Anda di halaman 1dari 10

KONSERVASI SENI DAN BUDAYA

1. Konservasi Budaya
Istilah budaya dan kebudayaan sering digunakan dalam pengertian umum dan khusus.
Dalam pengertian umum, kebudayaan sering dimaknai sebagai semua hasil karya, rasa dan
cipta manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun dalam pengertian khusus budaya
merupakan produk yang berkaitan dengan akal budi manusia. Jika dalam pengertin umum
kebudayaan dipahami secara generik, dalam pengertian khusus budaya berkaitan dengan
sesuatu yang baik dan luhur.
Definisi kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan mengambil posisi tengah di antara pengertian umum dan khusus tersebut.
Kebudayaan dimaknai sebai “…segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan
hasil karya masyarakat.” Adapun kebudayaan didefinisikan sebagai “…keseluruhan proses dan
hasil interaksi antar-Kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia.”
Koentjaraningrat (1971) mendefinisikan budaya sebagai sebuah sistem gagasan dan
rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia yang di dalam kehidupannya
yang bermasyarakat. Dari definisi tersebut, ia merinci bahwa wujud kebudayaan dapat
dikategorikan menjadi tiga yaitu kebudayaan berwujud gagasan, aktivitas, dan hasil ciptaan.
Dalam bentuk gagasan, kebudayaan dapat ide, opini, nilai atau norma. Produk
pemikiran seperti filsafat, sistem pemerintahan demokrasi, gagasan tentang keadilan, dan
sistem etika hidup merupakan contoh-contoh kebudayaan dalam bentuk gagasan.
Dalam bentuk aktivitas, kebudayaan meliputi seluruh Tindakan manusia dalam
lingkungan masyarakat. Aktivitas pertanian, upacara keagamaan, ritual politik seperti pemilu,
atau kegiatan manusia berkomunikasi satu sama lain merupakan kebudayaan dalam bentuk
aktivitas.
Adapun wujud kebudayaah ketiga adalah ciptaan yang biasanya berbentuk barang.
Sistem perkakas manusia adalah bentuk konkret kebudayaan dalam bentuk ciptaan. Alat-alat
tersebut biasanya digunakan untuk menunjang aktivitas sehari-hari manusia. Namun bisa pula
kebudayaan dalam bentuk ciptaan juga berupa simbol-simbol seperti patung, angka, huruf,
bahkan emoji dan emoticon dalam komunikasi digital juga merupakan bentuk kebudayaan.
Berdasarkan tiga wujud kebudayaan tersebut, Koentjoroningrat juga merinci terdapat
tujuh unsur kebudayaan universal yaitu:
1) sistem religi
2) sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
3) sistem pengetahuan
4) Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi
5) kesenian
6) Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi
7) Sistem peralatan hidup atau teknologi.
Meskipun secara umum “kebudayaan” dipahami sebagai “semua produk kehidupan
manusia dalam kehidupan di masyarakat”, sejumlah ahli menyodorkan definisi lain dengan
memberi penekanan terhadap nilai-nilai (values). Morris (2014) menyebutkan bahwa nilai
merupakan unsur esensial kebudayaan. Oleh karena itu ia berpandangan bahwa “Budaya terdiri
dari makna bersama dalam suatu masyarakat yang mencakup ide-ide yang direpresentasikan
dalam pemikiran penganutnya, dituangkan dalam praktiknya, dan ditorehkan dalam institusi
dan artefaknya.”
Definisi yang disampaikan Morris tersebut berbeda dengan yang disampaikan
Koentjoroningrat karena melatakkan tiga unsur kebudayaan secara hierarkis, tidak setara.
Dengan demikian, bentuk esensial kebudayaan adalah nilai-nilai. Nilai-nilai inlah yang
membentuk cara berpikir masyarakat, mempengaruhi praksis sosial atau tindakannya, dan
kemudian diabadikan dalam bentuk artefak.
Cara Morris meletakan nilai-nilai dalam posisi superior hampir sama dengan yang
dilakukan Parsons (dalam Mahsun 2014). Parson mengembangkan pemikiran yang
menunjukkan budaya memiliki superioritas terhadap sistem sosial, sistem kepribadian, dan
sistem tingkah laku. Dalam posisi superior, kebudayaan mengatur dan membentuk sistem
sosial sistem kebpribadian, dan sistem perilaku masyarakat. Sistem budaya memiliki
kemampuan mengendalikan sistem di bawahnya karena sistem budaya memiliki informasi
Adapun sistem di bawahnya memiliki energi.

