Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN RESIKO TRADISI MALAM 1 SURO,

PENGARUH KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN DI


MASYARAKAT KERATON SURAKARTA.

Di susun oleh :

Ryko Muhammad Bachtiar

(225221003)

muhammad.ryko1234@gmail.com

PROGRAM STUDI S1 AKUTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA


SUKOHARJO TAHUN 2023

A. Pendahuluan
1. Definisi Sejarah
Sejarah diambil dari bahasa arab yang berasal dari kata “Syajaratun”
yang bermakna pohon, keturunan, atau asal usul. Dalam bahasa melayu kerap
diucapkan dengan “Syajarah” yang lambat laun mengalami perubahan pelafalan
menjadi sejarah dalam bahasa Indonesia.

Sejarah berarti pohon, memiliki arti sebagai cabang keturunan atau gen
dari kelompok yang jika dibuat bagan akan menghasilkan garis keturunan
menyerupai struktur pohon, milau dari akar sampai dedaunnya.

Dalam dunia filsafat, Aristoteles mengungkapkan bahwa sejarah


berasal dari kata “Istoria” dalam bahasa Yunani yang berarti suatu pertelaan
sistematis menganai seperangkat gejala alam. Menurut Aristoteles sejarah tidak
dapat di rekontrukso, karena sejarah adalah sebuah peristiwa.

Berbeda dengan Mohammad Hatta yang memberikan pengertian


sejarah sebagai wujud pengetahuan dari masa lalu. Roeslan Abdul Gani juga
memberikan pengertian sejarah sebagai bidang ilmu yang meneliti serta menyelidiki
peristiwa dan perkembangan masyarakat secara keseluhuran kemudian
memberikan penilaian secara kritis sebagai pedoman penentu perubahan di masa
yang akan datang.

Herodotus sebagai bapak sejarah mengungkapkan bahwa sejarah


merupakan kajian keilmuan yang menceritakan suatu perputaran roda kehidupan
seseorang tokoh, baik pada masa kelahirannya, kejayaannya sampai pada masa
akhir hayatnya. Pun sejarah juga menggambarkan bagaimana perputaran jatuh
bangunnya masyarakat dan peradaban di dalamnya.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulakan bahwa sejarah


merupakan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu yang diabadikan
dalam peninggalan-peninggalan baik berupa fisik maupun non fisik. Meskipun
dalam kenyataannya tidak semua peristiwa di masa lampau tercatat oleh sejarah,
sebab biasanya hanya peristiwa-peristiwa penting saja yang dapat merubah
kehidupan manusia ataupun peradaban suatu komunitas atau masyarakat tertentu.
2. Sumber - Sumber Sejarah
Seseorang yang hendak melakukan studi terhadap sejarah tentu harus
mencari dahulu jejak-jejak sejarah yang tertinggal. Jejak-jejak masa lampau dikenal
dengan istilah sumber sejarah. Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang
berguna bagi penelitian sejarah sejak masa purba hingga kini sebagai upaya
pembuktian fakta sejarah. Terdapat 3 pembagian golongan umum sumber sejarah
dalam studi sejarah, yaitu sumber sejarah tertulis, sumber sejarah lisan, dan sumber
sejarah berupa benda.1

a) Sumber sejarah tertulis, merupakan sumber sejarah berupa tulisan-


tulisan, ataupun catatan yang berisi fakta mengenai peristiwa sejarah dimasa lalu.
Contoh sumber tertulis adalah prasasti-prasasti yang merupakan tulisan pada batu-
batu sebagai gambaran kehidupan atau kejayaan suatu kerarajaan di masa lampau.
Ataupun dokumen-dokumen, babad, dan Surot kabar.

b) Sumber sejarah lisan, merupakan keterangan langsung dari pelaku


atau saksi mata dari peristiwa sejarah. Namun sumber lisan kerap kali mengalami
keterbatasan, hal ini dikarenakan pelaku atau saksi sejarah mengalamai penurunan
daya ingat sebab faktor usia. Keterbatasan ini tentu akan menimbulkan kekaburan
informasi yang dibutuhkan. Untuk itulah sumber lisan kerap kali dijadikan sebagai
pelengkap apabila sumber tertulis dinilai belum memadai.

c) Sumber berupa benda, yaitu sumber sejarah yang didasarkan pada


benda-benda peninggalan kebudayaan masa lampau. Contoh sumber benda adalah
bangunan, alat-alat pada masa lalu, ataupun candi-candi dan patung. Sumber benda
ini kerap kali tidak memberikan informasi yang utuh, karena termakan usia sehingga
ada beberapa bagian benda tersebut yang rusak atau hilang. Untuk itu perlu
penelitian dan penafsiran mendalam dalam meneliti sumber sejarah berupa benda,
gunamengungkap fakta sejarah yang akurat. Diperlukan pula bukti pendamping
yang berkaitan erat dengan benda sejarah tersebut, bisa berupa tulisan-tulisan yang
berkaitan atau cerita yang dapat dipertanggungJawabkan kebenarannya.

1
Nina Herlina, ( 2020 ) Metode Sejarah (Bandung: Satya Historika ), 7.
Berdasarkan asal usulnya, sumber sejarah dibagi menjadi 2, yaitu
sumber sejarah primer dan sekunder.

a) Sumber Primer
Yang dimaksud sumber primer adalah apabila sumber atau penulis
sumber menyaksikan, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa yang terjadi.
Sumber primer merupakan sumber yang masih asli, belum mangalami perubahan
redaksi didalamnya Sumber primer dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Strictly primary sources (sumber primer yang kuat) ialah sumber


yang berasal dari pelaku peristiwa yang bersangkutan atau saksi mata yang
menyaksikan secara langsung tetang terjadinya suatu peristiwa. Contoh, Presiden
Suharto adalah sumber primer (lisan) yang kuat dalam kasus Supersemar.

2) Less- Strictly primary sources (sumber primer kurang


kuat/kontemporer), sumber yang berasal dari zaman terjadinya peristiwa, namun
tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Contoh, pengawal
Presiden Sukarno yang hadir di luar istana saat penyerahan Supersemar tersebut,
tergolong sebagai sumber primer (lisan) yang kurang kuat, sebab ia tidak berada di
dalam istana, dan tidak menyaksikan penyerahan Surot Supersemar secara
langsung.

b) Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber sejarah yang hanya mendengar
peristiwa atau mengetahui sumber sejarah dari orang lain, dapat berupa cerita
dari orang tuanya, atau kerabatnya, atau buku-buku, artikel-artikel hasil kajian
berkaitan dengan suatu peristiwa. Berbada dengan sumber kontemporer yang
hidup sezaman dengan saat peristiwa terjadi, sumber sekunder ini tidak hidup
sezaman dengan peristiwa terjadi.2

3. Definisi Tradisi

Tradisi memiliki makna yang sama dengan adat istiadat. Dalam hal ini, adat
yang dimaksud adalah kebiasaan dalam masyarakat Jawa mengenai nilai - nilai
budaya, norma, aturan yang paling berkaitan dan lahirnya menjadi suatu sistem.3
2
Ibid., 24-28

3
Djihan Nisa Arini Hidayah, (Juli, 2012), "Persepsi Masyarakat terhadap Tradisi Makam Satu Suro", Jurnal
Tradisi adalah adat istidat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang
yang terus dilestarikan dan berkembang di masyarakat. Tradisi memiliki nilai
dan makna tersendiri bagi pelakunya.
Berikut beberapa pengertian tradisi dari berbagai sumber dan beberapa ahli, antara
lain:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan


turun temurun yang masih dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut
bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar.4

Tradisi dalam kamus Antropologi tradisi disamakan dengan adat istiadat.


yang bersifat magis religious dari suatu kehidupan penduduk asli yang meliputi
nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan.
Kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah menyatu dengan
konsep sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau
perbuatan manusia dalam kehidupan sosial.5

Seyyed Hossein Nasr memberikan pengertian tentang tradisi, yaitu


sesuatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu
maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu di dalam sejarah
kemanusiaan.6

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah


suatu kebiadaan adat yang turun temurun dari nenek moyang yang terus di
jalankan oleh masyarakat. Tradisi ini merupakan suatu yang sakral dan bersifat
religius dari kehidupan penduduk asli di semua lini, baik nilai-nilai budaya, norma,
dan aturan yang saling berkaitan.

Tradisi dalam masyarakat dapat berupa budaya atau adat istiadat yang
berkembang di lingkungan masyarakat tersebut. Tradisi merupakan suatu
kebiasaan yang berakar dari aktifitas dalam kondisi sosial tertentu yang
melahirkan ide-ide, gagasan, norma, ataupun semacam peraturan sebagai dasar

Ilmiah IKIP Veteran, 12.


4
Departemen Pendidikan Nasional, (2007 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1208.

5
Aryono dan Aminuddin Siregar, (1998 ) Kamus Antropologi Jakarta: Akademika Perindo, 4.

6
Seyyed Hossein Nasr, ( 1994 ) Islam ditengah Kancah Dunia Modern Bandung: Pustaka, 3.
dalam berperilaku yang bersifat abstrak tidak dapat disentuh dan diraba, namun
dalam kesehariannya dapat dirasakan dalam kehidupan bersosial.

Tradisi merupakan pengetahuan atau insting yang terus berkembang


secara turun temurun dari para nenek moyang terdahulu. Tradisi, dalam
pelaksanaannya dapat berjalan secara rutin atau berkala beberapa hari, bulan,
atau tahun sekali.

Dalam upacara tradisi Robert Redfield mengenalkan istilah ‘tradisi besar’


dan ‘tradisi kecil’. Tradisi besar merupakan tradisi dari mereka yang suka berpikir
dengan sendirinya hanya mencangkup sejumlah orang yang sedikit. Sedangkan
tradisi kecil adalah tradisi massa yang tidak pernah memikirkan secara
mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filosuf, ulama dan kaum
terpelajar adalah termasuk tradisi besar. Pada tradisi ini ditanamkan dan
diwariskan melalui wacana intelektual baik lisan maupun tertulis. Sedangkan
tradisi orang kebanyakan adalah tradisi kecil yang diterima dari pendahulu secara
apa adanya tidak pernah diteliti atau disaring isi maupun asal-usulnya, dalam
perspektif ini kebiasaan ziarah kubur atau berkunjung ke kuburan dalam berbagai
bentuk dan keperluan dapat digolongkan sebagai tradisi kecil (kebiasaan orang
kebanyakan).7

Dalam setiap tradisi yang dijalankan, didalamnya terdapat serangkaian


riual-ritual yang wajib dilaksanakan. Ritual menjadi salah satu syarat dalam
berbagai tradisi, meski demikian pun juga berdampingan berbagai sesaji atau
uborampe. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ritual diartikan sebagai hal-hal
yang berkenaan dengan tata cara dalam upacara keagamaan. Menurut Bryan
Turner ritual adalah tindakan formal tertentu dalam sebuah upacara yang
berkaitan dengan adanya kepercayaan terhadap wujud dan kekuatan yang
Supraritual yang senantiasa terkait dengan kekuatan dan kepercayaan terhadap
Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan pertolongan. Ritual menjadi bagian yang
penting dalam kehidupan tiap-tiap masyarakat. Sedangkan menurut Winnick,
ritual adalah seperangkat tindakan yang senantiasa melibatkan agama atau magi,
yang dimantapkan melalui tradisi.8

Dalam ilmu antropologi, Robertson Smith berpendapat, bahwa sebuah


7
Imam Bawani, (1998) Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Surabaya: al-Ikhlas,10.

8
Nur Syam, (2005) Islam Pesisir Yogyakarta: LKiS,18
ritual seringkali mengalami perubahan. Dalam banyak agama, ritual dilakukan
dalam bentuk kegiatan yang tetap, namun dengan berbagai latar belakang,
keyakinan, maksud atau doktrinnya yang bisa jadi telah mengalami perubahan.9

Smith menambahkan ritual juga memiliki fungsi sosial, yakni untuk


mengefektifkan rasa solidaritas masyarakat. Dalam sebuah ritual, beberapa
orang memang sungguh-sungguh ikut dalam melaksanakan ritual tersebut
sebagai suatu kewajiban, namun banyak juga yang hanya ikut asal-asalan saja
sebagai penggugur kewajiban sosial semata.10

Dalam diri manusia terdapat kesadaran bahwa ada keinginankeinginan


yang tidak dapat dipenuhi tanpa bantuan para dewa. Agar dewa berkehendak
membantu mewujudkan keinginannya, maka manusia harus dapat membangun
solidaritas dan kedekatan dengan para dewa. Oleh sebab itu banyak ditemukan
ritual yang dilakukan dengan meriah, tetapi tetap khidmat.

Berbeda dengan Van Gennep yang melihat ritual sebagai aktivitas untuk
menumbuhkan kembali semangat kehidupan sosial di antara warga masyarakat.
Dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, manusia mengalami
perubahan biologis dan lingkungan sosialnya dapat mempengaruhi jiwa dan
menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi perubahan–perubahan tersebut
manusia memerlukan regenerasi semangat kehidupan. Hal itu disebabkan
karena selalu ada saat-saat di mana semangat kehidupan sosial mengalami
kelesuan. Pada titik itulah ritual dilakukan untuk menumbuhkan kembali
semangat kehidupan.11

4. Sejarah Tradisi Suroan

Suroan merupakan tradisi turun temurun yang dilaksanakan pada bulan


Suro dalam penanggalan Jawa. Suro merupakan bulan pertama dalam sistem
penanggalan Jawa. Suroan biasanya dilaksanakaan tanggal 1 Suro, atau 1
muharam dalam penanggalan Islam.

9
Koentjaraningrat, (2007) Sejarah Teori Antropologi Jakarta: UI Press, 67.

10
Ibid., 68.

11
Ibid., 74-75.
Menurut Muhammad Sholikin Suro merupakan sebutan bagi bulan
Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata
”asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”, yakni tanggal 10 bulan
Muharram. Karena pentingnya tanggal ini oleh masyarakat Islam Indonesia, Jawa
utamanya, tanggal itu akhirnya menjadi lebih populer adalah asyura, dan dalam
lidah Jawa menjadi “Suro”. Jadilah kata “Suro” sebagai khazanah Islam-Jawa asli
sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.12

Dalam bukunya upacara tradisional dan ritual Jawa, Suryo S. Negoro


menerangkan bahwa peringatan satu Suro di mulai sejak tahun 1633 Masehi,
ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo membuat kalender Jawa yang baru. Satu
Suro dimaksudkan untuk lebih mempersatukan raja dan kawula. Pada saat itu
negeri mulai terancam. Sultan tidak mengadakan upacara ritual kerajaan
Rajawedha, sebagai gantinya diadakan upacara satu Suro yang hakikatnya
menyatukan Rajawedha dengan upacara kaum petani Gramawedha yang
waktunya bersamaan dengan satu Muharram tahun baru Umat Islam yang
pergantian harinya mengikuti sistim rembulan pada jam 6 sore dan secara politis
tindakan ini bertujuan untuk memperkuat persatuan bangsa melawan ancaman
penjajah dengan upaya menyatukan umat Islam Mataram dengan Banten.13

Pelaksanaan penyambutan bulan Suro di kalangan masyarakat Jawa


mempunyai makna sebagai awal tahun yang dianggap sakral dan suci, hal ini
bertujuan untuk menemukan jati diri agar selalu tetap eling lan waspodo serta
mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa


Suro adalah bulan pertama pada penanggalan Jawayang berasal dari akulturasi
antara budaya Islam dan budaya Jawa yang mempunyai keistimewaan tersendiri
bagi masyarakat Jawa. Bulan Suro bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai bulan
keramat dalam kehidupan spritual. Untuk itu masyarakat perlu menyambut bulan
Suro ini dengan melaksanakan 'lelaku' yang berguna untuk mengingatkan
manusia kepada Sang Penciptanya dan untuk membersihkan kampung dari
segala marabahaya.
12
Solikhin, Misteri., 83.

13
Surya S. (2001) Negoro, Upacara Tradisional dan Ritual Jawa Surakarta: Buana Raya, 46.
5. Ragam Tradisi Suroan

Dengan berbagai kebudayaan dan adat istiadat di masingmasing daerah


tentu akan menimbulkan berbagai macam tradisi pula. Apalagi suku Jawa
disebut sebagai salah satu suku dengan bermacam tradisi di setiap perlajanan
hidupnya. Mulai dari dalam kandungan sampai akhir hayat masyarakat Jawa
sudah sangan erat dengan tradisitradisi dan ritual-ritual.

Saat dalam kandungan, manusia sudah ada tradisi slametan Tingkeban,


dan slametan tujuh bulanan. Saat anak lahir ada tradisi brokohan, sebagai wujud
syukur terhadap Tuhan atas kelahiran anak mereka. Ketika anak sudah desawa,
ada kewajiban orang tua untuk menikahkan anaknya. Dalam tradisi Jawa,
pernikahan adalah hal sakral yang erat dengan berbagai tradisi dan sesaji yang
wajib dipenuhi sebagai sarana untuk tolak bala dan kelancaran acara pernikahan.

Berbagai tradisi seperti siraman, midodaremi, dan pingitan merupakan


beberapa rangkaian tradisi menjelang hari pernikahan dalam adat Jawa. Bahkan
ketika seseorang meninggal pun masih terdapat beberapa ritual yang hingga kini
masih dipertahankan. Seperti membakar merang (batang padi yang dikeringkan)
dan kemenyan sebelum menggali liang lahat, kirim doa bagi orang yang
meninggal bertepatan dengan hari pertama berturut-turut sampai hari ketujuh,
kemudian 40 hari, 100 hari, setahun, dan 1000 hari setelah orang tersebut
meninggal.

Tak terkecuali dalam tradisi Suroan, terdapat berbagai macam ritual-ritual


didalamnya yang hingga kini masih dipertahankan eksistensinya, berikut
beberapa ritual dalam tradisi suroan yang masih dijalankan dan dipegang teguh
oleh masyarakat, antara lain :

a. Siraman malam 1 Suro, yaitu Mandi besar dengan menggunakan air serta
dicampur kembang setaman pada malam hari tepat pada tanggal 1 Suro.
Ritual ini sebagai bentuk “sembah raga” (Syariat) dengan tujuan menyucikan
raga, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan
Suro, antara lain dilakukan beberapa hal seperti lebih ketat dalam menjaga dan
menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.

b. Ziarah Kubur, pada bulan Suro masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke
makam para leluhurnya masingmasing, atau makam para leluhur yang yang
dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri
nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi
penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Di samping
itu kita akan selalu ingat akan Sangkan Paraning Dumadi.

c. Kirab dan Jamasan Pusaka. Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau
melestarikan warisan dan kenangkenangan dari para leluhurnya. Pusaka
memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan
buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di
masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.

d. Larung sesaji. Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe atau
ragam bahan ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat
tertentu.

B. Metode penelitian
Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan.
Metode merupakan aspek yang penting dalam melakukan peneltian agar suatu
penelitian mendapatkan hasil yang baik, perlu diterapkan metode-metode tertentu
dalam penelitian. Metode penelitian merupakan sebuah tehnik cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.14

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan


deskriptif. Menurut Bungin, hal ini berupaya untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada
di masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas
kepermukaan sebag ai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran
tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Adapun dalam penulisan ini penulis ini menggunakan metode penelitian


sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

14
Muhajirin, Maya Panorama, (2017) Pendekatan Prakatis metode penelitian kualitatif dan kuantitati f (Idea Press
Yogyakarta, 3.
a. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya penelitian ini,maka penelitian ini adalah termasuk


penelitian lapangan (fieled research), yaitu suatu jenis penelitian yang berusaha
untuk menguumpulkan data dan informasi mengenai permasalahan dilapangan.
Penelitian ini akan dilakukan di Alun" Surakarta, dan untuk meneliti mengenai
Tradisi Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan
Masyarakat.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif merupakan metode


penelitian yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang berasal darimasalah– masalah sosial atau kemanusaiaan. Menurut pak narso
, masalah dalam penelitian kualitatif berwilayah pada ruang yang sempit, dengan
tangkat variasi yang rendah, namun memiliki kedalaman bahasa yang tidak
terbatas.15

b. Sifat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan dalam sini bersifat deskriptif analisis.


Deskriptif yaitu suatu penelitian yang hanya menggambarkan,melukiskan
memaparkan, dan melaporkan suatu keadaan objek penelitian. Dari pengertian ini,
makapenelitian yang penulis gagas hanya ditujukan untuk melukiskan,
menggambarkan, atau melaporkan kenyataan-kenyataan yang lebih terfokus Pada
Tradisi Memperingti Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Sosial Keagamaan Masyarakat di Surakarta .

2. Sumber Data

a. Data Primer

data primer adalah sebuah data yang langsung didapatkan dari sumber
dan diberi kepada pengumpul data atau peneliti. Menurutnya sumber data primer
adalah wawancara dengan sumber peneliti melalui pengamatan secara langsung.
Data primer juga menurut Pak narso data yang cenderung selalu berkembang
setiap waktu, sehingga dalam pengumpulannya data yang didapat bersifat
update.

b. Data Sekunder
15
Mahi MHikmat, (2011). Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunisi Yogyakarta:Graha Ilmu, 35.
Data Skunder adalah data yang sudah diolah terlebih dahulu dan baru
didapatkan oleh peneliti dari sumber yang lain sebagai tambahan informasi.
Beberpa sumber data skunder adalah buku, jurnal, publikasi pemerintah serta
situs atau sumber lain yang mendukung.Data sekunder juga sumbernya berasal
dari peneliti sebelumnya. Jadi peneliti hanya mencari data tambahan dari sumber
yang telah dibuat oleh orang lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam prosedur pengumpulan data,ada beberapa Teknik yang digunakan


dalam mengumpulkan data yaitu:

a. Observasi

observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang


tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang
terpenting adalah proses–proses pengamatan dan ingatan. Teknik pengumpulan
data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan prilaku
manusia, proses kerja, gejala–gejala alam dan bila responden yang diamati tidak
terlalu besar.

b. Wawancara

Wawancara merpakan salah satu teknik pokok dalam penelitian kualitatif.


Menurut Denzim Linclon adalah perckapan, seni bertanya dan mendengar (the
artofasking and listening). Wawancara dalam penelitian kualitatif tidaklah
bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh kreatifitas individu dalam merespon
realitas dan situasi Ketika berlangsungnya wawancara.

C. Pembahasan
1.) Sejarah Malam 1 suro
Kirab Malam 1 Suro merupakan sebuah tradisi turun menurun yang diperingati
secaratahunan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam tradisi masyarakat Jawa,
Kirab Malam1 Suro adalah perayaan budaya sekaligus keagamaan guna
menyambut tahun baru sesuaidengan penanggalan Jawa. Sura atau Suro
merupakan nama bulan pertama dalampenanggalan Jawa, malam 1 Suro ditandai
dengan tenggelamnya matahari terakhir padabulan terakhir kalender Jawa

Kirab Malam 1 Suro diadakan di beberapa daerah di tanah Jawa. Perayaan


terbesardilakukan oleh Keraton Yogyakarta, Keraton Mangkunegaran, dan Keraton
KasunananSurakarta. Bentuk kegiatannya yaitu Kirab Pusaka mengelilingi keraton
yang bertujuanuntuk menolak bala, keberuntungan, melatih kesiagaan lahir batin,
mawas diri, intropeksidiri agar menjadi lebih baik, dan berserah diri kepada Tuhan.
Kirab Pusaka sudahdilaksanakan dari zaman dahulu sejak berdirinya keraton itu
sendiri

Keraton Kasunanan Surakarta yang masih kental tata cara kehidupan


keratonnya dianggapmempunyai pengaruh besar di masyarakat. Kirab Pusaka
Malam 1 Suro di KeratonKasunanan Surakarta yang selalu diadakan setiap tahun,
awalnya mengitari wilayahBaluwarti bagian dalam. Saat ini kirab pusaka dilakukan
mengitari daerah lingkar luarkelurahan baluwarti sejauh 7 km. Dimulai dari keraton,
para abdi dalem pembawa pusaka, juga kerbau Kyai Slamet berjalan melewati Jl
Supit Urang, kemudian melewati Alun-alunLor. Kemudian kirab melewati Gladag, Jl
Jenderal Sudirman, lalu ke timur melewati JlMayor Kusmanto. Kirab berlanjut
melewati Jl Kapten Mulyadi, Jl Veteran, Jl Yos Sudarso,lalu Jl Slamet Riyadi, hingga
bunderan Gladagdan kembali lagi menuju keraton (solo.tribunnews.com, 28
September 2016).

Rute kirab diperlihatkan pada gambar 2.Terhitung sejak tahun 1972, oleh
Pakubuwono XII Kirab Pusaka mulai mengitari wiayah luarBaluwarti dengan 11
pusaka dan 9 kerbau albino yang dijuluki Kebo Bule (muslimdaily.net ).Dalam
rombongan kirab, terdapat Kebo Bule bernama “Kyai Slamet” yang merupakan
simbol keselamatan, bertindak sebagai Cucuk Lampah yang berarti baris pertama
padakirab tersebut. Kebo Bule juga dianggap sebagai simbol Keraton Kasunanan
Surakarta yangmerupakan kerajaan agraris ( srandil.com ).Dengan adanya Kebo
Bule dalam Kirab Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, timbulahfenomena ngalap
berkah. Terdapat pemahaman dalam masyarakat bahwa denganmengambil kotoran
Kebo Bule, maka akan mendapatkan berkah. Sehingga antusiasmasyarakat untuk
mengikuti tradis Suran semakin meningkat. Setiap tahunnya, ketikaMalam 1 Suro
tiba, daerah di sekitar Keraton Kasunanan selalu ramai dipenuhi warga dariberbagai
kalangan dan usia Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, zaman Keraton
Kartasura di sekitar.

abad ke-17, diceritakan bahwa di kerajaan terjadi pemberontakan yang


dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat Sinuwun harus melarikan diri
ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh Bupati Ponorogo dan berdiam di
sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan berakhir. Pada masa pelariannya
di Ponorogo, Raja Kartasura itu memperoleh petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai
Slamet harus direkso atau dijaga oleh sepasang kebo bule atau kerbau albino jika
ingin kerajaan aman sentosa dan langgeng.

Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, Bupati Ponorogo tiba-tiba ingin
menunjukkan baktinya kepada rajanya dengan mempersembahkan sepasang kebo
bule kepada Sinuwun, tepat di saat beliau membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau
albino pada masa itu (mungkin juga pada masa sekarang) adalah kerbau yang
sangat jarang ditemui dan dimiliki orang kebanyakan dan merupakan hewan piaraan
bernilai tinggi. Maka Sinuwun Pakoe Boewono II menerima dengan baik pisungsung
(persembahan) dari Bupati Ponorogo dan berterima kasih atas persembahan yang
sangat sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun membawa sepasang kebo bule itu

kembali ke Keraton Kartasura setelah pemberontakan usai dan hingga


kerajaan berpindah tempat ke Desa Sala dan berganti nama menjadi Keraton
Surakarta Hadiningrat. Hingga kini kerbau Kyai Slamet telah beranak pinak dan tetap
dihormati dan disebut sebagai kebo bule Kyai Slamet. Konon, saat Pakoe Buwono II
mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut
dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti
di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.

2.) Nilai-nilai dan Keunggulan


Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 Tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Pasal 2 mengatur bahwa Warisan Budaya Tak Benda Indonesia harus berasaskan:

a. Pancasila;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Bhinneka Tunggal Ika;
d. Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
e. transparansi dan akuntabilitas.
Keunggulan pada Kirab Pusaka Malam 1 Suro milik Keraton
Surakartamengandung ritual yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga bisa
diadaptasi sebagai pusaka milik negara (nasional). Pancasila telah menjadi ideologi
dasar dalamkehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam ritual ini
diharapkan masyarakatdapat menghidupi nilai sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini bisa dilihat dan dirasakan pada saat kirab pusaka. Para abdi dalem
yang memiliki keyakinan berbedabeda tetap mengikuti refleksi dan berdoa bersama
di ritual ini.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, digambarkan dalam aturan
Keraton Surakarta yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Selain itu, keadilan
juga terdapat pada aturan dalam ritual tersebut yaitu bahwa para abdi dalem
dilarang memakai kepangkatannya, sehingga semua abdi bahkan keluarga raja
terlihat sama. Pakaian bagi para pembawa pusaka juga diatur sedemikian rupa yaitu
pakaian adat Jawa jangkep (lengkap) dan wajib mengenakan kalung (kain) samir
serta untaian bunga melati (gajah ngoling) di atas telinga kiri.

Pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia, digambarkan dengan


berkumpulnya para abdi dalem dari suku dan asal yang berbeda-beda. Tidak hanya
abdi dalem, namun masyarakat sekitar dan juga para wisatawan ikut berkumpul dan
bersatu selama ritual ini berlangsung. Sehingga ritual ini juga mempersatukan
masyarakat dari berbagai kalangan.

Sedangkan sila keempat yaitu, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat


kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dalam pengambilan keputusan di Keraton Surakarta. Pembentukan kepanitiaan
dan pengelolaan ritual ini adalah berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama.
Kembul bujana atau makan bersama merupakan bagian dari tradisi kirab pusaka

ini menggambarkan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Selain itu, keadilan sosial juga menjadi salah satu doa dan harapan yang
dipanjatkan terusmenerus dalam ritual ini. Menurut Suryo (tanpa tahun: 247), Sri
Susuhunan Pakubuwono XII pernah bersabda bahwa Kirab Pusaka 1 Suro di
Surakarta diadakan dengan harapan untuk membantu rakyat supaya hidup selamat,
damai, makmur, atas perkenanan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini memiliki nilai-nilai
yang dapat dimaknai sebagai berikut:
- Mahesa/Kerbau Albino: sebagai simbol kesuburan dunia.
- Pusaka: sebagai simbol kekuatan dari Ilahi.
- Tapa Mbisu: kolektivitas ritual (laku) doa bermakna introspeksi diri.

Esensi atau makna dari kirab pusaka tersebut adalah pertobatan, doa, dan
pengharapan untuk tahun depan supaya senantiasa subur (gemah ripah loh jinawi)
yang disimbolkan dengan kerbau albino (mahesa), selamat, teguh, dan tenteram
yang disimbolkan dengan meng-kirab pusaka. Kirab pusaka mengelilingi benteng
luar Keraton Surakarta menggambarkan mikro kosmos dan makro kosmos. Mikro
kosmos adalah sebagai refleksi diri sendiri. Dan makro kosmos maksudnya ialah
keraton (buwana) merupakan representasi dari dunia/jagad gedhe.

3.) Relasi dengan Alam dan Budaya

a. Kotoran kerbau sebagai pupuk yang baik bagi lahan pertanian.

b. Menjaga kelestarian kerbau albino sebagai hewan yang langka.

c. Tata kota akan tetap lestari karena rute kirab akan sama dari tahun ke
tahun. Prosesi kirab pusaka berangkat dari halaman keraton (Kamandungan).
Setelah melewati alun-alun utara, sampai di gapura Gladak belok ke kanan. Sampai
perempatan Sangkrah belok ke kanan menyusuri Jalan Kapten Mulyadi, sampai di
perempatan Baturana belok ke kanan masuk Jalan Veteran. Sampai di perempatan
Gamblengan belok ke kanan, ke utara melalui Jalan Keratonan hingga perempatan
Nonongan. Dari perempatan Nonongan belok ke kanan menyusuri Jalan Slamet
Riyadi hingga perempatan Gladak. Dari perempatan Gladak belok ke kanan masuk
alun-alun utara, dan kembali ke halaman keraton. Pada prinsipnya, kirab pusaka itu
mengikuti arah pradaksina (menganankan) Karaton. (Rustopo, 2008:197).

d. Kegotongroyongan semua manusia (rasa, rumangsa, lan ngrumangsani)


karena pada saat acara tersebut para sentana maupun abdi dalem tidak
diperkenankan memakai tanda kepangkatan pada pakaiannya (ageman).

4.) Prosesi Kirab Pusaka


1. Berdoa Bersama (Umbul Donga) Waktu: setelah Isya (19.30 – 22.00) WIB
Isi: Sholawatan dan tahlil (secara islam).

2. Suara Gamelan Waktu: 22.00 – 23.00 WIB Ladrang wilujeng kendangan


engkek Pakubuwanan. Sementara di luar kori kamandungan, abdi dalem
menyiapkan barisan kerbau albino (mahesa)

3. Kirab Pusaka Keliling Benteng Luar Keraton Surakarta Waktu: 23.00 –


02.00 WIB
4. Makan Bersama di Keraton (Kembul Bujono) Waktu : 02.00 – 03.00 WIB
5.) Pengelolaan dan Pelestarian

a. Pengelolaan: Keraton Surakarta memiliki panitia khusus yang terdiri dari


gabungan panitia internal keraton dengan perwakilan dari pemerintah. Saat ini
pendanaan acara ritual di Keraton Surakarta sudah dibantu oleh pemerintah.

b. Pelestarian: Kirab Pusaka Malam 1 Suro ini telah menjadi agenda tahunan
di Kota Surakarta. Acara ini wajib diselenggarakan setiap tahunnya dan telah
menjadi ikon Kota Surakarta.

6.) Identifikasi Risiko Kerentanan terhadap Bencana

Maria Susana Pataro telah menyebut risiko buatan manusia sebagai entropi,
terjadi dalam dimensi yang berbeda, yang dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut:

(1) pembangunan: tekanan ekonomi, pembangunan perkotaan, pekerjaan


umum besar, pariwisata yang tidak terkendali, polusi, pembangunan taman tematik
yang mengancam keaslian situs dll.;

(2) bentuk-bentuk perilaku tertentu seperti vandalisme, pencurian, kerusuhan,


konflik etnis, perang, serangan teroris. Dalam kasus kawasan yang dilindungi
secara alami, pengenalan spesies eksotis, pemukiman manusia, perburuan
spesies yang terancam punah, pengenalan pestisida atau pupuk, dll.

(3) kesenjangan dalam kebijakan konservasi seperti legislasi yang tidak


memadai, kurangnya pelatihan dan etika profesional, perubahan status hukum yang
melindungi situs tertentu, tidak adanya warisan dalam agenda politik.

Dalam kasus ini, ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini
sangat rentan dengan kategori risiko poin (2) yaitu bentuk perilaku tertentu serta
terorisme, dan poin (3) kebijakan konservasi serta status hukum yang
melindunginya. Berikut kemungkinan-kemungkinan bencana nonfisik yang bisa
terjadi, yaitu:
1. Perilaku aliran keagamaan garis keras yang menolak pemahaman terkait
tradisi ini.
2. Adanya kesalahpahaman masyarakat untuk mengerti maupun memahami
nilai-nilai dari ritual ini. Informasi yang didapatkan dari salah satu abdi dalem
Museum Keraton Surakarta bahwa motif pelaku penombakan dan teror bom di area
Keraton Surakarta diduga termasuk dalam kategori ini. Kasus ini cukup
meresahkan, mengingat kerbau albino adalah hewan yang langka. Jika tidak
direspons dengan edukasi yang benar dan dapat diterima logika oleh masyarakat,
maka hal ini akan menjadi bumerang bagi ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro
tersebut.

3. Pengaruh citra keluarga istana. Keributan atau persengketaan yang terjadi


pada internal keraton. Seperti kasus yang lalu, ketika keributan internal itu
terekspos ke publik maka, akan terjadi penurunan kepercayaan dari publik terhadap
kewibawaan Keraton Surakarta sebagai pemangku adat utama di wilayah Jawa
Tengah. Masyarakat dan calon wisatawan akan kehilangan minat untuk berkunjung
ke keraton. Publik tidak lagi memandang Keraton Surakarta beserta keluarganya
sebagai teladan dan stigma negatif akan melekat cukup lama pada keraton
maupun keluarga keraton itu sendiri. Butuh waktu dan proses yang panjang untuk
memperbaiki stigma negatif tersebut dan mengembalikan kepercayaan publik
kepada Keraton Surakarta.

4. Kebijakan pelestarian pemerintah dan perlindungan hukum. Saat ini belum


ada pengaturan kebijaksanaan pelestarian khusus dan upaya perlindungan hukum
terhadap tradisi ini. Bahkan tradisi ini belum terakui secara resmi oleh UNESCO
maupun negara sebagai warisan dunia.
5. Selain bencana nonfisik, juga perlu diwaspadai bencana fisik seperti
masalah kesehatan dan kecukupan gizi kerbau albino milik Keraton Surakarta.
Kerbau albino ini merupakan hewan yang langka sehingga penanganan sekaligus
perawatannya harus benar-benar diperhatikan. Jika terjadi wabah penyakit hewan
atau hewan tersebut terkena suatu penyakit tertentu, maka kerbau albino ini akan
terancam kepunahannya.

7. )Strategi Manajemen Risiko


Setelah mengidentifikasi berbagai kemungkinan risiko kerentanan terhadap
bencana fisik maupun nonfisik, maka ada beberapa rekomendasi mengenai upaya
yang bisa dilakukan untuk merespons berbagai risiko tersebut.

1. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 106


Tahun 2013 Tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Bab V bisa dilakukan
penetapan terhadap tradisi ini.

Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia bertujuan:

a. melestarikan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia;

b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa;

c. memperkuat karakter, identitas, dan kepribadian bangsa;

d. mempromosikan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia kepada masyarakat luas;

e. meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kemudian dapat diusulkan sebagai pusaka nasional, alasannya adalah


karena ritual ini memiliki keaslian, keunikan, dan nilai-nilai yang unggul dalam setiap
prosesinya. Nilai-nilai dan keunggulan yang dimiliki tradisi tersebut juga telah
dianalisis dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian supaya memiliki pengakuan resmi dan kekuatan hukum sebagai
perlindungan terhadap tradisi ini.

2. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI


Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelestarian Tradisi dalam Bagian
Keempat Pengembangan Pasal 8 angka 2 (c) Pengembangan tradisi dilakukan
melalui: diskusi, seminar, dan sarasehan pengembangan tradisi dan pembinaan
karakter dan pekerti bangsa; sehingga dapat melakukan proses edukasi terhadap
masyarakat luas terkait nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Sebaiknya topik terkait ritual budaya ini diangkat menjadi topik khusus di seminar
tentang kebudayaan setiap tahunnya. Kemudian relasi antara internal dan
pemerintah bisa ditambahkan dengan pihak akademisi dalam bidang kebudayaan
sebagai peneliti maupun pengkaji ritual tersebut.

3. Pelestarian dan edukasi juga bisa melibatkan seniman dengan cara


menggelar drama musikal maupun teatrikal yang menceritakan sejarah Kirab
Pusaka Malam 1 Suro dari berbagai versi. Hal ini penting sebagai sarana edukasi
bagi masyarakat melalui seni juga sebagai daya tarik pertunjukan bagi wisatawan
yang berkunjung. Drama musikal maupun teatrikal ini akan melibatkan banyak
pihak dan juga mendukung pengembangan ekonomi di sekitar lokasi pertunjukan.
Rencana jangka panjang konsep drama dan teatrikal ini bisa diperlombakan antar-
instansi maupun di tingkat pendidikan. Lalu selanjutnya bisa menjadi festival khas
di bulan Suro.
4. Terkait citra keluarga istana, cara yang bisa dilakukan adalah
membangun komunikasi yang intens antar-internal Keraton. Menentukan hierarki
pengelolaan internal keraton dengan jelas dan transparan. Saat ini keputusan
pemerintah terkait penetapan raja dan mahapatih sudah cukup membantu
memberikan kejelasan. Kemudian melakukan koordinasi dengan pemerintah
secara berkelanjutan. Memperbaiki citra dengan mengirimkan perwakilan untuk
ikut serta dalam bidang kebudayaan dan seni secara konsisten.

5. Untuk merespons kemungkinan terkait kesehatan kerbau, maka


dibutuhkan pengawasan kesehatan kerbau albino secara rutin dari pihak
pemerintah, akademisi kesehatan hewan, maupun pihak internal Keraton Surakarta
itu sendiri.

8.) Perencanaan Ekonomi Berkelanjutan Bagi


Masyarakat
Pelestarian tradisi hendaknya juga didukung dengan perencanaan
ekonomi kreatif dan keberlanjutan dengan melihat dan menggali potensi-potensi
yang ada. Penulis melihat bahwa di saat bulan Suro ada banyak momen aktivitas
selamatan. Selain melaksanakan selamatan khusus pada bulan Suro, kalangan
Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta juga memiliki tradisi selamatan tiap
bulan menurut penanggalan Jawa. Ritual sesaji ini biasanya dilaksanakan pada
tanggal 8 atau hari Jumat dalam bulan Suro. Di Keraton Kasunanan Surakarta
biasanya dibarengi dengan peringatan hari berdirinya Keraton Surakarta (pengetan
adeging Nagari Surakarta Hadiningrat). Uborampe (kelengkapan) sesaji selamatan
pada bulan Suro tersebut adalah bubur yang dicampur dengan sembilan bahan
seperti kacang botor, jagung, kacang, kacang gude, biji asam, kemangi, kacang
hijau, lada putih, dan biji buah delima. Kelengkapan sesaji ini dimaksudkan untuk
memule (memperingati) Baginda Husain. (Wahyana, 2009:55)

Sesaji yang khas dan selalu ada pada bulan Suro ini dapat dijadikan salah
satu alternatif bagi pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar Keraton
Surakarta. Masyarakat sekitar bisa menjadikan momen ini sebagai alternatif usaha
pada bulan Suro untuk meningkatkan pendapatan mereka. Pemerintah bersama
dengan pihak Kasunanan Surakarta bisa memberikan edukasi maupun bantuan
modal terkait sesaji bulan Suro sebagai kuliner khas yang bisa dijual kepada
wisatawan.
Masyarakat sekitar memerlukan edukasi tentang filosofi sesaji, proses
pembuatannya, dimulai dari memasak, mengemasnya, hingga pada akhirnya
sampai di tangan wisatawan. Wisatawan pun mendapatkan pengetahuan dan
sesuatu yang baru dari rangkaian ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro ini. Ada
pengalaman serta buah tangan yang baru dan unik yang bisa dibagikan kepada
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pada Malam Satu Suro
masih banyak masyarakat yang mempercayai terkait pantangan untuk tidak keluar
rumah di malam tersebut, sebab sejumlah makhluk gaib dipercaya akan berkeliaran
dan berhamburan di malam tersebut yang pada akhirnya kerap dipandang sebagai
malam yang angker.

Satu suro sebenarnya merupakan saat ketika masyarakat Jawa


merayakan tahun baru. Dalam Islam, ini dikenal dengan tanggal satu Muharam.
Berbeda dengan kebiasaan masyarakat modern, saat malam 1 Suro tiba, orang
Jawa tidak menyambutnya dengan kemeriahan, melainkan dengan berbagai ritual
sebagai bentuk introspeksi diri.

Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual


tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (merenung sambil
berdoa). Sebagian orang bahkan memilih menyepi untuk bersemedi di tempat
sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat

D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini memiliki nilai-nilai dan
keunggulan sesuai dengan Pancasila dan memiliki relasi dengan alam dan budaya.

Tradisi ini memiliki kemungkinan risiko kerentanan terhadap bencana yaitu:


bentuk perilaku tertentu serta terorisme, dan kebijakan konservasi serta status
hukum yang melindunginya. Dan terdapat rekomendasi sebagai upaya merespons
serta mengatasi kemungkinan resiko tersebut di antaranya: dapat diusulkan
menjadi Pusaka Nasional, melakukan edukasi dalam bentuk seminar, bekerja
sama untuk menggelar drama teatrikal yang mengangkat tentang sejarah dan nilai
tradisi tersebut, kebijakan pemerintah serta kejelasan hierarki dalam
kepengurusan Keraton Surakarta, dan pengawasan kesehatan bagi kerbau albino.

Manajemen risiko melibatkan banyak pihak dan kemungkinan-kemungkinan


terhadap potensi di sekitar. Pelestarian tradisi sebagai salah satu tindakan nyata
manajemen risiko hendaknya juga didukung dengan perencanaan ekonomi kreatif
dan keberlanjutan dengan melihat dan menggali potensi-potensi yang ada.
Diusulkan menggali potensi dan filosofi berbagai sesaji yang ada sewaktu bulan
Suro, salah satunya adalah sesaji bubur/jenang Suran yang bisa dikomodifikasi
kemudian dijadikan alternatif kuliner bagi wisatawan dan masyarakat sekitar.

E. Daftar pustaka
Nurshodiq, (2008) Tradisi Suran Dalam Masyarakat Jawa Analisis Perbandingan
Antara WilayahSurakarta Dengan Wonosobo, Tesis Untuk Memperoleh Gelar
Magister Pendidikan PadaUniversitas Negeri Semarang, Semarang.

Giri, Wahyana MC. (2009). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Negoro, Suryo. S. (2008). Upacara Tradisional Jawa.Rustopo. Jawa Sejati:


Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro. Yogyakarta/Jakarta: Penerbit Ombak
dan Yayasan Nabil.

Zhang, Yue; Han, Mingqin; and Chen, Weiwei. 2018. “The strategy of digital scenic
area planning from the perspective of intangible cultural heritage protection”.
Zhang etal. EURASIP Journal on Image and Video Processing, Vol. 2018 Issue 1,
p1-1.1p. DOI : 10.1186/s13640-018-0366-7.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 Tentang
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 10 Tahun 2014 Tentang


Pedoman Pelestarian Tradisi.

INFORMAN

Pak Narso (2023). Abdi dalem Keraton Surakarta dan staf Museum Keraton
Surakarta tinggal di
Webtography

http://blog.ugm.ac.id/2010/10/28/tradisi-kirab-kerbau-kyai-slamet-pada-kirab-
pusaka-1-Suro-di-solo/ diakses 8 November 2017, pukul 20.50 WIB

https://en.wikipedia.org/wiki/Intangible_cultural_heritage diakses 8 November 2017,


pukul 20.00

Anda mungkin juga menyukai