Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM FOLKLOR PUTRI

MANDALIKA

Oleh:

Elsa Ermasari

(E1C020052)

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan

Universitas Mataram

2022
ANALISIS NILAI BUDAYA DALAM FOLKLOR PUTRI MANDALIKA

A. Latar Belakang

Sastra daerah, khususnya sastra lisan merupakan kekayaan


bangsa indonesia yang sangat berharga. Sastra lisan dapat dijumpai di berbagai etnis
yang ada di indonesia. Sastra lisan hidup berdampingan dengan sastra
tulis. Keberadaan sastra lisan di tengah-tengah perkembangan sastra indonesia
modern mengandung makna tersendiri bagi masyarakat pemiliknya. Artinya,
masyarakat indonesia, khususnya yang berbeda di daerah dengan pikiran, perasaan,
dan cita-cita mereka. Dengan kata lain, nilai sastra lisan dianggap masih relevan
dengan kehidupan masyarakat pemiliknya pada masa sekarang ini.
Cerita Mandalika Nyale atau Bau Nyale merupakan salah satu khazanah sastra
lisan suku sasak yang berbentuk prosa yang sampai sekarang ini masih dianggap
relevan dengan perkembangan zaman seperti pada kehidupan sosial masyarakat sasak
sekarang ini. Cerita ini lahir, hidup dan berkembang sejalan dengan peradaban
masyarakat dan dilandasi oleh keprcayaan masyarakat setempat.Kepercayaan tersebut
sangat mendarah daging pada masyarakat setempat dan karenanya cerita tersebut
kemudian diwariskan secara turun-temurun secara lisan
dengan cara mendongengkannya kepada anak cucu. Bahkan pada perkembangan
sekarang ini, cerita Bau Nyaledisajikan dalam bentuk pementasan drama panggung
atau teater tradisional yang dipentaskan pada saat-saat tertentu.
Berdasar dari kepercayaan masyarakat Lombok, nyale berasal dari sebuah
legenda masyarakat Sasak. Ada seorang putri yang cantik jelita bernama Mandalika.
Putri Mandalika merupakan anak pasangan Raja Tonjeng Beru dan Dewi Seranting
dari Kerajaan Sekar kuning dalam hikayat kuno Sasak. Karena kecantikannya itu,
putra-putra mahkota di nusantara ingin mempersunting Putri Mandalika. Akibat
banyak yang ingin mempersuntingnya, Putri Mandalika pun menjadi bingung dan
tidak bisa menentukan pilihannya. Ia juga takut akan terjadi peperangan jika memilih
salah satu dari mereka. Maka dari itu, Putri Mandalika mengorbankan dirinya dengan
menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi nyale (cacing) berwarna-warni.

Lebih lanjut, pada pelaksanaan upacara bau nyale, upacara tersebut juga di ambil
dari cerita rakyat Mandalika. Bau nyale adalah kegiatan rutin tahunan masyarakat
sasak untuk menangkap cacing laut yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam
penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa) atau tepat 5 hari setelah bulan
purnama. Umumnya, antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya. Kata Bau
berasal dari Bahasa Sasak yang berarti menangkap sedangkan kata Nyale berarti
cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang dibawah permukaan laut.
Festival ini dirayakan dengan meriah setiap tahunnya. Kegiatan ini sebagai wujud
memelihara atraksi budaya yang sudah menjadi peninggalan leluhur masyarakat
Sasak Lombok.

Masyarakat biasanya mulai untuk menangkap nyale di pantai selatan Lombok,


seperti Pantai Seger Kuta Lombok, Tanjung Aan, Kaliantan, dan daerah selatan
lainnya untuk menunggu munculnya nyale yang biasanya keluar pada pukul 04.00
hingga 06.00. Tanggal penentuan kemunculan nyale bukan merupakan hal
sembarangan. Pasalnya, pemangku adat Sasak dari keempat penjuru mata angin harus
bertemu di tempat suci dan menggelar ritual wajib yang tak boleh diketahui
orang-orang. pada umumnya setelah tradisi Nyale selesai akan dilanjutkan dengan
mepaosan. Dalam tradisi ini dimulai dengan pembacaan lontar yang dilakukan tokoh
adat sehari sebelum pelaksanaan tradisi. Mepaosan dilakukan di bangunan tradisional
tiang empat yang disebut Bale Saka Pat.