Sistem Budaya

Sistem Sosial

Sistem Kepribadian

Sistem Tingkah Laku

Penekanan pada aspek nilai-nilai menunjukkan bahwa unsur paling esensial dalam
kebudayaan adalah nilai. Penempatan nilai-nilai sebagai unsur esensial berkaitan dengan sifat
superior nilai sebagai sistem abstrak yang dapat mengendalikan sistem-sistem lain di bawahnya.
Nilai-nilai mewujud dalam sistem sosial, kepribadian, dan sistem perilaku manusia.
Namun di sisi lain, kebudayaan sebagai sistem nilai dibentuk secara terus-menerus oleh
sistem-sistem lain di bawahnya. Oleh karena itu, nilai-nilai dapat mengalami perubahan atau
pergeseran jika sistem-sistem yang berada di bawahnya mengalami pergeseran yang terus-
menerus. Potensi perubahan dan pergeseran itulah yang membuat budaya layak menjadi objek
konservasi. Konservasi budaya dilakukan untuk memastikan budaya berkembang dan maju
sehingga memenuhi berbagai fungsinya.

1.1 Sifat Dinamis Kebudayaaan


Kebudayaan merupakan hal yang berisfat dinamis. CA van Peurson (1988) mengatakan
bahwa “kebudayaan” saat ini lebih dipahami sebagai kata kerja, tidak seperti pada masa lalu
yang kerap didudukkan sebagai kata benda. Pengibaratan tersebut menunjukkan sifat
kebudayaan yang dinamis dan bukan statis.
Dahulu kebudayaan dipandang statis karena diidentikkan dengan wujud fisiknya dalam
bentuk barang ciptaan seperti keris, candi, batik, dan sebagainya. Semakin berkembang
kebudayaan lebih sering diidentifikasi sebagai kegiatan manusia dalam menciptakan alat-alat
tersebut. Sifat barang-barang statis tetapi kegiatan manusia dalam memproduksi dan
menggunakan barang-barang tersebut senaniasa berubah.
Dalam pengertian yang lebih kekinian, kebudayaan cenderung lebih dinamis lagi
karena kebudayaan diidentifikkan dengan nilai-nilai. Barang bersifat statis, cara manusia
memroduksi dan menggunakan barang tersebut bisa bersifat dinamis, adapun makna dan nilai-
nilai terhadap barang dan penggunaannya jauh lebih dinamis lagi.
Untuk memahami konsep dinamika kebudayaan tersebut kita bisa lihat konsep candi.
Sebagai benda fisik candi-candi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan dan
cenderung statis. Namun benda tersebut telah mengalami perubahan fungsi, pada awalnya
sebagai tempat pemujaan para Dewa kini digunakan sebagai tempat tujuan wisata. Persepsi
manusia kini atas candi tersebut juga berubah dibandingkan dengan persepsi masyarakat pada
masa lalu.
Perubahan kebudayaan tersebut dapat terjadi melalui sejumlah cara bergantung kepada
perspektif yang digunakannya. Terdpat empat teori yang lazim digunakan untuk memahami
perubahan di masyarakat, termasuk perubahan dalam aspek budaya yaitu teori evolusi, teori
konflik, teori siklus, dan teori linear.
Dalam perspektif teori evolusi perubahan terjadi sebagai akibat dari proses evolutive
yang berjalan terus-menerus. Proses evolusi adalah proses perubahan yang terjadi secara
alamiah dan perlahan-lahan baik karena faktor internal maupun eksternal. Menurut sejarawan
Yuval Noah Hararai (2017) manusia mengalami sejumlah evolusi besar dari masa meramu dan
berburu menuju masa pertanian kemudian era industri. Budaya di tiga era tersebut jelas berbeda
satu sama lain.
Dalam perspektif teori konflik dinyatakan bahwa perubahan terjadi akibat konflik sosial.
Masyarakat memiliki berbagai kepentingan yang kerap saling bertolak-belakang satu sama lain.
Berbagai kepentingan yang berbeda tersebut menyebabkan konflik yang menyebabkan
perubahan dalam masyarakat. Dalam sejarah peradaban dunia terdapat sejumlah contoh
revolusi politik dan ekonomi akibat konflik. Revolusi Perancis contohnya merupakan revolusi
yang terjadi akaibat perbedaan kepentingan antara rakyat dengan birokrasi kerajaan. Adapun
Revolusi Rusia pada 1917 juga merupakan contoh perubahan yang terjadi karena konflik antara
Tsar dengan kelompok buruh.
Dalam perspektif teori siklus diasumsikan bahwa bentuk perubahan sosial tidak dapat
dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun, bahkan orang-orang ahli yang mencoba
mengendalaikan tidak bisa dihadang. Perubahan sosial membentuk pola perulangan di mana
sesuatu yang terjadi pada masa lalu dapat terjadi lagi di masa mendatang. Dalam teori ini
dikemukakan bahwa masyarakat akan berasaha melakukan pembangunan peradaban,
meningkatkan perekonomian, setelah itu memajukan teknologi namun akan menghancurkan
semua hasil tersebut dan akan mengulanginya dari awal.
Sementara itu, dalam perspektif teori unilinier perubahan teradi secara bertahap dan
bergerak maju dari hal-hal sederhana menjadi hal yang lebih kompleks. Dalam teori ini
perubahan diasumsikan bersifat maju sehingga tidak dapat ditarik Kembali. Durkheim (dalam
Helay, 1998) menyatakan bahwa “Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor
ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang
diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas
organistik.”
Sifat dinamis kebudayaan dan pola-pola perubahan sosial yang dapat mengubahnya
menunjukkan bahwa kebudayaan dapat terus berubah. Setiap anggota kebudayaan
menginginkan perubahan tersebut kea rah yang produktif sesuai dengan yang diharapkan. Oleh
karena itu, anggota masyarakat melakukan sejumlah upaya atau interfensi antara lain dengan
melakukan konservasi budaya.

