Anda di halaman 1dari 17

Al-Mada: Jurnal Agama Sosisal dan Budaya

Vol. 6 No 2, 2023. pp. 192-208 ISSN: 2599-2473


DOI : https://doi.org/10.31538/almada.v6i2.3405

PEMAKNAAN SEMBOYAN KERATON MATAN-TANJUNG


PURA; POTRET SIMBOL AGAMA DI ANTARA TRADISI MITOS
DAN LOGOS

Andry fitriyanto, M. Ud
Institut Agama Islam Negeri Pontianak
andryfitriyanto@iainptk.ac.id.

Received: 01-04-2023 Revised: 09-04-2023 Accepted: 16-04-2022

Abstrak
Mustike Indah Jaya Sempurna Dilupakan Pantang Dilangkah Tulah merupakan sebuah
semboyan yang dapat kita temui pada keraton Matan-Tanjungpura Kalimantan Barat.
Susunan kalimat tersebut memiliki nilai sakral yang tinggi di masyarakat setempat.
Dalam filsafat, semboyan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai sebuah symbol yang
mereprentasikan makna tertentu di baliknya. Ia berlaku sebagai symbol kebudayaan
yang dilandasi oleh muatan keagamaan yang kental. Ketiadaan otoritas penafsir resmi
dari semboyan tersebut, membuat siapa saja bebas memaknainya. Fenomena berbagai
kecenderungan pola pemaknaan inilah yang menjadi focus utama dalam tulisan ini. Di
mana dalam prosesnya, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian lapangan yang diperkuat analisisnya melalui berbagai literatur ilmiah.
Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelaahan ini menghasilkan beberapa poin penting. Pertama, semboyan diidentifikasi
sebagai sebuah symbol kebudayaan yang memuat aspek keagamaan sebagai landasan
norma sosial atau falsafah hidup masyarakatnya. Kedua, dalam aspek denotative atau
makna harfiah dari semboyan itu mencerminkan aspek seni, misteri, keberhargaan,
kekuatan, kemewahan, keindahan, ketinggian, hingga kelengkapan termuat dalam
perbendaharaan kata-katanya. Ketiga, terdapat kecenderung pemaknaan konotatif-
normatif yang memandang semboyan tersebut sebagai norma sosial dengan segala
anjuran dan pantangannya, pemaknaan konotatif-magis yang memandang semboyan
tersebut sebagai sebuah simbol keilmuan yang bersifat magis atau supranatural, dan
pemaknaan konotatif-logis yang menafsirkan semboyan tersebut secara rasional
dengan menggunakan literatur kesejarahan. Keempat, terdapat semacam pergeseran
pemaknaan antara para tetua yang cenderung memaknainya secara mistis dengan
generasi muda yang berusaha mencapai objektivitas dalam penafsirannya. Hal tersebut

http://e-journal.ikhac.ac.id/index.php/almada/index
Andry Fitriyanto

dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah usia, pengetahuan, pendidikan,


status sosial dan lainnya.

Kata Kunci : Semboyan, Filsafat, Semiotik, Mitos, Mustika Indah Jaya Sempurna

Mustike Indah Jaya Sempurna Dilupakan Pantang Dilangkah Tulah is a motto of the
kingdom Matan-Tanjungpura, West Kalimantan. This sentence has a sacred value for
the community. From a philosophical view, the motto is a symbol that has a specific
meaning behind it. It is present as a cultural and religious symbol. The absence of an
authoritative interpretation of this motto means that anyone can interpret it according
to their capacity. The phenomenon of various tendencies in patterns of meaning is the
main focus of this paper. This study uses a qualitative approach with a type of field
research that is strengthened by an analysis of scientific literature. Data collection was
carried out through observation, interviews, and documentation. This study resulted in
several important points. First, the motto is identified as a cultural symbol that contains
religious aspects as the basis of social norms or the philosophy of life of the people.
Second, in the denotative aspect, the motto reflects aspects of art, mystery,
preciousness, strength, luxury, beauty, and height, to the completeness contained in its
vocabulary. Third, there is a tendency for connotative-normative meanings to view the
motto as a social norm with all its recommendations and prohibitions, connotative-
magical meanings to view the motto as a scientific symbol that is magical or supernatural
in nature, and connotative-logical meanings to interpret the motto rationally. using
historical literature. Fourth, there is a kind of shift in meaning between the elders who
tend to interpret it mystically, and the younger generation who try to achieve objectivity
in their interpretation. It is influenced by several factors, including age, knowledge,
education, social status, and others.

Keyword: Motto, Philosophy, Semiotics, Myth, Mustike Indah Jaya Sempurne

PENDAHULUAN
Tanjungpura merupakan nama kerajaan yang telah berdiri pada sekitar abad ke VIII.
Para sejarawan mendapuknya sebagai kerajaan yang tertua di wilayah Kalimantan Barat. Wilayah
kekuasaan pada masa kejayaannya sangatlah luas, mulai dari wilayah Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, juga beberapa daerah di Malaysia dan Brunei, pernah menjadi bagian dari
kedaulatannya. Kerajaan Tanjungpura sendiri berubah menjadi sebuah kerajaan Islam setelah
Rajanya Sultan Muhammad Zainuddin/Gusti Jakar Kencana/ Sulthan Ratoe (1665-1724)
memeluk Islam. Kerajaan ini kemudian mengambil nama baru sebagai kerajaan Islam atau
kesultanan Matan.