Peneliti tertarik dengan nilai budaya dan norma-norma kebaikan yang dituangkan
dalam cerita legenda ini. Folklore putri mandalika merupakan kisah teladan dan
inspirasi yang mengandung nilai-nilai moral yang bisa dijadikan pedoman kehidupan
sehari-hari. Salah satunya adalah sifat rela berkorban. Sifat ini tercermin pada sifat
sang Putri ketika ia merelakan diri dan mengorbankan jiwa raganya demi meredam
gejolak dan terjadinya pertumpahan darah antara pangeran- pangeran yang
menginginkannya. Ia lebih meyakini bahwa mengorbankan dirinya akan lebih
bermanfaat daripada mengorbankan masyarakatnya. Hal ini sangat relevan dengan
keadaan dimana dewasa ini generasi sedang mengalami krisis norma dan nilai-nilai
budaya. Maka dari itu peneliti memilih judul “analisis nilai budaya dalam folklore
putri mandalika”.

B. Rumusan Masalah

Dari persoalan di atas, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah nilai budaya folklore Putri Mandalika dan tradisi bau nyale?
2. Bagaimanakah nilai budaya folklore Putri Mandalika dan tradisi bau nyale
dalam hubungannya dengan nilai moral masyarakat sasak?

C. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Objek penelitian ini adalah nilai-nilai budaya yang ada dalam folklore putri
mandalika. Maka dari itu, sebagai bahan referensi yang akan dijadikan peneliti
sebagai acuan dalam pembuatan hipotesis. Berikut ini penelitian sebelumnya
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, yaitu
terkait dengan nilai budaya dan folklore. Beberapa penelitian terdahulu yang
peneliti gunakan sebagai landasan penelitian adalah penelitian yang dilakukan
oleh:

1. Hartanto, B. H., Trisnasari, W. D., Goziyah, G., Rochmah, E. C., &


Fauzan, M. D. (2022). Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Provinsi Banten
Sebagai Upaya Mengembangkan Sejarah Kebudayaan Banten: Local
Wisdom in Folklore of Banten Province As an Effort to Develop the
Cultural History of Banten. Jurnal Bastrindo, 3(1), 14-27.

2. Hurmatisa, D., & Khairussibyan, M. (2020). Nilai Didaktis dalam


Cerita Putri Denda Mandalika Versi SST Wisnu Sasangka dan
Hubungannya dengan Pembelajaran Sastra di SMA: Didactic Values of
Putri Denda Mandalika Story Of SST Wisnu Sasangka Version and It’s
Correlation with The Study of Literature in Senior High School. Jurnal
Bastrindo, 1(1), 32-50.

2. Landasan Teori

1. Nilai

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan,


dicita-citakan dandianggap penting oleh seluruh manusia sebagai
anggota masyarakat, karena itu sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila
berguna dan berharga nila kebenaran, nilai estetika, baik nilai moral,
religius dan nilai agama (Elly Setiadi, 2006:31).

Nilai merupakan kualitas ketentuan yang bermakna bagi


kehidupan manusia perorangan, masyarakat, bangsa, dan negara.
Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan aksi dan
reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak kehadirannya.
Sebagai konsekuensinya, nilai akan menjadi tujuan hidup yang ingin
diwujudkan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya,
nilai keadilan dan kejujuran, merupakan nilai-nilai yang selalu menjadi
kepedulian manusia untuk dapat diwujudkan dalam kenyataan. Dan
sebaliknya pula kebohongan merupakan nilai yang selalu ditentang atau
ditolak oleh manusia .

Relevan dengan teori tersebut, penulis menegaskan bahwa nilai bisa


dikatakan juga sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau
kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik, buruk, benar salah
atau suka tidak suka terhadap suatu objek. Menjadi sebuah ukuran
tentang baik-buruknya,tentang tingkah laku seseorang dalam kehidupan
di masyarakat, lingkungan dan sekolah. Menjadikan sebuah tolak ukur
seseorang dalam menanggapi sikap orang lain dilihat dari pencerminan
budaya yang ada dalam suatu kelompok masyarakat.
Demikian luasnya implikasi konsep nilai ketika dihubungkan
dengan konsep lainya, ataupun dikaitkan dengan sebuah statement.
Konsep nilai ketika dihubungkan dengan logika menjadi benar-salah
ketika dihubungkan dengan estetika indah-jelek, dan ketika dihubungkan
dengan etika menjadi baik-buruk. Tapi yang pasti bahwa nilai
menyatakan sebuah kualitas. Pendidkan nilai adalah penanaman dan
pengembangan nilai pada diri seseorang atau sebagai bantuan terhaap
pesertadidik agar menyadari dan mengalami nilai serta menempatkanya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya (Zaim Elmubarok, 2008:12).