1.2 Peran Penting Kebudayaan


Kebudayaan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik secara
individu maupun kelompok. Dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudyaaan disebutkan bahwa
pemajuan kebudayaan dilakukan untuk sejumlah tujuan sekaligus antara lain sebagai berikut:
1. mengembangkan nilai-nilai Iuhur budaya bangsa;
2. memperkaya keberagaman budaya;
3. memperteguh jati diri bangsa;
4. memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mencerdaskan kehidupan bangsa;
6. meningkatkan citra bangsa;
7. mewujudkan masyarakat madani;
8. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
9. melestarikan warisan budaya bangsa; dan
10. mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia,
11. sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.

Sebelas tujuan tersebut menunjukkan bahwa budaya memiliki implikasi luas terhadap
kehidupan umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok: masyarakat, bangsa, dan
negara. Kebudayaan membentang dari hal-hal yang bersifat abstrak, berkaitan dengan struktur
masyarakat, hingga berkaitan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dengan
menjaga kebudayaan maka manusia sedang menjaga berbagai aspek kehidupan tersebut.
Mazrui (dalam Livesey dan Lawson, 2005) menyebutkan bahwa kebudayaan memiliki
fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pembentuk persepsi, identitas, sistem nilai,
motivasi, stratifikasi, serta produksi dan konsumsi.
Dalam komunikasi, budaya memberi konteks dan dukungan bagi lahirnya alat
komunikasi seperti bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Bahasa adalah salah satu bentuk
kebudayaan yang menggambarkan dengan presisi nilai-nilai kultural masyarakat
pendukungnya. Melalui bahasa budaya direpresentasikan, disosioalisasikan, dan dikukuhkan
sehingga dapat terlembagakan dan terwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu,
melestarikan alat-alat komunikasi seperti bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam
menjaga kebudayaan nasional dan daerah.
Sebagai alat pembentuk persepsi budaya memberikan makna terhadap segala sesuatu,
baik benda, peristiwa, situasi, aturan-aturan, dan gejala lain yang ada. Dengan kata lain budaya
menentukan dan menajamkan cara manusia menilai dan memaknai segala sesuatu. Tanpa
kebudayaan, realitas akan menjadi sesuatu yang kering dan tidak memiliki makna. Namun
berkat kebudayaan, realitas kecil saja bisa dimaknai. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya,
menanam bisa dipahami sebagai usaha ekonomi semata sebagai cara mencukupi kebutuhan
hidup. Namun oleh sistem kebudayaan tertentu menanam dapat dimaknai secara ekologis
sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan terhadap lingkungan. Bahkan kegiatan yang sama
bisa dimaknai secara spiritual sebagai ibadah dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai
pemimpin di muka bumi.
Kebudayaan juga berfungsi sebagai identitas. Kebudayaan menentukan bagaimana cara
seseorang atau sekeloompok orang mengenali dirinya dan orang lain. Dalam hal ini
kebudayaan menentukan cara manusia mengidentifikasi citra dirinya, menentukan apakah
dirinya merupakan bagian dari entitas budaya tertentu atau bukan. Cara berpakaian misalnya
merupakan identitas visual yang menunjukkan posisi ideologis dan sosial seseroang. Pilihan
untuk mengenakan model pakaian tertentu, apakah tertutup atau terbuka, bermode kuno atau
kekinian merupakan cara manusia menyatakan diri di hadapan orang lain. Dengan cara yang
sama manusia mengidentifikasi orang lain melalui berbagai produk kebudyaan tersebt, salah
satunya pakaian.
Fungsi budaya sebagai identitas ini bisa berkembang ke dalam dua fungsi turunan yaitu
membentuk solidaritas sosial dan integrasi sosial. Orang-orang yang mengidentifikasi diri
berada pada entitas yang sama cenderung merasakan ikatan emosional tertentu. Perasaan itu
memungkinkan terjalinnya kerekatan sosial yang lebih mendalam sehingga membentuk
komunitas tertentu.
Sebagai sistem nilai kebudayaan merupakan institusi yang menyediakan konsep baik
dan buruknya sesuatu, benar dan salahnya sesuatu, baggus dan jelekanya sesuatu. Konsep-
konsep tersebut kemudian menjadi pemandu perilaku pribadi dan komunitas setempat. Agar
orang hidup dengan baik sesuai sistem budayanya makan harus mematuhi nilai-nilai tersebut.
Jika nilai-nilai tersebut ditentang atau diterabas akan melahirkan gejolak yang membuat
seseorang tersebut menerima hukuman, baik hukuman etis, sosial, maupun hukuman dalam arti
hukum positif.
Berkaitan dengan fungsi budaya sebagai sistem nilai, maka budaya juga berkembang
menjadi mitovasi. Kebudayaan mengatur bahwa orang-orang yang dapat mematuhi nilai-nilai
akan mendapatkan penghargaan tertentu, misalnya dalam bentuk pujian, promosi jabatan,
penghormatan, atau penghargaan material. Sementara orang yang mengabaikan atau
melanggar nilai-nilai dalam masyarakat akan menerima sanksi seperti penjara, pengucilan,
reputasi buruk dan sebagainya. Dengan demikian, kebudayaan sekaligus menjadi motivasi
yang membuat anggotanya terdorong bertindak benar, baik, dan bagus.
Setiap sistem budaya memiliki fitur -fitur budaya yang membuat anggoatanya dapat
membedakan kelompok-kelompok sosial tertentu. Dengan cara inilah budaya akan membentuk
stratifikasi masyarakat. Kelas tesebut dalam bentuk strata ekonomi seperti terbentuknya kelas
masyarakat kaya dan miskin, sejahtera dan berkekurangan, kelompok buruh dan pengusaha,
juga kelompok produsen, distributor, dan konsumen. Kebudayaan juga dapat membentuk
kelompok sosial seperti abangan, santri, dan priayi sebagaimana pernah dikategori Cliford
Geertz. Juga kelompok dalam bidang keagamaan seperti liberal, moderat, radikal, dan
kelompok-kelompok dalam bidang lain.
Fungsi ketujuh budaya adalah menentukan proses produksi dan konsumsi. Budaya
menentukan apa yang diperlukan, diinginkan, dan yang benilai bagi masyarakat. Konsep-
konsep ini akan sangat menentukan jenis barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumai oleh
individua tau kelompok sosial tertentu. Misalnya kebutuhan terhadap lukisan, gawai bermerek,
atau rumah dengan model tertentu merupakan kebutuhan yang diintervensi oleh nilai-nilai
tertentu. Adapun nilai-nilai tersebut sepenuhnya merupakan gejala kebudayaan.
Tujuh fungsi kebudayaan tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa kebudayaan
merupakan hal yang sanat esensial dalam kehidupan umat manusia. Selain berdimensi luas
karena mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, budaya juga memiliki signifikansi yang
sangat tinggi karena memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,
memberi perhatian terhadap aspek budaya berarti memberi perhatian terhadap aspek-aspek
kehidupan lain dalam kehidupan manusia.

1.3 Konservasi Budaya


Sebagai sebuah gagasan, kata konservasi mengalami perkembangan makna. Secara
leksikal “konservasi” berarti pengawetan atau pelestarian. Universitas Negeri Semarang
(Unnes) mengajukan pengertian yang lebih operasional sebagai perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya tertentu. Dalam konteks ini sumber daya berupa
sumber daya alam, nilai dan karakter, termasuk seni dan budaya.
Upaya konservasi terhadap seni dan budaya dilandasi kesadaran bahwa seni dan budaya
memiliki peran penting dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan sebalumnya, budaya
terkait dengan dimensi lain kehidupan umat manusia. Pada saat yang sama, sumber daya
budaya juga mengalami berbagai ancaman baik yang datang dari internal maupun eksternal.
Ancaman paling nyata yang dihadapi kebudayaan daerah dan nasional di Indonesia
adalah ancaman kepunahan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa
bahasa daerah yang hilang dan beberapa lainnya terancam punah karena hanya memiliki
penutur yang sangat sedikit. Hal ini akan menimbulkan kerugian besar secara kultural karena
bahasa adalah produk budaya yang sangat berharga dan terbentuk melalui proses yang lama.
Selain kepunahan bahasa, produk-produk budaya lain seperti ritual sosial dan
kebudayaan juga mengalami ancaman oleh budaya baru yang didesakkan oleh modernitas.
Masyarakat modern yang cenderung berpikir efektif dan efisien kerap mengabaikan proses
budaya simbolik karena dinilai tidak memiliki manfaat praktis.
The Global Development Research Center (GDRC) mengembangkan konsep
konservasi budaya yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan akademisi. Konsep yang
diberi nama Heritage Conservation Policy Dimensions menunjukkan bahwa konservasi
budaya harus dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan berbagai pihak sekaligus.
Kerja kolaboratif sangat dieperlukan karena kebudayaan dalam arti luas merupakan milik
bersama.

Berdasarkan began di atas, usaha konservasi budaya dapat dilakukan melalui delapan
tindakan konkret berikut:
1. Membangun kebanggan dan identitas.
Ikatan emosional dan psikologis antara budaya dengan masyarakatnya merupakan hal
yang sangat penting. Ikatan emosional yang sangat esensial adalah rasa memiliki dan
banga memiliki. Dalam ungkapan budaya Jawa, rumangsa melu handarbeni merupakan
hal esensian dalam upaya pelestarian budaya. Oleh karena itu, pada tahap pertama upaya
konservasi budaya, hal pertama yang perlu dilakukan dalam membangun kesadaran
memiliki dan membanggakan.
2. Mengintegrasikan berbagai elemen budaya.
Pelestarian budaya tidak dapat dilakukan secara bagian per bagian, melainkan harus secara
simultan dengan bagian-bagian lainnya yang terkait. Dalam konteks pelestarian budaya,
misalnya, kebudyaan tidak dapat dipandang secara parsial dalam satu sisi namun harus
dilihat pula ikatan budaya tersebut dengan dimensi sosial kemasyarakatan dan juga
dimensi alamnya.
3. Membangun partisipasi dan keterlibatan masyarakat.
Masyarakat sebagai pemilik sah kebudayaaan merupakan subjek paling dominan dalam
upaya konservasi budaya. Masyarakat memiliki energi paling besar sehingga konservasi
memungkinkan dilakukan secara berkelanjutan. Sebisa mungkin masyarakat menjadi
inisator yang terlibat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
4. Konservasi budaya mengarah pada kesejateraan dan keamanan masyarakat
Keterlibatan masyarakat akan semakin tinggi jika konservasi budaya memiliki implikasi
terhadap kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini kesejahteraan tidak selalu
berdimensi ekonomi atau material namun juga kesahteraan sosial dan spiritual.
Kesejahteraan sosial dapat berupa terciptanya rasa aman dan nyaman, terbangunnya
solidaritas sosial, dan kehidupan yang tenang. Adapun kesejahteraan spiritual dapat
berupa kedamaian dan ketenteraman.
5. Konservasi mendorong terciptanya lapangan kerja.
Konservasi budaya sebisa mungkin memiliki implikasi terhadap terciptanya lapangan
pekerjaan. Hal ini diperlukan agar masyarakat yang terlibat memperoleh keuntungan
ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jika kebutuhan dasar masyarakat
dapat dipenuhi melalui aktivitas konservasi maka perhatian dan energi masyarakat akan
dapat dicurahkan sepenuhnya dalam kegiatan konservasi.
6. Memberi perhatian kepada budaya local tidak berwujud
Dalam upaya konservasi budaya, organisasi seringkali terjebak pada persepsi bahwa
budaya tersebut merupakan budaya besar atau budaya kanon yang berdimensi besar.
Namun upaya konservasi budaya juga harus memperhatikan budaya local sehingga tidak
terpinggirkan. Demikian juga, konservasi tidak hanya menjadikan budaya yang berwujud
material tetapi juga budaya yang tidak berwujud.
7. Memperhatikan tujuan berkelanjutan
Konservasi budaya harus didesain secara berkelanjutan karena tidak dapat dilakukan
dalam jangka waktu pendek. Oleh karena itu para pelibatnya harus merumsukan tujuan
jangka panjang sebagai acuan atau panduan merumuskan Tindakan-tindakan yang
berkelanjutan.
8. Melakukan rekontekstualisasi.
Sifat dinamis budaya menunjukkan bahwa budaya selalu mengalami kontekstuaalisasi.
Agar budaya memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat di tempat dan waktu
bersangkutan maka diperlukan rekontekstualisasi. Upaya rekontekstualisasi dapat
dilakukan dengan melakukan penyesuiaan-penyesuaian terhadap kebutuhan, kondisi, dan
persepsi masyarakat saat ini.