193
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

Dalam dinamika sejarahnya, kerajaan Tanjungpura memang mengalami beberapa kali


perpindahan ibukota pemerintahan dan perubahan nama. Mulai dari berpusat di daerah Negeri
Baru (Kab. Ketapang), kemudian berpindah ke Sukadana (Kab. Kayong Utara) pada abad ke
XIV, dan akhirnya bergeser ke daerah Sungai Matan (Kab. Ketapang) pada abad ke IV. Lokasi
yang terakhir ini kemudian menjadi nama baru dari kerajaan tersebut setelah rajanya memeluk
Islam.
Hingga kini, cagar budaya sejarah yang menandai eksistensi kerajaan tersebut tersebut
dikenal dengan nama keraton Matan-Tanjungpura. Tempat bersejarah ini juga dinamai sebagai
sebagai Museum Gusti Saunan. Sebuah nama yang diambil dari nama raja terakhirnya, yaitu
Gusti Muhammad Saunan (1908-1944). Lokasi situs ini terletak di jalan Pangeran Kesumajaya
desa Mulie Kerta Kec. Benua Kayong Kab. Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Posisi
bangunan keraton tepat menghadap ke sungai Pawan. Hal tersebut sebagaimana tata letak
umumnya bagi kerajaan-kerajaan Melayu Islam yang ada di daerah Kalimantan Barat. Suatu
petunjuk kuat bagi sejarah peradaban sungai di masa lampau.
Di sebelah kanan depan bangunan keraton terdapat plang semboyan atau slogan yang
bertuliskan “Mustike Indah Jaye Sempurna-Dilupakan Pantang-Dilangkah Tulah”. Semboyan ini
berdiri kokoh tepat di belakang pagar dan di samping meriam keraton. Kombinasi warna hijau-
kuning-hitam dan gaya penulisan tampak harmonis menarik perhatian. Hal tersebut membuat
sesiapa pun yang melintas atau masuk ke dalam kawasan cagar budaya tersebut secara otomatis
akan mencerap kalimat bertuah itu.

Gambar: Plang Semboyan Keraton Matan-Tanjungpura Kalimantan Barat

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


194
Andry Fitriyanto

Walau bagaimanapun semboyan ini dapat dikatakan sebagai sebuah tanda yang memiliki
makna filosofis tertentu di baliknya. Menghadirkan suatu tanda dengan tampilan tertentu
mengindikasikan bahwa terdapat suatu pesan yang ingin disampaikan kepada publik dengan
menggunakan simbol-simbol pilihan. Kecederungan ini menunjukkan identitas manusia yang
dalam filsafat dikenal dengan istilah animal symbolicum.
Secara sederhana proses di atas telah memenuhi unsur dalam interaksionisme simbolik
George Herbert Mead (1863-1931) yang mencakup pikiran manusia (mind), interaksi sosial
(diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat
(society).1 Di mana suatu pesan ditampilkan untuk ditanamkan dalam pikiran subjek dan
diharapkan menjadi basis interaksi di lingkungannya dan menularkan pesan tersebut dalam
lingkup yang lebih luas. Upaya pemaknaan sebuah tanda sendiri merupakah salah satu masalah
tertua dalam bahasan filsafat. Harold H. Titus misalnya menyatakan bahwa filsafat tidak hanya
berkaitan dengan keilmuan, metodologi, rasionalitas, melainkan juga pada pemaknaan dan
analisisnya. Filsafat berada pada kecenderungan pada dua kutub, yaitu kutub penjelasan dan
kutub pemaknaan pada fenomena.
Dalam tradisi semiotika yang merupakan salah satu perluasan dari filsafat, tanda
merupakan bagian dari kehiduan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign system) dan ada
sistem sosial (social system) yang keduanya saling berkaitan.2 Tokoh semiotika Ferdinand De
Saussure (1857-1913) menyatakan bahwa upaya menampilkan tanda dengan kombinasi unsur-
unsur tertentu merupakan sebuah bentuk konvensi sosial (social convention) sehingga tanda
tersebut memiliki makna dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Jadi, ada semacam relasi yang
kuat antara sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial, juga antara tanda, pengguna tanda
dan pemakna tanda.
Menarik kiranya untuk memotret bagaimana masyarakat sekitar memaknai semboyan
Mustike Indah Jaye Sempurna-Dilupakan Pantang-Dilangkah Tulah yang dimiliki oleh keraton Matan
Tanjungpura. Kalimat keramat itu diidentikkan tidak hanya sebagai simbol identitas falsafah
kekeratonan, melainkan juga memuat unsur keagamaan yang kental. Di sini kita dapat melihat
kecenderungan pemaknaan yang dilakukan dalam dua kecenderungan, yaitu mitosentris dan
logosentris. Mitosentris diartikan sebagai cara pandang yang bersifat magis atau mistis yang
melibatkan kepercayaan-kepercayaan gaib, cenderung mengabaikan rasionalitas dan sulit

1 Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung: Rosdakarya, 2009), 136.
2 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Rosdakarya, 2013), vii.

195
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

diverifikasi kevalidannya. Sedangkan logosentris merujuk pada sudut pandang yang


mengandalkan rasionalitas dengan juga merujuk pada bukti-bukti empiris. Dalam
kecenderungan yang kedua ini, seringkali melibatkan beberapa disiplin keilmuan yang
berkembang, sebagaimana sosiologi, etnografi, dan pendekatan historis. Pergerakan trend
pemikiran dari mitosentris menuju logosentris sendiri merupakan substansi dari sejarah
kemunculan filsafat.
Dalam semboyan Mustike Indah Jaya Sempurne tersirat gambaran relasi kuat antara budaya,
masyarakat dan agama. Dalam pemaparan berikutnya akan terlihat jelas bahwa semboyan
tersebut tidak hanya berlaku sebagai simbol budaya, melainkan juga simbol agama yang
dileburkan dalam adat istiadat masyarakat setempat.
Secara ilmiah, pola relasi tersebut dijelaskan oleh Sidi Gazalba, bahwa hubungan antara
kebudayaan dan masyarakat adalah hubungan pola cita dan pola laku juga. Kebudayaan
mengendalikan laku perbuatan pendukung-pendukungnya. Kumpulan pendukung itulah
masyarakat. Masyarakat dikendalikan oleh kebudayaan. Ide-ide kebudayaan ujud dalam bentuk
Tindakan dan kenyataan dalam masyarakat. Sedangkan antara kebudayaan dan agama terjalin
pula saling-hubungan. Agama sebagai pola cita mengendalikan kebudayaan sebagai pola laku.
Ide-ide agama dikongkritkan oleh kebudayaan dalam cara (laku) berpikir dan merasa.3
Guna memperdalam bahasan, maka analisis filosofis yang terkait tanda dan pergeseran
maknanya digunakan sebagai pisau bedah dalam penelitian ini. Untuk itulah menulis
mengangkat judul artikel Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung; Potret Simbol Agama
Di Antara Tradisi Mitos dan Logos.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan analisis filsafat yang di dalamnya memuat pisau bedah semiotika dan
analisis sosial dengan menggunakan ragam literatur ilmiah. Di samping itu, penelitian ini juga
meninjau objek penelitian dalam sudut pandang khazanah pemikiran Islam. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dokumentasi dan studi literatur. Dalam semiotika
Barthes, tidak hanya mengkaji tentang tanda (sign) menjadi penanda (signifier) dan petanda
(signified), melainkan juga dengan mencanangkan tahap two order of signification (denotasi, konotasi

