Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/355884740

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL SASAK

Article · November 2021

CITATIONS READS
0 1,279

7 authors, including:

I Wayan Sutama
Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram
14 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by I Wayan Sutama on 03 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERMAINAN TRADISIONAL SASAK
PERESEAN
I Wayan Sutama
iansutama83@gmail.com
Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram
Abstrak
Keanekaragaman budaya Nusantara merupakan dasar dari kebudayaan nasional yang
mengakar dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Peresean merupakan salah satu
permainan tradisional yang merupakan Identitas diri suku Sasak di Lombok yang sarat akan
makna berkaitan dengan pendidikan karakter. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pendidikan karakter dalam peresean dengan menggunakan pendekatan metode deskriptif
kualitatif yang menekankan pada makna, penalaran, menjelaskan situasi tertentu yang
berhubungan dengan kejadian kehidupan sehari-hari. Peresean sebagai produk budaya
masyarakat suku Sasak dan sebagai sebuah produk kesenian, eksistensinya mampu bertahan di
tengah persaingan dengan era modernitas yang menawarkan kecanggihan teknologi. Peresean
menjadi salah satu simbol identitas diri suku Sasak yang keberadaannya mengalami pergeseran
atau perubahan bentuk dan makna akibat tergerus perubahan jaman. Dalam permainan
tradisional peresean terdapat enam nilai pendidikan karakter yang dapat dimaknai dari aktivitas
permainan yaitu religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, dan demokratis. Nilai karakter
tersebut dapat diteladani dan diterapkan dalam berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Kata Kunci : Peresean; Pendidikan Karakter; Budaya; Permainan Tradisional; Sasak

Pendahuluan
Suku sasak merupakan suku mayoritas yang menempati pulau Lombok. Pulau Lombok
dan pulau Sumbawa merupakan pulau terbesar yang masuk dalam provinsi Nusa Tenggara
Barat. Dengan luas wilayah 4.725 m2, pulau ini ditempati oleh mayoritas etnis Sasak dan Bali
disamping suku-suku lainnya seperti Jawa, suku Mbojo, Samawa, Bugis dan yang lainnya. Suku
Sasak mayoritas beragama Islam yang dibawa oleh tokoh agama Islam dari Jawa dan dari suku
bugis di Makasar, Sulawesi Selatan yang sebelumnya menguasai wilayah Pulau Sumbawa
bagian Timur yang kini menjadi Kabupaten Bima dan Dompu.

1
Sejarah perkembangan kebudayaan Islam di Lombok, diperankan oleh kerajaan-
kerajaan terutama Kerajaan Selaparang. Di masa kepemimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan
ini mencapai masa kejayaannya sehingga kehidupan budaya berkembang pesat. Bukti
perkembangan tersebut terlihat dari banyaknya pengawi kerajaan mengarang, menggubah,
mengadaptasi, atau menyalin sastra Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Di antaranya
adalah Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji dan Rengganis. Selain itu, para pujangga juga
banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran Islam aliran sufi. Karya sastra yang diadaptasi
tampak dalam lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya.
Bahkan hikayat-hikayat Melayu banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf,
Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Sidik Anak Yatim. Hingga kini, karya-karya sastra
tersebut tersimpan rapi di musium NTB. Kajian lainnya juga mengungkap kondisi sosial,
budaya dan politik masyarakat Lombok pada saat itu. Dalam bidang sosial politik, Lontar
Kotamgama menggariskan sifat dan sikap seorang pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan
Warsa. Danta berarti gading gajah, artinya, apabila dikeluarkan, tidak mungkin dimasukkan
lagi; Danti berarti ludah, artinya, apabila sudah dilontarkan ke tanah, tidak mungkin dijilat lagi;
Kusuma berarti kembang, artinya, bunga yang sama tidak mungkin mekar dua kali; Warsa
artinya hujan, artinya, apabila telah jatuh ke bumi, tidak mungkin naik kembali menjadi awan
(Mastur:2017). Nilai kepemimpinan tersebut terakulturasi dalam keyakinan dan kebiasaan
sehari-hari yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Sasak. Salah satu bentuk dari
akulturasi ini adalah termanifestasi dalam budaya permainan peresean. Permainan tradisional
peresean merupakan salah satu tradisi budaya yang dapat digunakan sebagai sarana
pendidikan bagi generasi penerus. Terlebih tradisi tersebut telah menyatu dalam kehidupan
sosial masyarakat Sasak Lombok.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, di Pasal 3
menyatakan sangat jelas bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan adalah suatu proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Ki Hadjar Dewantara,

