Anda di halaman 1dari 3

MIS – Teori Kebudayaan – 2020

Amri Fadhilah Ahmad


Amrifadhilah@students.undip.ac.id // 13010219420011

TEORI KEBUDAYAAN
A. Budaya
Budaya dalam antropologi, merupakan suatu sistem yang terintegrasi berdasarkan nilai-nilai
sosial seperti keyakinan, kesenian, adat istiadat, dan aturan-aturan yang membatasi perilaku
masyarakat namun diterima oleh masyarakat itu sendiri. Elemen-elemen tersebut bertujuan
untuk melindungi dan mempertahankan hidup suatu kelompok masyarakat. Perbedaan
kebudayaan yang ada dalam masyarakat, membuat setiap masyarakat satu dengan yang lainnya
saling berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri. Misalnya, dalam ilmu arkeologi, peneliti
mempelajari sisa-sisa budaya manusia yang telah punah yang tertinggal dalam bentuk materi
seperti tembikar maupun senjata guna mengetahui bagaimana cara hidup orang pada masa lalu.
Budaya dapat dikatakan pula sebagai hasil dari pola hidup manusia baik itu dalam bentuk
materi maupun non-materi. Budaya seringkali diperoleh melalui enkulturasi, yaitu suatu proses
dimana generasi-generasi tua menanamkan ke generasi-generasi yang lebih muda pola hidup
yang sama dengan generasi tua. Generasi tua menganggap bahwa pola-pola hidup yang selama
ini mereka lakukan sudah mapan, sudah tepat sehingga pada akhirnya tertanam suatu budaya
dalam diri seseorang.
Berbagai macam penelitian terhadap budaya sudah banyak dilakukan dengan berlandaskan
pada berbagai macam teori budaya yang berbeda, tidak jarang pula muncul narasi teoritis baru
guna mendekati istilah-istilah yang sulit dipahami. Pada mulanya para peneliti memahami
budaya hanya sebatas penyebaran dari berbagai unsur yang kompleks, yang menyebar dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya.
B. Konsep Budaya Tarcott Parsons

Parsons menekankan bahwa budaya memiliki logikanya sendiri. Budaya sebagai sebuah
sistem memiliki standar/tolak ukur sendiri pada konsistensi logis dan keharmonisan/kesesuaian
semantis dan juga memiliki kerangka aturan yang tidak langsung terhubung dengan motif atau
masalah orientasi yang dimiliki oleh individu penganut budaya tersebut. Karena hal tersebut,
budaya tidak dapat diturunkan (kastanya) hanya pada sebatas motif/keinginan per individu
dengan alasan bahwa sebuah budaya hanya akan efektif sebagai garis besar/bagan yang
mendarah daging yang membantu mereka memilih berbagai pilihan orientasi dan watak.

1
Budaya juga tidak dapat diturunkan hanya sebagai hubungan sosial yang para individu
mencoba stabilkan dengan menyesuaikan orientasi/arah tindakan mereka secara simbolik.
Konsekuensi logis dari pemikiran Parsons tersebut adalah, budaya tidak dapat dan tidak boleh
ditempatkan ditingkatan konsep yang sama dengan tindakan dan hubungan yang berasal dari
praanggapan simbolik dari budaya: yaitu “kumpulan norma untuk tindakan” dan “kumpulan
simbol komunikasi”, budaya harus dipisah dari dunia sosial dan mental.

Simbol merupakan bentuk ekspresi dan komunikasi yang memungkinkan individu untuk
saling mendorong untuk mengekspresikan sikap mereka di dalam sebuah situasi. Simbolisasi
seperti ini dapat mengurangi faktor “kebetulan” dan menaikian kemungkinan bahwa tindakan
yang bersamaan dilakukan secara sengaja.

C. Perspektif Teoritis Dalam Budaya


Guna menafsirkan produk budaya materi dan non-materi maka diperlukan beberapa perspektif
teoritis, yaitu perspektif fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme simbolik.
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai keseluruhan sebuah sistem untuk
membentuk suatu tatanan dan stabilitas sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat
membutuhkan budaya untuk eksis. Norma-norma budaya berfungsi sebagai acuan masyarakat
dalam membuat suatu pilihan. Sama halnya seperti masyarakat yang bekerja sama guna
memenuhi kebutuhan satu sama lainnya, budaya pun hadir guna memenuhi kebutuhan dasar
anggota masyarakat.
Teori konflik memandang tatanan sosial yang ada dalam masyarakat tidak setara. Hal ini
didasarkan pada perbedaan kekuasaan terutama terkait dengan isu strata sosial, agama, ras,
jenis kelamin, dan usia. Menurut para ahli teori konflik, budaya memperkuat adanya ‘privilage’
bagi individu maupun kelompok masyarakat tertentu. Misalnya saja wanita yang berjuang
menuntut kesetaraan/emansipasi dalam masyarakat yang didominasi oleh kaum pria. Dalam
beberapa hal, budaya memang dihargai. Namun, realitanya dalam sistem nilai budaya banyak
ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi nilai-nilai budaya memang menguntungkan, namun di
sisi lain ada kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan. Cara pandang teori
konflik berlawanan dengan perspektif fungsionalisme. Teori ini lebih menggantungkan pada
ekonomi dan materialisme.
Interiaksionisme simbolik, memandang bahwa budaya diciptakan dan dipelihara oleh
interaksi individu yang satu dengan yang lain. Konsep dari teori ini yaitu interaksi seseorang
sebagai proses untuk memperoleh makna dari tindakan yang dilakukan oleh orang lain, dari
sinilah istilah simbolik mulai berperan. Setiap objek dan tindakan yang dilakukan seseorang

2
memiliki makna simbolis, dan bahasa merupakan media penyampaian mereka tentang makna
yang mereka dapatkan. Para penganut teori ini memandang bahwa budaya merupakan sesuatu
yang sangat dinamis. Hal ini karena tergantung pada bagaimana individu menginterpretasikan
dan kemudian menyampaikannya.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.infoplease.com/encyclopedia/social-science/cultures/anthropology/culture
https://courses.lumenlearning.com/sociology/chapter/theoretical-perspectives-on-culture/
https://publishing.cdlib.org/ucpressebooks/view?docId=ft8q2nb667&chunk.id=d0e2353&toc.
depth=1&toc.id=d0e2353&brand=ucpress&fbclid=IwAR37Fy3T9KOUCuVaUC5btv7xXHz
9wP8Gv8LLATG4UzC5yUi7ZXtZmOBmAwo

Anda mungkin juga menyukai