2. Konservasi Seni
2.1 Pengertian Seni
Seni merupakan hal yang sudah ada sejak sangat lama, bahkan ketika pada zaman pra
sejarah. Seni tidak lepas dari keberadaan manusia yang memiliki hubungan dengan manusia
lain dan lingkungan sosialnya. Manusia tidak sekadar membutuhkan kebutuhan primer untuk
hidup, tetapi membutuhkan hal lain untuuk medapatkan kebahagiaan. Hal inilah yang membuat
manusia membutuhkan suatu hal yang jika ditelaah secara sederhana bisa disebut sebagai
keindahan.
Jika kita pahami, seni dapat ditafsirkan dengan cara bermacam-macam. Di antara
pengertian pokok yang sering dipakai adalah main, ilusi, ungkapan, perasaan, imajinasi, intuisi,
hasrat, senang, teknik, arti, bentuk, fungsi, empati, abstraksi dan jarak estetik. Sekilas,
pengertian itu memperlihatkan keragaman pendapat yang membingungkan; tetapi dengan
pengamatan yang cermat menunjukkan bahwa banyaknya ketidaksepakatan itu hanyalah dalam
nama saja. Istilah seperti imajinasi, bentuk dan jarak estetik menunjukkan segi yang berbeda
dari sesuatu yang beragam dan kaya, bukannya batasan-batasan yang tidak dapat dipertemukan.
Beberapa istilah menitikberatkan pada penciptaan seni, yang lain pada karya seni dan lainnya
lagi pada kegiatan apresiasi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), seni memiliki tiga arti: (1) eahlian
membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusanya, keindahanya dan sebagainya); (2)
karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa seperti tari, lukisan, ukiran, dan
sebagainya; (3) kesangupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa).
Pemahaman lain diungkapkan dalam buku Ensiklopedian Islam V (1994). Dalam buku
tersebut seni berasal dari kata latin ars yang bermakna mengekspresikan ide-ide dan pemikiran
estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana atau
karya yang mampu menimbulkan rasa indah. Jika kita pahami dan perhatikan, pada mulanya
seni merupakan proses dari manusia yang bersinonim dengan ilmu. Pada masa sekarang, seni
berkembang dan dilihat sebagai intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni jiga memiliki
arti suatu yang diciptakan manusia dan mengandung unsur keindahan. Tentu saja masih banyak
pengertian seni yang diungkapkan oleh para pakar. Seni menurut Yusuf Al-Qardhawi, seni
adalah merasakan dan mengungkapkan keindahan (Ahmadi dkk. 1998). Seni menurut Plato
dan Rousseau adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya (Sutrisno dkk 1993).
Berdasarkan pendapat-pendapat yang diungkapkan mengenai seni, maka seni bisa
dipahami sesuai pendapat The Liang Gie dalam Surajiyo (2007). Menurutnya terdapat lima
jawaban mengenai pengertian seni.
1) Seni Sebagai Kemahiran (Skill)
Pengertian seni sebagai kemahiran seseorang adalah berasal (etimologi) kata art dari kata
latin ars yang artinya menyambung atau menggabungkan. Untuk pengertian kemahiran,
bahasa Yunani Kuno memakai kata techne yang kini menjadi tehnik. Jadi, kata secara
etimologi art bisa diartikan suatu kemahiran dalam membuat barang-barang atau
mengerjakan sesuatu. William Flemming berpendapat, seni dalam artinya yang paling
besar adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Batasan ini memang benar untuk kata
asalnya dalam bahasa latin ars (kemahiran) maupun kata padanannya dalam bahasa Jerman
Kunst. Pengertian seni sebagai kemahiran ini pada umumnya dilawankan dengan ilmu
(science).
2) Seni Sebagai Kegiatan Manusia (Human Activity)
Yakni menciptakan karya seni apa pun. Pengertian seni sebagai suatu kegiatan manusia
yang menciptakan suatu benda (indah atau menyenagkan) dilawankan dengan craft
(kerajinan). Menurut Kahler, ciri-ciri yang membedakan antara art dan craft adalah
kegunaan praktis.
3) Seni Sebagai Karya Seni
Karya seni adalah produk dari kegiatan manusia. Ini sesuai dengan pendapat John Hospers,
yang menyatakan seni dalam artian yang seluas-luasnya, seni meliputi setiap benda yang
dibuat oleh manusia untuk dilawankan dengan benda-benda alamiah.
4) Seni Sebagai Seni Indah (Fine Art)
Pengertian ini dipakai oleh ahli estetis Yervant Krikorian. Seni indah dinyatakan sebagi
seni yang terutama bertalian dengan pembuatan benda-benda dengan kepentingan estetis
sebagaimana berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya untuk kefaedahan.
Seni indah ini mencakup seni lukis, pahat, arsitektur, tari, musik, kesusastraan, teater, filem,
dan lain-lain.
5) Seni Sebagai Penglihatan (Visual Art)
Eugene Johnson berpendapat bahwa, seni sebagaimana paling umum digunakan dewasa
ini, seni berarti seni-seni penglihatan, yaitu bidang kreativitas seni yang bermaksud
mengadakan tata hubungan pertamatama melalui mata. Herbert Read berpandapat, kata
seni yang paling lazim dihubungkan dengan seni-seni yang bercorak penglihatan atau
plastis.

2.2 Konservasi Seni


Dalam buku Tiga Pilar Konservasi (Wibowo dkk. 2018) memaparkan konsep
konservasi seni dalam beberapa hal sebagai berikut.

2.2.1 Konservasi Seni dan Urgensi Konservasi Seni


Menurut laporan yang dibuat oleh Asia-Pacific Cultural Center for UNESCO (ACCU),
ada beberapa jenis kondisi seni yang harus dikonservasi:
6) Seni itu harus memiliki nilai kreatif manusia yang eksepsional dan luar biasa.
7) Seni yang unik dan eksepsional dan memiliki kontribusi terhadap sejarah dan tradisi
kultural.
8) Memiliki potensi menghilang karena: jumlah praktisinya mulai berkurang, keaslian
sejarah mulai menghilang, signifikansi budaya yang mulai hilang dan seni yang hilang
karena ancama aturan dan perundangan modern.
ACCU juga menyampaikan bahwa untuk sebuah seni dapat dikonservasi dan
dipresevasi, sumber daya manusia seni harus memiliki:
1) penguasaan seni yang kuat
2) dedikasi orang perorang atau grup
3) kemampuan untuk meningkatkan kemampuan seni
4) kemampuan untuk mengajarkan seni kepada generasi selanjutnya.
Menurut UNESCO, konservasi seni merupakan suatu usaha untuk memperlambat atau
mencegah kematian seni tertentu. Seni tradisional yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi yang lain dapat terputus dan mati. Kewajiban UNNES adalah untuk mencegah
kematian suatu seni tradisional dengan melakukan usaha sadar pendokumentasian dan
pengajaran seni tradisional kepada generasi selanjutnya.

2.2.2 Mekanisme dan Limitasi Konservasi Seni yang dilakukan UNNES


Untuk melakukan tugas mengkonservasi seni tradisional UNNES harus menentukan
jenis, mekanisme dan batasan wilayah serta pelaksana seni. Untuk membatasi jenis seni yang
dikonservasi, UNNES memfokuskan diri untuk melakukan konservasi pada empat jenis karya
seni:
1) Seni Tari Tradisional
2) Seni Pertunjukan Tradisional
3) Seni Musik Tradisional
4) Seni Kriya Tradisional
Mekanisme yang dapat dilakukan UNNES untuk mengkonservasi seni-seni tersebut
adalah dengan cara:
1) Melakukan penelitian yang berhubungan dengan seni tradisional
2) Melakukan pengabdian yang berhubungan dengan seni tradisional
3) Melakukan dokumentasi seni tradisional berupa buku dan media audio visual.
4) Melakukan pelatihan seni tradisional untuk para guru dan generasi muda.
5) Membuka dan mempertahankan program studi dan mata kuliah yang berhubungan erat
dengan pemertahanan seni tradisional.
6) Turut memberikan masukan pada pembuat perundangan tentang seni tradisional.
7) Membangun infrastruktur dan pengadaan alat yang memiliki kontribusi untuk
mempertahankan seni tradisional.
8) Memastikan keberadaan mahasiswa yang menulis skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah
lainnya tentang seni tradisional.
9) Menambah volume publikasi internasional yang berhubungan dengan seni tradisional.
10) Rutin mengadakan gelar budaya atau gelar pertunjukan yang menampilkan seni tradisional.
UNNES harus mempertimbangkan kemampuan dan tenaga ahli yang dimilikinya untuk
mendapatkan hasil yang optimal dalam melakukan konservasi seni. Batasan atau limitasi seni
yang dikonservasi oleh UNNES adalah sebagai berikut.
1) Seni Tradisional Pesisiran baik pesisir utara maupun selatan (Demak, Semarang,
Banyumas dll).
2) Seni tradisional berbasis daerah lingkar kampus. \
3) Seni kriya batik pesisiran baik pesisir utara maupun selatan. (4) Seni tradisional
masyarakat Tionghoa di Jawa.
4) Pendidikan dan pelatihan seni tradisional untuk anak usia dini dan remaja.
5) Pendidikan dan pelatihan seni tradisional untuk guru seni dan guru umum.

Referensi:
Ahmadi, Wahid, dkk. (1998). Yusuf Qardhawi, Islam Bicara Seni, terj. Solo: Intermedia.C.A
van Peurson. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. (1994). Ensiklopedi Islam V. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Harari, Yuval Noah. (2017). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia
Healy, Kieran. (1998). Social Change: Mechanisms and Metaphors. Department of Sociology,
2–N–2 Green Hall, Princeton University
Koentjaraningrat. (1971). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan
Livesey, Chris dan Tony Lawson. (2005). A2 Sociology for AQ. London: Hodder Arnold
Mahsun. 2014. Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: Rajawali
Press
Morris, W Michael. (2013). Values as the Essence of Culture: Foundation or Fallacy? Journal
of Cross-Cultural Psychology. 2014, Vol 45(1) 14–24
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Sutrisno, Mudji, dkk. (1993). Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.
The Global Development Research Center (GDRC). (2020). Heritage and Conservation
Strategies: Understanding the Justifications and Implications.
https://www.gdrc.org/heritage/heritage-strategies.html Diakses 15 September 2020.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Wibowo, Mungin Eddy, dkk. (2017). Tiga Pilar Konservasi Penopang Rumah Ilmu
Pengembang Peradaban Unggul. Semarang: Unnes Press.

Anda mungkin juga menyukai