2
menyatakan bahwa manusia adalah “perwujudan khusus” atau “diferensiasi” dari alam. dengan
demikian manusia harus berusaha untuk menyatukan diri dengan aturan alam yang agung.
Kelebihan akal budhi yang dimiliki, maka manusia dapat menentukan pilihan serta memiliki
peranan aktif dan kreatif dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan terbaik yang
diinginkan. Dalam konteks ini manusia dikatakan makhluk yang berkebudayaan dan
berkeadaban.
Manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu memiliki potensi sebagai
kreator budaya insani yaitu: cipta (pikiran), yang menghasilkan pengetahuan, pendidikan, dan
filsafat; rasa yang menghasilkan keindahan, keluhuran batin, seni, adat istiadat, penyesuaian
sosial, nasionalisme, keadilan, dan keagamaan; dan karsa (kemauan) yang menghasilkan
perbuatan, karya, ide ciptaan yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan. Tiga kekuatan
tersebut digerakkan oleh Panca Indra yang menghasilkan nilai etika dan estetika. Untuk itu
tuntutan pendidikan karakter sebagaimana amanat undang-undang diatas harus diupayakan
dengan menggali kearifan lokal budaya setempat.
Menyikapi berbagai persoalan bangsa yang kompleks, yang terjadi belakangan ini
sebagai salah satu dampak kemajuan era modernisasi, maka penanaman pendidikan karakter
harus dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh, sistematis, dan berkelanjutan. Hal ini
penting dilakukan untuk menguatkan karakter generasi muda sebagai generasi pewaris
bangsa dengan tetap mengacu pada wawasan kebangsaan yang mencerminkan nilai budaya
bangsa. Selain mengacu pada prinsip-prinsip moral yang termuat dalam pembelajaran secara
umum, pendidikan karakter juga dapat ditanamkan dari nilai budaya bangsa yang terefleksi
dalam budaya dan tradisi daerah (Ilahi, 2014). Sebagaimana diketahui, kebudayaan nasional
merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh nusantara. Kekayaan keberagaman
adat budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi modal utama mengembangkan karakter
bangsa. Nilai terpenting dari keanekaragaman kebudayaan itu adalah nilai toleransi dan
kebersamaan yang diwujudkan dalam kehidupan berkesenian. Nilai positif dalam
kehidupan seni menurut (Trisnawati et al., 2015) berupa toleransi dan kerja sama ini bisa
dikemas sebagai salah satu model pendidikan multikulturalisme yang bisa dijadikan contoh
daerah lain dalam menanggulangi konflik antar etnis. Model akulturasi kebudayaan dan
berbagai potensi seni yang ada di suku Sasak tidak saja bernilai estetis dan religius tinggi
namun dalam perkembangannya juga bisa dikemas dalam bentuk produk wisata budaya
3
yang memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat pelakunya. Salah satu tradisi budaya yang
ada di pulau Lombok adalah permainan tradisional peresean yang kaya akan pendidikan
karakter. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan nilai pendidikan karakter dalam permainan
tradisional Sasak peresean yang berbasis pada nilai karakter budaya bangsa.
Metode
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dimana pendekatan ini
menekankan pada makna, penalaran, menjelaskan situasi tertentu yang berhubungan dengan
kejadian kehidupan sehari-hari. Pendekatan yang dipakai adalah teori sosial kritis yang
berprinsip bahwa kebudayaan adalah teks sehingga dapat dibaca guna memahami maknanya.
Permaknaan tidak hanya mengacu pada struktur kognisi binerisme namun juga dipahami
sebagai sesuatu yang dibentuk lewat penafsiran. Makna terikat pada ideologi, kekuasaan,
kepentingan dan/atau hasrat yang tersembunyi di balik kebudayaan sebagai teks.
Aktualisasinya, tidak bisa hanya dibatasi pada kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks tunggal
tertentu, melainkan relasi antar teks atau intertektualitas. Pencarian makna atas suatu
kebudayaan menekankan pada makna denotatif dan makna konotatif yang didapat lewat
penafsiran secara dekonstruktif. Hal ini dilakukan untuk menganalisa suatu permainan
tradisional peresean sebagai simbol budaya yang mengandung pendidikan karakter.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan studi kepustakaan dengan teknik analisis
data yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang hasilnya disajikan
secara verbal dan sistematis.
Hasil dan Pembahasan
Peresean sebagai Permainan Tradisional Suku Sasak
Permainan tradisional Sasak peresean merupakan budaya Sasak yang hingga kini
masih dilestari dan di mainkan dalam kegiatan ritual tertentu. Permainan ini menunjukkan
ketangkasan dan kedigdayaan seorang pepadu (petarung) yang menurut, ketua Majelis
Krama Adat Sasak, Drs. H. Lalu Ratmadji, mengatakan permainan tersebut sebagai wujud
aktualisasi kejantanan lelaki Sasak yang disalurkan melalui permainan rakyat yang
mengandalkan ketangkasan dan kekuatan fisik. Sebagaimana petarung, maka diperlukan
kualitas ketangkasan sesuai tingkatan yaitu: Tingkat pertama disebut berampes (gulat) yaitu
sejenis permainan gulat, tingkat kedua belanjakan, yang mengandalkan permainan kaki,