Nilai muncul dari permasalahn yang ada di lingkungan, masyarakat


serta sekolah dimana diberikan pendidikan untuk membekali para siswa
supaya nantinya mereka mampu mengahadapi kompleksitas di
masyarakat yang sering berkembang secara tidak terduga. Maka
munculah masalah yang berkatan dengan nilai baik-buruknya seseorang
dalam mengahadapi pandangan seseorang terhadap orang lain.

2. Budaya

Budaya suatu cara hidup yang berkembang, dan memiliki bersama


oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi kegenrasi.
Budaya terbentuk dari sebuah unsur yaitu sistem agama, politik,
adatistiadat, bahasa dan karya seni. Buadaya juga merupakan suatu
pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak dan luas juga
banyak aspek budaya turut menentukan prilaku komunikatif.

Budaya merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya


terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat
oleh manusia sebagai anggota masyarakat, unsur-unsur pembentukan
tingkah laku didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat
(Joko Tripasetyo, 2013:29).

Budaya merupakan suatu totalitas nilai, tata sosial, tata laku


manusia yang diwujudkan dalam pandangan hidup, falsafah Negara
dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang menjadi asa untuk melandasi pola perilaku dan tata
struktur masyarakat yang ada.

Berdasarkan uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa bagi


ilmu sosial, arti budaya adalah amat luas, yang meliputi kelakuan dan
hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang dapat
dilakukan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. budaya dan segenap hasilnya muncul dari tata cara hidup
yang merupakan kegiatan manusia atas budaya yang bersifat abstrak
(idea) nilai budaya hanya bisa diketahui melalui badan dan jiwa,
sementara tata cara hidup manusia dapat diketahui oleh pancaindera

3. Nilai Budaya

Kebudayaan merupakan system gagasan, perilaku, dan bentuk karya


manusia dalam rangka bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia
tersebut dengan belajar. Gagasan, perilaku atau tindakan dan karya dari
diri manusia ini harus memiliki batasan-batasan. Hal ini ditujukan agar
kehidupan bermasyarakat tetap teratur. Maka dibuatlah batasan atau
Nilai budaya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati dan ada di
dalam suatu masyarakat, baik dalam lingkup organisasi maupun
lingkungan dan telah mengakar dan digunakan sebagai acuan
berperilaku.
Umumnya, nilai-nilai budaya ini secara tertulis dapat terlihat di visi,
misi simbol, atau slogan sebuah organisasi atau lingkungan sosial.
Nilai-nilai yang sudah tertanam harus bekerja, sehingga masyarakat bisa
menanggapi suatu kejadian atau peristiwa dan segala perkembangan di
dalam kehidupan yang terus berjalan. Selain itu, nilai budaya juga
berfungsi untuk mendorong munculnya pola berpikir dan sumber tatanan
cara berperilaku masyarakat.

4. Folklor

Menurut Brunvand (dalam Danandjaja: 2007: 21), seorang ahli


folklor dari AS. Folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya yaitu, folklor lisan (verbal folklore), folklor
sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan
(nonverbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya
memang murni lisan.

Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok


folklor lisan ini antara lain adalah bahasa rakyat (folk speech) seperti;
logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan.
Penggolongan folklor lisan yang kedua yaitu, ungkapan tradisional
seperti; peribahasa, pepatah, dan pemeo. Penggolongan folklor lisan
yang ketiga yaitu; pertanyaan tradisional, contohnya teka-teki.
Penggolongan folklor lisan yang keempat yaitu; puisi rakyat, seperti
pantun, gurindam, dan syair. Penggolongan folklor lisan yang kelima
yaitu; cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng.
Penggolongan folklor lisan yang keenam yaitu, nyanyian rakyat. Potensi
folklor yang paling tepat untuk dimanfaatkan adalah folklor lisan yang
ke lima. Namun demikian bukan berarti jenis lainnya tidak sesuai.
Bahkan jika mungkin dapat dijadikan sebagai pendukung jenis ke lima
tersebut.
5. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya


sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada
pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa politik, pendidikan,
moral, agama, maupun tujuan yang lain (Pradopo via Wiyatmi 2006: 85).

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan pada


pembaca. Keberhasilan satu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya
sastra yang berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu
memberikan “kesenangan” dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik
meliputi pengarang dan pembaca, pembacalah yang dominan. Karena itu,
proses komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut
menentukan sikap pembaca terhadap karya sastra yang dihadapinya,
Teeuw via Fananie (2002: 113).

Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks


yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman
bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa
menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan
konteks-konteks secara tepat

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sedangkan metode
deskriptif yang dimaksud dalam penulisan ini adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menggambarkan masalah yang terjadi pada masa sekarang
atau yang sedang berlangsung, bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa
yang terjadi sebagaimana mestinya pada saat penelitian dilakukan.

2. Metode Pengumpulan Data


Langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan
data, teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak,
dan catat. Teknik pustaka adalah teknik penelitian yang
menggunakan sumber data tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak
dalam penelitian ini berarti peneliti sebagai instrumen melakukan
penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data
primer. Hasil penyimakan tersebut dicatat sebagai sumber data (Subroto
dalam Imron, 2003: 11). Penerapannya dalam penelitian ini adalah dengan
cara membaca atau menyimak cerita tersebut dengan cermat dan teliti tiap
kata, kalimat, ataupun paragraf dalam cerita rakyat Putri Mandalika sehingga
memperoleh data yang diinginkan setelah itu peneliti mencatat semua yang
telah disimak atau dibaca.

3. Metode Analisis Data


Menurut Muhajir (dalam Handayani, 2007 : 25) analisis data dalam
penelitian meliputi klasifikasi dan interprestasi. Klasifikasi merupakan upaya
pengelompokan kembali data yang di analisis. Dalam hal ini, klasifikasi data
menyesuaikan dengan rumusan masalah dalam penelitian tersebut.
Interprestasi merupakan upaya pemaknaan terhadap data penelitian
yaitu mencari keterkaitan terhadap unsur yang dicermati dan menampilkan
dalam suatu sajian deskriptif. Dalam hal ini, data yang telah diklasifikasi
tersebut dideskripsikan melaui suatu keterkaitan yang dimulai oleh data-data
tersebut. Proses ini menghasilkan suatu pemaknaan yang menyeluruh
terhadap data hasil penelitian. Sesuai dengan metode yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu metode kualitatif, maka data yang sudah terkumpul
dianalisis dengan teknik analisis deskriptif. Adapun langkah-langkah analisis
data yang digunkan dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Membaca dengan cermat dan teliti tiap kata, kalimat, ataupun paragraf
dalam cerita rakyat Putri Mandalika Nyale sehingga memperoleh gambaran
tentang isi cerita. Untuk memahami suatu cerita rakyat tentu tidak hanya satu
kali membaca tetapi harus berkali-kali supaya lebih bisa mengerti apa saja
peristiwa dan permasalahan yang ada pada cerita rakyat tersebut.
b. Mencari, mengamati, mendapatkan, dan menetapkan data-data yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dari kepustakaan sebagai
penunjang pemahaman terhadap penelitian yang dilakukan.
c. Mereduksi data yang telah diperoleh, yaitu dengan menganalisi
menggolongkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data.
d. Memberikan pendapat akhir tentang hasil analisis yang merupakan
perpaduan antara tanggapan yang subjektif dan analisis objektif

Keempat hal tersebut sangat mendukung dan saling berkaitan untuk


menghasilkan hasil akhir yang akurat dan berimbang.
E. Daftar Pustaka

Arifin, Zaenal & Efendi, Mahmudi. 2008. Repisi dan Nilai Sosial Cerita Rakyat Bau
Nyale di Pulau Lombok. Laporan Penelitian PDM (Penelitian Dosen Muda).
Mataram: Universitas Mataram.

Setiadi, Elly M. dkk. 2006. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: PT Fajar Interpratama
Mandiri.

Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Danandjaja, James. (2007). Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Grafiti Pers.

Pradopo. Rahmat Djoko. (1995). Beberapa Teori Sastra. Metode Kritik dan
Penerapan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta. Muhammadiyah Unversity Press.

Hartanto, B. H., Trisnasari, W. D., Goziyah, G., Rochmah, E. C., & Fauzan, M. D.
(2022). Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Provinsi Banten Sebagai Upaya
Mengembangkan Sejarah Kebudayaan Banten: Local Wisdom in Folklore of Banten
Province As an Effort to Develop the Cultural History of Banten. Jurnal
Bastrindo, 3(1), 14-27.

Hurmatisa, D., & Khairussibyan, M. (2020). Nilai Didaktis dalam Cerita Putri Denda
Mandalika Versi SST Wisnu Sasangka dan Hubungannya dengan Pembelajaran
Sastra di SMA: Didactic Values of Putri Denda Mandalika Story Of SST Wisnu
Sasangka Version and It’s Correlation with The Study of Literature in Senior High
School. Jurnal Bastrindo, 1(1), 32-50.

Anda mungkin juga menyukai