anak-anak
seringkali bukan pilihan yang ideal karena kemampuan mereka dalam memahami
pertanyaan peneliti dapat terbatas. Sebaliknya, orang tua dapat menjadi informan
yang bermanfaat karena pengalaman, wawasan, dan cara berpikir mereka
mendukung peneliti dalam mendapatkan informasi yang beragam. Namun, usia
lanjut juga membawa risiko, seperti kurang lengkapnya informasi akibat
penurunan daya ingat atau kelemahan panca indera, seperti pendengaran yang
dapat menghambat keakuratan jawaban informan terhadap pertanyaan penelitian.
Selain dari yang disebutkan diatas, informan lanjut usia tidak menutup
kemungkinan telah mengalami berbagai kelemahan panca indera seperti
pendengaran yang akhirnya mengakibatkan pertanyaan yang diaajukan oleh
peneliti tidak dijawab secara tepat dan sesuai harapan (Samarin, 1988: 55-57).
Oleh karena itu pada penelitian ini yang termasuk informan adalah para
pemangku jabatan dalam pemerintahan desa dan tokoh masyarakat adat di Desa
Watu Karere. Informan penelitian dalam hal ini tentukan berdasarkan teknik
proposif sample yang mana menurut Sugiyono (2019:144), proposif sample
adalah penelitian dengan kategori sample dalam tabel menunjukkan proporsi
setiap kategori dalam sampel penelitian tersebut. Artinya bahwa dalam penelitian
ini setiap informan diberikan kesempatan untuk memberikan informasi hanya
terkait pemahamahannya, pengalaman, jabatan, dan atas wilayah yang dipimpin.
Berikut adalah kategori informan berdasarkan teknik Proporsif Sample.
Tabel 3.1 : Subejek Penelitian Berdasarkan Teknik Proposif Sample

NO Kategori Usia Proporsi

1 Pemerintah Desa Watu Karere <40 50 %


25

Tahun

> 40 50 %
Tahun

2 Masyarakat Desa dan atau <40 40 %


Tokoh Adat Desa Watu Karere Tahun

> 40 60 %
Tahun
Sumber Data: Olahan Penulis 2021

2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dapat menjadi aspek pendukung tercapainya suatu penelitian
karena ucapan dan cara penyampaian suatu informasi seringkali berkaitan dengan
jenis kelamin terutama dengan memperhitungkan perbedaan fisik. Sebagai contoh,
kaum wanita pada umumnya sulit menyesuaikan tingkat nada ucapannya dengan
kaum pria. Hal ini sering terjadi apabila peneliti berjenis kelamin pria dan
informannya adalah wanita sebab wanita identik diharuskan berbicara dengan
cara-cara berbeda bila berkomunikasi dengan seesama jenisnya atau kaum pria.
Pada penelitian ini, informan yang dipilih 100% adalah berjenis kelamin laki-
laki.
Pemilihan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh mayoritas kebudayaan
terutama pada kebudayaan yang menganut sistem patriarki seperti yang dianut
oleh masyarakat Desa Watu Karere dengan ciri selalu mengatur dan membatasi
bahkan mengikat wanita dengan etika-etika yang terkadang menghendaki kaum
wanita untuk tidak mengetahui keseluruhan adat tidak seperti yang diharuskan
kepada kaum pria yang diwajibkan mempelajari kebudayaan secara menyeluruh
(Samarin, 1988: 57-58).
3. Mutu Kebudayaan dan Psikologi
Seorang informan yang efektif adalah individu yang mampu berkomunikasi
secara jelas dan relevan mengenai topik pembicaraan yang luas namun tetap
26

terkait dengan konteks budayanya. Keahlian khusus dalam seni, budaya, atau
bidang tertentu tidak menjadi syarat mutlak, asalkan informan dapat berperan
dengan baik dalam masyarakatnya. Meskipun pengetahuan informan tidak selalu
sempurna, hal ini dapat memengaruhi interaksi antara peneliti dan informan
(Samarin, 1988: 58).
Kemampuan daya ingat yang baik juga menjadi kunci dalam menunjang
kelancaran penelitian, menghindarkan peneliti dari perlu mengulang pertanyaan
atau mengingatkan pada topik pembahasan, sehingga hasil jawaban yang
diberikan tetap sesuai dengan pertanyaan yang diajukan (Samarin, 1988: 60-61).
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menggunakan informan secara
keseluruhan dengan tingkat psikologi yang baik serta latar kebudayaan dari Desa
Watu Karere.
4. Kewaspadaan
Informan yang baik bagi peneliti adalah informan dengan karakteristik
menaruh perhatian serta tidak mudah terganggu, baik oleh lingkungan maupun
pikiran-pikiran yang sepintas. Informan dengan sifat kewaspadaan akan selalu
sadar terhadap kesalahan-kesalahan atau pertentangan yang ditimbulkan melalui
jawaban yang diberikan kepada peneliti (Samarin, 1988; 61).
5. Bahasa
Penutur asli dari bahasa dan dialek yang sedang diteliti adalah informan
yang baik. Hendaknya informan tersebut berbahasa atau berdialek tunggal, sebab
bila menguasai lebih dari satu bahasa atau dialek akan sangat memungkinkan
terjadinya kesalahan akibat pengaruh dialek dan bahasa yang lain tersebut
(Samarin, 1988: 62).
Berdasarkan penjelasan syarat-syarat ketentuan informan menurut William
J. Samarin, maka dalam penelitian ini melibatkan informan-informan dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Usia antara 25-60 tahun
b. Jenis kelamin laki-laki
c. Memiliki bahasa ibu bahasa Kecamatan Lamboya
27

d. Memiliki pengetahuan tentang asal-usul makna, nama dan penamaan kampung


di Desa Watu Karere Kecamatan Lamboya.
e. Tidak sedang mengalami tekanan jiwa.
f. Mampu menceritakan dan mengutarakan kisah.
Data-data yang berkaitan dengan sejarah dan pembentukan nama-nama
kampung ini murni diambil dari wawancara dengan warga, tokoh masyarakat dan
tokoh adat yang benar-benar mengetahui asal-usul penamaan kampung.
3.5. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data penelitian, metode pengumpilan data adalah
dengan menggunakan dokumen danhasil wawancara. Dokumen adalah setiap
bahan tertulis atau video dan record yang dipersiapkan karena adanya permintaan
dari penyidik (Maleong, 216: 217). Dokumen-dokumen yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya dokumen resmi internal pemerintah desa. Wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(narasumber) yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (Maleong,
2010: 186). Agar wawancara efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus
dilalui, yakni ; 1). mengenalkan diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3).
menjelaskan materi wawancara, dan 4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010:
358).
Wawancara dalam penjabarannya terdapat dua jenis, yakni: 1). wawancara
mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara
mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya
jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya
sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali; 2). wawancara terarah
(guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada informan hal-hal yang
telah disiapkan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara mendalam, wawancara
terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup, karena peneliti terikat
dengan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Sering terjadi pewawancara
atau peneliti lebih memperhatikan daftar pertanyaan yang sama untuk diajukan.
28

Pada penelitian ini sebagian besar wawancara dilakukan dengan jenis


mendalam (in-depth interview) dengan tujuan agar wawancara lebih hidup dan
mudah dalam menggali informasi yang berkaitan dengan toponimi nama kampung
serta kajian etnolinguistik. Wawancara dengan jenis ini juga dapat sangat
membantu peneliti untuk mengaitkan beberapa topik pembicaraan yang berkaitan
dengan judul penelitian. Kesinambungan antar nama kampung dan sejarah yang
terikat dengan asal mula pembentukan beberapa kampung dapat digali secara
mendalam melalui tanya jawab yang berurutan. Misalnya, bagaimana awal mula
nama Kampung Allang terbentuk yang disertai dengan sejarah pemisahan menjadi
tiga kampung berbeda (Allang, Harona Mema, dan Kabatana) berdasarkan suku
yang dalam Bahasa Lamboya kabih’hu yang mendiami setiap kampung tersebut.

3.6. Metode dan Teknik Analisis Data


Pada penelitian ini menggunakan analisis data dengan metode
perbandingan tetap. Metode perbandingan tetap adalah metode yang
membandingkan antara kategori yang satu dengan yang lain (Maleong, 2008:
288). Metode perbandingan tetap memilik tahapan sebagai berikut:
1. Reduksi Data
a. Tahap awal yang perlu dilakukan adalah mengidetifikasi satuan atau unit
terkecil yang berkaitan dengan apa yang akan diteliti (Maleong, 2010:
288). Maka dalam penelitian ini peneliti melakukan pembedahan data yang
diperoleh dari hasil wawancara serta dokumen-dokumen pendukung
lainnya yang berkaitan dengan asal-usul dan makna nama-nama kampung
di Desa Watu Karere.
b. Tahap berikutnya dalam reduksi data adalah tahap membentuk koding
dengan tujuan menyematkan kode pada setiap unit terkecil agar mudah
ditelusuri, diketahui sumbernya (Maleong, 2010: 288). Data-data pada
penelitian ini telah dipilah dengan pemberian kode sesuai kaidah yang
tepat. Pada penelitian ini dokumen atau catatan memang sangat minim
yang berkaitan dengan nama dan sejarah penamaan kampung karena
beberapa alasan kebudayaan serta tradisi yang belum mewajibkan
29

dokumentasi sejarah dalam bentuk tulis sehingga pewarisan sejarah terjadi


secara lisan turun temurun.
2. Kategorisasi
a. Tahap pertama yang dilakukan dalam kategorisasi adalah ialah memilah
satuan-satuan data yang memiliki kesamaan (Maleong, 2010: 288). Pada
penelitian ini, reduksi data dilakukakn dengan memilah nama-nama
kampung di Desa Watu Karere sesuai dengan pemaknaannya.
b. Tahap selanjutnya adalah pemberian nama (label) pada satuan-satuan data
(Maleong, 2010: 288). Data-data dalam penelitian ini telah di namai (label)
sesuai kategorisasi.
3. Sintesisasi
Sintesisasi bertujuan memadukan satuan-satuan data yang memiliki
kesamaan kemudian di beri nama atau label (Maleong, 2010: 289). Dengan
sintesisasi, nama-nama kampung dapat dikategorisasikan berdasar
pembentukan nama-nama tersebut.
4. Penyusunan Hipotesa Kerja
Penyusunan hipotesa kerja ini dilaksanakan berdasar rumusan data yang
proporsional. Hipotesa kerja baiknya menjadi jawaban terkait pertanyaan-
pertanyaan dalam penelitian (Maleong, 2010: 289). Penelitian ini memilah
data-data berdasar asal kata pembentuknya.
Contoh tabel data yang berupa dokumen ialah sebagai berikut:
Kampung Watu Karere (xx/I)
Keterangan:
xx : nomor
I : kategorisasi berdasar dusun
Contoh kartu hasil wawancara:
Dari awal sebelum berdirinya kampung oleh kabihu/suku Gaura, sekitar
kampung itu banyak terdapat tanaman karere (sejenis semangka liar) yang
mana bisa jadi buah-buahan yang dapat di konsumsi oleh siapa saja yang
melewati daerah itu sebelum atau sesudah berdirinya kampung tersebut. Ini
30

menjadi alasan mendasar mengapa kampung tersebut dinamai Watu Karere


dengan tujuan mengenang atau agar tidak lupa pada karere itu
(XI/NN/NK/BN/MN/AUN/xyz1). Jadi, setelah perkampungan itu ada
tanaman tersebut perlahan musnah karena dibersihkan untuk mencegah
dijadikan sarang oleh binatang-binatang aneh seperti ular dan lain
sebagainya.
Keterangan:
AA : Nomor pengambilan data
NN : nama narasumber
NK : Nama Kampung
BN : Bentuk Nama
MN : Makna Nama
AUN : Asal-Usul Nama
xyz1 : Tanggal pengambilan data

3.7. Tahap Uji Keabsahan Data


Tahap ini bertujuan menentukan keabsahan data hasil penelitian dengan
menggunakan teknik pengamatan yang masif serta triangulasi teori dan sumber
data. Teknik-teknik tersebut digunakan dengan tujuan agar dapat menemukan data
dan sumber yang akurat serta memadai sesuai kebutuhan penelitian. Pengamatan
ini dilakukan secara berulang-ulang dan terkontrol. Data-data hasil wawancara
merupakan jenis data yang mebutuhkan pengamatan secara masif agar peniliti
benar-benar menemukan data yang dibutuhkan. Pada penelitian ini, uji keabsahan
data dilakukan melalui wawancara dengan pertanyaan yang sama terhadap orang
yang berbeda baik secara pemahan individual maupun berdasarkan pengetahuan
sekelompok orang. Jadi setiap wawancara yang telah dilakukan juga dipastikan
keabsahan informasi yang didapatkan terhadap beberapa tokoh masyarakat yang
di rekomendasikan oleh beberapa informan.
Dari cara yang dilakukandiatas, pada intinya adalah bahwa triangulasi
teori dilakukan dengan cara membandingkan beberapa teori, menemukan
31

kesamaan antara teori agar dapat dinyatakan sebagai teori yang absah (Patton Via
Maleong, 2010: 331).
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara melakukan bedah persentase
kebenaran suatu data berdasarkan sumbernya dalam jangka waktu dan alat yang
berbeda (Patton Via Maleong, 2010:330). Dalam penelitian ini, peneliti
membandingkan informasi dari hasil wawancara dengan isi dokumen-dokumen
pendukung lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Penunjang berhasilnya
triangulasi teori dan sumber dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Linguistik, dan Kamus Bahasa Lamboya.

Anda mungkin juga menyukai