berikutnya mesepok (menyatu), permainan tangan kosong dengan sasaran kepala. Tingkatan
4
keempat disebut peresean, sejenis permainan perang tanding menggunakan senjata rotan dan
perisai. Untuk tingkat ini, di samping kekuatan dan daya tahan tubuh serta stamina, juga
sering dijadikan ajang adu ilmu kekebalan. Pada tingkat tertentu, permainan ini menjadi lebih
serius dan lebih berat dengan mempergunakan senjata tajam yang dinamakan begelepukan
(berkelahi) dan mempergunakan tombak, yang disebut dengan pelengkungan (Mastur:
2018). Bila dilihat dari kerasnya permainan, maka permainan ini dilakukan sebagai bentuk
penyaluran hasrat dan kekuatan kejantanan ini dimaksudkan untuk menghindari penyaluran
yang bersifat negatif.
Permainan tradisional peresean diperankan sepasang petarung yang disebut pepadu
yang masing-masing menggunakan alat berupa ende (perisai/tameng) dan alat pukul yang
terbuat dari penyalin (rotan). Permainan ini dipimpin oleh beberapa orang wasit yang disebut
pekembar yaitu pekembar seri (wasit pinggir) yang berjumlah dua sampai empat orang dan
pekembar tengaq (wasit tengah) yang berjumlah satu orang. Pekembar seri bertugas me-
nanding (memilih) pasangan yang akan bertarung, sedangkan pekembar tengaq (wasit
tengah) bertugas memimpin jalannya pertandingan di arena permainan. Umumnya
permainan peresean ini berlangsung selama lima tarungan (ronde). Dalam permainan para
pepadu terikat oleh awig-awig (aturan) berupa larangan memukul bagian pinggang ke bawah,
dilarang mendendang dan meninju, tidak boleh nujah (menusuk) dan permainan berakhir
bila salah satu pepadu berdarah dibagian kepala. Peraturan tersebut disampaikan
pekembar tengaq dihadapan pepadu sebelum permainan dimulai.
Permainan tradisional ini diiringi alat musik berupa Gong, sepasang kendang,
Rincik/simbal, Kajar dan Suling yang cukup membangkitkan semangat para pepadu.
Gending (lagu) yang dimainkan terdiri dari 3 macam yaitu gending pengalus yang
dimainkan saat mencari pemain atau pepadu; gending pemapak dimainkan saat menyambut
pepadu yang telah setuju dan berani bertanding atau saat persiapan permainan; dan gending
pemangkep dimainkan untuk mengiringi permainan tradisional ini (Ashar Pajarungi Anar
et al., 2020). Ide musikal yang digunakan menurut Susanto (2018) merupakan bentuk
suasana peresean secara keseluruhan. Penerapan visual yang terjadi dalam peresean seperti
dalam penggambaran saat pertarungan berlangsung, bunyi atau suara yang keluar dari
penjalin dan ende mengaplikasikan komposisi musik etnis, dengan pijakan musik yang
berangkat dari musik etnis Lombok gendang beleq.
5
Untuk memulai permainan ini, pekembar akan membuat tempat permainan yang
disebut kalangan, lalu gamelan akan dimainkan sebagai cara mengundang masyarakat dan
penonton. Kedua pekembar mulai ngumbang seperti menantang para peserta yang ingin
mengikuti permainan dengan cara mengangkat ende untuk memayungi kepala dan penjalin
digerakkan sambil menari yang disebut ngecak. Pemilihan lawan disebut nanding
dikelompokkan berdasarkan usia, besar kecil fisik, ketenaran dan sebagainya. Pepadu yang
telah siap, mengenakan pakaian. Permainan dimulai bila kedua pepadu mengangkat ende
dan penjalin bersamaan. Permainan akan berhenti bila terjadi cop. Alasan cop seperti
pemain jatuh, alat yang digunakan lepas, pakaian lepas atau diberhentikan oleh pekembar.
Dalam hal sejarah, ada perbedaan pandangan dari beberapa tokoh budaya Sasak. Ada yang
menyebutkan peresean muncul sebagai ekspresi kebahagiaan atas kemenangan perang yang
terjadi di jaman kerajaan, namun ada pula yang menyatakan peresean sebagai sarana latihan
perang bagi prajurit di jaman kerajaan. Namun melihat pementasan peresean yang
dilakukan, permainan tradisional ini dipercaya sebagai sarana untuk memohon hujan.
Sampai saat ini, keyakinan tersebut terpelihara dan mengakar sebagai budaya lokal
masyarakat Sasak di pulau Lombok.
Permainan tradisional juga dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan
potensi anak di usia dini. Hal ini karena permainan tradisional mengandung banyak unsur
manfaat dan persiapan bagi anak menjalani kehidupan bermasyarakat. Adapun manfaat
permainan tradisional dalam membentuk karakter anak di antaranya yaitu: kejujuran,
sportivitas, kegigihan dan kegotong-royongan. Dengan permainan tradisional anak-anak
bisa melatih konsentrasi, pengetahuan, sikap, keterampilan dan ketangkasan yang secara
murni dilakukan oleh otak dan tubuh manusia. Selain itu, permainan tradisional bisa juga
dapat mengembangkan aspek pengembangan moral, nilai agama, sosial, bahasa, dan fungsi
motorik (Andriani, 2012).
Seiring perubahan perkembangan jaman yang kini menuju modernitas, permainan
tradisional peresean juga turut terpengaruh. Praktik permainan ini yang sebelumnya
dipentaskan dalam acara ritual tertentu, kini bersifat profan dan hanya dipentaskan dalam
acara-acara tertentu sebagai permainan tontonan dan atau pertandingan saja. Pergeseran
makna peresean ini semakin terlihat karena banyak digelar sebagai pengisi acara dalam
menyambut hari besar nasional. Walaupun semangat awal pagelaran peresean adalah
