Di susun oleh :
(225221003)
muhammad.ryko1234@gmail.com
A. Pendahuluan
1. Definisi Sejarah
Sejarah diambil dari bahasa arab yang berasal dari kata “Syajaratun”
yang bermakna pohon, keturunan, atau asal usul. Dalam bahasa melayu kerap
diucapkan dengan “Syajarah” yang lambat laun mengalami perubahan pelafalan
menjadi sejarah dalam bahasa Indonesia.
Sejarah berarti pohon, memiliki arti sebagai cabang keturunan atau gen
dari kelompok yang jika dibuat bagan akan menghasilkan garis keturunan
menyerupai struktur pohon, milau dari akar sampai dedaunnya.
1
Nina Herlina, ( 2020 ) Metode Sejarah (Bandung: Satya Historika ), 7.
Berdasarkan asal usulnya, sumber sejarah dibagi menjadi 2, yaitu
sumber sejarah primer dan sekunder.
a) Sumber Primer
Yang dimaksud sumber primer adalah apabila sumber atau penulis
sumber menyaksikan, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa yang terjadi.
Sumber primer merupakan sumber yang masih asli, belum mangalami perubahan
redaksi didalamnya Sumber primer dibagi menjadi 2, yaitu:
b) Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan sumber sejarah yang hanya mendengar
peristiwa atau mengetahui sumber sejarah dari orang lain, dapat berupa cerita
dari orang tuanya, atau kerabatnya, atau buku-buku, artikel-artikel hasil kajian
berkaitan dengan suatu peristiwa. Berbada dengan sumber kontemporer yang
hidup sezaman dengan saat peristiwa terjadi, sumber sekunder ini tidak hidup
sezaman dengan peristiwa terjadi.2
3. Definisi Tradisi
Tradisi memiliki makna yang sama dengan adat istiadat. Dalam hal ini, adat
yang dimaksud adalah kebiasaan dalam masyarakat Jawa mengenai nilai - nilai
budaya, norma, aturan yang paling berkaitan dan lahirnya menjadi suatu sistem.3
2
Ibid., 24-28
3
Djihan Nisa Arini Hidayah, (Juli, 2012), "Persepsi Masyarakat terhadap Tradisi Makam Satu Suro", Jurnal
Tradisi adalah adat istidat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang
yang terus dilestarikan dan berkembang di masyarakat. Tradisi memiliki nilai
dan makna tersendiri bagi pelakunya.
Berikut beberapa pengertian tradisi dari berbagai sumber dan beberapa ahli, antara
lain:
Tradisi dalam masyarakat dapat berupa budaya atau adat istiadat yang
berkembang di lingkungan masyarakat tersebut. Tradisi merupakan suatu
kebiasaan yang berakar dari aktifitas dalam kondisi sosial tertentu yang
melahirkan ide-ide, gagasan, norma, ataupun semacam peraturan sebagai dasar
5
Aryono dan Aminuddin Siregar, (1998 ) Kamus Antropologi Jakarta: Akademika Perindo, 4.
6
Seyyed Hossein Nasr, ( 1994 ) Islam ditengah Kancah Dunia Modern Bandung: Pustaka, 3.
dalam berperilaku yang bersifat abstrak tidak dapat disentuh dan diraba, namun
dalam kesehariannya dapat dirasakan dalam kehidupan bersosial.
8
Nur Syam, (2005) Islam Pesisir Yogyakarta: LKiS,18
ritual seringkali mengalami perubahan. Dalam banyak agama, ritual dilakukan
dalam bentuk kegiatan yang tetap, namun dengan berbagai latar belakang,
keyakinan, maksud atau doktrinnya yang bisa jadi telah mengalami perubahan.9
Berbeda dengan Van Gennep yang melihat ritual sebagai aktivitas untuk
menumbuhkan kembali semangat kehidupan sosial di antara warga masyarakat.
Dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, manusia mengalami
perubahan biologis dan lingkungan sosialnya dapat mempengaruhi jiwa dan
menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi perubahan–perubahan tersebut
manusia memerlukan regenerasi semangat kehidupan. Hal itu disebabkan
karena selalu ada saat-saat di mana semangat kehidupan sosial mengalami
kelesuan. Pada titik itulah ritual dilakukan untuk menumbuhkan kembali
semangat kehidupan.11
9
Koentjaraningrat, (2007) Sejarah Teori Antropologi Jakarta: UI Press, 67.
10
Ibid., 68.
11
Ibid., 74-75.
Menurut Muhammad Sholikin Suro merupakan sebutan bagi bulan
Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata
”asyura” dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”, yakni tanggal 10 bulan
Muharram. Karena pentingnya tanggal ini oleh masyarakat Islam Indonesia, Jawa
utamanya, tanggal itu akhirnya menjadi lebih populer adalah asyura, dan dalam
lidah Jawa menjadi “Suro”. Jadilah kata “Suro” sebagai khazanah Islam-Jawa asli
sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.12
13
Surya S. (2001) Negoro, Upacara Tradisional dan Ritual Jawa Surakarta: Buana Raya, 46.
5. Ragam Tradisi Suroan
a. Siraman malam 1 Suro, yaitu Mandi besar dengan menggunakan air serta
dicampur kembang setaman pada malam hari tepat pada tanggal 1 Suro.
Ritual ini sebagai bentuk “sembah raga” (Syariat) dengan tujuan menyucikan
raga, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan
Suro, antara lain dilakukan beberapa hal seperti lebih ketat dalam menjaga dan
menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.
b. Ziarah Kubur, pada bulan Suro masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke
makam para leluhurnya masingmasing, atau makam para leluhur yang yang
dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri
nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi
penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Di samping
itu kita akan selalu ingat akan Sangkan Paraning Dumadi.
c. Kirab dan Jamasan Pusaka. Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau
melestarikan warisan dan kenangkenangan dari para leluhurnya. Pusaka
memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan
buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di
masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
d. Larung sesaji. Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe atau
ragam bahan ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat
tertentu.
B. Metode penelitian
Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan.
Metode merupakan aspek yang penting dalam melakukan peneltian agar suatu
penelitian mendapatkan hasil yang baik, perlu diterapkan metode-metode tertentu
dalam penelitian. Metode penelitian merupakan sebuah tehnik cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.14
14
Muhajirin, Maya Panorama, (2017) Pendekatan Prakatis metode penelitian kualitatif dan kuantitati f (Idea Press
Yogyakarta, 3.
a. Jenis Penelitian
b. Sifat Penelitian
2. Sumber Data
a. Data Primer
data primer adalah sebuah data yang langsung didapatkan dari sumber
dan diberi kepada pengumpul data atau peneliti. Menurutnya sumber data primer
adalah wawancara dengan sumber peneliti melalui pengamatan secara langsung.
Data primer juga menurut Pak narso data yang cenderung selalu berkembang
setiap waktu, sehingga dalam pengumpulannya data yang didapat bersifat
update.
b. Data Sekunder
15
Mahi MHikmat, (2011). Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunisi Yogyakarta:Graha Ilmu, 35.
Data Skunder adalah data yang sudah diolah terlebih dahulu dan baru
didapatkan oleh peneliti dari sumber yang lain sebagai tambahan informasi.
Beberpa sumber data skunder adalah buku, jurnal, publikasi pemerintah serta
situs atau sumber lain yang mendukung.Data sekunder juga sumbernya berasal
dari peneliti sebelumnya. Jadi peneliti hanya mencari data tambahan dari sumber
yang telah dibuat oleh orang lain.
a. Observasi
b. Wawancara
C. Pembahasan
1.) Sejarah Malam 1 suro
Kirab Malam 1 Suro merupakan sebuah tradisi turun menurun yang diperingati
secaratahunan oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Dalam tradisi masyarakat Jawa,
Kirab Malam1 Suro adalah perayaan budaya sekaligus keagamaan guna
menyambut tahun baru sesuaidengan penanggalan Jawa. Sura atau Suro
merupakan nama bulan pertama dalampenanggalan Jawa, malam 1 Suro ditandai
dengan tenggelamnya matahari terakhir padabulan terakhir kalender Jawa
Rute kirab diperlihatkan pada gambar 2.Terhitung sejak tahun 1972, oleh
Pakubuwono XII Kirab Pusaka mulai mengitari wiayah luarBaluwarti dengan 11
pusaka dan 9 kerbau albino yang dijuluki Kebo Bule (muslimdaily.net ).Dalam
rombongan kirab, terdapat Kebo Bule bernama “Kyai Slamet” yang merupakan
simbol keselamatan, bertindak sebagai Cucuk Lampah yang berarti baris pertama
padakirab tersebut. Kebo Bule juga dianggap sebagai simbol Keraton Kasunanan
Surakarta yangmerupakan kerajaan agraris ( srandil.com ).Dengan adanya Kebo
Bule dalam Kirab Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, timbulahfenomena ngalap
berkah. Terdapat pemahaman dalam masyarakat bahwa denganmengambil kotoran
Kebo Bule, maka akan mendapatkan berkah. Sehingga antusiasmasyarakat untuk
mengikuti tradis Suran semakin meningkat. Setiap tahunnya, ketikaMalam 1 Suro
tiba, daerah di sekitar Keraton Kasunanan selalu ramai dipenuhi warga dariberbagai
kalangan dan usia Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, zaman Keraton
Kartasura di sekitar.
Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, Bupati Ponorogo tiba-tiba ingin
menunjukkan baktinya kepada rajanya dengan mempersembahkan sepasang kebo
bule kepada Sinuwun, tepat di saat beliau membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau
albino pada masa itu (mungkin juga pada masa sekarang) adalah kerbau yang
sangat jarang ditemui dan dimiliki orang kebanyakan dan merupakan hewan piaraan
bernilai tinggi. Maka Sinuwun Pakoe Boewono II menerima dengan baik pisungsung
(persembahan) dari Bupati Ponorogo dan berterima kasih atas persembahan yang
sangat sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun membawa sepasang kebo bule itu
a. Pancasila;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Bhinneka Tunggal Ika;
d. Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
e. transparansi dan akuntabilitas.
Keunggulan pada Kirab Pusaka Malam 1 Suro milik Keraton
Surakartamengandung ritual yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga bisa
diadaptasi sebagai pusaka milik negara (nasional). Pancasila telah menjadi ideologi
dasar dalamkehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam ritual ini
diharapkan masyarakatdapat menghidupi nilai sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini bisa dilihat dan dirasakan pada saat kirab pusaka. Para abdi dalem
yang memiliki keyakinan berbedabeda tetap mengikuti refleksi dan berdoa bersama
di ritual ini.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, digambarkan dalam aturan
Keraton Surakarta yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Selain itu, keadilan
juga terdapat pada aturan dalam ritual tersebut yaitu bahwa para abdi dalem
dilarang memakai kepangkatannya, sehingga semua abdi bahkan keluarga raja
terlihat sama. Pakaian bagi para pembawa pusaka juga diatur sedemikian rupa yaitu
pakaian adat Jawa jangkep (lengkap) dan wajib mengenakan kalung (kain) samir
serta untaian bunga melati (gajah ngoling) di atas telinga kiri.
ini menggambarkan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Selain itu, keadilan sosial juga menjadi salah satu doa dan harapan yang
dipanjatkan terusmenerus dalam ritual ini. Menurut Suryo (tanpa tahun: 247), Sri
Susuhunan Pakubuwono XII pernah bersabda bahwa Kirab Pusaka 1 Suro di
Surakarta diadakan dengan harapan untuk membantu rakyat supaya hidup selamat,
damai, makmur, atas perkenanan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini memiliki nilai-nilai
yang dapat dimaknai sebagai berikut:
- Mahesa/Kerbau Albino: sebagai simbol kesuburan dunia.
- Pusaka: sebagai simbol kekuatan dari Ilahi.
- Tapa Mbisu: kolektivitas ritual (laku) doa bermakna introspeksi diri.
Esensi atau makna dari kirab pusaka tersebut adalah pertobatan, doa, dan
pengharapan untuk tahun depan supaya senantiasa subur (gemah ripah loh jinawi)
yang disimbolkan dengan kerbau albino (mahesa), selamat, teguh, dan tenteram
yang disimbolkan dengan meng-kirab pusaka. Kirab pusaka mengelilingi benteng
luar Keraton Surakarta menggambarkan mikro kosmos dan makro kosmos. Mikro
kosmos adalah sebagai refleksi diri sendiri. Dan makro kosmos maksudnya ialah
keraton (buwana) merupakan representasi dari dunia/jagad gedhe.
c. Tata kota akan tetap lestari karena rute kirab akan sama dari tahun ke
tahun. Prosesi kirab pusaka berangkat dari halaman keraton (Kamandungan).
Setelah melewati alun-alun utara, sampai di gapura Gladak belok ke kanan. Sampai
perempatan Sangkrah belok ke kanan menyusuri Jalan Kapten Mulyadi, sampai di
perempatan Baturana belok ke kanan masuk Jalan Veteran. Sampai di perempatan
Gamblengan belok ke kanan, ke utara melalui Jalan Keratonan hingga perempatan
Nonongan. Dari perempatan Nonongan belok ke kanan menyusuri Jalan Slamet
Riyadi hingga perempatan Gladak. Dari perempatan Gladak belok ke kanan masuk
alun-alun utara, dan kembali ke halaman keraton. Pada prinsipnya, kirab pusaka itu
mengikuti arah pradaksina (menganankan) Karaton. (Rustopo, 2008:197).
b. Pelestarian: Kirab Pusaka Malam 1 Suro ini telah menjadi agenda tahunan
di Kota Surakarta. Acara ini wajib diselenggarakan setiap tahunnya dan telah
menjadi ikon Kota Surakarta.
Maria Susana Pataro telah menyebut risiko buatan manusia sebagai entropi,
terjadi dalam dimensi yang berbeda, yang dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut:
Dalam kasus ini, ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini
sangat rentan dengan kategori risiko poin (2) yaitu bentuk perilaku tertentu serta
terorisme, dan poin (3) kebijakan konservasi serta status hukum yang
melindunginya. Berikut kemungkinan-kemungkinan bencana nonfisik yang bisa
terjadi, yaitu:
1. Perilaku aliran keagamaan garis keras yang menolak pemahaman terkait
tradisi ini.
2. Adanya kesalahpahaman masyarakat untuk mengerti maupun memahami
nilai-nilai dari ritual ini. Informasi yang didapatkan dari salah satu abdi dalem
Museum Keraton Surakarta bahwa motif pelaku penombakan dan teror bom di area
Keraton Surakarta diduga termasuk dalam kategori ini. Kasus ini cukup
meresahkan, mengingat kerbau albino adalah hewan yang langka. Jika tidak
direspons dengan edukasi yang benar dan dapat diterima logika oleh masyarakat,
maka hal ini akan menjadi bumerang bagi ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro
tersebut.
Sesaji yang khas dan selalu ada pada bulan Suro ini dapat dijadikan salah
satu alternatif bagi pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar Keraton
Surakarta. Masyarakat sekitar bisa menjadikan momen ini sebagai alternatif usaha
pada bulan Suro untuk meningkatkan pendapatan mereka. Pemerintah bersama
dengan pihak Kasunanan Surakarta bisa memberikan edukasi maupun bantuan
modal terkait sesaji bulan Suro sebagai kuliner khas yang bisa dijual kepada
wisatawan.
Masyarakat sekitar memerlukan edukasi tentang filosofi sesaji, proses
pembuatannya, dimulai dari memasak, mengemasnya, hingga pada akhirnya
sampai di tangan wisatawan. Wisatawan pun mendapatkan pengetahuan dan
sesuatu yang baru dari rangkaian ritual Kirab Pusaka Malam 1 Suro ini. Ada
pengalaman serta buah tangan yang baru dan unik yang bisa dibagikan kepada
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pada Malam Satu Suro
masih banyak masyarakat yang mempercayai terkait pantangan untuk tidak keluar
rumah di malam tersebut, sebab sejumlah makhluk gaib dipercaya akan berkeliaran
dan berhamburan di malam tersebut yang pada akhirnya kerap dipandang sebagai
malam yang angker.
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
tradisi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta ini memiliki nilai-nilai dan
keunggulan sesuai dengan Pancasila dan memiliki relasi dengan alam dan budaya.
E. Daftar pustaka
Nurshodiq, (2008) Tradisi Suran Dalam Masyarakat Jawa Analisis Perbandingan
Antara WilayahSurakarta Dengan Wonosobo, Tesis Untuk Memperoleh Gelar
Magister Pendidikan PadaUniversitas Negeri Semarang, Semarang.
Giri, Wahyana MC. (2009). Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Zhang, Yue; Han, Mingqin; and Chen, Weiwei. 2018. “The strategy of digital scenic
area planning from the perspective of intangible cultural heritage protection”.
Zhang etal. EURASIP Journal on Image and Video Processing, Vol. 2018 Issue 1,
p1-1.1p. DOI : 10.1186/s13640-018-0366-7.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 Tentang
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
INFORMAN
Pak Narso (2023). Abdi dalem Keraton Surakarta dan staf Museum Keraton
Surakarta tinggal di
Webtography
http://blog.ugm.ac.id/2010/10/28/tradisi-kirab-kerbau-kyai-slamet-pada-kirab-
pusaka-1-Suro-di-solo/ diakses 8 November 2017, pukul 20.50 WIB