3 Sidi Gazalba, Masyarkat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 130.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


196
Andry Fitriyanto

dan mitos).4 Denotasi adalah level deskriptif dan harafiah makna yang disepakati seluruh
anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan oleh hubungan antara signifier dan budaya
secara luas yang mencakup kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi
dari sebuah formasi sosial.5 Sedangkan mitos berbagai pemaknaan yang muncul terhadap suatu
tanda karena pengaruh kehidupan sosial budaya di mana tanda tersebut berada.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Semboyan Mustike Indah Jaye Sempurna dapat kita identikkan dengan sebuah symbol yang
mewakili multi aspek. Baik itu aspek kebudayaan, keagamaan, kekuasaan, kemasyarakatan dan
lainnya. Penggunaan symbol dan keyakinan padanya menjadi identitas khas masyarkat yang
memegangnya. Ning Ratna Sinta Dewi merujuk pada Budiono Herusatoto menyatakan bahwa
konsep simbol dalam kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu rancangan ataupun ide-ide atau
gagasan mengenai suatu hal yang berkaitan dengan kebudayaan, yang menjadi sebuah ciri atau
identitas dari suatu kebudayaan tersebut.6
Di mana dalam kepercayaan tersebutlah, kehidupan sosial di bangun secara turun
menurun. Kedudukan simbol dalam kebudayaan dan juga dalam tindakan manusia yaitu sebagai
salah satu dari inti kebudayaan dan juga sebagai salah satu pertanda dari tindakan manusia. 7
Sehingga menjadi wajar jika semboyan tersebut terus menerus terpelihara dalam memori
kolektif masyarakatnya. Pemaknaan terhadap symbol inilah yang akan menjadi focus utama
dalam tulisan ini.

1. Tinjauan Bahasa Sebagai Pemaknaan Denotatif


Dalam semiotika Barthes, sebuah tanda dimaknai dalam dua tahap, yaitu denotasi dan
konotasi. Pada tahap pemaknaan denotasi, sebuah tanda ditafsirkan secara harfiah dan objektif
yang berangkat dari aspek paling nyata dari sebuah tanda. Secara sederhana, tahap ini dapat kita
identikkan dengan penggunaan sudut pandang kebahasaan publik. Sedangkan tahap kedua
(konotatif) merupakan pemaknaan yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tertentu seperti

4 A’yun Nikmatus Shalekhah dan Martadi, “Analisis Semiotika Roland Barthes pada Poster Film Parasite

Versi Negara Inggris”, Jurnal Barik Vol. 2. No. 1, (2021), 55.


5 M. Zemi Azhar, “Analisis Semiotika Makna Pesan Moral Dalam Iklan Sampoerna Versi “Orang

Pemimpi” Di Televisi,” E-Journal Ilmu Komunikasi, Vol 2 No. 3 tahun (2014), 156.
6 Ning Ratna Sinta Dewi, "Konsep Simbol Kebudayaan: Sejarah Manusia Beragama dan Berbudaya",

Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 2, No. 1 Maret (2022), 3.


7 Ning Ratna Sinta Dewi, "Konsep Simbol Kebudayaan: Sejarah Manusia Beragama dan Berbudaya",

Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 2, No. 1 Maret (2022), 5.

197
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

kebudayaan dan kepercayaan. Pada unsur-unsur tersebutlah aspek mitos berperan, yakni
penjelasan budaya akan realitas yang dijumpainya.

Berikut kita akan mulai pada pembahasan makna denotative dari semboyan tersebut
dengan membedah satu-persatu makna baku dari kata penyusunnya. “Mustike”, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dikenal istilah “mestika”, yaitu nama dari sebuah benda atau sesuatu
yang lain dengan nilai kesaktian dan keberhargaan. Biasanya kepemilikan benda semacam ini
sangat langka dan hanya pada kalangan tertentu yang memiliki persyaratan tertentu. Hal tersebut
juga erat kaitannya dengan nuansa mistik dan kekuatan supranatural di baliknya.

Kata selanjutnya, yaitu “indah” yang memancarkan unsur estetika. Di mana padanya
mempu membawa atmosfer ketenangan batin. Di dalamnya terdapat keteraturan dan
kebersusunan harmonis yang meneduhkan pandangan. Kemudian kata “Jaye” atau jaya yang
menggambarkan keberhasilan mencapai sesuatu setelah melalui berbagai tahap perjuangan. Hal
ini menunjukkan sebuah proses berat yang harus dilalui sebelum pencapaian tersebut diperoleh.
Tentunya hal ini memerlukan pengorbanan banyak aspek dari seseorang yang melakoninya.
Kata “Sempurne” atau sempurna, menghadirkan perihal kelengkapan dari sebuah kondisi. Ia
menggambarkan keadaan yang puncak atau final, di mana tak ada tingkatan lagi setelahnya.

Dalam gabungan kata “Mustike Indah Jaye Sempurne”, menjadi kalimat yang
menyuguhkan ragam khazanah filosofis di dalamnya. Hal tersebut melibatkan aspek misteri,
keberhargaan, kekuatan, kemewahan, keindahan, ketinggian, hingga kelengkapan termuat dalam
perbendaharaan kata-katanya. Dari sini kemudian kalimat tersebut menemukan momentum
kekeramatan pada dirinya ketika dicerap oleh orang-orang yang membaca dan memaknainya.

2. Pemaknaan Konotatif-Normatif
Untuk menggali pemaknaan semboyan tersebut, penulis merujuk pada tiga narasumber
yang berbeda. Pertama, Uti Syahrudin (70 tahun) yang merupakan juru kunci Keraton Matan-
Tanjungpura; Kedua, Uti Sajimin Mahyus (58 tahun) yang merupakan juru kunci Makam
Keramat Sembilan. Ia juga merupakan keturunan ke 8 dari Iranata Dirilaga / Pangeran
Mangkurat (Raja Tanjungpura Indralaya Sandai) 1846-1856. Ketiga, Agus Kurniawan (37
tahun); Keempat, Gusti Carma (35 tahun). Dua orang terakhir ini adalah tokoh muda yang
tergabung dalam organisasi Lawang Kekayun, sebuah organisasi kepemudaan yang menaruh
perhatian pada pelestarian sejarah dan kebudayaan lokal.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


198
Andry Fitriyanto

Wawancara dilakukan pada rentang watktu pada tanggal 21 s/d 28 Juni 2021 yang
merupakan bagian dari kegiatan Kampung Riset LPPM IAIN Pontianak di Ketapang. Sebagian
data ini sudah tercantum dalam sebuah buku dan diterbitkan dalam karya yang lain. Sedangkan
lagi diolah dengan perspektif dan pendekatan yang berbeda dalam tulisan ini.

Dari narasumber ini dapat kita gambarkan dalam beberapa pola atau corak penjelasan
seputar semboyan Mustike Indah Jaye Sempurna. Terdapat penjelasan yang memaknai
semboyan tersebut hanya sebagai symbol kebudayaan yang memuat norma sosial, namun ada
pula yang memandangnya tidak hanya sekedar symbol dari norma social, melainkan
mengaitkannya dengan mistisisme atau hal-hal magis. Di sisi lain ada kalangan muda aktivis
kebudayaan yang lebih senang memaknainya sebagai symbol budaya yang dipengaruhi unsur
keagamaan dengan meminimalisir anasir-anasir irasional di dalamnya. Penjelasan ini secara runut
sebagaimana uraian berikut.

Dalam konteks yang lebih luas dan kontekstual, semboyan keramat itu juga dapat
digunakan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Para orang tua di Ketapang biasa
menggunakan kalimat itu sebagai bentuk nasihat agar para anaknya mengikuti ragam petunjuk
yang diberikan. Kalimat “Ditinggal Pantang, Dilangkah Tulah” bermakna petuah-petuah yang
disampaikan orang tua hendaknya tak boleh ditinggalkan dan tak boleh dilanggar. Karena ridho
Tuhan juga terletak pada ridho kedua orang tua. Begitulah yang disampaikan oleh Uti Syahrudin
kepada penulis. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan yang diberikan oleh Uti Renah (32 tahun,
Juru Kunci Keraton Matan/ anak dari Uti Syahruddin):

“Kalau kita di sini ne punye adat. Jadi adat itu nda’ boleh dilupa’kan. Di mana
pun kita berada atau bepergian harus tetap membawa adat istiadat tersebut pada
seluruh anak keturunan. Jika kita lupa’kan atau langar, nanti tulah nye ke kite.
Kalua udah tulah, make akan ade apa-apanye. Kejadiannya akan fatal, bise jadi
anaknye akan cacat. Itu berarti karena adat yang nda’ di bawa. Selama kita tau
adat istiadat tersebut, tetap harus kita bawa’, jangan sampai dilupakan.”
Pemaknaan seperti ini penulis sebut sebagai pemaknaan yang bersifat normative. Hal
tersebut berangkat dari kecenderungan pemaknaan yang menafsirkan semboyan Mustike Indah
Jaye Sempurna sebagai sebuah norma social yang harus dipatuhi. Dalam aspek inilah secara
alamiah memunculkan mitos-mitos yang berguna sebagai penunjang system nilai kehidupan
masyarakat. Dalam bahasa Cak Nur, mitos-mitos tersebut merupakan pranata penunjang

199
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam
masyarakat.8

3. Pemaknaan Konotatif-Magis

Di sisi lain, Uti Sajimin Mahyus memberikan penjelasan yang memuat unsur-unsur
mistik yang lebih kentara. Hal tersebut dapat dilihat dari penuturan jawaban ketika diminta
menjelaskan makna di balik semboyan Mustika Indah Jaya Sempurna. Ia mengaitkan semboyan
tersebut dengan kemampuan supranatural atau kesaktian yang dimiliki raja-raja terdahulu.

“Pada masa kerajaan Islam Melayu zaman dahulu para raja harus menguasai
banyak ilmu, termasuk ilmu agama. Hal ini sebagai bekal untuk menghadapi
ragam permasalahan baik di lingkungan kerajaan maupun di masyarakat.
Keberanian untuk menjadi seorang raja diyakini berlandaskan penguasaan yang
baik terhadap ilmu-ilmu tersebut. Jika tidak menguasai ilmu dari kitab-kitab yang
tersembunyi tentu seseorang tidak akan berani menjadi raja.”
“Di Ketapang ini, setiap raja dan keluarganya adalah orang-orang yang paham
agama. Maka orangnya bisa terbang, bisa hilang, bisa menyebrangi sungai
dengan berjalan kaki, bisa apa saja karena ia sudah menguasai kitab. Saking
hebatnya, biasa sholat jum’at di Makkah.”
“Jaya sempurna ini merupakan penyempurna semua ilmu yang ada. Ilmu paling
puncak. Ilmu yang dituliskan di keraton itulah ilmu agama yang sangat dalam
dan disebut dengan ilmu Jaye Sempurne. Apabile kita jayekan ia di dalam dunia
ini dengan kebaikan, insyaallah akan sempurne di akherat. Karena kebaikan di
dunia adalah bekal kita di akhirat. Tapi apabile kita jayekan dengan sesat, nerake
jadinye, hancurlah jadinye. Karena apabila ilmu ini dikuasai maka apapun yang
menjadi kemauan pasti terjadi. Ape pun yang diomong, pasti akan jadi!”
“Dengan orang yang punye ilmu tu jangan sampai kite bantah atau tentang
bicaranya, harus diikuti apa yang dikatakannye. Kerena apa yang dibicarakannya
itu tak mungkin menyalahi. Dan apapun yang dibicarakan akan terwujud. Make
kite tak boleh menentangnya, atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Orang yang
memiliki ilmu tersbut juga tidak boleh berbicara sembarangan.”
“Jika seseorang telah menguasai ilmu mustika jaya sempurna, maka sepuluh
orang yang berniat jahat kepada kita pun akan terjatuh sebelum menjalankannya
niatnya tersebut. Penguasa ilmu tersebut juga bisa merasakan ancaman-ancaman
secara dini.”
“Orang-orang zaman dahulu itu sangat hebat, karena membuat adat itu diiringi
dengan agama. jangan sampai agama diiringi adat, hancur. Tapi apabila adat
dimasuki agama, maka insyaallah sempurna. Karena tidak akan melanggar batas-
batas yang sudah ditentukan.”

Hasil wawancara di atas dengan jelas menunjukkan sesuatu yang di sebut antropolog
sosial termasyhur Evans Pritchard (1920-1973) sebagai bentuk pikiran magis, yaitu kepercayaan

8 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), xxiii.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


200
Andry Fitriyanto

bahwa beberapa aspek kehidupan bisa dikontrol oleh daya mistik atau kekuatan supranatural. 9
Kepercayaan-kepercayaan semacam ini dalam teori social dynamic Auguste Comte (1798-1857)
dimiliki oleh masyarakat dalam tahap teologis (the theological stage) dan tahap metafisik (the
metaphysical stage). Di mana kecenderungan keyakinan pada kekuatan supranatural atau magis di
balik sesuatu atau benda masih sangat tinggi. Untuk itulah, jenis pemaknaan seperti ini penulis
nisbahkan dengan istilah pemaknaan konotatif-magis.
Dari informasi di atas pula dapat kita gunakan juga pandangan J.G. Frazer (1854-1941),
seorang tokoh antropologi social yang mengawali studi modern tentang mitologi dan agama di
masyarakat. Berangkat dari hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, Ia menyatakan bahwa
agama dan magis seringkali dicampuradukkan dalam kebudayaan di seluruh dunia. Termasuk
juga dalam hal pemosisian raja dan para bangsawan di tengah masyarakatnya. Ia menjelaskan
lebih lanjut bahwa dalam masyarakat primitive menganggap raja setara dengan dewa yang
memiliki hubungan bersifat magis dengan rakyatnya. Hal-hal magis yang dimiliki raja ini juga
akan menjelaskan kenapa raja selalu dikelilingi oleh “taboo”, yaitu beberapa larangan sakral untuk
melindungi jiwa. Kadangkala, raja diminta untuk tidak menyentuh benda-benda atau orang-
orang tertentu agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi pada benda atau orang yang
disentuhnya itu.10
Taboo atau tabu merupakan bagian dari mitosis yang ada dalam sebuah masyarakat.
Pengetahuan seputar hal ini biasanya disampaikan melalui tradisi oral secara turun temurun.
Meski memiliki pesan moral yang tinggi, namun validitas dari mitos itu tidak dapat diverifikasi
kebenarannya kerena mengalami distorsi dalam penyampaiannya.
Dalam semiotika Barthes, mitos adalah satu system khusus karena terbentuk dari
serangkaian rantai semiologis yang telah ada sebelumnya.11 Dalam proses two order signification,
mitos berpijak pada pemaknaan konotatif yang telah diberikan. Pada prosesnya, ia dipengaruhi
oleh kepercayaan, lingkungkan sosial, corak berpikir dan ideologi yang dimiliki masyarakat.
Mitos sendiri tidak selalu identik dengan hal-hal negatif, melainkan memiliki fungsi sosial
yang penting di tengah masyarakat. Di antaranya adalah meneguhkan simbol-simbol
kebudayaan dan pemaknaannya dalam upaya menjelaskan fenomena lingkungan yang dihadapi.
Mitos dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan tertentu juga berguna sebagai pedoman bagi
masyarakat untuk membangun ikatan sosial yang solid sebagai ciri khas komunitasnya. Dalam

9 Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religions (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 290.
10 Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religions (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 61-62.
11 Roland Barthes, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 161.

201
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

bentuk yang lain, nilai-nilai luhur yang dikandung sebuah kepercayaan tradisional dapat menjadi
sarana pendidikan yang cukup efektif dalam penanaman norma dan nilai-nilai sosial.
Adat istiadat yang berisi kepercayaan tradisional menyatu dalam pemahaman keagamaan.
Dalam komunitas yang memiliki orientasi keagamaan tradisional-kontekstual lebih cenderung
menerima adat sebagai pengayaan agama. Selama adat tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
agama, misalnya ajaran tentang keesaan Tuhan, adat dapat dianggap sebagai unsur yang
memperkaya keberagamaan.12 Hal ini dapat tergambar dari pernyataan terakhir dari narasumber
di atas. “Tapi apabila adat dimasuki agama, maka insyaallah sempurna. Karena tidak akan
melanggar batas-batas yang sudah ditentukan.” Sejalan pula dengan tradisi masyarakat Melayu
yang menjunjung semboyan “Adat bersendikan syara’. Syara’ bersendikan kitabullah.”

4. Pemaknaan Konotatif-Logis

Memiliki corak penjelasan berbeda, dua narasumber lainnya memberikan penjelasan


dengan pendekatan yang lebih rasional. Penulis mengategorikannya pada pemaknaan konotatif-
logis. Misalnya, Gusti Carma yang menyatakan bahwa semboyan tersebut lebih mengarah
kepada pemaknaan religious. Di mana keimanan akan Allah dan Rasulnya sebagai jantung dari
keberagaman disimbolkan dengan lafal dua kaliman Syahadat.

“Mustika Indah Jaya Sempurna itu lebih kepada agama. Kate orang ketapang,
itu ilmu tertinggi. Kalau dalam agama, itu terjemahan dari syahadat. Sempurne
di dunia sempurna di akhirat.”

Begitu pula penuturan dari Agus Kuniawan yang menggunakan pendekatan sejarah.
Bahwa terdapat pengaruh Islam yang kuat dalam kehidupan bernegara yang dapat dilihat dari
semboyan tersebut. Sebagaimana tuturnya sebagai berikut:

“Semboyan Mustike Jaye Sempurne itu melambangkan ilmu tertinggi, yaitu


Syahadat. Sedangkan kalimat dilangkah tulah dilupakan pantang, merupakan
pemaknaan yang sangat islami, bahwa Syahadat adalah hal yang tidak bisa
diganggu gugat. Semboyan ini terkenal di lingkungan kerajaan-kerajaan Islam di
Kalimantan Barat. Diyakini sudah lama dipakai di keraton sebagai perlambang
sultan sebagai khalifah yang merupakan simbol kenegaraan dan simbol
keagamaan.”
“Pada zaman dahulu, pangeran-pangeran atau calon raja biasanya dididik dengan
cara yang Islami atau aspek keagamaannya sangat diperhatikan. Panembahan
Sabran mendapat pendidikan di Makkah. Satu angkatan dengan Syaikh

12 Syamsul Ma’arif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (Yogyakarta:

CRCS, 2018), 12.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


202
Andry Fitriyanto

Muhammad Khatib Assambasi. Panembahan Sabran juga dikenal sebagai


mursyid tarekat Naqsabandi. Ada kemungkinan beliaulah yang memunculkan
semboyan tersebut.”
“Corak keislaman menurut keterangan literatur sejarah Belanda tahun 1895
J.P.J. Barth, ada dua orang pangeran yang mendapat pendidikan di Makkah,
yaitu Pangeran Sabran di Ketapang yang membawa ajaran tarekat naqsabandi
yang ajarannya cenderung soft, adat jalan-agamapun jalan. Di wilayah hulu, ada
adik pangeran sabran yaitu Gusti Muhammad Sa’id yang membidangi ilmu
hadits bermazhab syafi’i. Di Tumbang Titi yang memiliki corak keislaman yang
lebih ortodoks dan keras dibandingkan saudaranya.”

Dua kalimat syahadat merupakan pondasi dasar dalam agama Islam. Ia menempati
posisi pertama dalam rukun Islam. Kalimat syahadat merupakan kalimat pengakuan dan
penerimaan seseorang terhadap Islam.13 Di dalamnya berisi aspek akidah tauhid atau
keimanan, yaitu pengakuan ketuhanan Allah Swt dan kenabian Muhammad Saw. Dua
pengakuan ini haruslah ditegakkan terlebih dahulu sebelum memasuki pondasi dan ajaran
Islam lainnya. Posisi sentral inilah yang mungkin dikiaskan dalam pemaknaan masyarakat
terhadap semboyan Mustike Indah Jaya Sempurna sebagai dua kalimat syahadat yang berposisi
sebagai “ilmu tertinggi”. Di mana penjunjungan terhadap elan vital agama Islam tersebut yang
menjadi kunci kesuksesan di dunia dan di akhirat.
Penempatan dua kalimat syahadat dalam posisi sentral pada kebudayaan setempat
menunjukkan upaya menerapkan nilai-nilai keislaman dalam seluruh aspek kehidupan.
Semboyan Mutike Jaye Sempurne yang menjadi semacam ideologi kehidupan kekeratonan
mencerminkan sebuah pedoman yang khas Islam. Hal tersebut berdiri pada landasan yang
dalam bahasa Murtadha Muthahhari dikenal dengan istilah pandangan dunia (worldview) tauhid.
Di mana sebuah ideologi lahir dari topangan pandangan dunia tertentu.14
Pandangan dunia dapat diartikan sebagai bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran
dan hasil kajian yang ada pada seseorang atau masyarakat berkenaan dengan Tuhan, alam
semesta, manusia serta masyarakat dan sejarah.15 Pandangan dunia tauhid sendiri bermakna
bahwa alam berkutub satu dan berpusat satu, dan bahwa alam pada hakikatnya dari (milik)
Allah dan kembali kepada-Nya.16

13 Yuli Ahmad Hambali dan Dedi Slamet Riyadi, “Syahadat Sebagai Jalan Spiritual (Analisis Terhadap
Nazham-Nazham Sayyid Umar Bin Ismail Bin Yahya)”, Syifa al-Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik, Vol. 06, No.
02 (2022), 205.
14 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam (Jakarta: Sadra Press, 2010), 2-3.
15 Andry Fitriyanto, Epistemologi Alternatif Muhammad Baqir Al-Sadr (Pontianak: IAIN Pontianak

Press, 2021), 5.
16 Murtadha Muthahhari, Pandangan Dunia Tauhid (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), 19.

203
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

Keilmuan tentang ketauhidan dalam khazanah pemikiran Islam dinamai juga dengan
ilmu ushuluddin (asas-asas agama), ilmu kalam, ilmu akidah, fiqh al-akbar. Di mana dalam
bahasa Hassan Hanafi ilmu tauhid ini merupakan landasan teoritis bagi aktivitas praksis. 17
Inilah yang penulis anggap sebagai kesamaan yang bisa di Tarik dari pemaknaan semboyan
Mustike Indah Jaye Sempurna sebagai sebuah ilmu tertinggi dalam balutan budaya setempat.
Hal kedua yang bisa kita tangkap dari pemaparan narasumber adalah isu relasi antara
negara dan agama. Di mana catatan sejarah menunjukkan bahwa Matan-Tanjungpura
menganut system pemerintahan kerajaan Islam, setelah sebelumnya menganut system
keagamaan lain. Dalam system pemerintahan seperti ini, tentu menggunakan sumber hukum
yang sama bagi agama dan negara. Di mana kekuasaan negara di dasarkan dan dijustifikasi
dengan landasan keagamaan. Begitu pula sebaliknya, ajaran keagamaan dilaksanakan dan
dipayungi oleh kebijakan pemerintahan. Jadi dalam kasus ini dapat digunakan adagium lawas,
bahwa Islam adalah agama dan kekuasaan (al-Islām huwa al-dīn wa ’l-dawlah).
Filosof muslim yang dikenal sebagai bapak sosiologi Islam, Ibn Khaldun menyatakan
bahwa agama memiliki peran yang penting dalam upaya menegakkan kedaulatan suatu negara.
Pandangan optimistik ini berangkat dari peran agama pemberi landasan moralitas dalam
kehidupan bermasyarakat. Ia menyatakan bahwa peranan agama dapat menciptakan
solidaritas dikalangan rakyat, dan rasa solidaritas akan mampu menjauhkan persaingan yang
tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran. Dengan agama
pula tujuan solidaritas menjadi satu. Apa yang diperjuangkan bersama itu adalah untuk semua
warga dan semuanya siap untuk mengorbankan jiwa untuk mencapai tujuannya. 18
Hubungan negara dan agama sebagaimana di atas, dalam khazanah pemikiran islam
kontemporer dikategorikan sebagai paradigma formalistik (integralistik). Paradigma
formalistik memandang agama Islam sebagai suatu agama yang sempurna dan sangat lengkap,
yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk
mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.19 Dalam sudut
pandang inilah negara dan agama harus dileburkan dalam satu kesatuan yang saling
menguatkan. Bentuk ini akan menampilkan negara sebagai pemegang otoritas keagamaan dan
ajaran agama menjelma dalam kebijakan negara.

17 Hassan Hanafi, Dari Akidah Ke Revolusi (Jakarta: Paramadina, 2010), 14.


18 Edi Gunawan, “Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam,” Jurnal Kuriositas, Vol. 11, No.
2, Desember (2017), 107.
19 Zaprulkhan, “Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam,” Jurnal Walisongo, Vol. 22, No 1, Mei

(2014), 114.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


204
Andry Fitriyanto

Dari pola kehidupan seperti inilah kemudian pendidikan agama dianggap menjadi suatu
hal yang sangat penting di lingkungan kerajaan. Selain sebagai sebuah kewajiban pemeluk
agama, hal tersebut juga berlaku sebagai legitimasi pimpinan dari sebuah negara agama. Untuk
itulah pendidikan keagamaan pagi kaum muda di lingkungan kerajaan menjadi sebuah
keharusan. Sebuah bentuk upaya pembibitan dan penyiapan calon pemimpin masa depan yang
memiliki kualitas keagamaan dan kenegaraan.
Dari pemaparan di atas, dapat kita identifikasi bahwa semboyan Mustike Indah Jaye
Sempurne merupakan bagian dari budaya dalam kehidupan bernegara dan beragama. Budaya
sendiri dapat didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok. 20
Kebudayaan masyarakat ini tentu berkaitan erat dengan dengan nilai-nilai keagamaan atau
kepercayaan-kepercayaan yang dimiliki. Dalam hal ini, semboyan tersebut dimaknai sebagai
sebuah falsafah kehidupan yang memuat norma-norma kehidupan demi menjaga kondusifitas
bermasyarakat. Di mana hal tersebut termanifestasi dalam sebuah simbol kebudayaan.
Dari pemaknaan yang diberikan, kita juga dapat melihat eratnya kaitan antara budaya
dan agama dalam sebuah simbol dan system nilai. Rafael Raga Maran yang dikutip oleh Ning
Ratna Sinta Dewi, bahwa agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada
Tuhan. Selain itu, kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup
di lingkungannya. Namun keduanya dapat saling menggeser dikerenakan daya akal yang
dimiliki oleh manusia lama kelamaan akan semakin maju dan berkembang sesuai dengan
tingkat kreatifitas yang ada dalam diri manusia. Simbol dalam budaya dihubungakan dengan
tanda, di mana tanda tersebut memiliki makna dan juga peranan dalam kehidupan manusia
dalam menjalankan kehidupan budayanya.21

5. Pergeseran Pemaknaan
Meski sepakat dengan penempatan symbol kebudayaan tersebut pada posisi yang tinggi
dan memuat nilai-nilai luhur keagamaan, namun pemaknaan yang diberikan oleh narasumber
memiliki corak yang berbeda. Pada pemaparan tiga narasumber pertama kita dapat identifikasi
unsur-unsur kepercayaan tradisional yang bersifat mistis atau mitos mewarnai setiap
pemaknaan yang diberikan terhadap semboyan tersebut. Sedangkan pada pemaknaan yang

20 Sinta Paramita, "Pergeseran Makna Budaya Ondel-Ondel Pada Masyarakat Betawi Modern", Jurnal

Bakti Masyarakat Indonesia, Vol. 01, No. 1, Mei (2018), 134.


21 Ning Ratna Sinta Dewi, "Konsep Simbol Kebudayaan: Sejarah Manusia Beragama dan Berbudaya",

Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 2, No. 1 Maret (2022), 2.

205
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

diberikan oleh dua narasumber setelahnya lebih menekankan penjelasan yang normative dan
cenderung menjaga jarak dengan hal-hal yang dianggap irasional. Sesuatu yang dapat kita rujuk
pada ciri masyarakat modern. Di mana kehidupan masyarakat modern ditandai dengan
lenyapnya mitos-mitos dari sisi kehidupannya. Mereka betindak berdasarkan gaya hidup
universal dan mengacu pada pola pikir logis.22
Dua gap corak penjelasannya tersebut menunjukkan adanya pergeseran pemaknaan
masyarakat terhadap semboyan Mustike Indah Jaye Sempurna. Pergeseran makna sendiri
merupakan gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian (konotasi), penyinestesian
(sinestesia), dan pengasosiasian makna kata yang masih dalam satu medan makna. Dalam
pergeseran makna rujukan awal tidak berubah atau diganti, tetapi rujukan awal mengalami
perluasan atau penyempitan rujukan.23
Pergeseran itu secara sederhana dapat kita lihat dari rentang usia penutur/narasumber.
Kaum tetua memiliki pemaknaan khas yang merupakan ciri masyarakat tradisional dengan
tetap berpegang pada kepercayaan yang di warisi secara turun-temurun. Pendekatan yang
digunakan cenderung berpusat pada sisi-sisi magis dari semboyan tersebut. Sehingga
pemaknaan yang diberikan menimbulkan kesan mistis yang kuat. Sedangkan Kaum muda
cenderung berusaha memaknai semboyan tersebut secara lebih objektif dengan meminimalisir
bias-bias mitos yang ada. Lebih jauh mereka juga berpegang pada bukti-bukti kesejarahan dan
menggunakan analisis rasional yang cukup kuat.
Hal inilah yang mengingatkan kita pada perubahan orientasi pola berpikir masyarakat
dari mitosentris menuju logosentris dalam sejarah filsafat. Sebuah era pembebasan diri dari
kungkungan mitos-mitos yang kemudian oleh pengkaji filsafat dianggap sebagai awal mula
lahirnya filsafat dan peradaban rasional.24 Pergeseran paradigma yang dipengaruhi oleh lajunya
perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan.
Faktor rentang usia ini tentunya hanya merupakan salah satu dari sekian faktor lainnya
yang berperan dalam ragam pemaknaan ini. Lebih dari itu ada faktor, pendidikan, ikatan
kekeluargaan dan lainnya yang juga cukup dominan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Secara teoritis sendiri, hal-hal yang mempengaruhi pergeseran pemaknaan sesuatu dalam
masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan teknologi,

22 I Wayan Kariarta, "Kontemplasi Diantara Mitos Dan Realitas", Jñānasiddhânta: Jurnal Prodi Teologi Hindu

STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Vol. 1, No. 1, September (2019), 39.


23 Ida Nursida, "Perubahan Makna Sebab Dan Bentuknya: Sebuah Kajian Historis", Jurnal Alfaz, Vol.2,

No.2, Juli-Desember (2014), 48.


24 Fahruddin Faiz, Sebelum Filsafat (Yogyakarta: MJS Press, 2018), 64.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


206
Andry Fitriyanto

perkembangan sosial dan budaya, serta pengaruh unsur kesejarahan, yakni berkaitan dengan
perjalanan bahasa itu sendiri dari generasi ke generasi, perkembangan konsep ilmu
pengetahuan, kebijakan institusi, serta perkembangan ide dan objek yang dimaknai. 25
Kedua, pemaknaan terhadap semboyan tersebut dapat dilakukan dengan merujuk pada
aspek denotatifnya maupun aspek konotatifnya. Dalam aspek denotative atau makna harfiah
dari semboyan itu mencerminkan aspek seni, misteri, keberhargaan, kekuatan, kemewahan,
keindahan, ketinggian, hingga kelengkapan termuat dalam perbendaharaan kata-katanya.
Makna harfiah ini turut memberikan kesan kesakralan pada semboyan tersebut yang kemudian
tertuang dalam pemaknaan konotatifnya.
Ketiga, semboyan tersebut paling tidak ditafsirkan dengan tiga jenis pendekatan atau
pemaknaan konotatif. A) Pemaknaan konotatif-normatif, menganggap bahwa semboyan
tersebut berlaku sebagai norma social yang berlaku dan diwariskan secara turun menurun. Di
dalamnya terdapat beberapa anjuran dan pantangan yang apabila dilanggar akan membawa
kemudharatan bagi seseorang. B) Pemaknaan konotatif-magis, menyatakan bahwa semboyan
tersebut merupakan cerminan dari sebuah keilmuan supranatural yang hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu. Meski, kekuatan adikuasa tersebut memiliki basis ajaran agama, namun
pemaknaan yang dilakukan cenderung memuat anasir irasionalitas. C) Pemaknaan konotatif-
logis, merupakan jenis pemberian makna pada semboyan tersebut dengan basis literatur
kesejarahan dan pendekatan rasional, serna meminimalisir unsur-unsur mitos yang
berkembang di masyarakat pada umumnya.
Keempat, secara sederhana dapat dilihat pergeseran pemaknaan semboyan tersebut
pada lintas generasi. Para tetua memiliki corak pemaknaan yang bersifat konotatif-magis.
Sedangkan kaum muda lebih memperlihatkan pemaknaan konotatif-logis. Hal tersebut dapat
saja dipengaruhi oleh rentang usia, pendidikan, pengetahuan, status sosial, dan lain sebagainya.

KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan dalam beberapa point.
Pertama, semboyan keraton Matan-Tanjungpura yang berbunyi Mustike Indah Jaye Sempurna –
Dilupakan Pantang -Dilangkah Tulah diidentifikasi sebagai sebuah symbol kebudayaan yang
memuat aspek keagamaan sebagai landasan norma sosialnya. Kedudukan symbol ini dalam

25 Ida Nursida, "Perubahan Makna Sebab Dan Bentuknya: Sebuah Kajian Historis", Jurnal Alfaz, Vol.2,

No.2, Juli-Desember (2014), hal 52.

207
Al-Mada: Vol 6 no 2 2023
Pemaknaan Semboyan Keraton Matan-Tanjung Pura

sebuah kebudayaan merupakan sesuatu yang bersifat sentral dan menjadi ciri khas masyarakat
yang menganutnya. Semboyan tersebut juga sebagai semacam ideologi atau falsafah hidup yang
mencerminkan pandangan dunia (worldview) tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Andry Fitriyanto, Epistemologi Alternatif Muhammad Baqir Al-Sadr, Pontianak: IAIN Pontianak
Press, 2021.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2013.
A’yun Nikmatus Shalekhah dan Martadi, Analisis Semiotika Roland Barthes pada Poster Film
Parasite Versi Negara Inggris, Jurnal Barik, Vol. 2. No. 1, Tahun 2021.
Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religions, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
Edi Gunawan, Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam, Jurnal Kuriositas, Vol. 11,
No. 2, Desember 2017.
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2009.
Fahruddin Faiz, Sebelum Filsafat, Yogyakarta: MJS Press, 2018.
Hassan Hanafi, Dari Akidah Ke Revolusi, Jakarta: Paramadina, 2010.
Ida Nursida, Perubahan Makna Sebab Dan Bentuknya: Sebuah Kajian Historis, Jurnal Alfaz,
Vol.2, No.2, Juli-Desember tahun 2014.
I Wayan Kariarta, Kontemplasi Diantara Mitos Dan Realitas, Jñānasiddhânta: Jurnal Prodi Teologi
Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Vol. 1, No. 1, September 2019.
Murtadha Muthahhari, Pandangan Dunia Tauhid (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993.
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, Jakarta: Sadra Press, 2010.
M. Zemi Azhar, Analisis Semiotika Makna Pesan Moral Dalam Iklan Sampoerna Versi “Orang
Pemimpi” Di Televisi, E-Journal Ilmu Komunikasi Vol. 2 No. 3 tahun 2014.
Ning Ratna Sinta Dewi, Konsep Simbol Kebudayaan: Sejarah Manusia Beragama dan
Berbudaya, Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama, Vol. 2, No. 1 Maret tahun 2022.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Roland Barthes, Mitologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011.
Sidi Gazalba, Masyarkat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Sinta Paramita, Pergeseran Makna Budaya Ondel-Ondel Pada Masyarakat Betawi Modern,
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, Vol. 01, No. 1, Mei tahun 2018.
Syamsul Ma’arif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia,
Yogyakarta: CRCS, 2018.
Yuli Ahmad Hambali dan Dedi Slamet Riyadi, Syahadat Sebagai Jalan Spiritual (Analisis
Terhadap Nazham-Nazham Sayyid Umar Bin Ismail Bin Yahya), Syifa al-Qulub: Jurnal Studi
Psikoterapi Sufistik, Vol. 06, No. 02 tahun 2022.
Zaprulkhan, Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jurnal Walisongo, Vol. 22, No 1,
Mei 2014.

Al-Mada: Vol 6 no 2 2023


208

Anda mungkin juga menyukai