6
sebagai ekspresi kemenangan perang para raja atau latihan perang prajurit kerajaan dan
sebagai media memohon hujan mulai memudar, namun motivasi yang melandasi digelarnya
permainan tradisional ini, upaya mempertahankan dan mewariskan tradisi dan budaya
kepada generasi yang selanjutnya mesti dilakukan sebagai estafet budaya walaupun dengan
tujuan dan makna yang berbeda. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Hanafi
(1992) dalam Mastur (2018) bahwa, proses mempertahankan dan mewariskan tradisi
bekerja dalam tiga mekanisme kesadaran yakni kesadaran historis (transferensi), kesadaran
eidetic (pemahaman) dan kesadaran praksis (perilaku). Pergeseran dan perubahan praktek
dan orientasi peresean dapat dikaji dengan teori perubahan sosial dan budaya, dimana
perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Sedangkan perubahan dalam
kebudayaan mencakup semua bagian yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,
filsafat, dan lainnya. Namun demikian, perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi
sosial masyarakatnya. Hal senada juga diungkap Marx dalam teori historis materialisme
bahwa sumber perubahan kebudayaan termasuk perubahan sosial disebabkan oleh teknologi
(faktor eksternal). Walau pendapat tersebut dibantah oleh Max Weber yang melihat faktor
yang mempengaruhi perubahan sosial adalah faktor internal seperti ide, nilai, dan ideologi.
Namun demikian, cara pandang berbeda yang diungkapkan Vygotsky juga dapat menjadi
rujukan dalam memahami perubahan sosial. Menurut Vygotsky, pergeseran atau perubahan
sosial dan budaya berakar dari interaksi sosial budaya dalam perkembangan manusia.
Pendapat para ahli tersebut menguatkan bahwa walaupun terjadi pergeseran makna, namun
dengan model dan sistem pewarisan yang melibatkan faktor internal dan eksternal telah
mengukuhkan tradisi peresean sebagai warisan budaya yang mengandung nilai pendidikan
sehingga sampai hari ini tetap lestari dan dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat
Permainan peresean sebagai budaya masyarakat sasak memiliki persamaan dengan
Tari Gebug Ende yang dilaksanakan di Desa Seraya, Karangasem, Bali. Belum diketahui
secara pasti, apakah tarian Gebug Ende ada lebih dahulu daripada permainan peresean, atau
sebaliknya. Namun ditengarai ada hubungan yang erat karena kerajaan Karangasem pernah
melakukan ekspansi kekuasaan ke wilayah Lombok. Kejatuhan kerajaan Selaparang dan
Pejanggik di Lombok tahun 1692 membuat segala ketentuan dan tata pemerintahan di
Lombok mengikuti perintah dari kerajaan Karangasem Bali (Sutama et al., n.d.). penempatan
pasukan kerajaan Karangasem di Lombok turut membawa kebudayaan Karangasem termasuk
7
agama, sistem sosial, kesenian dan sebagainya ke pulau Lombok. Dengan demikian,
ditengarai tradisi peresean dan Gebug Ende memiliki hubungan erat secara genealogis
budaya yang dilihat dari pelaksanaan serta gerakan yang dilakukan sama persis dan diiringi
gamelan. Tari Gebug Ende disebut tari namun dalam pelaksanaannya tidaklah ditarikan
sebagaimana umumnya tarian yang memiliki pakem yang telah ditentukan. Perbedaannya
terletak pada eksistensi masing-masing tradisi. Fungsi sosial Tari Gebug Ende disamping
sebagai tari ritual atau religi yaitu sebagai sarana persembahan (yadnya) kepada Ida Sang
Hyang Widhi Waca (Tuhan YME), juga sebagai tarian perang dan fungsi hiburan. Gebug
Ende sebagai tari perang dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Bali di jaman kerajaan,
dimana orang-orang seraya ditempatkan di depan pasukan kerajaan Karangasem yang
melakukan ekspansi ke pulau Lombok. Hal ini dikarenakan masyarakat desa seraya terkenal
kebal tanpa menggunakan jimat atau sejenisnya. Gebug Ende juga berfungsi sebagai latihan
ketangkasan dan keberanian para prajurit untuk nantinya siap berperang. Fungsi sosial
lainnya adalah sebagai sarana hiburan, dimana Gebug Ende ini digemari mulai dari anak-
anak sampai dewasa dan juga sebagai pengisi waktu luang. Sebagai hiburan, Gebug Ende
juga bisa diperankan oleh masyarakat diluar Desa Seraya dalam sebuah pertunjukan. Bila
peresean telah menjadi seni profan, Tari Gebug Ende masih dilestarikan sebagai tradisi
religius dengan tujuan untuk memohon turunnya hujan (Gunarta, 2016).
Pendidikan Karakter dalam Permainan Tradisional
Pendidikan karakter merupakan tema yang sering diperbincangkan kalangan akademisi
maupun masyarakat umum seiring banyaknya persoalan kependidikan yang seringkali
melewati batas-batas moralitas. Perkelahian antar pelajar, kenakalan remaja yang melewati
batas etika sosial seakan menjadi tontonan harian yang menghiasi media massa. Bahkan dengan
peran teknologi terutama media sosial, kenakalan remaja tersebut dipertontonkan dan viral di
media massa lainnya. Terlebih dengan sifat media massa yang begitu cepat menyebar ke segala
penjuru, terpublikasi secara vulgar tanpa ada batas.
Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik
anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya. Semua nilai moralitas yang didasari dan dilakukan bertujuan untuk membentuk
manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat
8
lebih baik, hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (Learning to live together) untuk
menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan
sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (Learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan
Tuhan. Dalam penanaman moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran),
dan unsur efektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku). Definisi yang di ungkapkan
diatas sesungguhnya telah mewakili adat dan adab ketimuran yang telah lama melekat kuat pada
masyarakat Indonesia. Dukungan perkembangan media dan teknologi saat ini sesungguhnya
dapat menjadi sarana menyosialisasikan nilai tradisi kepada semua kalangan. Hal tersebut akan
sejalan dengan definisi pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) dimana
pendidikan sesungguhnya untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Pendidikan
karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan tuhan dan sesama
manusia yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata karma, kultur serta adat-istiadat.
Pendidikan karakter merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kepribadian, akhlak
mulia, dan budi pekerti. Urgensi pendidikan karakter pernah dilontarkan Soekarno bahwa
pentingnya membangun jati diri bangsa yang dibangun melalui pembangunan karakter bangsa
(national and character building). Para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia bersepakat
bahwa membangun jati diri atau membangun karakter bangsa mesti dilaksanakan secara
berkesinambungan dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut telah termaktub
dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk
Indonesia Raya”. Petikan lirik tersebut jelas mengamanatkan bahwa untuk menjadi bangsa yang
besar (Indonesia Raya) maka yang dibangun terlebih dahulu adalah jiwanya. Jiwa sebuah
bangsa yang besar dibangun dari karakter masyarakat yang kuat.
Seiring perkembangan era modern yang menyusup dalam sendi-sendi kehidupan,
terutama di dunia pendidikan, nilai filosofi karakter di antara orang-orang, terutama siswa di
dunia pendidikan mulai memudar dan mengalami pergeseran yang sangat signifikan.
Banyaknya persoalan berkaitan dengan karakter bangsa yang mengalami pasang surut terutama
untuk tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah keberagaman.
9
Keanekaragaman budaya serta kompleksitas kehidupan masyarakat membawa dampak positif
dan negatif. Ditambah dengan tantangan era modern yang secara perlahan meningkatkan
egosentrisme, sektarianisme, dan individualisme yang membawa masyarakat tercerabut dari
budaya asalnya.
Guna mengimbangi dampak negatif era modernisasi yang menggerus nilai kesatuan
bangsa, maka strategi penerapan pendidikan karakter yang berbasis budaya perlu dilakukan
upaya sistematis dan berkelanjutan. Banyak tradisi dan permainan tradisional yang memiliki
nilai pendidikan karakter. Sebagai pandangan hidup, budaya memiliki pran dan posisi penting
dalam membentuk dan mengelola perilaku masyarakat. Perilaku yang muncul dari interaksi
sosial didasarkan pada nilai luhur budaya bangsa yang terdiri dari keberbedaan agama, suku,
dan ras yang pada akhirnya memunculkan tradisi yang eksis terwariskan hingga kini. Kalaupun
ada perubahan, maka yang terjadi adalah perubahan makna yang lebih banyak dipengaruhi oleh
sistematika berpikir dan cara pandang. Eksistensi budaya yang diwarisi tersebut telah
berkembang ribuan tahun dengan melalui perjuangan dan pewarisan yang sangat keras, bahkan
mengorbankan jiwa raga. Pewarisan tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi budaya lintas
etnis dan agama selama berabad-abad silam. Hasilnya, kini kita terima sebagai sebuah warisan
yang turut melahirkan nilai moralitas dan humanistis yang kemudian bersatu membentuk nilai
pendidikan karakter luhur budaya bangsa.
Dampak negatif globalisasi harus ditangkal dengan nilai-nilai kearifan lokal sehingga
memunculkan kesadaran baru bagi suku Sasak terhadap perlunya memiliki “identitas diri”
sebagai simbol kebanggaan kelompok. Kesadaran baru tersebut menurut (Kumbara, 2008) telah
mendorong elit suku sasak untuk meredefinisi, merevitalisasi, dan mengkonstruksi identitas
ideal Sasak sebagai manifestasi dari strategi dan adaptasi kultural. Konstruksi identitas tersebut
diharapkan memenuhi fungsi praktis dan ideologis, yaitu di samping menjadi pola bagi dan pola
dari kelakuan orang sasak dalam kehidupan bermasyarakat, juga menjadi sumber informasi,
motivasi, dan instrumen integrasi di antara orang sasak dalam beradaptasi dengan kekuatan
perubahan eksternal. Strategi yang dikembangkan para elit sasak dalam mengkontruksi identitas
sekaligus legitimasi cenderung memanipulasi simbol agama, adat, dan etnisitas sebagai
modalitas utama baik ranah informal tradisional maupun formal birokratis. Memperhatikan hal
tersebut, maka tidaklah berlebihan apabila tradisi permainan peresean tetap dilestarikan

10
walaupun sesungguhnya tradisi tersebut tidak relevan apabila dikaitkan dengan agama yang
dianut.
Nilai Pendidikan Karakter dalam Peresean
Tujuan Pendidikan karakter untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang
mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Dalam konteks agama Hindu, tujuan
pendidikan karakter adalah menyadarkan manusia akan jati dirinya yang sesungguhnya
sehingga mampu mewujudkan tujuan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin.
Tersanderanya cita-cita bangsa yang masih jauh di depan dengan derasnya perbedaan yang terus
mengemuka, membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
berpandangan bahwa salah satu solusi terbaik untuk membawa bangsa ini kembali kepada
tujuan awalnya. Upaya yang dilakukan Kemendikbud adalah dengan melakukan reorientasi
terhadap nilai-nilai karakter dan budaya bangsa, dan pendidikan adalah tempat terbaik untuk
membangun pilar-pilar karakter dan budaya bangsa (Muhammad Yaumi, 2014). Nilai
pendidikan karakter dikonstruksi dari berbagai sumber antara lain agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional. Nilai pendidikan karakter tersebut terdiri dari 18 nilai yaitu:
religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Manusia dikatakan sebagai animal symbolicum dimana manusia dengan kemampuannya
yang kompleks membentuk simbol-simbol serta tanda untuk mengekspresikan diri. Agama,
bahasa, historisitas, seni, ilmu pengetahuan akan membuat eksistensinya penuh dengan makna.
Dengan simbol tersebut, manusia mampu dalam menciptakan dan menggunakan simbol tertentu
untuk berinteraksi dan membangun peradabannya. Manusia dikatakan sebagai spesies yang
dapat di dorong keinginannya untuk membentuk makna dari gambar dan tanda-tanda tertentu.
Rouland Barthes berpendapat bahwa: ”sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi
dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu”.
Menilik permainan peresean yang ditampilkan maka dapat dikatakan permainan
tradisional ini setidaknya memiliki enam nilai pendidikan karakter yaitu: religius, jujur, disiplin,
kerja keras, kreatif, dan demokratis. Karakter religius ditunjukkan dari atribut dan sarana yang
digunakan dalam permainan serta maksud digelarnya permainan ini. Pepadu mengenakan
11
pakaian adat berupa kain dan ikat kepala tanpa menggunakan baju. Sebelum memulai
permainan, maka pepadu akan diajak berdoa terlebih dahulu oleh pekembar tengaq. Ketika
saatnya mulai permainan, maka gending pengiring pun dimainkan. Pepadu mulai saling pukul
menggunakan rotan yang telah dipersiapkan sebagai sarana utama permainan. Karakter religius
yang ditunjukkan adalah makna yang dipercaya bahwa permainan ini dimaksudkan untuk
memohon hujan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Permainan ini merupakan wujud kesediaan
mengorbankan diri untuk sebuah tujuan bersama di hadapan Tuhan. Dalam kajian semiotik,
aktivitas budaya seperti ini merupakan salah satu proses komunikasi, terutama komunikasi
transenden yang mana manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan
menggunakan tanda (aktivitas budaya) sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan
tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan
lingkungan.
Refresentamen dalam penggambaran nilai religius ditunjukkan pepadu dengan selalu
berdoa terlebih dahulu kepada Tuhan sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam
semesta (object). Petanda dalam istilah Saussure atau interpretant yang menunjukkan kuatnya
nilai religius yang tertanam dalam diri pepadu. Dalam Rgveda X.151.1 dinyatakan: Sraddhaya
agnih samidhyate, sraddhaya huyate havih, Sraddham bhagasya murdhani, vacasa
vedayamasi. Artinya: Api pengorbanan (persembahan) dinyalakan dengan keyakinan yang
mantap (sraddha). Persembahan (korban) dihaturkan keyakinan yang mantap (sraddha). Kami
mohon keyakinan (sraddha) yang memiliki nilai tertinggi di dalam kemakmuran (Titib, 1998).
Tujuan utama digelarnya permainan ini adalah memohon kemakmuran dengan memohon hujan
sebagai tanda akan datangnya kesuburan. Air yang melimpah akan menyuburkan tanaman dan
membawa kesejahteraan bagi umat manusia.
Karakter selanjutnya adalah kejujuran. Kejujuran (istilah lain adalah satya) merupakan
sarana pembebasan yang utama, walaupun yadnya, amal sedekah dan brata janji diri dapat
membebaskan, namun satya lebih utama (Nyoman Kajeng, 1997). Sikap jujur yang terkandung
dalam peresean dapat kita lihat terutama jujur dengan kode etik permainan serta jujur mengakui
kekalahan atau kemenangan lawan. Dalam Atharwaveda XIV.1.1 menyatakan: Satyena-
uttabhita bhumih, suryena-uttabhita dyauh, rtena-adityas tisthanti, divi somo adhi sritah. Yang
artinya bahwa kebenaran dan kejujuran menyangga Bumi, Matahari menyangga Langit,
hukum-hukum alam menyangga matahari, Tuhan Yang Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan
12
udara yang meliputi bumi. Semangat berkorban pepadu tersebut merupakan suatu pertanda
bahwa manusia harus jujur mengakui kemahakuasaan Tuhan yang tak terhingga, mengatur
seluruh alam semesta.
Karakter disiplin, ditunjukkan dengan melatih keahlian bermain peresean. Tanpa
kedisiplinan latihan, maka niscaya suatu saat akan mampu memenangkan permainan. Karakter
disiplin tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan yang berlaku. Menurut Stevenson (2006) dalam (Muhammad Yaumi, 2014)
menyatakan disiplin adalah pengontrolan diri untuk mendorong dan mengarahkan seluruh daya
dan upaya dalam menghasilkan sesuatu tanpa ada yang menyuruh untuk melakukan. Hal ini
terlihat dari kerelaan individu setiap pepadu untuk berani menampilkan diri sebagai pemain
walaupun telah mengetahui resiko yang akan dialami apabila rotan mengenai badannya.
Bayangan rasa sakit tersebut tidak menyurutkan niat para pepadu untuk bertarung
memperlihatkan kepiawaiannya.
Karakter selanjutnya adalah kerja keras. Kerja keras bukan sekedar menyibukkan diri
dalam berbagai aktivitas yang dapat menarik perhatian, namun bekerja yang baik dan istimewa.
Kerja keras yang dilatari oleh kecintaan dan dorongan hati yang tulus akan menghasilkan karya
ciptaan monumental yang akan dikenang sepanjang masa. Kerja keras juga berkaitan dengan
perubahan. Perubahan adalah hal yang mutlak terjadi sepanjang waktu dalam kehidupan.
Perubahan terjadi tanpa diduga dan disangka-sangka serta cenderung tidak memberikan
kenyamanan. Kekuatan mental yang stabil merupakan modal utama menghadapi setiap bentuk
perubahan. Setiap perubahan harus disikapi dan dihadapi dengan kemampuan beradaptasi. Hal
ini penting untuk mengubah cara kita per perilaku dan bersikap pada setiap situasi dan kondisi
yang berbeda. Sebuah pepatah mengatakan bahwa ”Jika Anda ingin menemukan seseorang
yang dapat membantu, temukan seseorang yang sibuk”. Pepatah tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan bekerja keras merupakan upaya menyibukkan diri dengan kegiatan yang berguna
baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Untuk dapat menjadi pemenang dalam peresean, maka
pepadu harus bekerja keras mengalahkan lawan. Untuk itu, ketelitian dan kecermatan serta
bertanding dengan sungguh-sungguh akan memberikan hasil sesuai harapan. Dengan kerja
keras, setiap pepadu memiliki peluang untuk mengukir prestasinya sebagai juara.
Dalam permainan ini, ketangkasan dan kecakapan pepadu memainkan ende (tameng)
dan penjalin (rotan) diuji dengan disaksikan penonton serta diiringi musik yang membangkitkan
13
keberanian dan semangat untuk bertanding mengalahkan lawan. Dalam hal ini, akumulasi
karakter disiplin, kerja keras serta kreatif akan ditunjukkan sampai salah satu pepadu
memenangkan pertandingan. Karakter kreatif yang ditunjukkan dalam peresean adalah
kreatifitas dalam menemukan kelemahan lawan serta kreatif dalam melindungi diri dari pukulan
lawan. Kreatifitas dalam memainkan ende (tameng) serta mencari celah memukul lawan
merupakan keahlian yang biasanya akan terasah dengan kedisiplinan melakukan latihan dan
sering mengikuti pertandingan. Sedangkan karakter demokratis berkaitan dengan ide atau
pandangan bahwa semua orang harus diperlakukan sama. Kesamaan hak dan kewajiban menjadi
fokus untuk menempatkan sesuatu sesuai proporsi dan posisinya. Dalam peresean ditunjukkan
dengan memberikan hak yang sama kepada semua pepadu. Peraturan yang ditetapkan sama,
perlengkapan yang dipakai juga sama. Penentuan lawan tanding juga memperhatikan postur
tubuh dan umur sehingga akan menjadi sepadan bagi lawan main.
Simpulan

Peresean sebagai produk budaya masyarakat suku Sasak merupakan salah satu
permainan tradisional yang dilestarikan hingga kini. Sebagai sebuah kesenian, eksistensi
peresean mampu bertahan di tengah persaingan dengan era modernitas yang menawarkan
kecanggihan teknologi. Peresean menjadi salah satu simbol identitas diri suku Sasak yang saat
ini mengalami pergeseran atau perubahan bentuk dan makna. Dalam permainan tradisional
peresean terdapat enam nilai pendidikan karakter yang dapat dimaknai dari aktivitas permainan
yaitu religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, dan demokratis. Bertahannya permainan
tradisional ini memperkaya keanekaragaman budaya bangsa yang sarat akan nilai-nilai karakter
untuk menjadi sebuah bangsa yang besar.

Daftar Pustaka

Andriani, T. (2012). Permainan Tradisional Dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini.
Jurnal Sosial Budaya, 9(1).
Ashar Pajarungi Anar, Dewi, N. K., Maulyda, M. A., & Nursaptini, N. (2020). DESKRIPSI
VARIAN PERMAINAN TRADISIONAL DAERAH NUSA TENGGARA BARAT.
PROGRES PENDIDIKAN, 1(3). https://doi.org/10.29303/prospek.v1i3.49
Ilahi, M. T. (2014). Gagalnya Pendidikan Karakter (Rose KR (ed.); 1st ed.).

14
Kumbara, A. A. N. A. (2008). Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat. Humaniora, 20(3).
Muhammad Yaumi. (2014). Pendidikan Karakter Landasan, Pilar dan Implementasi (3rd
ed.). Prenadamedia Group.
Mastur, M. (2018). AGRESIFITAS SANG PETARUNG PERESEAN: ANALISIS PSIKO-
SOSIO-ANTROPOLOGIS ATAS TRADISI PRESEAN ETNIS SASAK. Fikroh, 7(2),
1-32.
Nyoman Kajeng, D. (1997). Sarasamusccaya (1st ed.). Paramita.
Susanto, E. (2018). Peresean (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta).
Sutama, W., Gde, S., & Mataram, P. (n.d.). PENJOR SEBAGAI SIMBOL PENCITRAAN
DIRI UMAT HINDU DI KOTA MATARAM. In Jurnal Ganaya.
Titib, M. (1998). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan (1st ed.). Paramita.
Trisnawati, I. A., Ardika, I. G. L. O., & Kariasa, I. N. (2015). IDENTIFIKASI KESENIAN
ETNIS SASAK, ETNIS BALI DAN SENI AKULTURASI DI KOTA MATARAM.
SEGARA WIDYA, 3(0).
Gunarta, I. W. A. (2016). Gebug Ende: Ritual Untuk Memohon Hujan. Kalangwan: Jurnal
Seni Pertunjukan, 2(1).

15

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai