Disusun oleh :
A. Ringkasan
Tradisi Bau Nyale merupakan tradisi tahunan masyarakat Sasak di Lombok Tengah
yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 20 bulan ke-10 menurut penanggalan Sasak.
Tradisi ini berasal dari sebuah legenda yang hidup ditengah masyarakat tentang
pengorbanan seorang putri dalam menjaga kedamaian dan persatuan negrinya.
Pemaknaan atas pengorbanan tersebut merupakan suatu ajaran yang diwariskan secara
turun-temurun yang sarat akan makna filosofis sebagai ajaran bagi kehidupan
masyarakat setempat. Ajaran tersebut juga dapat menjadi acuan untuk menumbuhkan
rasa nasionalisme masyarakat Sasak dengan cara mengaitkan nilai yang terdapat pada
tradisi ini dengan nilai-nilai Pancasila.
Pemaknaan tradisi Bau Nyale dikaji dengan menemukan asal muasal tradisi tersebut
dilaksanakan. Penelusuran tradisi dilaksanakan dengan konsep analisa kearah historis
dan kultural. Dengan basis historical culture akan mengarahkan pada pemahaman,
perkembangan serta perjalanan eksistensi suatu tradisi dari awal perkembangan hingga
zaman kontemporer atau kekinian.
Dalam pemaknaan historis dan kultural, penelitian ini diupayakan mampu menggali
nilai-nilai (values) yang tersirat dalam tradisi Bau Nyale secara aksiologi (klasifikasi
nilai). Suatu tradisi yang dijadikan panutan dan way of life bagi kehidupan masyarakat
Sasak di Lombok, sehingga melahirkan nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila.
Analisa historical culture dan eksplorasi relevansi nilai moral dan sosial terhadap
nilai-nilai Pancasila pada tradisi Bau Nyale dilakukan dengan pendekatan
fenomenologi. Hasil yang ingin didapatkan adalah transfer knowledge dari keterlibatan
langsung pelaksanaan tradisi tersebut serta menggali lebih lanjut pengaruhnya dalam
kehidupan, terutama dalam pengimplementasian nilai Pancasila.
B. Latar Belakang
Saat ini nilai–nilai Pancasila mulai tergerus oleh dampak buruk globalisasi yang
membawa karakter masyarakat menjadi individualistik dan liberal. Realitas
„keterpinggiran‟ nilai–nilai Pancasila dianggap dalam ambang batas mengkhawatirkan.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan bangsa yang tidak kunjung usai, seperti
konflik antarwarga, korupsi, dan ketidakharmonisan pemerintah dengan masyarakat.
Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale artinya
cacing warna. Jadi tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing warna. Tradisi ini
sangat melegenda dan diyakini memiliki nilai sakral yang tinggi bagi masyarakat
Lombok. Keberadaan tradisi Bau Nyale ini memiliki hubungan langsung dengan cerita
rakyat suku Sasak pada abad ke-16 Masehi.
Melalui beberapa konfik kesukuan yang terjadi di Indonesia, tradisi Bau Nyale
diharapkan mampu menjadi parameter bangsa Indonesia yang mulai meninggalkan
sikap tenggang rasa, peduli sesama dan musyawarah untuk mufakat. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapakan mampu menjadi wadah baru dalam memahami Pancasila dan
nilai historis kedaerahan di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan inspirasi tentang cara bermasyarakat ditengah kehidupan modern dengan
tetap menjaga identitas Indonesia sebagai negara dengan ribuan budaya dalam koridor
nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
C. Tujuan Penelitian
D. Metode penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu selama 5 bulan dan dilakukan
dengan penggalian informasi di lapangan. Wilayah penelitian ini adalah di daerah
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
4. Analisis Data
c. Sintesiasi, yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya
E. Hasil
Tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing (nyale) yang dilakukan oleh
warga Lombok. Tradisi ini dilakukan setahun sekali, yakni setiap tanggal 19/20
bulan ke-9 atau ke-10 menurut penanggalan Sasak. Tradisi ini bermula dari
kepercayaan warga Lombok yang mempercayai adanya kerajaan Sekar Kuning yang
dipimpin oleh raja Beberu. Raja ini memiliki seorang putri yang cantik parasnya dan
baik budinya bernama Mandalika. Banyak pangeran dari penjuru negeri ingin
meminangnya. Hal ini menjadikan Mandalika bimbang karena ia memikirkan akibat
yang ditimbulkan jika ia memilih salah satu diantara mereka. Singkat cerita, ia
memutuskan untuk mengumpulkan seluruh warga Lombok di sebuah bukit Batu
Angkus. Disana ia akan mengumumkan keputusan yang telah ia ambil. Pada hari
yang telah ditetapkan, ia berseru dengan suara yang lantang di atas bukit tersebut.
“Wahai para pangeran dan rakyatku, aku tidak akan memilih salah satu dari para
pangeran yang melamarku. Demi kebaikan bersama, demi kebaikan negeri ini, aku
tidak memilih seorangpun dari kalian. Aku akan menjadi milik semua orang, jika
kalian mencintaiku, temui aku ditempat ini tanggal 20 bulan 10 setiap purnama
tiba” (Taufan, 2012:63). Tak lama setelah itu, Mandalika menceburkan dirinya ke
laut. Seluruh rakyat yang hadir terkejut dan segera terjun ke laut untuk
menyelamatkan sang putri, namun mereka tidak menemukannya, justru keluar
cacing berwarna-warni yang cukup banyak. Hingga saat ini mereka mempercayai
bahwa cacing-cacing tersebut merupakan jelmaan dari putri Mandalika.
Aksiologi merupakan teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai (Kunaryo, 1994). Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai
dominan, yakni nilai sosial dan nilai moral.
Nilai moral merupakan nilai kebaikan. Dalam tradisi Bau Nyale, nilai ini terlihat
pada tindakan yang diambil Mandalika saat memutuskan untuk menceburkan diri
kedalam laut agar tidak ada pertumpahan darah di negerinya. Niat baik sang putri
adalah sebuah realisasi nilai moral yang dapat di implementasikan pada masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Lombok Tengah.
Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata pada persatuan masyarakat
Lombok untuk berkumpul saat prosesi Bau Nyale berlangsung. Tradisi ini masih
mereka lestarikan hingga saat ini karena Nyale yang mereka dapatkan diyakini
memiliki banyak manfaat. Manfaat yang paling terlihat yaitu:
Mewarisi nilai nilai leluhur yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale, antara
lain perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, menghormati hak milik orang
lain, dan tidak mementingkan keputusan pribadi. Selain itu, setelah melakukan
tradisi Bau Nyale ini, masyarakat Lombok merasakan lebih sejahtera, sehingga
mereka akan berusaha lebih giat untuk mendapatkan nyale-nyale tersebut.
Dengan memahami dan mempelajari kearifan lokal yang ada di suatu daerah
seperti tradisi Bau Nyale, sudah seharusnya masyarakat kembali berpegang teguh
pada apa yang seharusnya menjadi falsafah hidupnya, yakni Pancasila, karena
sejatinya, nilai-nilai positif yang terdapat pada kearifan lokal merupakan potensi dan
modal dasar dalam pembentukan nilai–nilai dasar yang sesuai denga sila sila
Pancasila. Untuk itulah diperlukan inventarisasi maupun revitalisasi dari nilai-nilai
kearifan lokal dengan cara menempatkannya ataupun menghidupkannya kembali
dalam konteks masa kini. Nilai–nilai itu dapat digali maupun diperhatikan dari
tradisi berbagai etnis baik lisan maupun tulisan, seperti budaya gotong–royong,
budaya malu, musyawarah untuk mencapai mufakat (demokrasi), toleransi, sopan
santun dan saling menghormati. Dengan demikian, penggalian nilai kearifan lokal
tersebut diharapkan dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional dan
jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai–nilai Pancasila.
F. Kesimpulan
Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai dominan, yakni nilai sosial
dan nilai moral. Nilai moral dalam tradisi bau nyale nilai ini terlihat pada tindakan yang
diambil putri Mandalika untuk menceburkan diri ke dalam laut demi mencegah
pertumpahan darah di negerinya. Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata
pada persatuan masyarakat ketika mereka berkumpul saat prosesi Bau Nyale. Maka
dengan demikian, penggalian nilai kearifan lokal ini diharapkan dapat memberikan arah
bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila
DAFTAR PUSTAKA :
Frondizi, Risieri. 2011. Pengatar Filsafat Nilai. Diterjemahkan oleh Cuk Ananta
Wijaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar