Anda di halaman 1dari 5

1.

LATAR BELAKANG

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain memiliki julukan sebagai kota Pelajar, juga
memiliki juluka lain sebagai Kota Seni dan Budaya. Potensi warisan budaya di Yogyakarta
secara garis besar dibedakan menjadi 2, yaitu Potensi budaya fisik yang terdiri dari Kawasan
cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya non fisik antara lain seperti
gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial yang ada dalam masyarakat.
Diperkuat dengan slogan “Jogja Istimewa”, semakin membuat branding kota jogja sebagai
destinasi wisata budaya bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Warisan budaya fisik selain berfungsi sebagai obyek wisata juga memiliki fungsi lain bagi
masyarakat, fungsi lain tersebut seperti masyarakat biasa menggunakan bangunan-bangunan
bersejarah yang berada di Kota Yogyakarta sebagai rujukan untuk menentukan arah atau acuan
sebuah tempat. Masyarakat Jogja juga memiliki beberapa mitos terhadap tempat-tempat
bersejarah yang telah diwariskan turun temurun secara lisan. Istilah mitos sendiri menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan
zaman dahulu yang mengandung penafsiran dan makna terhadap kejadian asal-usul semesta
alam, manusia dan bangsa. Oleh karena itu, mitos erat kaitannya dengan sejarah peradaban
budaya dan manusia.

Beragam warisan budaya tersebut dapat dikategorikan sebagai folklor. Folklor berasal dari
folklore yang berasal dari dua kata; folk danlore. Folk sama artinya dengan kolektif, yang mana
dijelaskan sebagai ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok
orang. Sedangkan lore, yang memiliki asal kata sama dengan colere (culture) adalah tradisi dari
folk, yakni kebudayaannya yang khas, yang diwariskan secara turun-temurun melalui lisan atau
suatu komunikasi nonverbal seperti sebuah contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
bantu pengingat. Menurut Alan Dundes, secara keseluruhan folklor adalah sebagian kebudayaan
suatu kelompok orang yang disebarluaskan dan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat alat pembantu pengingat.

Terkait hal ini, terdapat dua istilah dari sudut ilmu pengetahuan menunjukkan pertentangan
yang saling bertolak belakang, yaitu folklor dan sejarah. Jika membahas folklor, hal ini berpijak
pada tradisi suatu masyarakat yang lebih mengutamakan fungsi dan manfaatnya daripada
kebenarannya, sedangkan jika berbicara mengenai sejarah, hal itu berpijak pada kebenaran
peristiwa yang terjadi. Peristiwa sejarah adalah peristiwa yang benar-benar terjadi, bukan rekaan
atau rekayasa, sehingga dapat dibuktikan kebenarannya karena memang sesuai dengan fakta. Hal
tersebut biasanya diperkuat dengan bukti dan saksi atas suatu peristiwa (sejarah) yang pada
gilirannya akan berujung pada kredibilitas fakta sebagai sumber sejarah. Terlebih folklor
memiliki kaitan erat dengan sejarah ini sering kali dianggap sebagai karya primitif dan kurang
melek huruf. Walaupun realitasnya,folklorjustru banyak menawarkan kesejarahan bangsa.
Folklor dapat membantu para pemerhati sejarah, terutama sejarah lisan. Aktivitas manusia yang
tidak lepas dari cerita sejarah ini, tanpa disadari folklor semakin langgeng dalam mewarnai
perjalanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, upaya pelestarian folklor menjadi sesuatu yang
mendesak untuk segera dilakukan. Perlu segera dilakukan identifikasi, klasifikasi dan deskripsi
folklor yang berkembang di Kota Yogyakarta secara tertulis. Meskipun hal tersebut berarti
menjadikan posisi warisan tersebut sebagai folklor perlu dibicarakan lebih lanjut.
Kehidupanmanusia yang tumbuh dari adanya sebuah kebudayaan ini perlu menumbuhkan sikap
menghargai masa lalu dengan menyesuaikan tradisi karena tidak dapat dipungkiri bahwa folklor
merupakan warisan yang telah melebur dalam kehidupan masyarakat. Maka, diperlukan telaah
lebih lanjut mengenai nilai-nilai mana saja yang masih relevan sehingga dapat memberikan
paham dalam upaya mempertahankan kepribadian bangsa, dan waspada dalam menanggapi
dampak negatif dari arus budaya asing.

2. METODE PENELITIAN

Kajian Folklor Kota Yogyakarta menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Studi
Kasus. Metode ini mengharuskan peneliti turun ke lapangan secara langsung dan melakukan
wawancara dengan narasumber. Melalui metode pengumpulan data ini secara garis besar
meliputi partisipasi peneliti dalam melihat perkembangan folklor yang berkembang di Kota
Yogyakarta dalam jangka waktu yang panjang, sehingga dapat melihat dengan saksama hal-hal
yang terjadi di sekitar, membuka telinga lebar-lebar pada apa yang dikatakan, dan/atau
melemparkan pertanyaan melalui wawancara formal maupun informal, juga mengumpulkan
dokumen dan artefak. Pada dasarnya yakni mengumpulkan data dalam bentuk apa saja yang
dapat membantu menjelaskan isu yang sedang dibahas.

Kegiatan penelitian Folklor Kota Yogyakarta dilakukan dengan langkah-langkah


sebagai berikut:
1. Persiapan kajian: studi pustaka dan mengumpulkan data yang bersumber dari bentuk fisik
bukubuku, makalah, literatur, surat kabar dan katalog yang berkaitan dengan objek
kajian.
2. Penyusunan instrumen penelitian: peralatan untuk pelaksanaan kajian, daftar
pertanyaan/kuesioner, daftar obyek amatan dan informasi yang diperlukan.
3. Survei lapangan: survei dengan narasumber yang berasal dari budayawan yang
memahami mengenai folklor di Kota Yogyakarta.
4. Wawancara: Setelah dilakukan observasi lapangan, maka kemudian dilakukan
wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan akurat.
5. Analisis data: data diklasifikasikan terlebih dahulu dengan cara deskriptif analisis, yaitu
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
6. Penyusun laporan: Pendahuluan, Antara, Akhir.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasar pada pengamatan dan focus group discussion dengan pihak terkait, kajian
folklor ini mengerucut pada pendataan folklor yang terkait dengan sastra lisan. Hal tersebut
sesuai dengan bidang yang menaungi kajian ini, yaitu Bidang Sejarah, Permuseuman, Bahasa
dan Sastra; Seksi Bahasa dan Sastra. Adapun yang dimaksud dengan sastra lisan adalah
tradisi lisan tidak hanya dalam bentuk tuturan semata, tetapi juga dalam bentuk sastra dan
seni, serta aspek kelisanan lainnya. Bentuk-bentuk wadah penyebaran tradisi lisan ini di
antaranya pertuturan adat yang dilakukan dalam upacara-upacara adat, mantra yang
digunakan dalam ritual-ritual adat, lagu permainan anak-anak, bahkan lagulagu pujian bagi
orang yang meninggal, dan dendang untuk memikat hewan buruan atau menangkap hewan
buas. Adapun folklor lisan antara lain meliputi dongeng, mite, anekdot, legenda, pantun,
syair.

Dongeng sebagai prosa rakyat yang berbentuk lisan bisa jadi merupakan bentuk
folklor yang paling dikenal. Bagi sebagian kalangan, folklor bahkan identik dengan cerita
rakyat atau dongeng. Karena sangat banyak pembahasan tentang dongeng dari berbagai
aspek, maka pembahasan dongeng sebagai salah satu bentuk folklor Kota Yogyakarta bisa
jadi menghasilkan kajian tersendiri.

Mantra pada konteks ini tidak selalu berkaitan dengan segala sesuatu yang adi
kodrati. Pembahasan mantra berpusat pada ujaran yang biasa muncul pada anakanak saat
mereka melakukan aktivitas bermain ataupun kehidupan sehari-hari sebagai anak.

Lagu permainan anak/dolanan pada permainan tradisional sejatinya memiliki


berbagai nilai - nilai yang merupakan kearifan lokal. Meskipun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa permainan tradisional pada era saat ini tidak lagi dimainkan anak- anak
karena beberapa faktor, di antaranya yaitu lahan bermain yang saat inisudah mulai terbatas
karena diutamakan untuk pembangunan gedung, serta kemajuan teknologi yang
menyebabkan hadirnya alternatif baru dalam mengisi waktu luang.

4. KESIMPULAN

Pengamatan, studi pustaka dan analisis awal memperlihatkan bahwa folklor Kota Yogyakarta
sangatlah unik. Unik karena menjadi milik folk yang melewati batas teritorial tertentu. Dalam
waktu bersamaan, hal tersebut juga menyulitkan untuk melakukan klaim terhadapnya. Kota
Yogyakarta sebagai sebuah wilayah teritorial yang bersifat politis, pada saat yang sama secara
kultural tidak bisa dibatasi oleh sebuah tonggak batas kota. Apalagi sebagai sebuah wilayah yang
di dalamnya terdapat Keraton sebagai pusat kebudayaan bagi Yogyakarta secara luas.
Secara umum, studi tentang folklor Kota Yogyakarta cukup banyak. Meski demikian, ada
beberapa aspek yang belum sepenuhnya tergarap dari penelitianpenelitian terdahulu. Yang
pertama ada logat atau dialek khas Kota Yogyakarta. Memang sangat sulit untuk membuat
deskripsi yang berkaitan dengan hal tersebut. Tetapi saat ini dengan teknologi audio visual,
haltersebutmenjadisangat mungkin. Pada bagian ini pula terdapat ragam Bahasa Slang yang
sangat menarik. Basa Walikan dan Plesetan terbukti identik dengan Kota Yogyakarta. Kedua hal
tersebut bahkan terbukti memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Kedua, pakaian tradisional sebagai sebuah bentuk folklor memang telah banyak dibicarakan.
Meski demikian, secara praktikal, pembahasan pakaian tradisional terpusat pada pakaian untuk
kepentingan ritual maupun wisata. Pembicaraan tentang pakaian masyarakat marginal belum
ditemukan.

Ketiga, telaah folklor Kota Yogyakarta setelah melalui proses focus group discussion
mengerucut pada usaha untuk melakukan identifikasi dan deskripsi singkat pada sastra lisan
sebagai bagian dari folklor. Usaha ini menemukan fakta bahwa sastra lisan di kalangan penduduk
Kota Yogyakarta telah menempatkan beberapa bentuk folklor yang tadinya sebagian lisan (misal
permainan tradisional), berubah sepenuhnya menjadi folklor lisan. Hal tersebut karena bentuk
permainannya sudah tidak ada lagi dan yang ada tinggal lagu-lagunya atau deskripsi permainan
terkait.

Berkaitan dengan hal tersebut, yang harusmenjadi perhatian utama adalah pendukung
kehidupan folklor. Sebuah bentuk folklor hanya akan bertahan hidup saat masyarakat masih
membutuhkan dan mempercayai sistem yang dibawanya. Oleh karena upaya pelestarian folklor
harus lebih ditujukan kepada lingkungan di mana folklor tersebut hidup. Pelestarian folklor
beserta nilai yang dikandungnya tidak akan mencapai hasil maksimal apabila hanya
memperhatikan wujudnya saja.

Rangkaian penelitian tentang folklor Kota Yogyakarta membuktikan pendapat William R.


Bascom yang menyatakan bahwa folklor paling tidak memiliki empat fungsi, yakni: a) sebagai
sistem proyeksi atau cerminan angan-angan suatu kolektif, b) sebagai alat legitimasi pranata-
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, c) sebagai alat pendidikan anak, dan d) sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh seluruh anggota
masyarakat.

Selain itu Folklor bersifat pralogis, yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum dan folklor menjadi milik bersama dari suatu kelompok tertentu. Hal ini
disebabkan oleh penciptanya yang anonim, sehingga kelompok tersebut merasa sebagai
pemiliknya. Folklor umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering terlihat kasar dan spontan.
Hal ini dapat dimengerti karena adanya manifestasi emosi manusia yang jujur.
5. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil kajian Folklor Kota Yogyakata ini, diajukan beberapa rekomendasi
yang dapat ditindaklanjuti oleh Perangkat Daerah terkait, yaitu:
1. Sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban akademik dan sosial, perlu
dilakukan sosialisasi dalam bentuk penerbitan makalah dan laporan hasil penelitian,
pemuatan hasil penelitian di media massa, serta didistribusikan kepada masyarakat
luas.
2. Untuk kepentingan peningkatan kualitas penelitian Folklor Nusantara, perlu
dilakukan pilihan tema secara lebih terfokus dengan melibatkan semua unsur.
Folklor Nusantara, juga perlu mempertimbangkan tingkat persebaran wilayah,
tipologi penduduk berdasarkan agama, corak dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai