Anda di halaman 1dari 70

MATERI KULIAH

PENGANTAR
ILMU SEJARAH
BAB I

PENGERTIAN SEJARAH

A. Asal-usul Kata Sejarah


Kata “Sejarah” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang
diambil dari Syajarah. Kata Syajarah masuk dalam bahasa Melayu setelah akulturasi
cukup panjang (asimilasi dalam kebudayaan) dengan kebudayaan Indonesia juga
dengan kebudayaan Islam semenjak abad ke-13). Pada abad inilah, secara
konvensional disepakati bahwa invensi dan discoveri berjalan diaklektis, yang pada
gilirannya melahirkan realitas bahasa yang sampai kini dijadikan bahasa lingua
franca oleh bangsa Indonesia.
Kata Syajarah berarti pohon kehidupan. Maksudnya, segala hal mengenai
kehidupan memiliki “pohon” yakni masa lalu itu sendiri. Sebagai pohon, sejarah
adalah awal dari segalanya yang menjadi realitas masa kini. Singkatnya, masa kini
adalah produk atau warisan masa lalu. Hal ini berkorelasi dengan arti kata Syajarah
sebagai keturunan dan asal-usul. Syajarah sering dikaitkan pula dengan makna kata
silsilah yang berarti urutan, seri, hubungan, dan daftar keturunan.
Kata Syajarah bersinonim dengan istilah babad dalam tradisi masyarakat
Jawa yang berarti riwayat kerajaan, riwayat bangsa, buku tahunan, dan kronik.
Masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai suatu tradisi pencatatan atas kejadian-
kejadian atau peristiwa penting secara teratur dan detail di atas daun lontar, yang
dikenal dengan Attoriolong (Bugis) atau Pattoriolong (Makasar). Catatan itu berisi
informasi mengenai asal-usul, tempat dan tanggal lahir, serta situasi atau kondisi
tertentu pada saat seseorang dilahirkan. Kebanyakan tulisan-tulisan itu berkaitan
dengan aktivitas politik dan pemerintahan kerajaan-kerajaan.
Sejarah dalam kamus besar Bahasa Indonesia mengandung tiga makna,
yaitu:
1. Kesusteraan lama (silsilah, asal-usul)
2. Kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu
3. Ilmu, pengetahuan, cerita, pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang benar-
benar terjadi pada masa lampau, atau juga disebut riwayat ( Poerwadarminta,
2003).
Kata Syajarah yang diambil menjadi sejarah, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya diberi perluasan makna sebagai: (a) apa yang telah terjadi; (b) kisah
dari semua yang telah terjadi, dan uraian ilmiah tentang hal yang telah terjadi.
Dalam bahasa Arab pengertian sejarah digunakan Tarikh, yang mengandung
arti penggalan, waktu, zaman, kurun zaman, perhitungan tahun ( tahun sebelum
Masehi atau sesudah Masehi – dipakai sebutan sebelum atau sesudah tarikh
Masehi).

B. Menurut Istilah
Istilah sejarah dalam bahasa Arab dikenal dengan tarikh, dari akar kata
arrakha yang berarti menulis atau mencatat; dan catatan tentang waktu serta
peristiwa. Adapula yang berpendapat bahwa istilah sejarah berasal dari bahasa
Arab, Syajarah, yang berarti pohon atau silsilah. Makna silsilah lebih tertuju pada
makna padanan tarikh; termasuk dengan padanan pengertian babad, mitos,
legenda, dan seterusnya. Syajarah berarti terjadi, Syajarah an-nasab berarti pohon
silsilah.
Banyak pula yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal dari bahasa
Yunani, historia. Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan history, bahasa Prancis
historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, dan bahasa Belanda
dikenal gescheiedenis.
Dari berbagai bahasa tersebut dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah
menyangkut waktu dan peristiwa. Oleh karena itu, masalah waktu memegang
peranan penting dalam memahami satu peristiwa. Hal ini membuat para sejarawan
cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.
Istilah sejarah, dalam pengertian terminologis atau istilahi, juga memiliki
beberapa variasi redaksi. R.G Collingwood, misalnya mendefenisikan sejarah
dengan ungkapan history is the history of thought (sejarah adalah sejarah pemikiran)
; history is a kind of research or inquiry (sejarah adalah sejenis penelitian atau
penyelidikan). Collingwood juga memaknakan sejarah (dalam arti penulisan sejarah
atau historiografi), seperti membangun dunia fantasi (are people who build up a
fantasy-word).
Moh. Ali mengemukakan pengertian sejarah dengan mengacu pada tiga
makna:
1. Sejumlah perubahan, kejadian, dan peristiwa kenyataan;
2. Cerita tentang perubahan, kejadian, peristiwa, atau realita;
3. Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan peristiwa
realitas.
Menurut Sartono Kartodidjo, sejarah dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu
sejarah mentalitas (mentalited history), sejarah sosial (sosiological history), dan
sejarah struktural (structural history). Adapun Hegel berpendapat bahwa sejarah
terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Sejarah asli, memaparkan sebagian besar pada perbuatan, peristiwa, dan
keadaan masyarakat yang ditemukan di hadapan mereka.
2. Sejarah reflektif adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu
yang dengannya penulis sejarah berhubungan.
3. Sejarah filsafati, jenis ini tidak menggunakan sarana apapun, kecuali
pertimbangan pemikiran terhadapnya.
Sejarah adalah merekontruksi masa lalu, yaitu merekontruksi yang sudah
dipikirkan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami orang. Akan tetapi, perlu ditegaskan
bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu. Sejarah
mempunyai kepentingan masa kini dan bahkan untuk masa yang akan datang. Oleh
karena itu, terus ditulis orang, pada semua peradaban dan sepanjang waktu. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan kerangka keragaman (diversity), perubahan (change), dan
kesinambungan (continuity) melalui dimensi waktu.
Menurut Louis Gottschalk, dalam bukunya Understanding History: a Primer of
Historical Method, tentang pengertian sejarah. Sejarah dalam bahasa Inggrisnya
“history” berasal dari kata benda. Yunani “istoria” yang berarti ilmu. Filsuf Yunani,
Aristoteles, berpendapat bahwa “istoria” berarti suatu pertelaan sistematis mengenai
seperangkat gejala alam, baik susunan kronologi yang merupakan factor atau tidak
di dalam pertelaan. Penggunaan itu, meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam
bahasa Inggris dalam sebutan “natural history”. Akan tetapi dalam perkembangan
zaman, kata latin yang sama artinya, yaitu “scientia” lebih sering digunakan untuk
menyebutkan pertelaan sistematika non-kronologis mengenai gejala alam,
sedangkan kata “istoria” dipergunakaan bagi pertelaan mengenai gejala-gejala
(terutama hal-ihwal manusia) dalam urutan kronologis. Menurut defenisi umum, kata
“history” kini berarti “masa lampau umat manusia”.
Secara ringkas , pendapat Gottschalk tentang pengertian sejarah merupakan
rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala sisinya.
Sejarawan Indonesia, Sartono Kartodidjo dalam bukunya “Pendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah”, membagi pengertian sejarah pada dua aspek
penting yaitu:
1. Sejarah dalam arti subjektif sebagai suatu konstruksi atau bangunan yang
disusun oleh sejarawan sebagai suatu uraian atau cerita. Dikatakan subjektif
karena sejarah memuat unsure-unsur dan isi subjek (penulis), dan
2. Sejarah dalam arti objektif yang menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu
sendiri, sebagai proses dalam aktualitasnya. Suatu kejadian yang pernah terjadi
tidak dapat diulang atau terulang lagi.
Adapula yang mengartikan istilah sejarah dengan istilah babad, hikayat,
riwayat, atau tambo yang artinya kejadian dan peristiwa masa lampau atau asal-usul
(keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah.
Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan tentang kejadian-kejadian yang
sudah lampau serta pengetahuan cara berpikir secara historis. Orang yang
mengkhususkan diri mempelajari sejarah atau ahli sejarah disebut sejarawan.
Selain dikategorikan sebagai bagian dari ilmu budaya (humaniora), sejarah
juga digolongkan sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu sejarah mempelajari
berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan pada masa lalu. Ilmu
sejarah dapat dibagi menjadi kronologi, historiografi, genealogi, paleografi, dan
kliometrik.
Beberapa pakar sejarah mengatakan sebagai berikut:
1. J.V. Bryce: sejarah adalah catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan, dan
diperbuat oleh manusia.
2. W.H. Walsh: sejarah menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting
bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan dan pengalaman manusia masa
lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.
3. Patrick Gardiner: sejarah adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
telah diperbuat oleh manusia.
4. Moh. Yamin: sejarah adalah ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil
penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan
kenyataan.
5. Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, mempertegas
pengertian sejarah sebagai berikut:
a. Jumlah perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar
kita.
b. Cerita tentang perubahan, kejadian, atau peristiwa dalam kenyataan di
sekitar kita.
c. Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan atau
peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejarah
mempelajari peristiwa atau kejadian pada masa lampau dalam kehidupan umat
manusia. Dalam kehidupan manusia, peristiwa sejarah merupakan peristiwa abadi,
yaitu tidak berubah-ubah dan tetap dikenang sepanjang masa, peristiwa unik yang
hanya terjadi satu kali dan tidak pernah terulang persis sama untuk kedua kalinya,
dan peristiwa sejaarah mempunyai arti dalam menentukan kehidupan orang banyak.
Informasi dalam sejarah, dapat diperoleh antara lain berdasarkan:
• Kurun waktu (kronologis);
• Wilayah (geografis);
• Negara (nasional);
• Kelompok suku bangsa (etnis);
• Topik atau pokok bahasan (topikal).
Sejarah adalah topik ilmu pengetahuan yang sangat menarik. Bahkan sejarah
mengajarkan hal-hal yang sangat penting, terutama mengenai keberhasilan dan
kegagalan perjuangan suatu bangsa, sistem perekonomian yang pernah ada,
bentuk-bentuk pemerintahan, dan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan manusia
sepanjang sejarah. Dari sejarah, kita dapat mempelajari kemajuan dan kejatuhan
sebuah negara dan peradaban, juga mempelajari peristiwa politik dan pengaruhnya
pada kehidupan suatu bangsa. Sejarah juga dapat dipahami dari filsafat sosial,
kebudayaan dan teknologi.
Oleh karena itu, dapat dirumuskan defenisi sejarah, yaitu gambaran masa lalu
tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah
dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan,
yang memberi pengertian dan kepahaman tentang apa yang telah berlalu.
C. Sejarah sebagai Ilmu
Suatu hal dapat dikatakan sebagai ilmu apabila hal tersebut memenuhi syarat
umum yaitu objek, tujuan, metodelogi dan sistematika. Sesuatu dikatakan memiliki
objek, jika ilmu itu memiliki sasaran atau tujuan penelitian. Ilmu yang memiliki tujuan
adalah ilmu yang mengantarkan kepada tujuan tertentu seperti biologi, biologi
adalah ilmu yang memepelajari tentang mahluk hidup. Itu berarti biologi bertujuan
mengajarkan tentang mahluk hidup dan segala aspek-aspeknya. Ilmu yang memiliki
metodelogi adalah ilmu yang memiliki cara dalam mengembangkan materi-materi
yang dibahas seperti pengalaman dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang
sistematika adalah ilmu yang secara berurutan atau kronologinya jelas sedang
membahas atau mempelajari suatu hal.
Sedangkan sejarah dikatakan sebagai ilmu, jika memiliki syarat yaitu empiris,
memiliki objek, memiliki teori, generalisasi dan memiliki metode. Berikut ini
penjabaran dari aspek tersebut :
1. Empiris
Sejarah itu empiris mempunyai arti pengalaman, ini sesuai dengan ungkapan
Kuntowijoyo (2013:46), “empiris berasal dari kata “Empeiria” Yunani yaitu
pengalaman”. Mengapa sejarah itu empiris? Sejarah berasal dari pengalaman
yang masih tercatat oleh memori kita. Pengalaman yang tadi telah diamati
dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan itulah yang diteliti keabsahannya
oleh sejarawan untuk menentukan fakta. Fakta itu ditafsirkan secara berbeda-
beda. Jika suatu ilmu alam memiliki objek yang pasti. Sedangkan sejarah
menjadikan bukti sebagai objeknya. Letak perbedaan ilmu alam dan sejarah
dilihat dari bagaimana mereka mangamati objeknya bukan dari cara kerjanya.
Jika dalam ilmu alam mereka bisa mengulang-ulang percobaan tentang suatu
hal, akan tetapi dalam sejarah, hal itu tidak bisa dilakukan, karena sejarah itu
hanya terjadi satu kali karena bersifat pengalaman, seperti pada saat proklamasi.
Kejadian ini tidak bisa terjadi kembali dan diulang-ulang untuk diteliti. Hal ini yang
menjadi sebab muncul pebedaan pendapat dari para sejarawan dalam
mendiskripsikan suatu peristiwa tersebut. Karena kebenaran dalam sejarah
hanya ada pada peristiwa itu sendiri.
2. Mempunyai Objek
Berbeda dari sosiologi, antropologi, dan ilmu sosial lainnya. Sejarah
mempelajari manusia yang dikejar oleh waktu. Jika lebih dikhususkan, objek
penelitian sejarah memang manusia. Akan tetapi waktu sangat berperan penting
dalam proses pembelajaran sejarah. Kebanyakan sejarawan bingung bagaimana
menentukan waktu pas terjadinya sejarah tersebut. Kebanyakan ilmuwan hanya
mengira-ngira waktu terdekat sejarah itu terjadi. Karena informasi yang mereka
dapatkan sangat minim dan peristiwa tersebut tidak bisa terulang kembali.
3. Mempunyai Teori
Seiring dengan munculnya banyak filsafat sejarah di muka bumi. Tentu saja,
hal ini juga memicu munculnya teori-teori tentang sejarah.teori yang terdapat
dalam sejarah ini berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain,
contohnya saja di Amerika yang beroriantasi pragmatis sedangkan di Belanda
mempunyai tradisi kontinental yang lebih kontemplatif. Ini semua sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo (2013:48) “di universitas-universitas Amerika
yang berorientasi pragmatis, tidak diajarkan teori sejarah yang bersifat filosof.
Sebaliknya, di negara Belanda mempunyai tradisi kontinental yang lebih
kontemplatif, teori sejarah yang bersifat filosof yang diajarkan”.
4. Mempunyai Generalisasi
Generalisasi sejarah memiliki arti seperti yang diungkapkan Kuntowijoyo
dalam bukunya pengantar ilmu sejarah. Kuntowijoyo (2013:48).
Generalisasi, dari bahasa latin “generalis” yang berarti umum. Sama dengan ilmu
lain sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Hanya saja perlu
diingat kalau ilmu-ilmu lain bersifat nomotetis, sejarah itu pada dasarnya bersifat
ideografis. Kalau sosiologi membicarakan masyarakat di pojok jalan atau
antropologi membicarakan pluralisme amerika, mereka dituntut untuk menarik
kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku dimana-mana dan dapat dianggap
sebagai kebenaran umum.
Generalisasi dalam hal sejarah disini mempunyai arti koreksi dari kesimpulan
ilmu pengetahuan lain yang kurang akurat. Banyak kejadian atau ilmu yang
belum mempunyai jawaban pasti, akan tetapi setelah menyangkut pautkan
dengan sejarah akhirnya ditemukan jawaban yang pasti.
5. Mempunyai Metode
Hal ini berkaitan dengan tujuan ilmu sejarah, yaitu menjelaskan tentang
kontinuitas dan perubahan dalam kehidupan umat manusia. Unmtuk
mengetahuinya, maka perlu ada cara atau metode dalam menjelaskannya. Cara
sistematis rekonstrusi masa silam meliputi heuristic, kritik, interpretasi, dan
historiogarafi.

D. Manfaat Mempelajari Sejarah


Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa
sejarah terus ditulis orang, disemua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya
cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Perspektif tentang nilai guna
(mempelajari) sejarah memang tidak mudah disamakan antara yang belajar sejarah
dan mereka yang tidak memahami sejarah. Tetapi bagi mereka yang meragukan
hasil peradaban manusia ini, maka akan dipaparkan manfaat dan kegunaan sejarah.
Secara umum, guna sejarah dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Edukatif (Pendidikan)
Banyak manusia yang belajar dari sejarah atau pengalaman, baik yang
dilakukan sendiri, oleh orang lain atau oleh generasi sebelumnya. Kita sering
mendengar ungkapan “belajarlah dari sejarah” atau “sejarah mengajarkan kepada
kita”. Menurut C.P. Hill fungsi sejarah bagi peserta didik adalah untuk:
a. Memuaskan rasa ingin tahu tentang orang lain, para pahlawan, dan
membangkitkan kekaguman tentang kehidupan manusia pada masa lampau.
b. Mewariskan kebudayaan umat manusia kepada para siswa.
c. Membantu mengembangkan rasa cinta tanah air dikalangan siswa.
Melalui sejarah manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dengan cara
meniru pengalaman-pengalaman yang baik serta membuang pengalaman yang
tidak baik dari generasi sebelumnya.
2. Inspiratif (Wawasan)
Sejarah berguna untuk memberikan inspirasi atau pemikiran. Berbagai
peristiwa pada masa lampau akan memberikan inspirasi pada pembentukan moral
dan karakter (nation building). Misalnya semangat 1945 yang memiliki nilai-nilai
persatuan dan kesatuan, rela berkorban, berjuang tanpa pamrih dan cinta tanah air.
Melalui sejarah, maka generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa
dapat memiliki inspirasi dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa
melalui bidang pendidikan dengan cara menyerap dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dengan demikian sejarah dapat menimbulkan munculnya ide-ide
serta kreatifitas bagi kalangan para pemuda dalam rangka turut serta melaksanakan
pembangunan bangsa.
3. Interaktif (Dialog)
Sejarah menurut Edward Hellet Carr adalah sebuah dialog yang tidak
berkesudahan. Dialog antara sejarawan dengan masa lalu hanya bisa dilakukan
dengan menggunakan sumber sejarah. Dengan demikian, proses berdialog dengan
masa lalu membutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam membuka lembaran-
lembaran dan ingatan kolektif tentang informasi terkait dengan kejadian masa lalu.
Kualitas dialog sangat ditentukan oleh ketersedian sumber sejarah. Artinya,
kunci dari dialog sejarah, yang membedakan dengan ilmu sastra (yang juga
menggunakan imajinasi dalam menjelaskan kesan penulisnya) ialah pada
penggunaan sumber sejarah. Proses dialog ini tidak akan pernah berakhir, selama
sumber sejarah masih dapat digunakan dan sejarawan masih menjalankan tugasnya
dengan sungguh-sungguh untuk mengkomunikasikannya dengan manusia yang
hidup sekarang.
4. Rekreatif (Kesenangan)
Biasanya situs-situs sejarah dan prasejarah disamping sebagai kekayaan
ilmiah, juga dapat dijadikan tempat pariwisata yang akan membawa dampak bagi
perekonomian daerah maupun nasional. Karena dengan melihat jejak-jejak sejarah
pada situs-situs tersebut orang akan diajak kembali berekreasi menikmati keindahan
masa lampau.
Dalam fungsi rekreatif sejarah berperan sebagai pemandu atau memberikan
petunjuk-petunjuk penting terhadap peninggalan-peninggalan sejarah. Dari sejarah,
orang akan memperoleh informasi secara lengkap terhadap peninggalan-
peninggalan sebagai bukti bahwa pada masa lampau manusia telah
mengembangkan kebudayaan dari berbagai aspek kehidupan.
BAB II

METODE SEJARAH

A. Pengertian dan Proses Metode Sejarah


Setiap ilmu mempunyai metode. Tanpa metode, kumpulan pengetahuan
tentang objek tertentu tidak dapat dikatakan sebagai ilmu, sekalipun masih ada
syarat lain. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yakni Methodos yang berarti
cara atau jalan. Dalam kaidah ilmiah, metode berkaitan dengan cara kerja atau
prosedur untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.
Metode sejarah mengandung makna sekumpulan prinsip dan aturan. Metode
sejarah juga bermakna suatu proses. Dua pengertian tersebut kedudukannya sama
kuat, jika yang satu merupakan prinsip-prinsip, yang lain proses.
Defenisi pertama mengambil pendapat Gilbert J. Garraghan S.J., “Historical
method is a systematic body of principles and rules designed to aid effectively in
gathering the source-materials of history, appraising the critically, and presenting a
syinthesis (generally in written form) of the result achieved” (metode sejarah adalah
sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis, yang dimaksudkan untuk
memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan bagi
sejarah, menilai secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis dari hasil-hasilnya,
biasanya dalam bentuk tertulis).
Defenisi lain adalah, “The process of critically examing an analyzing the
record and survivals of the fast is here called historical method” (proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau).
Di sini prosesnya yang ditekankan, tetapi isinya sama. Jadi, metode sejarah
ialah sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah.
Ada empat tahap proses metode sejarah. Pertama, heuristik (yunani:
heuriskein), artinya to find yang berarti tidak hanya menemukan, tetapi mencari
dahulu baru menemukan. Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan
sumber-sumber. Tempat untuk memperoleh sumber-sumber sejarah yaitu:
1. Museum: tempat penyimpanan benda-benda kuno untuk yang bersifat
arkeologis, epigrafis, dan numismatis.
2. Perpustakaan: tempat penyimpanan dan pembacaan buku-buku; guna
mendapatkan keterangan mengenai sumber sejarah.
3. Arsip Negara: tempat penyimpanan dokumen-dokumen resmi
4. Arsip: tempat penyimpanan dokumen pribadi antiquar, dokumentasi
perusahaan, dokumentasi pemerintah, dan sebagainya.
Kedua, setelah menemukan sumber-sumber, sumber-sumber itu di uji dengan
kritik. Ada dua macam kritik, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
menyangkut dokumen-dokumennya. Jika ada dokumen, misalnya kita teliti apakah
dokumen itu dikehendaki atau tidak, apakah palsu atau tidak, apakah utuh ataukah
sudah diubah sebagian-sebagian. Jika sudah puas mengenai suatu dokumen, kita
melihat isinya. Cara menilai isinya dilakukan dengan kritik intern.
Tujuan kritik adalah menyeleksi “data” menjadi “fakta”. Di kalangan
masyarakat luas, data dan fakta dicampuradukan. Padahal, keduanya tidak sama.
Data adalah semua bahan; fakta adalah bahan yang sudah lulus diuji dengan kritik.
Jadi, fakta itu sudah terkoreksi.
Ketiga, setelah memperoleh sejumlah fakta yang cukup, kita merangkaikan
fakta-fakta itu menjadi suatu keseluruhan yang masuk akal. Ini dilakukan dalam
tahap ketiga metode sejarah, yaitu tahap “interprestasi” atau tahap penafsiran.
Setelah selesai penafsirannya, kita sampai pada tahap terakhir, yaitu
“historiografi”, yaitu “penulisan sejarah”. Tujuan kegiatan ini adalah merangkai fakta-
fakta menjadi kisah sejarah. Historigrafi menurut Gottschalk adalah kontruksi yang
imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
proses.

B. Objektivitas dan Subjektivitas Sejarah


Objektivitas dan subjektivitas sering dipersoalkan oleh masyarakat, apalagi
dalam hal penulisan sejarah. Hal ini karena sejarah tidak mungkin objektif, sekalipun
sejarawan telah berusaha bersikap subjektif dalam menulis sejarah. Selanjutnya,
sekalipun sama-sama berdasarkan objektivitas, hasil dari sejarawan suatu masa
berbeda dan karya sejarawan masa lain mengenai objek yang sama. Demikian pula,
hasil dari sejarawan suatu bangsa, berbeda pula dari sejarawan dari bangsa lain
mengenai objek yang sama. Jadi, kenyataannya sejarah dibuat oleh manusia
berdasarkan fakta-fakta atau warisan masa lalu.
Manusia adalah “subjek”, sedangkan fakta atau warisan masa lalu adalah
“objek”. Bagaimanapun objektivitas telah diusahakan, objektivitas itu tenggelam
dalam kesubjektifan. Hal ini karena untuk menjadi sejarah, objek harus ditafsirkan
oleh subjek. Tanpa penafsiran, objek akan menjadi pseudo sejarah ( hanya
melukiskan yang berbentuk kronik atau annal). Jadi, sejarawan seakan seorang
pelukis tentang fakta atau warisan yang lalu. Lukisannya baru menjadi sejarah,
apabila dalam urutan peristiwanya dicapai suatu gambaran, bentuk, yaitu dengan
mengemukakan pengertian dari peristiwa-peristiwa itu.
Terdapat hal yang kontradiksi, sebagai ilmu, sejarah harus objektif. Ilmu tanpa
objektivitas berhenti sebagai ilmu. Artinya, nilai karya sejarawan bergantung pada
objektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jatuh nilainya, apabila sejarawannya tidak
objektif. Sejarah ini hilang sifat ilmiahnya, bertukar dengan sifat lain, seperti sifat
legendaries, mythisch, politis atau syauvinistis (adaptasi ejaan lidah Indonesia dari
chauvinismus, yang bermakna kesukaan yang berlebihan pada segala sesuatu dari
lingkungan sendiri atau cinta tanah air yang berlebihan sehingga melahirkan akses).
Menurut Nugroho Notosusanto, subjektivitas timbul karena hal berikut:
1. Sikap berat sebelah (personal bias), misalnya sejarawan yang menyukai
pahlawan-pahlawan, hampir dapat dipastikan menganggap bahwa sejarah dunia
pada dasarnya adalah sejarah orang-orang besar (universal history, the history of
what man has accom-plished in this world, it at bottom the history of the great
men who have worked here).
2. Prasangka kelompok (group prejudice), yaitu sikap berat sebelah karena
kelompok-kelompok. Misalnya, tentang sejarah Diponegoro. Bangsa Belanda
mengatakan bahwa Diponegoro adalah seorang pemberontak. Akan tetapi, bagi
bangsa Indonesia, Diponegoro dinilai dan dikatakan sebaliknya.
3. Teori-teori interprestasi sejarah yang bertentangan. Inilah yang berpengaruh di
dalam proses sejarah. Ada yang menyatakan faktor-faktor ekonomi, ada pula
yang mengatakan bahwa “bahwa politik adalah panglima”. Artinya, yang
menentukan segala-segalanya adalah politik. Adapula yang menyatakan faktor-
faktor budayalah yang menentukan.
4. Konflik filsafat. Misalnya, pendapat orang yang menganggap bahwa Tuhan itu
Mahakuasa, tentu berbeda dengan orang yang menganggap Tuhan itu tidak ada.
Kalau orang menganggap Tuhan itu ada, tentu sejarah yang ditafsirkan ada
kaitannya dengan Tuhan. Kaitan itu dapat langsung ataupun tidak langsung.
Akan tetapi, bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tentu tidak ada Tuhan
didalam sejarah. Ini juga akan menyebabkan prasangka atau sikap berat
sebelah.
Pernyataan segera timbul, mengapa terdapat dua sejarah atau lebih yang
berbeda tentang suatu bangsa, masyarakat atau kejadian?. Kalau hal ini ditinjau
secara filsafat, perbedaan itu harus ada. Sejarah adalah buatan sejarah. Pikiran
manusialah yang membuat sejarah. Karena pikiran itu tidak sama (lihat empat faktor
diatas), tidak sama pula hasilnya. Selanjutnya, jika terhadap peristiwa yang baru
sama-sama dialami, tetapi memunculkan pendapat yang berbeda, apalagi terhadap
peristiwa yang tidak mereka alami sendiri dan kejadiannya sudah jauh berlalu.
Oleh karena itu, “kenyataan” dan “kebenaran” sejarah bukan harus sampai
pada kenyataan dan kebenaran mutlak. Hal itu di luar kemampuan disebabkan
beberapa faktor, seperti hilangnya petunjuk, rusaknya bekas peninggalan, atau
seperti ada tujuan atau kepentingan tertentu (lihat empat faktor di atas).
Pada pihak lain, sejarawan dapat menemukan dokumen palsu, baik dengan
maksud propaganda, membela ide tertentu, demi popularitas, maupun perdagangan
dan keuntungan. Oleh karena itu, bekas peninggalan manusia harus dapat dipelajari
dengan jiwa kritis dan hati-hati.
Nilai sejarah yang tertulis, menurut Dr. Hasan Usman, harus didefenisikan
berdasar atas asas-asas yang esensial berikut:
1. Jenis data yang informasinya dijadikan sumber oleh penelitian harus terus
digali. Apakah berupa ukiran atau peninggalan kuno yang baru, yang
validitasnya atau informasinya dapat dipercaya, atau merupakan sumber
dokumen, surat-surat yang dikeluarkan dari arsip historis yang diyakini tidak
palsu dan dapat dijadikan informasi yang valid, belum pernah diumumkan
atau belum pernah digunakan secara sempurna, atau data yang dijadikan
pegangan peneliti hanya data sekunder yang tidak memilikinilai ilmiah.
2. Nilai sejarah yang ditulis ditentukan berdasarkan kemampuan peneliti dalam
mempelajari dan menelitinya, dan kemampuannya mengkritik manuskrip,
sumber-sumber dan referensi yang ada, dan berdasarkan system
penyimpulan, para peneliti saling berbeda atau satu sama lain sejalan dengan
perbedaannya dalam memahami, menginterprestasikan, dan menyingkapkan.
3. Nilai sejarah yang ditulis ditentukan oleh upaya peneliti menjauhkan dirinya
dari memihak dan hawa nafsu, dan penyesuaiannya dengan fakta sekedar
kemampuannya. Terkadang, seorang peneliti terpengaruh oleh jiwa masa
tertentu, seperti masa peperangan Salib atau masa Revolusi Industri atau
pertumbuhan demokrasi atau lahirnya sosialisme, sehingga ia menulis
dengan berusaha menundukkan tema tertentu pada pendapat dan
pemikirannya.
Pokok-pokok pikiran tersebut menunjukkan bahwa nilai sejarah yang tertulis
ditentukan berdasarkan tingkat pengetahuan seorang peneliti dan system penelitian
yang dipergunakan juga berdasarkan bakat seseorang. Di sinilah sejarawan harus
belajar membaca dan menginterprestasikan dokumen, monument sebagai
pengetahuan bekas-bekas aktivitas masa lampau, tetapi yang disampaikan kepada
kita dengan bahasa sendiri.
Sehubungan dengan itu, jelas bahwa ilmu sejarah tidak hanya mencatat pada
fakta, tetapi mencari realisasinya. Fakta-fakta yang merupakan kerangka belaka,
baru hidup setalah ada saraf, darah, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam
mencari realisasi antara fakta-fakta dalam sejarah, berarti kita membuat interprestasi
(tafsiran) sejarah. Jika demikian, sejarah sebagai ilmu sejarah adalah ingatan
kolektif tentang masa lampau.
BAB III

PENULISAN SEJARAH

A. Penulisan Barat

1. Penulisan Zaman Yunani - Romawi

Dalam masalah sejarah penulisan sejarah (historiografi), para pakar sejarah


umumnya melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula
munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian ilmiah. Di
Yunani tradisi penulisan itu sudah dimulai yang disusun dalam bentuk puisi,
misalnya karya Homer, yaitu Illiad-Odessy yang menceritakan kehancuran kerajaan
Troya tahun 1200 SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu kenyataan masa
lampau, namun budaya zaman yang hidup waktu itu telah membuat karya lebih
menyerupai mitologi daripada karya sejarah. Banyak aspek supernatural
dipergunakan sebagai dasar penjelasannya mengenai sebab-musabab terjadinya
suatu peristiwa. Seperti telah disinggung di atas, penulisan sejarah yang lebih
rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan terbitnya karya Herodotus
yang disusul oleh karya Thucydides.

Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model oleh para sejarawan Romawi,
antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang dibesarkan di Roma). Ia banyak
menulis tentang masa akhir Yunani sampai awal berdirinya Romawi. Penulis
Romawi sendiri antara lain: Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca.
86-34 SM), Titus Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).

Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar,


menulis Commentaries on Gallic War, yang merupakan memoir tentang suku Gallia,
dan civil War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab terjadinya
perang Gallia, sekaaligus tentang adat-istiadat suku tersebut.

Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya yang


disebut terakhir sekaligus menjadi salah satu ciri bagi penulisan sejarah era
Romawi. Ia menulis history of Rome, Conspiracy of Catiline, Jugurtbine War.
Analisanya dinilai cukup netral, namun sayang dia ceroboh dalam masalah kronologi
dan geografi sehingga mengurangi nilai karyanya itu.
Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya
menggunakan model Yunani. Dalam pembuktiannya ia lebih banyak mengemukakan
retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah. Karyanya tentang berdirinya
kota Roma merupakan campuran antara data faktual dan fantasi.

Tacitus menulis Annals, Histories, dan Germania. Karyanya itu merupakan


paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan Polybius yang
cenderung pada sejarah. Ia tercatat sebagai orang pertama yang melukiskan sebab
moral runtuhnya kekaisaran Romawi.

2. Penulisan Zaman Abad Pertengahan

Tradisi Yunani yang dilanjutkan oleh Romawi itu kemudian terhenti oleh
kemenangan Kristen di Eropa. Kebudayaan Yunani-Romawi yang bertumpu kepada
kekuatan akal dianggap sebagai hasil setan karenanya harus ditolak dan digantikan
dengan kebudayaan Kristen yang bertumpu pada agama dan supernatural. Menurut
pandangan yang disebut terakhir, sejarah tidak bisa dipisahkan dari teologi atau
agama. Sebagai contoh dalam periodisasi atau pembabakan sejarah disesuaikan
dengan ajaran yang ada pada kitab Injil (Perjanjian Baru). Sebagai contoh adalah
skema periodesasi yang disusun Augustine:

O 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0
Adam---Nuh------Ibrahim-------- Daud -------Babylonia ----Jesus kedatangan Jesus
ke-2.

The City of God adalah karya Augustine (ca. 354-430 M) yang merupakan
filsafat sejarah Kristen yang cukup berpengaruh, khususnya pada abad pertengahan
yang sering dikenal dengan sebutan “Abad Kegelapan” (The Dark Ages) yang
melahirkan struktur masyarakat feudal di Eropa. Menurut pandangan Kristen orang
harus memilih antara Tuhan dan setan. Orang yang terlibat dalam sejarah suci akan
dimenangkan oleh Tuhan. Pada masa ini pusat penulisan sejarah terdapat di gereja
dan Negara dengan pendeta dan raja sebagai pelaku utama. Tinjauan kritis dan
netral yang didukung oleh data-data faktual tidak terlihat pada zaman Kristen di
Abad Pertengahan ini.

Karya-karya yang lahir pada abad-abad ini antara lain: Chronographia karya
Sextus Julius Africanus (ca. 180-250 M) yang mengungkapkan bahwa dunia
diciptakan Tuhan pada 5499 SM; Seven Books Against the Pagan karya Paulus
Orosius (ca. 380-420 M) murid Augustine, yang menguangkapkan pembelaannya
atas peradaban Kristen yang dituduh sebagai penyebab runtuhnya Romawi (Barat)
pada abad ke-5 M. Dalam karyanya itu itu Orosius mengatakan bahwa keruntuhan
paganisme sudah menjadi kehendak Tuhan, karena orang-orang kafir itu akan
runtuh.

3. Penulisan Zaman Renaissance, Reformasi dan Kontra Reformasi.

Sejalan dengan semakin pulihnya keamanan dan perdagangan di Eropa,


sekaligus sebagai pertanda berakhirnya Abad Pertengahan pada abad ke-15, untuk
memasuki era Renaissance. Pada era ini semangat paga dan kebudayaan klasik
Yunani-Romawi menjadi model. Corak penulisan sejarah pun kembali mengalami
perubahan. Pembuktian kebenaran sejarah tidak lagi bersandar pada wahyu
melainkan pada akal, teologi yang dogmatis diganti dengan ilmu. Hal ini antara lain
tercermin dari karya Lorenzo Valla (1407-1457) yang menulis The History of
Ferdinand I of Aragon, The History of Ferdinand I of Aragon, yang berupaya
membuktikan bahwa berita kaisar Konstantinus (memerintah 305-337) telah
memberikan hak politik kepada paus adalah tidak palsu. Meskipun kebenaran yang
dikemukakannya juga dapat disangkal oleh yang lain, namun keberaniannya dalam
melakukan kritik merupakan satu langkah yang maju waktu itu.

Dekonstruksi terhadap historiografi Abad Pertengahan berlanjut pada masa


“Reformasi”. Hal ini antara lain tercermin dari karya lacich Illyricus (1520-1575),
Magdeburg Centuries yang merupakan sejarah polemik. Dalam bukunya itu ia
banyak menyerang institusi kepausan dari segi hukum dan konstitusi. Buku ini
benyak dikecam oleh gerakan “kontra Reformasi” yang berupaya menegakkan
kembali kewibawaan gereja Katholik yang dinilai telah dirusak oleh gerakan
Reformasi. Cardinal Caesar Baronius (1538-1607) misalnya menulis buku
Ecclesistical Annals yang merupakan jawaban langsung terhadap tuduhan dari buku
Magdeburg Centuries. Tulisannya itu jelas merupakan karya yang memihak dan
apologetis, yang banyak mengalihkan isu yang penting ke isu sekunder yang tidak
relevan. Meskipun demikian nilai buku itu cukup tinggi, terutama dalam penggunaan
sumber datanya.
4. Dari Rasionalisme ke Liberalisme

Seperti telah disinggung di atas, dari segi pengungkapan kebenaran sejarah,


model Yunani dengan retorikanya masih cukup Nampak pada abad ke-17 dan ke-
18. Abad ini yang sering disebut sebagai Abad Rasionalisme-Pencerahan telah
melahirkan banyak karya, misalnya: Essay on the manners and spirit of the Nation
karya Voltaire (1697-1778) yang terbir pada tahun 1756. Buku ini merupakan sejarah
umum yang membeberkan sumbangan bangsa-bangsa Timur dan Islam terhadap
peradaban dunia dan Eropa; History of England from the Invasion of Julius Caesar
to the Revolution of 1698 karya David Hume (1711-1776); dan The History of the
Decline and Fall of the Roman Empire karya Edward Gibbon yang terbit pada tahun
1776. Seperti telah disinggung di atas, Gibbon merupakan sejarawan pertama yang
menggunakan eviden (dokumen) untuk pembuktian kebenaran sejarah. Selain
gayanya yng berbeda, akurasinya dalam penulisan yang didukung dengan bukti-
bukti membuat karyanya menjadi penting dan ‘abadi’ dalam historiografi dunia.
Meskipun ia tergolong sejarawaan rasionalis, namun dalam menulis tentang
kemunculan agama Kristen di dunia Barat cukup obyektif, demikian pula mengenai
sumbangan Islam pada peradaban dunia.

Historiografi pada abad ke-19 ditandai dengan beberapa ciri yang cukup
menonjol, antara lain: (1) penghargaan kembali pada Abad Pertengahan, (2)
munculnya liberalism, (3) munculnya filsafat sejarah, dan (4) nasionalisme. Sejarah
yang bersifat nasionalistis misalnya Address to the German Nation karya Johann
Gottlieb Fitchte (1762-1814). Dalam buku ini ia mengemukakan perbedaan antara
orang-orang Jerman yang disebutnya Urvolk alias bangsa yang masih murni dan
orang-orang Eropa selatan yang disebutnya Mischvolk alias bangsa campuran yang
sedang mengalami keruntuhan. Tulisannya itu telah memberi dorongan timbulnya
nasionalisme Jerman.

Abad 19 selain melahirkan Leopold von Ranke yang dianggap sebagai bapak
sejarah science, juga melahirkan banyak pemikir-pemikir sejarah (filsafat sejarah)
yang berpengaruh pada perkembangan teori dan metode sejarah pada tahun-tahun
berikutnya. Misalnya: Georg Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) yang menulis
buku Philosophyof History. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sejarah itu
maju dengan cara dialeksis. Diawali dengan tesis yang mendapat perlawanan dari
satu kekuatan yang disebut anti-tesis. Dari pertarungannya itu melahirkan sintesis
sebagai tujuan akhir. Pada gilirannya nanti sintesis ini akan berubah menjadi tesis
baru, yang kemudian berproses sampai menghasilkan sintesa baru, dst. Heinrich
Karl Marx (1818-1883) memakai dialektika Hegel, dengan proletariat sebagai sarana
pembebasan manusia.

Pengaruh filsafat sejarah Hegel ini antara lain nampak pada karya Francis
Fukuyama, The End of History and The Last Man yang terbit pertama kali pada
tahun 1992. Dalam karyanya itu Fukuyama menginterpretasikan perkembangan
masyarakat dunia (masa kontemporer) didorong oleh dua faktor, yaitu (1)
perkembangan ekonomi yang didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
(2) keinginan untuk diakui, dihargai, dan persamaan hak. Kedua faktor inilah yang
sering digugat oleh system komunis yang dapat dinilai sebagai kekuatan anti-tesis
yang kemudian menghasilkan tujuan akhir sejarah manusia, yaitu masyarakat
kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberalnya.

Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranke mulai
diragukan, sebab menulis sejarah “sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan
dengan psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang
saja, melainkan fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti
dikemukakan oleh Carl L.Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah
ilusi. Sementara itu James Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa
sejarah kritis kita hanya dapat menangkap “permukaan”, tidak dapat menangkap
realitas di bawah dan tidak dapat memahami perilaku manusia. Atas dasar
pemikiran itu maka muncul gagasan baru tentang perlunya “sejarah baru” atau “new
perpective on historical writing”.

Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranke yang


menekankan kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu
sosial, sekaligus mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial,
sehingga seringkali sejarah baru itu disebut sebagai “sejarah sosial”.
B. Penulisan Tiongkok

Sejarah Tiongkok ditulis dalam kamus-kamus besar yang disusun sistematis


dan dimulai sejak awal zaman dinasti Tiongkok. Sejarah Tiongkok yang agak terang
diketahui ialah semenjak 1500 SM. Dinasti tertua adalah dinasti Tsjou (1050 – 256
SM).

Pada masa ini, norma-norma susila dijamin dan dilindungi oleh kerajaan.
Tidak heran jika kebudayaan yang menitikberatkan susila dalam kehidupannya,
mengajukan pertanyaan tentang kehidupan masa lalu. Disusunlah sejarah untuk
menjawab pertanyaan ini. Objek sejarah atau factor yang tetap dipandang dalam
sejarah adalah kebajikan dan susila.

Bentuk sejarah adalah annal resmi dari berbagai dinasti, riwayat hidup dari
orang-orang ternama, lukisan perjalanan, perantauan, pengembaraan, dan
pembicaraan yang bersifat khusus. Karena pokok-pokoknya beragam sekali tanpa
ukuran yang penting, penulisan sejarah tenggelam dalam jumlah kekhususan yang
tidak habis-habisnya.

C. Penulisan Indonesia

Penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan


Hindu-Buddha berkembang di kepulauan Indonesia, misalnya “Pararaton”, “Negara
Kertagama”, dan “Carita Parahiyangan”. Demikian pula era kesultanan atau
kesunanan yang bercorak Islam, terbit misalnya; “Hikayat Tanah Hitu”, “Tuhfat al
Nafis”, “Babad Tanah Jawi”, dan “Babad Kraton”. Akan tetapi karya-karya para
“sejarawan” atau tepat para pujangga dinilai kurang bernilai sejarah karena sarat
dengan mitos-mitos seperti halnya historiografi Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya
primordial atau istana sentries, legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang
seringkali sulit dilacak serta analisa sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena
itu pada awalnya tidak sedikit sejarawan akademik yang menilai karya-karya seperti
itu tidak patut dijadikan sebagai referensi penelitian sejarah ilmiah.
Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805) barangkali
dapat disebut sebagai ‘sejarawan’ yang mulai mengkaji kembali karya-karya
historiografi tradisional Indonesia. Ia menulis Babad Giyanti yang merupakan
penafsiran kembali karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan kebutuhan
zamannya. Kemudian pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah juga menuliskan
sejarahnya, seperti Pangeran Dipenogoro menulis Babad Dipenogoro, yang
ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia berada di pengasingan. Mungkin saja masih
banyak pujangga dan pelaku sejarah Indonesia yang menulis, namun sejalan
dengan perkembangan dunia kolonial, penelitian, pengumpulan data dan komunikasi
pemikiran sejarah pada abad ke-19 hampir sepenuhnya berada di tangan orang-
orang Belanda/Barat. Selain itu mereka mempunyai tradisi dalam historiografi
kolonial yang cukup lama Oleh karena itu pada masa kolonial, sejarah dianggap
benar dan penting-bahkan oleh orang-orang Indonesia berpendidikan adalah “babad
londo” dengan tokoh-tokohnya yang berkuasa seperti gubernur jenderal dan para
residennya, bukan sultan, susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya.
Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan
munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat dikatakan sebagai
orang Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip metode kritis sejarah.
Karyanya, Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten (1913) sebenarnya
merupakan studi filologis yang menggunakan historiografi tradisional sebagai
obyeknya. Kemudian pada tahun 1936 giliran saudaranya, Pangeran Aria Achmad
Djajadiningrat yang menerbitkan karya biografinya, Kenang-kenangan Pangran Aria
Achmad Djajadiningrat (Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat)
dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda.
Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan nasionalisme
Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an, membutuhan pula sejarah
yang dapat menunjukkan identitas dan simbol keindonesiaan. Semangat inilah yang
mendorong penulisan sejarah dengan pendekatan “Indonesia sentries”
menggantikan sudut pandang “Eropa sentries” atau “Belanda sentries” yang
berkembang waktu itu. Namun seperti dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan
penulisan sejarah Indonesia akan sulit berkembang mengingat orang-orang
Indonesia masih sedikit yang terlibat secara aktif dalam politik. Kenyataannya
memang demikian, sampai meletusnya Perang Dunia II karya-karya sejarah kolonial
masih mendominasi, di antaranya karya FW Stapel dkk, Geschiedenis van
Nederlandsch-Indiё, yang mempunyai pengaruh besar terhadap penulisan sejarah
Indonesia kemudian, terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat sekolah
menengah.
Setelah proklamasi kemerdekaan literatur sejarah Indonesia mengalami
“booming”. Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam periode post
colonial telah mendorong diterbitkannya buku-buku sejarah yang “Indonesia Sentris”.
Oleh karena itu pada periode post revolusi ini banyak diterbitkan biografi tokoh-tokoh
maupun pahlawan nasional seperti: Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan
Diponegoro karena obyek-obyek penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan
identitas dan symbol keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap
penjajah, seperti Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan
nasional dan sebagainya menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh
tadi. Tidak sedikit politisi aktif yang ikut menulis sejarah seperti Mr. Muhammad
Yamin menghasilkan beberapa karya sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang Merah
Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti TB Simatupang menulis Laporan dari
Banaran (1960).
Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan
penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada
periode ini sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat dikatakan
sebagian besar karya sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah kolonial yang diputar
balik peranan pelakunya, dari “pemberontak” menjadi “pahlawan”, dari “jahat”
menjadi “baik”, dari pemberontak Diponegoro menjadi pahlawan Diponeogoro dan
seterusnya. Karena itu pula banyak kritik terhadap karya seperti itu. Tidak sedikit
pula sejarawan asing yang pesimistis terhadap obyektivitas sejarah yang “Indonesia
sentries”.
Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan
dengan dibukanya kembali program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi
Indonesia. Pada tahun 1966 terbit buku The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its
Conditions, Course and Sequel (terjemahannya, Pemberontakan Petani Banten
1888 terbit pada tahun 1984) karya Sartono Kartodirdjo. Dengan karyanya ini, yang
disusul oleh karyanya yang lain seperti Protest Movement in Rural Java (1973),
Sartono menawarkan alternatife dan perspektif baru dalam penulisan sejarah
Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai sejarah sosial.
Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya, namun
sampai sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa pendudukan
Jepang dan revolusi kemerdekaan masih cukup dominan. Pada tahun 1977-1979
terbit secara bertahap karya monumental AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari 11 jilid. Buku ini banyak memberikan
informasi tentang jalannya perang pada periode 1945-1949, Namun buku yang
cukup tebal ini mempunyai satu kelemahan yang cukup mendasar, yaitu dalam
masalah sumber data. Dalam waktu yang hampir sama terbit kumpulan biografi
singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia Dalam Kemelut Sejarah (1978). Buku ini
semula adalah artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Prisma No.8 tahun 1977.
Setelah itu pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada jaman pendudukan
Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang merupakan studi
akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang dikalakukan oleh orang
Indonesia.
Meskipun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun
banyak orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih baik dalam
tulisan sejarah yang bertema “perang kemerdekaan Indonesia”, misalnya
Nationalism and Revolution in Indonesia (1970) karya George Mc T Kahin dan Java
in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 (1972) karya BROG
Anderson. Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai akhir dekade
1970-an masih lebih banyak ditulis oleh peneliti asing, di samping beberapa orang
Indonesia dalam bentuk disertasi, misalnya Onghokham (1975) yang menulis
tentang Madiun pada abad ke-19, yang sampai akhir hayatnya belum sempat
diterbitkan.
Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit buku Sejarah
Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini merupakan karya bersama
sejarawan Indonesia waktu itu dalam upaya mewujudkan sejarah nasional. Duduk
sebagai editor umumnya adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Di satu pihak kehadiran buku SNI
berhasil menjawab kebutuhan akan adanya buku sejarah Indonesia yang
“nasionalistis”; namun di pihak lainnya telah mengundang polemik dan keprihatinan
dari beberapa sejarawan lainnya. Buku SNI dinilai masih mengandung banyak
kelemahan, baik dari segi metode maupun data faktualnya. Keprihatinan inilah
antara lain yang menjadi salah satu faktor untuk menulis buku sejarah nasional
sejenis yang lebih baik. Upaya itu mulai dirintis sejak penghujung abad ke-21. Para
sejarawan yang dimotori oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.A.B. Lapian
yang bertindak sebagai editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah
Indonesia yang nantinya terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan).
Di luar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi Indonesia
tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah berkembang pula penulisan
sejarah dengan pendekatan baru. Namun perkembangan itu luput dari pengamatan
para pakar sejarah, karena sebagian besar lebih tertarik untuk mengamati dan
mendekonstruksi sejarah politik masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema
sekitar “Gerakan September Tiga Puluh” atau “G-30-S PKI”. Metode baru itu, yaitu
metode strukturistik, dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif
dengan metode struktural. Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z.
Leirissa dari Universitas Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu terlihat
dalam beberapa karyanya seperti Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) dan
Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (2006).
BAB IV
PEMBAGIAN SEJARAH
A. Gerak Sejarah
Masalah gerak sejarah semenjak zaman purba adalah apakah jalan sejarah
itu merupakan proses “saling hubung” ataukah “gerak lingkar”. Pada zaman Yunani,
gerak sejarah dianggap sebagai gerak lingkar. Gerak lingkar berarti negeri dan
kebudayaan timbul dan tenggelam dalam urutan ulang yang sama. Demikianlah
pendapat pada zaman Yunani dan Roma bahwa sejarah bergerak dalam urutan
kerajaan dunia, yang saling mengatasi dalam kekuasaan dan kebesaran. Urutan
kerajaan itu adalah Asiria, Persia, Macedonia, dan Roma. Kerajaan tumbuh,
berkembang, dan lenyap untuk digantikan oleh kerajaan baru. Pepatah
menyebutkan “sejarah berulang kembali” berlaku disini. Cara pembagian empat
kerajaan dunia itu dianut sampai abad pertengahan.
Anggapan gerak lingkar dianut sampai abad ke-17. Dalam abad ini, pendapat
berkisar aliran pertama, yaitu sejarah merupakan proses yang saling berhubungan.
Skema pembagiannya tidak lagi berdasarkan kerajaan-kerajaan dunia. Karena itu ,
skema baru berbentuk zaman purba, kira-kira sampai abad ke-5 (runtuhnya kerajaan
Romawi Barat); abad pertengahan, kira-kira sampai dengan abad ke-16 (gerakan
Luther); zaman baru, diperkirakan sampai dengan abad ke-19. Gerak sejarah
menurut pembagian ini merupakan proses saling hubung. Abad pertengahan
berhubungan dengan zaman purba karena masa itu adalah lanjutan dari zaman
tersebut, dan seterusnya. Di sini berlaku teori bahwa peristiwa sejarah hanya
kejadian sekali. Zaman purba tidak akan kembali lagi, demikian juga abad-abad
pertengahan. Zaman barupun berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya.
Sekalipun sejak abad ke-17 anggapan umum tentang gerak sejarah berkisar
pada proses saling hubung, tidak berarti bahwa anggapan gerak lingkar tidak ada
penganutnya. Wakil dari paham ini adalah sebagai berikut:
1. Giovanni Battista Vico (1668-1788),- filsuf dan sejarawan Itali dari Napolit, guru
besar dalam rhetorica, sejarawan istana: bahwa gerak lingkar itu berbentuk
spiral. Artinya, gerak itu selalu berulang kembali, tetapi tidak pada titik pangkal,
tetapi titik yang lebih tinggi, sehingga seluruhnya merupakan kemajuan.
Lingkaran itu bagi setiap bangsa. Masing-masing mengalami perkembangan
dalam tiga tingkat, yaitu ketuhanan atau keagamaan, kepahlawanan, dan
kemanusiaan. Tingkat terakhir adalah tingkat peradaban, tetapi sekaligus juga
tingkat keruntuhan. Sesudah itu, bangsa lain yang masih biadab mengambil-alih
tugas bangsa yang telah berakhir sejarahnya. Dengan demikian, teori Vico
tersebut dianggap sintesis dari gerak lingkar dan proses saling hubung, atau
pendapat sejarah berulang dan sejarah berlaku sekali. Vico menyatukan
ulangan dengan urutan atau ulangan dengan perkembangan.
2. Nicolay Jakowlesitaj Danilewkij (1822-1885),- biologi dan filsuf-budaya Rusia;
Oswald Spengler (1880-1936), filsuf sejarah dan budaya Jerman; keduanya
beranggapan, tidak melihat peradaban dari umat manusia, juga tidak
memandang kemajuan itu secara umum. Mereka melihat kebudayaan satu demi
satu, yang masing-masing terpisah dan berlawanan. Setiap kebudayaan
merupakan organismus, yang berkembang menurut hukum-hukum ilmu hayat.
Oleh karena itu, tertentu nasibnya untuk mati dan lenyap.
Danilewkij melihat pertentangan antara Eropa Barat dan Eropa Timur,
masing-masing dalam alam rohaninya, yang satu tidak mengerti yang lain dan
terpaksa berlawanan. Spengler beranggapan bahwa kebudayaan yang banyak itu
masing-masing mengalami lingkaran, cyclus, seperti iklim: musim bunga, musim
panas, musim gugur, dan musim dingin. Lingkaran ini selalu berulang pada tiap-tiap
kebuadayaan. Lingkaran kebudayaan Hindu dan kebuyaan antic digantikan oleh
kebudayaan bercorak islam dan Nasrani. Selanjutnya, diulang kembali oleh Eropa
Barat.
Masalah selanjutnya adalah factor-faktor yang menentukan gerak sejarah.
Masalah ini menimbulkan beberapa teori sebagai berikut:
1. Gerak sejarah bagi masyarakat yang bersahaja atau masyarakat primitive
ditentukan oleh kebudayaan dinamisme dan animisme. Pemujaan terhadap
kekuasaan roh nenek moyang dan kekuatan alam gaib menentukan gerak
sejarah.
2. Dalam kebuadayaan politeisme, gerak sejarah ditentukan oleh dewa-dewa.
3. Gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam.
4. Dalam kebudayaan monoteisme, gerak sejarah ditentukan oleh Tuhan.
5. Gerak sejarah ditentukan oleh manusia
6. Gerak sejarah menurut pandangan Karl Marx, ditentukan oleh materi.
Menurut R. Moh. Ali, gerak sejarah digambarkan sebagi berikut:
Gerak sejarah sebagai gerak kemajuan merupakan anggapan umum. Sejarah
adalah cerita tentang kemajuan, tetapi Perang Dunia yang telah dua kali
berlangsung melahirkan pernyataan tentang sampai di manakah kebenaran yang
anggapan umum itu? Apakah Perang Dunia yang merusak itu merupakan gerak
kemajuan atau gerak sudut? Apakah manusia bertambah maju atau bertambah
mundur dalam persiapan perang atom yang telah dilakukannya? Perang yang telah
direkayasa sekarang merupakan yang terdahsyat, yang memungkinkan umat
manusia mengakhiri sejarahnya. Apakah ini gerak maju sejarah atau gerak yang
akan memusnahkan sejarah?

B. Pengurunan
Untuk memahami gerak sejarah, orang membuat skema dari tingkat-tingkat
gerak itu, yang dinamakan “periode” atau “kurun”. Kurun berasal dari bahasa Arab,
berarti abad. Pengurunan gerak sejarah adalah membagi sejarah dalam kurun-
kurun. Artinya, masa lalu yang beragam, bersimpang siur, dan ruwet dalam kejadian
dan waktu, disusun menjadi kurun-kurun sehingga anggapan sejarah mendapat
ikhtiar yang mudah diartikan. Oleh karena itu, kurun-kurun merupakan cerita pokok
sejarah yang memberikan analisis dan daftar jumlah fakta.
Pengurunan masuk dalam penafsiran sejarah, yang dibuat oleh sejarah
sejarawan. Artinya, kurun yang merupakan cerita sejarah adalah penjelmaan pokok
tafsiran sejarawan. Tanpa tafsiran dan penjelasan, fakta-fakta masa lalu akan
menjadi kronik, annal, atau catatan peristiwa atau pseudo sejarah antara fakta yang
satu lepas dari fakta yang lain.
Pengurunan yang hanya didasarkan pada waktu, tidak memuaskan orang.
Hal ini karena waktu, zaman, masa, atau kurun tidak bicara apa-apa. Apa bedanya
hari ini dengan hari kemaren? Adakah bedanya tahun yang satu dengan tahun yang
lain? Perbedaannya hanya nama atau tanggal. Sekarang hari selasa, kemaren hari
senin. Pada tahun dan abad, bedanya hanya angka. Sekarang abad ke-21,
sebelumnya abad ke-20. Baik hari maupun nama (angka) tahun dan abad, dapat
diubah atau ditukar-tukar tanpa memberi akibat pada waktu. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa tidak ada perbedaan antarwaktu. Waktu itu tidak bicara. Pembagian
sejarah dalam kurun, yang jarak waktunya dihitung dalam abad tidak berarti apa-
apa.
Dengan demikian, yang berbicara bukan waktu, melainkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam waktu itu. Perbedaan hari senin dan hari selasa adalah
perbedaan yang dikandung oleh masing-masing hari itu. Demikian pula, perbedaan
tahun dan abad adalah perbedaan peristiwa atau corak peristiwa atau klasifikasi
kejadian yang dikandungnya. Perbedaan antara tahun 1934, 1944, 1954, misalnya
pada tahun pertama Indonesia dijajah Belanda, tahun kedua dijajah Jepang, dan
tahun ketiga merdeka. Apabila diklasifikasikan berdasarkan kejadian dapat
dikatakan bahwa kejadian pada tahun pertama digolongkan dalam kurun penjajahan
Barat. Kejadian pada tahun kedua digolongkan dalam kurun penjajahan Timur dan
kejadian pada tahun ketiga digolongkan dalam kurun kemerdekaan. Dengan
demikian, pengurunan sejarah tidak didasarkan atas waktu, tetapi pada cirri-ciri yang
dikandung oleh hakikat kejadian-kejadian, dan semua pengurunan itu tidak mungkin
lepas dari waktu. Setiap kejadian terikat pada waktu. Tanpa waktu, kejadian itu tidak
ada. Oleh karena itu, kurun dihubungkan atau diikat pada waktu.
Pada masa kerajaan, pembagian kurun sejarah mudah dan sederhana. Kurun
didasarkan pada raja yang memerintah atau dinasti yang berkuasa, serta nama
kerajaan. Pada zaman modern ini pun ada kurun yang didasarkan pada tokoh yang
berkuasa. Tentang sejarah Rusia, misalnya orang yang menyebut kurun Stalin,
Malenkov, Khruschev. Akan tetapi, jika sejarah itu meluas dan membicarakan materi
yang tidak homogen, sukar memakai suatu negeri atau kerajaan dan materinya
heterogen seperti sejarah Eropa.

C. Tujuan Pengurunan
Ruang lingkup sejarah sangat luas, seluas jumlah manusia yang ada dimuka
bumi. Jangka waktunya pun sangat lama. Bidang dan aspeknya sangat banyak,
meliputi peradaban, kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang di anutnya.
Dengan demikian, menurut Hugiono, dkk., tujuan pengurunan adalah sebagai
berikut:
1. Memudahkan pengertian: gambaran peristiwa masa lampau yang sedemikian
banyaknya dikelompokkan, disederhanakan, dan diikhtisarkan menjadi suatu
tatanan sehingga memudahkan pengertian.
2. Melakukan penyederhanaan: begitu banyaknya peristiwa sejarah yang
beragam, bersimpang-siur, dan ruwet, untuk memahaminya, peristiwa-
peristiwa tersebut perlu disusun secara sederhana, sehingga pikiran
mendapatkan ikhtisar yang mudah diartikannya.
3. Memenuhi persyaratan sistematika ilmu pengetahuan: semua peristiwa masa
lampau setelah dikelompokkan, hubungan antara motivasi pengaruh-
pengaruh peristiwa itu dikaitkan, lalu disusun secara sistematis.
4. Klasifikasi dalam ilmu sejarah: adalah meletakkan dasar pengurunan atas
masa lalu yang tidak terbatas peristiwa dan waktunya, dipastikan isi bentuk
waktunya menjadi bagian-bagian pengurunan.
Berdasarkan tujuan pengurunan tersebut, jelaslah kerangka ceritanya dan
kerangka ini merupakan penjelmaan pandangan hidup, dasar filsafat, serta tafsiran
sejarawan.

D. Ciri-ciri Khusus untuk Menetapkan Pengurunan


Para ahli sejarah terpecah menjadi beberapa aliran dalam menentukan ciri-
ciri khusus untuk menetapkan satu pengurunan, yaitu sebagai berikut:
1. Aliran yang menganggap ciri khusus pengurunan pada bentuk Negara atau
pada sistematis politik yang dianut oleh pemerintah Negara;
2. Aliran yang menganggap ciri khusus pengurunan pada tingkat kemajuan
ekonomi. Artinya, factor ekonomi sangat dominan dalam mendorong
terjadinya proses integrasi sosial, politik, budaya, dan sebagainya;
3. Aliran yang menganggap tingkat kemajuan peradaban sebagai cirri khusus;
4. Aliran yang menganggap tingkat kebudayaan sebagai cirri khusus;
5. Aliran yang menganggap masuk dan berkembangnya agama sebagai cirri
khusus.
Variasi ciri-ciri khusus untuk menetapkan pengurunan tersebut menunjukkan
sikap hidup manusia dalam kurun itu, seperti menyatakan diri dalam agama, susila,
hubungan sosial, seni, aliran-aliran ekonomi, aliran politik, dan lain-lain.
Selanjutnya, betapapun kurun itu didasarkan pada criteria yang berlainan,
waktu terpaksa juga ditetapkan. Sejarah tetaplah ilmu dari urutan waktu. Orang
dapat menentukan ciri-ciri suatu kurun, tetapi batas waktu dari kurun itu harus tetap
diberikan.
Apabila orang akan melakukan pengurunan, lahirlah masalah: bilakah
berakhir kurun yang satu dan dimulainya kurun berikutnya? Dalam hal ini, orang
sukar sepakat. Sekali lagi, pengurunan adalah pendapat sejarawan, berasaskan
tafsirannya. Perbedaan karya sejarah tentang kejadian-kejadian yang sama adalah
perbedaan tafsiran sejarawan-sejarawannya.
Perbedaan sejarah Diponegoro versi Belanda dan versi Indonesia adalah
perbedaan tafsiran sejarawan Belanda dan sejarawan Indonesia. Inilah sebabnya,
pengurunan itu dapat berbeda pula antara sejarawan. Antara pengurunan sejarawan
Belanda dan sejarawan Indonesia terdapat perbedaan, yang berpangkal dari
perbedaan kebudayaannya. Perbedaan kebudayaan melahirkan perbedaan tafsiran
dan pendapat. Akan tetapi, juga di antara ahli-ahli Indonesia terdapat perbedaan
pengurunan. Di sini, perbedaan itu berasal dari perbedaan cara penilaian dan cara
berpikir, yang melahirkan perbedaan tafsiran dan pendapat, ditambah perbedaan
sikap atau politik masa datang.

E. Pembagian Menurut Rating


Kehidupan yang semakin luas dan kaya isinya memerlukan diferensiasi,
demikian pula dengan ilmu. Sejarah sebagai cabang ilmu melakukan diferensiasi
dalam “ranting”. Ranting-ranting ini merupakan belahan sejarah untuk
memungkinkan pemusatan perhatian pada bagian-bagian khusus pada sejarah.
Cara ini memungkinkan orang untuk mensejarahkan bidang-bidang kegiatan
manusia secara seksama, meluas, dan mendalam. Tanpa cara itu, sukar menguasai
seluruh fakta masa lalu dengan segala jenis dan macam ragamnya secara
terperinci.
Adapun ranting-ranting ilmu sejarah adalah sebagai berikut:
1. Sejarah ekonomi: secara garis besar, sejarah ekonomi mempunyai perhatian
mengenai kegiatan ekonomi masa lampau. Masalah-masalah yang ada
hubungannya dengan seorang sejarawan ekonomi sama luasnya dengan niatnya
terhadap pertumbuhan, kemandegan atau merosotnya ekonomi; kemakmuran
kelompok-kelompok individual dalam ekonomi senada dengan arah perubahan
ekonomi, serta hubungan timbal balik antara organisasi ekonomi dan
kegiatannya.
2. Sejarah politik; objek sejarah politik adalah Negara. Negara adalah perwujudan
sejarah yang lengkap dan nyata dari kehidupan masyarakat kesatuan organis,
tempat kehidupan masyarakat itu berlangsung. Oleh karena itu, ranting sejarah
ini sampai sekarang masih tetap penting dan masuk barisan utama dalam objek
sejarah. Sejak dahulu hingga sekarang, apabila diteliti, perhatian utama sejarah-
sejarah umum lebih dipusatkan pada sejarah politik, dan yang paling ditonjolkan
adalah yang berhubungan dengan Negara, yang mencakup raja, pejabat penting,
pemerintahan, kerajaan dan penguasa.
3. Sejarah perang: sejarah perang sesungguhnya sebagian dari sejarah politik
karena perang merupakan lanjutan politik dan tujuan perang pun sama. Sejarah
perang juga sebagai bagian dari sejarah tehnik karena pelaksanaan perang
dilakukan oleh teknologi. Sejarah perang juga dapat dikatakan sebagai bagian
sejarah kebudayaan karena perang adalah produk dari cara berpikir dan merasa,
seperti juga unsur-unsur kebudayaan. Perang berawal dari pikiran manusia, dan
berakhir dengan kehancuran.
4. Sejarah konstitusi: menggambarkan pertumbuhan dan sifat bentuk-bentuk
Negara serta lembaga-lembaga Negara, dan berhubungan dengan sejarah
hukum umumnya. Karena itu, sejarah konstitusi memberi pengetahuan dan
pengertian tentang pertumbuhan dan sifat bentuk dan lembaga-lembaga masa
lalu, dan memberikan kepahaman tentang hal-hal tersebut pada masa kini.
Selanjutnya, sejarah konstitusi menggerakkan rencana tentang hal-hal itu pada
masa datang.
5. Sejarah sosial: ranting sejarah ini sukar dipisahkan dari sejarah ekonomi dan
sejarah konstitusi. Antara sosial dan ekonomi berhubungan dan saling
mempengaruhi, sehingga sukar untuk memisahkan sejarah kedua bidang itu. Di
samping itu, sejarah sosial dianggap berhubungan rapat dengan sejarah
kebudayaan. Sejarah sosial seharusnya dipandang sebagai bagian dari sejarah
kebuadayaan. Kebuadayaan ada, tumbuh, dan berkembang hanya dalam
masyarakat. Tanpa masyarakat, tidak ada kebudayaan. Akan tetapi, kebudayaan
tidak hanya pergaulan hidup masyarakat. Seluruh pernyataan atau manifestasi
jiwa masyarakat adalah kebudayaan. Kehidupan sosial hanya satu, tetapi
kehidupan sosial merupakan salah satu segi dari pernyataan jiwa masyarakat.
BAB V
SUMBER SEJARAH

A. Pengetahuan Sumber Bahan-bahan Masa Lalu


Perkenalan tentang masa lalu, baik bagi kita maupun para sejarawan
berdasarkan warisan. Dengan demikian, warisan itu dapat dipandang sebagai
komunikasi masa kini dengan masa lalu. Menurut bentuk dan sifatnya, warisan
dapat dibagi tiga, yaitu:
1. Warisan lisan, merupakan sumber tradisional sejarah dalam pengertian luas.
Warisan lisan tidak melukiskan kenyataan atau fakta yang sesungguhnya. Hal ini
karena sesuatu pada awalnya fakta atau kenyataan, karena tambahan-tambahan
atau pengurangan, akhirnya menjadi bentuk sejarah bersahaja. Dalam sejarah
bersahaja, warisan ini memainkan peranan penting bagi bangsa-bangsa
prasejarah, dan bangsa-bangsa yang berkebudayaan bersahaja yang hidup
dalam kurun sejarah umat manusia. Apabila zaman batu purba diambil sebagai
awal pertumbuhan pikiran manusia, jarak waktu dari zaman itu sampai zaman
perunggu kira-kira 614.000 tahun, merupakan kurun prasejarah manusia. Awal
zaman sejarah sampai sekarang baru meliputi kira-kira 6.000 tahun. Dalam
penulisan sejarah metode ilmiah, warisan lisan yang dinamakan mithe dan
legenda ini masih dapat dipakai sebagai bahan-bahan pelengkap, bahan-bahan
perbandingan atau bahan-bahan yang dari dalamnya dapat di tarik kesimpulan
tentang hal-hal yang telah berlalu.
2. Warisan tulisan: tulisan mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah. Zaman sejarah
adalah kurun saat suatu bangsa telah memakai tulisan dalam kebudayaannya.
Jadi, yang menentukan zaman sejarah adalah tulisan dalam kebudayaan.
Bahan-bahan tertulis dari masa lalu ada yang sengaja dimaksudkan untuk
bahan-bahan sejarah dan ada pula yang tidak. Bahan-bahan yang sengaja untuk
bahan-bahan sejarah adalah buku-buku sejarah, buku-buku harian, notulen,
resolusi, daftar kepegawaian dan lain-lain. Melalui buku-buku itu kita dapat
menghimpun masa lalu yang dapat dipakai dalam menulis sejarah sekarang.
Warisan tertulis yang tidak sengaja untuk bahan-bahan sejarah adalah surat-
surat instruksi, pembukuan, berita-berita pemerintah, harian, majalah, dan bahan
tertulis lain.
3. Warisan visual, adalah segala sesuatu yang berbentuk atau berupa. Kata visual
merupakan adaptasi dari bahasa Belanda, visueel, visual (Inggris). Termasuk
dalam golongan visual adalah semua warisaan masa lalu yang berbentuk dan
berupa. Barang-barang yang berbentuk dan berupa dari masa lalu yang
merupakan warisan kebudayaan zaman silam, misalnya alat kerja, senjata,
perhiasan, dan barang-barang lain yang dapat dipergunakan, rumah, candi,
benteng, kuburan. Tiap benda kebudayaan tersebut adalah pernyataan cara
berpikir dan merasa dari bangsa yang mendukung kebudayaan itu.
Selanjutnya, sumber sejarah menurut sifat dan pewarisannya adalah sebagai
berikut:
a. Bahan-bahan Ilmu Bumi
• Memberikan bahan-bahan tentang iklim, keadaan geologi, dan etnografi
• Jenis bahan-bahan: batas-batas bentuk kediaman sekarang; perumahan;
dasar sungai-sungai lamal; tempat penemuan barang, senjata, perumahan,
dan kerangka
• Pewarisan cara lisan: nama-nama asli daerah, desa dan lain-lain
• Pewarisan cara tulisan: kisah perjalanan, karangan tentang geografi,
pelukisan alam dalam puisi dan sejenis, nama negeri
• Pewarisan cara visual: peta-peta, denah (platteground), lukisan, dan gambar-
gambar.
b. Keadaan Jasmaniah
• Memberikan bahan-bahan tentang bangun badan daya tahan fisik
• Jenis bahan: ciri-ciri ras, cacat-cacat yang typis, peninggalan mayat
(tengkorak, kerangka)
• Pewarisan cara tulisan: karangan-karangan kedokteran, kisah-kisah
perjalanan, lukisan tentang peperangan, penunjuk perjalanan
• Pewarisan cara visual: foto, gambar, dan lukisan.
c. Kehidupan Praktis
• Memberikan bahan-bahan tentang teknik, kehidupan sosial ekonomi, cara
pemakaman, bentuk-bentuk negara
• Jenis bahan: perabot rumah tangga, sampah (afval), bangunan pemakaman,
pakaian, senjata, perhiasan, mata uang, bentuk organisasi sekarang, hukum,
bentuk-bentuk negara
• Pewarisan cara lisan: mite, legenda, pepatah, nyanyian, cerita
• Pewarisan cara tulisan: rekening, inventaris, buku-buku niaga, akta notaries,
dan akta-akta lain, inskripsi, piagam, catatan penasbihan kawin-cerai-rujuk,
catatan pajak, berita-berita perwakilan, kisah-kisah perjalanan, biografi, buku
harian dan buku famili, surat-surat kisah peperangan, perintah dan
semacamnya, surat kabar dan majalah.
• Pewarisan cara visual: gambar-gambar, mata uang, panji-panji, cap, foto, dan
film, lembaran reklame, ruang pasar, gudang, rumah, barang-barang yang
dipakai, senjata, alat kerja, baik yang diketemukan maupun yang masih
dipakai, bekas-bekas bangunan.
d. Aturan Masyarakat, Pemerintah, Hukum dan agama
• Memberikan bahan-bahan tentang: kebiasaan, adat, hukum, anggapan,
umum, agama, politik
• Jenis bahan: perayaan sekarang dan lembaga-lembaga hukum, adat, kitab
undang-undang dan peraturan, piagam, bentuk-bentuk kultus, dogma, dan
pembicaraan tentang sesuatu, gambar-gambar
• Pewarisan cara lisan: mite, legenda, dongeng, pepatah dan kekhususan-
kekhususan bahasa, nyanyian, doa, kebiasaan penduduk
• Pewarisan cara tulisan: karya-karya sastra, biografi, lukisan tentang gedung-
gedung bangunan seni, akta dan catatan tentang seniman dan sarjana,
laporan-laporan akademi, kisah perjalanan
• Pewarisan cara visual: lukisan, gambar, gedung, perhiasan, cap, foto dari
bangunan-bangunan seni, panji, karya sulam, dan lain-lain.
Demikianlah sumber sejarah menurut sifat dan cara pewarisannya menurut H.
A. Enno Van Gelder, yang diambil alih secara bebas oleh Gazalba. Jadi, semua
warisan zaman lalu (lisan, tulisan, dan visual) merupakan sumber dari bahan-bahan
sejarah. Warisan itu dapat di bagi menjadi bagian yang tidak di pakai lagi dan masih
di pergunakan lagi. Warisan yang tidak terpakai adalah unsure-unsur yang tidak lagi
mempunyai atau melakukan fungsinya dalam kehidupan sekarang, misalnya barang-
barang kuno yang terhimpun dalam museum. Adapun, warisan yang dipergunakan,
misalnya bahasa, nama-nama ilmu bumi, adat dan kebiasaan, struktur sosial, alat
kerja dan lain-lain. Semua unsure kebudayaan terjadi dengan proses dalam waktu.
Unsur-unsur itu dilahirkan oleh sejarah sehingga semua unsure yang kita pakai
sebagai kebudayaan sekarang ada sejarahnya, mempunyai sejarah, dan bertolak
dari unsure-unsur itu, kita dapat mendekati sejarah.

B. Perbedaan antara Sumber Primer dan Sumber Asli Lainnya


Sumber bahan-bahan sejarah, baik lisan maupun tulisan, menurut Louis
Gottschalk dibagi atas dua jenis, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi
dengan pancaindra yang lain, atau dengan alat mekanis, seperti diktafon, yaitu
orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya (selanjutnya secara
singkat disebut saksi pandangan mata). Adapun sumber sedkunder merupakan
kesaksian dari siapaun yang bukan merupakan saksi pandangan mata, yaitu saksi
dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya.
Saksi primer harus dihasilkan oleh seorang yang sezaman dengan peristiwa
yang dikisahkannya. Akan tetapi, sumber primer tidak perlu asli, yaitu dokumen itu
(biasanya versi tulisan yang pertama) yang isinya menjadi subjek pembicaraan,
karena sering suatu salinan atau edisi cetak memenuhi syarat bagi keperluan itu;
misalnya mengenai karya-karya klasik yunani dan Romawi jarang sekali ada yang
asli.
“Asli” memiliki arti yang berbeda-beda sehingga lebih baik dihindarkan di
dalam pembiacaraan sejarah yang teliti. Sekalipun demikian, kata asli dapat dan
sering dipergunakan untuk menyebutkan lima kondisi yang berbeda-bedan sehingga
suatu dokumen dapat dianggap asli, yaitu:
1. Mengandung gagasan yang segar dan kreatif
2. Tidak diterjemahkan dari bahasa yang dipergunakan untuk menuliskannya
3. Berada dalam tahapan yang paling awal dan belum disalin
4. Teksnya merupakan teks yang disetujui, tidak diubah-ubah dan diganti-ganti
5. Merupakan sumber paling awal yang diperoleh mengenai informasi yang
dikandungnya.
Kelima arti dari kata itu mungkin berimpitan, tetapi tidak sinonim.
Akan tetapi, istilah “sumber-sumber asli” bisa dipakai oleh para sejarawan,
dengan dua arti: (1) untuk mendeskripsikan suatu sumber yang tidak disalin, tidak
diterjemahkan, sebagai keluar dari tangan pengarangnya (misalnya naskah asli
Magna Charta); (2) suatu sumber yang memberikan informasi paling awal yang
dapat diperoleh (yakni asal-usul) mengenai persoalan yang sedang di bahas,
karena sumber-sumber yang lebih awal telah hilang. Karenanya, di sini akan
diusahakan untuk mempergunakan istilah itu hanya dengan dua arti yang baru
didefenisikan.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa sumber-sumber primer tidak perlu asli di
dalam salah satu di antara dua arti tersebut. Sumber primer hanya harus asli dalam
arti “kesaksiannya tidak berasal dari sumber lain”, tetapi bearasal dari “tangan
pertama”. Hal itu ditekankan untuk menghindarkan kekacauan antara sumber asli
dan sumber primer. Kekacauan itu timbul karena penggunaan yang sangat
serampangan daripada kata “asli”. Kata itu sering dipergunakan oleh sejarawan
sebagai sinonim bagi kata manuskripi atau berasal dari arsip.

C. Tipe Dokumenter
Sumber primer dapat pula terdiri dari dokumen, dalam arti sempit, dokumen
berarti kumpulan kata-kata verbal yang berbentuk tulisan; seperti surat catatan
harian (jurnal), kenang-kenangan (memoris), daftar, laporan, dan sebagainya. Sifat
istimewa dari data verbal adalah data ini mengatasi ruang dan waktu, sehingga
membuka kemungkinan bagi kita untuk mengetahuinya. Dalam arti luas, dokumen
meliputi monumen, artifact, foto-foto, dan sebagainya. Adapun tipe-tipe dokumenter
yaitu:
1. Otobiorafi
2. Surat pribadi, catatan, atau buku harian atau memoirs.
3. Surat kabar
4. Dokumen pemerintah
5. Cerita roman; merupakan science Fiction atau roman utopis.

D. Ilmu Bantu Sejarah


Sejarah merupakan ilmu yang digunakan untuk mempelajari masa lampau.
Hal itu tidak bisa lepas dengan penggunaan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu tersebut biasa
disebut Ilmu Bantu Sejarah. Beberapa ilmu bantu sejarah yaitu:
1. Paleontologi
Suatu Ilmu yang mempelajari tentang bentuk –bentuk kehidupan zaman
purba yang pernah ada di muka bumi, terutama pada fosil-fosil disebut paleontology.
Kata fosil berasal dari kata Yunani yaitu fissilis yang berarti apa yang di gali atau
dikeluarkan dari dalam tanah. Kemudian kata ini mempunyai arti khusus mengenai
semua sisa-sisa binatang dan tumbuh-tumbuhan yang pernah hidup pada zaman
Palaezoikum dan Mesozoikum. Relik-relik (sisa-sisa) binatang dan tumbuh-
tumbuhan itu tetap terpelihara karena telah membantu serta tersimpan selama
ratusan juta tahun yang lalu. Dalam kajian paleontology sangat erat hubungannya
dengan ilmu geologi, ilmu fisika, ilmu botani (tumbuh-tumbuhan), zoology (ilmu
hewan). Untuk mengetahui usia fosil-fosil yang telah di temukan maka dapat
menggunakan metode Radiocarbon agar dapat menentukan usia fosil-fosil tersebut
sampai ratusan tahun. Dari temuan fosil-fosil tersebut itu dapat disusun melalui
evolusi perkembangan hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dikaitan dengan lapisan
geologi pada masa hidupnya. Bagi ilmu sejarah, paleontology berperan ketika
manusia masih di anggap belum ada di muka bumi ini. Maka dari itu bantuan dari
paleontology bagi sejarah ialah ilmu ini dapat menunjukkan secara hipotesis pada
lapisan geologi mana atau kira-kira kapan manusia mulai ada dalam evolusi geologi.
Di Indonesia fosil-fosil binatang purba tersebut semisal gajah, kerbau, badak dalam
ukuran raksasa yang ditemukan di daerah lembah Sangiran, Pacitan, Jawa Timur. Di
antara fosil-fosil binatang purba tersebut kemudian banyak yang disimpan di dalam
Musium Geologi Bandung.
2. Paleoantropologi
Paleontropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fosil-fosil manusia-
manusia purba sering juga disebut sebagai antropologi ragawi. Yang dijadikan
sebagai objek ilmu Paleoantropologi ialah manusia-manusia purba itu sendiri. Ilmu
ini bertujuan untuk merekontruksi asal-muasal manusia, evolusi, pesebarannya,
lingkungan, cara hidup dan budayanya (Teuku Jacob, 1990:65-66). Di Indonesia
fosil-fosil manusia ditemukan pada lapisan pleistosen. Semula berawal dari temuan
E. Dubois (1890) temuannya yaitu tulang rahang di dekat desa trinil, di pinggir aliran
bengawan solo, tidak jauh dari Ngawi. Kemudian setelah itu ditemukan di tempat
yang berbeda namun waktunya juga berbeda. Peneliti-peneliti lain yaitu G.H.R. Von
Koeningswald dan F. Weidenrich antara tahun 1931-1934 menemukan sebelas fosil
manusia purba namun fosil tersebut lebih sempurna daripada pithecanthropus
erectus mungkin sudah merupakan manusia sehingga mereka beri nama Homo
Soloensis(manusia solo).
3. Arkeologi
Arkeologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda kuno.
Dunia arkeologi sangat erat kaitannya dengan asumsi tentang rentang waktu yang
sangat panjang. Arkeologi mencakup masa sejarah maupun prasejarah. Arkeologi
juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dan kebudayaannya, yaitu
dapat dijelaskan bahwa manusia yang berinteraksi dengan lingkungannya dapat
menghasilkan kebudayaan, kebudayaan yang dihasilkan adalah sebuah benda-
benda kuno yang dikaji dalam arkeologi ini. Di Indonesia sendiri masa prasejarah
berahir pada abad ke empat. Arkeologi salah satu sumber besar dalam
penghimpunan sejarah di banyak tempat. Objek-objek yang dikaji dalam arkeologi
adalah artefak, ekofak, fitur. Situs. Situs tertua adalah situs warka di kawasan
Mesopotamia yang sekarang merupakan wilayah Irak bagian selatan. Dalam
masanya, manusia selalu meninggalkan benda-benda yang pada awalnya sebagai
fungsi praktis. Arkeologi mencoba menginterpretasikan dan merekontruksi budaya
ataupun peristiwa yang trjadi di masa itu.
4. Paleografi
Paleografi adalah salah satu ilmu bantu sejarah yang mempelajari tentang
tulisan-tulisan yang ada di masa lampau (tulisan kuno). Paleografi umumnya
mengidentifikasi tulisan-tulisan kuno yang tertulis pada papyrus, tablet-tablet tanah
liat, perkamen (vellum), kertas, daun lontar, dan lain sebagainya. Paleografi ini
termasuk ilmu membaca dalam menentukan waktu (tanggal) dibuatnya tulisan-
tulisan kuno. Dalam tulisan-tulisan kuno tersebut biasanya sulit untuk diterjemahkan
sehingga butuh pengungkapan arti dari tulisan-tulisan kuno yang ditemukan.
Terkadang arti dari tulisan-tulisan kuno tersebut merupakan sejarah tentang
terjadinya sesutau yang dianggap penting, Selain berguna untuk membaca tulisan-
tulisan kuno, Paleografi juga digunakan untuk mempelajari tulisan tangan karya
sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan dimana karya tulis itu ditulis,
serta tidak diketahui pengarangnya.
5. Epigrafi
Epigrafi adalah ilmu bantu sejarah yang mempelajari tentang cara membaca,
menunjukkan waktu (tanggal), mengidentifikasi tulisan-tulisan kuno yang ditulis di
atas benda yang keras. Persamaan antara Epigrafi dan Paleografi adalah terletak
pada pembahasannya yaitu tulisan-tulisan kuno. Perbedaan antara keduanya ialah
terletak pada materi yang digunakan untuk menulis.Salah satu contoh yang diteliti
oleh ilmu epigrafi ini adalah Prasasti. Prasasti merupakan sumber tertulis yang dapat
memberikan informasi tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, bisa juga dalam
prasasti itu, menggambarkan tentang raja maupun ratu yang ada pada masa
lampau.
6. Ikonografi
Ialah ilmu yang mempelajari tentang arca atau patung-patung dari zaman
prasejarah sampai sejarah. Arca pada zaman prasejarah adalah bangunan yang
umumnya melambangkan nenek moyang dan menjadi tempat pemujaan. Arca dan
patung yang ditemukan di Indonesia terbuat dari tanah liat, batu, dan logam
(perunggu, perak dan emas).
Pada zaman sejarah arca lebih ditujukan untuk menggambarkan orang-orang
yang di anggap penting, seperti raja dan ratu. Patung-patung yang melukiskan tokoh
sejarah itu misalnya Rajasa (pendiri kerajaan singgosari), Prajnaparamita
(menggambarkan Ken Dedes), Kertanegara, Kertarajasa Jawardana (Raden Wijaya
pendiri Majapahit), Hayam Wuruk, Gajah Mada Aditiawarman dan putrid Tribuana.
Arca-arca dan patung-patung ini dapat berdiri sendiri atau merupakan dari
bangunan-bangunan keagamaan seperti kuil, gereja, atau candi.
7. Numismatik
Numismatic ialah ilmu yang mempelajari tentang mata uang (coins), asal usul,
tehnik pembuatan, sejarah, mitologi, dan seninya. Mata uang ialah alat tukar
menukar pada zamannya, mata uang koin ini beratnya tidak sama. Mata uang itu
tidak hanya berupa logam namun ada juga yang berupa kertas, namun orang pada
zaman dahulu itu senang memakai uang logam dikarenakan uang tersebut awet,
tahan lama dan tidak robek seperti halnya uang kertas. Bagi sejarah Indonesia mata
uang lamamerupakan sumber penting karena menunjukkan adanya kegiatan
ekonomi, hubungan-hubungan dagang antara kepulauan Indonesia dan luar
Indonesia, juga hubungan politik dan kebudayaan. Mata uang tertua berupa dinar
emas ditemukan dalam ekskavasi di bekas keraton Ratu Boko, Ygyakarta.
8. Ilmu Keramik
Keramik adalah nama umum untuk tembikar, cina dan porselin. Pengetahuan
tentang keramik merupakan ilmu bantu sejarah dan kesenian yang penting. Hasil
kajian tentang benda-benda ini merupakan bahan penting untuk penyusunan sejarah
baik pada periode pra sejarah dan sejarah. Dari kajian tentang keramik akan
diketahui perkiraan waktu, pemilik atau pendukung kebudayaan keramik, lalu lintas
perdagangan dan interaksi antar daerah dan bangsa.Tembikar di Indonesia
biasanya berupa alat-alat dapur yang terbuat dari tanah liat yang dibakar. Pecahan
tembikar ini telah ditemukan pada masa mesolitikum (batu madya) seperti sampah
dapur (kjokkenmoddinger) yang ditemukan di pantai timur Sumatra. Pada masa
neolitikum (batu baru), tembikar yang ditemukan telah dihias dan diperhalus.
9. Genealogi
Pengetahuan mengenai asal-usul nenek moyang atau keturunan keluarga
seseorang atau oraang-orang.biasanya pada zaman dahulu pararaja-raja membuat
silsilah keluarganya dengan cara menggambarkan sebuah pihon dimana rantingnya
yang pling muda adalah keturunan mereka yang masih bayi, dan daun yang telah
gugur adalah mereka yang sudah meninggal. Penulisan sejarah keluarga (family
history) umumnya menggunakan genealogi sebagai dasarnya.
10. Filologi
Filologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang naskah-naskah
kuno. Nasl\kah-naskah kuno tersebut di tulis dalam bahasa jawa kuno, sunda kuno,
atau melayu. Beberapa contoh naskah-naskah itu ialah :
a. Negarakertagama
Negarakertagama adalah naskah lontar yang ditemukan dan dirampas oleh
Belanda di Puri Cakranegara Lombok tahun 1894. Naskah ini menggunakan
bahasa Jawa Kuno, berhuruf Bali dan berbentuk puisi (kakawin). Naskah ini
ditulis oleh Mpu Prapanca seorang pujangga Majapahit ditulis tahun 1365
setahun setelah Gajah Mada wafat. Sekarang naskah ini disimpan di Universitas
Leiden Belanda. Beberapa sejarawan telah menterjemahkan naskah seperti oleh
Brandes dan H. Kern. Sementara sejarawan Indonesia yang menterjemahkan
naskah ini adalah Prof. Slametmulyono (1953).
Secara garis besar isi dari naskah Negarakertagama antara lain : tinjauan
filsafat Prapanca dan tujuan penulisan, susunan pemerintah pusat dan
pemerintahan dalam negeri Majapahit, wilayah nusantara yang dikuasai
Majapahit, penyiaran agama Hindu-Budha, catatan perjalanan Hayam Wuruk ke
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejarah Singasari-Majapahit sejak Ken Arok
hingga Hayam Wuruk dan Gajah Mada, upacara kebesaran di Majapahit, dan
peraturan mengenai pertanahan agraria.
b. Pararaton
Naskah ini menggunakan bahasa Jawa Kuno, berbentuk prosa, tidak diketahui
penulisnya dan disusun sekitar abad 16. Pararaton berisi tentang riwayat Ken
Arok. Tahun 1920 naskah Pararaton ditulis ke dalam bahasa Romawi dan
diterjemahkan oleh Brandes. Nasakah Pararaton berisi tentang kisah Ken Arok
sebagai pendiri wangsa Rajasa, istrinya Ken Dedes dan sejarah Majapahit 1486.
c. Kidung Sundayana
Kidung Sundayana berbentuk puisi (kidung). Naskah ini ditemukan di Bali dan
menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan pengarang yang belum diketahui. Isi
secara umum naskah Kidung Sundayana bercerita tentang kronologis perang
Bubat yang diawali dengan keinginan Hayam Wuruk mencari permaisuri. Maka
terpilihlah putri dari kerajaan Pajajaran yang bernama Citraloka. Rombongan
Pajajaran dan putri Citraloka akhirnya datang ke Majapahit. Di sinilah awal
masalah terjadi ketika Gajah Mada tidak senang dengan cara Hayam Wuruk
menyambut kerajaan Pajajaran. Muncullah perselisihan paham antara Gajah
Mada, Hayam Wuruk dan pihak Pajajaran. Tidak adanya kesepakatan pihak
meyebabkan pertempuran antara kedua belah. Raja Pajajaran terbunuh dalam
peristiwa ini dan Citraloka akhirnya bunuh diri.
d. Babad Tanah Jawi
Naskah ini bercerita tentang pasang surut sejarah Jawa yang meliputi akhir
kerajaan Majapahit 1525 sampai Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi
Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Secara rinci isi Babad Tanah Jawi
adalah Kerajaan Demak Bintoro, Mataram, walisongo terutama figur Sunan
Kalijaga dan perpecahan Mataram.
e. Carita Parahiyangan
Naskah berbahasa dan beraksara Sunda Kuno ini ditulis pada daun lontar.
Naskah ini pernah ditranskrip dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh
Pleyte dengan catatan dari Purbacaraka. Isinya tentang leluhur raja Sunda (para
hiyang) yang dimulai dari kerajaan Galuh (Ciamis) sampai runtuhnya kerajaan
Pajajaran karena serangan Islam. Yang unik dari naskah ini adalah terdapatnya
nama raja Sanjaya dari kerajaan Mataram.
f. Hikayat Raja-Raja Pasai
Naskah ini ditulis dalam bahasa Melayu sekitar abad 16 yang sekarang disimpan
di perpustakaan Royal Society di London. Hikayat ini bercerita tentang kerajaan
Pasai (Aceh) periode abad ke-13-16 M. Isi singkatnya adalah tentang raja Pasai
yang memeluk agama Islam yaitu Raja Ahmad dan saudaranya Muhammad,
tentang raja Samudra pertama yaitu Merah Silu yang masuk Islam dengan gelar
Malik as-Saleh, tentang adu kerbau besar Majapahit (Raja Sang Nata dan Gajah
Mada) dan anak kerbau dari Minangkabau (Patih Suatang dan Patih
Katamanggungan). Yang menarik dari hikayat ini memuat tentang nama 35
daearah nusantara dan Semenanjung Melayu yang ditaklukkan Majapahit.
g. Sejarah Melayu
Naskah Melayu ini menggunakan aksara Arab-Melayu ditulis oleh Tun Sri
Lanang (1565-1642) seorang bendahara dari Kesultanan Johor. Buku ini ditulis
sekitar tahun 1612 seabad setelah Malaka ditundukkan Portugis tahun 1511.
Penulisan acapkali tertunda karena Aceh sering menyerang Johor sehingga
penulis harus mengungsi. Naskah ini sekarang disimpan di British Museum
London. Ringkasnya naskah ini berawal dari Sang Tri Buana yang turun dari
Bukit Seguntang Palembang sampai direbutnya Malaka oleh Portugis tahun
1511. Sang Tri Buana ini dianggap sebagai pangkal empat keluarga raja yang
memerintah Palembang, Majapahit, Melayu dan Minangkabau.
11. Bahasa
Bahasa sangatlah penting dalam membantu Ilmu sejarah karena dengan
memiliki pengetahuan bahasa yang memadai akan sangat membatu dalam
melakukan penelitian dan penulisan sejarah terutama dalam melakukan penelitian
pada bangsa asing. Pengetahuan itu tidak harus menjadikannya ahlidalam bahasa,
akan tetapi dapat berguna dalam memahami apa yang di tulis dalam bahasa asing.
Dokumen-dokumen adalah sumber pertama sejarah (primary sources) yang
disimpan di arsip-arsip ditulis dalam bahasa daerah atau bahasa asing tertentu.
Apabila ingin melakukan penelitian sejarah tentang suatu daerah atau bangsa asing
syaratnya harus mengerti bahasa asing yang di perlukan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut. Misalnya apabila ingin melakukan penelitian terhadap sejarah Indonesia
mengenai periode pertengahan pertama abad ke-20 atau abad sebelumnya, maka
selain bahasa daerah, atau bahasa melayu, atau bahasa Indonesia, maka
sejarawan juga harus mengetahui bahsa Belanda karena banyak dokumen-
dokumen yang di tulis dalam bahsa belanda.
12. Statistik
Statistik membantu ilmu sejarah menjadi ilmiah karena menggunakan fakta
dan data kuantitatif. (Wilson Gee, 1950:253) mengatakan bahwa statistic tidak harus
dianggap sebagai subjek yang mempunyai hubungan hanya dengan ilmu-ilmu fisika,
kimia, ekonomi, dan sosiologi. Statistic itu bukan sebuah ilmu (science) melainkan
sebuah metode ilmiah (scientific method). Statistic digunakan sebagai metode ilmiah
dalam ilmu-ilmu social seperti antropologi, sosiologi, psikologi social, ekonomi, politik
dan sejarah. Untuk sejarah, statiktik menggunakan fakta atau data kuantitatif masa
lampau dalam pengumpulan, penyajian, pembahasan dan penafsirannya.
13. Etnografi
Etnografi adalah salah satu cabang ilmu antropologi yang menjelaskan
tentang kebudayaan di dalam suku bangsa. Etnografi berasal dari kata etnic yaitu
etnis dan logos yang artinya ilmu, jadi dapat dikatakan etnografi adalah ilmu yang
mempelajari tentang etnik. Pada awalnya Eropa menjajah Afrika, Asia, Amerika,
Australia, dan Oceania, namun pada abad ke 16, bangsa Eropa mulai peduli
terhadap bangsa yang dijajahnya dan mempelajari perbedaan budaya dari masing-
masing bangsa, sehingga muncullah ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan
yaitu antropologi dan cabang yang mengkhususkan membahas tentang etnic disebut
Etnografi. Koentjaraningrat (1997:92) menjelaskan Etnografi merupakan bagian
kajian antropologi yang secara holistis mendeskripsikan kebudayaan satu
masyarakat, dan yang semestinya berdasarkan pemahaman atas hasil penelitian
lapangan (fieldwork) dari hukum masa yang lebih akhir.
Penelitian lapangan yaitu meneliti satu kelompok suku bangsa dalam satuan
kecil di masyarakat. Kelompok suku bangsa yang dimaksud adalah mulai dari tingkat
desa, kecamatan, kota, pulau kecil, provinsi, bahkan satu Negara sekaligus. Suku
bangsa adalah kolektiva yang memiliki kesadaran akan kesatuan kebudayaan, yang
sering kali ditandai oleh kesatuan bangsa (koentjaraningrat 1969). Di Indonesia
etnografi itu tidak hanya berupa tulisan-tulisan tentang suatu kebudayaan, suku
bangsa namun ada bukti yang mendukung yaitu gambar, foto, film, dan
dokumentasi-dokumentasi dari hasil penelitian suatu kebudayaan. Etnografi di
Indonesia itu dibuat oleh para musuh, pendeta, penyair, agama nasrani, sarjana-
sarjana bahasa-bahasa Indonesia (Nusantara) penyelidik alam, pegawai
pemerintahan jajahan.
BAB VI
FILSAFAT SEJARAH
A. Makna Filsafat Sejarah
Filsafat secara harfiah berasal dari kata philo dan sophos, philo berarti cinta
dan sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap
ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari
bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan
atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau
cinta pada kebenaran. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas
yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya.
Ariestoteles mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-
kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun
pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula.
Pada abad modern filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran.
Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan, istilah filsafat telah dikenal manusia
sejak 2.000 tahun yang lalu, pada masa Yunani kuno, di Miletos, Asia kecil, tempat
perantauan orang Yunani, sejarah awal filsafat ditandai dengan munculnya para
tokoh-tokoh pemikir besar pada zaman itu, seperti Thales, Anaximandros, dan
Anaximenes, Thales adalah orang yang pertama mempersoalkan subtansi terdalam
terhadap segala sesuatu, yang melahirkan pengertian-pengertian kebenaran yang
hakiki.
Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga
disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu pertama, sejarah tradisional,
sejarah tradisional adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-
peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya
dengan keadaan-keadaan masa kini. Kedua, sejarah ilmiah,yaitu pengetahuan
tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang
diperoleh melaluipendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
Ketiga, filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap
yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-
hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, sejarah adalah
ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudkan masyarakat saja.
Spengler Toynbee mengemukakan sejarah sebagai perkembangan yang
sesuai dengan putaran-putaran perubahan yang tetap dan selalu kembali,
sementara sejarawan lain mengatakan sejarah sebagai suatu keseluruhan laporan
mengenai masa lalu manusia yang memperlihatkan bahwa masa lalu tersebut
membentuk diri sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu yang sah secara universal.
Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara
bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah
dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis. Sejarah dalam
kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu
bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan
perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh
kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil
penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi
penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat
sejarah.
Ungkapan filsafat sejarah menunjuk pada dua jenis penyelidikan secara
berbeda, secara tradisional, ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjuk
pada usaha memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh
peroses sejarah filsafat sejarah dalam arti ini secara khas berurusan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti: apa arti, makna dan tujuan sejarah,atau hukum-
hukum pokok mana yang mengatur perkembangan dalam perubahan sejarah.
Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang
berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai
semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-
abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai
metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya. Dalam kajian-
kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang
berbeda dari kajian tentang sejarah.
Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini
dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas
metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis
dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern
dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis
apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari
tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara
pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode
yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap
ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan
pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana
yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam
kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif
yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.
Istilah Filsafat sejarah digunakan pertama kali oleh Voltaire. Pernyataan ini
terbukti terdapat di dalam bukunya La philosophie de l’histoire yang diterbitkan tahun
1765 di Amsterdam. Voltaire memaksudkan filsafat sejarah berbeda dari sejarah
sebagai kehendak Tuhan. Filsafat sejarah dipakai Voltaire untuk menegaskan
bahwa setiap peristiwa adalah kehendak manusia dan terjadi karena alasan-alasan.
Di dalam bukunya Essay on the Customs and the Spirit of Nations yang dirilis tahun
1769, Voltaire memaksudkan filsafat sejarah sebagai metode kritis untuk
menganalisis sejarah kebudayaan.
Filsafat sejarah memiliki tujuan khusus berbeda dengan sejarah atau ilmu
sejarah. Tujuan filsafat sejarah adalah untuk menemukan dasar-dasar nilai dalam
peristiwa sekaligus meneliti peluang kebenaran dan kesalahan dalam metodologi
ilmu sejarah. Menurut Rustam E. Tamburaka, filsafat sejarah bertujuan:
1. Menyelidiki sebab-sebab terakhir peristiwa sejarah agar dapat diungkap hakikat
dan makna terdalamnya.
2. Memberikan jawaban atas pertanyaan, “kemanakah arah sejarah”, serta
menyelidiki semua sebab timbulnya perkembangan segala sesuatu.
3. Membentuk visi sejarah seseorang agar menjadi luas dan mendalam.
4. Membentuk pikiran sejarah seseorang agar menjadi analitis, kronologis dan arif-
bijaksana.
5. Membentuk dan menyusun isi, hakikat dan makna sejarah, sehingga mampu
menyusun pandangan Dunia untuk filsafat sejarah Dunia atau pandangan
nasional untuk filsafat sejarah Nasional Indonesia.
Menurut Prof. Rustam, ruang lingkup filsafat sejarah ada dua. Pertama,
filsafat sejarah berusaha mengetahui sebab-sebab pasti sebuah kejadian yang
berpengaruh di dalam sejarah. Kedua, filsafat sejarah berusaha menguji
kemampuan beberapa metode ilmu sejarah dan memberi penilaian tentang hasil
analisis dan kesimpulan-kesimpulan terhadap suatu karya sejarah
Merujuk pada ruang lingkup filsafat sejarah yang secara mendasar bertujuan
menemukan dasar metodologi dan dasar normatif peristiwa kesejarahan atau
historiografi, maka pembagian filsafat sejarah juga bisa diasosiasikan demikian
adanya. Artinya, filsafat sejarah langsung bisa dibagi menjadi dua kecenderungan
besar. Pertama adalah filsafat sejarah yang konsern pada metodologi historiografi
dan biasa disebut sebagai filsafat sejarah kritis atau filsafat sejarah analitik. Kedua
adalah filsafat sejarah yang fokus pada penemuan ide-ide normatif peristiwa masa
lalu dan disebut dengan filsafat sejarah spekulatif.
Filsafat sejarah adalah salah satu bagian filsafat yang berusaha memberikan
jawaban terhadap pertanyaan mengenai makna dari suatu proses peristiwa sejarah.
Dalam suatu peristiwa sejarah, terdapat banyak makna yang tersirat dan tersurat di
dalamnya yang harus diungkap secara jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam
penafsirannya.

B. Pembagian Filsafat Sejarah


1. Filsafat Sejarah dalam Ilmu Filsafat
Dalam pola pembagian filsafat lain, pembagian filsafat secara garis besar
dapat dibagi dua kelompok, yakni filsafat sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat
sistematis bertujuan dalam pembentukan dan pemberian landasan pemikiran. Di
dalamnya meliputi logika, metodologi, epistemology, filsafat ilmu, estetika metafisika,
teologi (filsafat ketuhanan), filsafat manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti
filsafat sejarah, hukum, komunikasi, dan lain-lain.
Adapun sejarah filsafat adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran
filsafat sepanjang masa. Sejak zaman kuno hingga zaman modern, bagian ini
meliputi sejarah filsafat Yunani (barat), India, Cina, dan sejarah Filsafat Islam.
Berikut pengertian cabang-cabang filsafat yang utama:
• Logika adalah cabang filsafat yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang
lurus, tepat, dan sehat. Dengan mempelajari logika diharapkan dapat
menerapkan asas bernalar sehingga dapat menarik kesimpulan dengan tepat.
• Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.
• Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku/perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.
• Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan
• Metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada atau
membicarakan suatu di balik yang tampak. Persoalan metafisis dibedakan
menjadi tiga, yaitu ontologi, kosmologi, dan antropologi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat sejarah berada pada pola
fislsafat sistematis karena perpaduan antar dua bidang ilmu; yakni filsafat dan
sejarah berdasarkan pemetaan di atas.
Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk ilmu yang mencakup
semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus
itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika
dan fisika melepaskan diri, kemudian di ikuti oleh ilmu-ilmu lain. Setelah filsafat
ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak
baru sebagai “ilmu istimewa” yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan
oleh ilmu-ilmu khusus. Pertanyaannya ialah: apa yang masih merupakan bagian dari
filsafat dalam coraknya yang baru? Persoalan ini membawa kita pada pembicaraan
cabang-cabang filsafat. Ahli filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-
beda yaitu:
1. H. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut: metafisika, logika, ajaran
tentang ilmu pengetahuan, filsafat alam, fisafat sejarah, etika, estetika, dan
antropologi.
2. Albuerey Castell membagi masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu: masalah
teologis, masalah metafisika, masalah epistomologi, masalah etika, masalah
politik, dan masalah sejarah.
3. M.J. Lavengeld mengatakan: filsafat adalah ilmu kesatuan yang terdiri atas tiga
lingkungan masalah, yaitu lingkungan masalah keadaan (metafisika, manusia,
alam, dan seterusnya), lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori
pengetahuan, logika), lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang
bernilai berdasarkan religi).
4. Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara konkret dan sistematis
menjadi empat cabang, yaitu:
a. Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat
b. Filsafat teoretis. Cabang ini mencakup ilmu fisika yang mempersoalkan dunia
materidari alam nyata ini, ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat
segala sesuatu dalam kuantitasnya, ilmu metafisika yang mempersoalkan
hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.
c. Filsafat praktis. Cabang ini mencakupilmu etika yang mengatur kesusilaan
dan kebahagiaan dalam hidup perseorang, ilmu ekonomi yang mengatur
kesusilaan, dan kemakmuran di dalam Negara.
d. Filsafat poetika (kesenian).
Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik bagi
perkembangan pelajaran filsafat sebagai ilmu yang dapat dipelajari secara teratur.
Ajaran Aristoteles, terutama ilmu logika, hinggasekarang masih menjadi contoh-
contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan. Walaupun pembagian ahli
yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak
persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan ahli tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa
cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemology, dan filsafat-filsafat
khusus lainnya.
1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat
transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
4. Estetika: filsafattentang kreasi yang indah dan yang jelek.
5. Epistemologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6. Filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat
sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya. Seperti telah
dikatakan, ilmu filsafat sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya
mencari hakikat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir
(logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian
(metafisika). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam
tiap-tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga saat ini, lapangan-lapangan
yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika,
dan etika.
Mengikuti alur pembagian di atas, filsafat sejarah berada di luar garis
pembagian sebagaimana filsafat lainnya. Ia berada pada kelompok filsafat
khususnya karena muncul sebagai ilmu terapan berikutnya.
Berbeda dengan pola pembagian tersebut di atas, Aristoteles membagi
filsafat ke dalam tiga bidang studi sebagai berikut:
1. Filsafat Spekulatif atau Teoretis. Filsafat Spekulatif atau Teoretis bersifat objektif.
Termasuk dalam bidang ini ialah fisika, metafisika, biopsikologi, dan sebagainya.
Tujuan utama filsafat spekulatif ialah pengetahuan demi pengetahuan.
2. Filsafat Praktika. Filsafat praktika member petunjuk dan pedoman bagi tingkah
laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya.Termasuk dalam bidang ini
ialah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktika ialah membentuk
sikap dan perilakuyang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam
terang pengetahuan itu.
3. Filsafat Produktif. Filsafat produktif ialah pengetahuan yang membimbing dan
menuntun menusia menjadi produktif lewat keterampilan khusus. Termasuk
dalam bidang ini ialah kritik sastra, retorika, dan estetika. Adapun sasaran utama
yang hendak dicapai melalui filsafat ini agar manusia sanggup menghasilkan
sesuatu, baik secara teknis maupun puitis dalam terang pengetahuan yang
benar.
Pembagian di atas memosisikan filsafat sejarah berada pada tingkatan
pertama, yakni filsafat spekulatif atau teoritis. Karena ia menggali ilmu sejarah
tersendiri secara objektif.
Secara tegas, Para penulis Eerste Nedelandse Systematich Ingerichte
Encyclopaedic (ENSIE) menempatkan filsafat sejarah sebagai cabang ilmu filsafat
tersendiri. Ia sejajar dengan filsafat lainnya. Para penulis tersebut membagi filsafat
dalam sepuluh cabang sebagai berikut.
• Filsafat metafisika;
• Filsafat logika;
• Filsafat epistemology;
• Filsafat ilmu;
• Filsafat naturalis;
• Filsafat kultural;
• Filsafat sejarah;
• Filsafat estetika;
• Filsafat etika;
• Filsafat manusia.

2. Kedudukan Filsafat Sejarah


Ada tiga unsur filsafat sejarah.Ketiganya diakui mempunyai hubungan yang
erat satu sama lain, tetapi setiap unsure memiliki wawasan permasalahan dan
pembahahasan sendiri. Ketiga unsur itu adalah historiografi, filsafat sejarah kritis,
dan filsafat sejarah spekulatif.
Historiografi atau sejarah penulisan sejarah, yaitu pembahasan seputar
penelitian yang dilakukan filsuf sejarah yang bersifat deskriptif, terhadap karya-karya
sejarah yang telah ada. Kegiatannya antara lain berusaha menejawab pertanyaan
berikut:
a. Apa yang ditulis oleh para ahli sejarah termashyur, baik pada masa silam
maupun masa kini?
b. Bagaimana ciri karya sejarah pada umumnya?
c. Adakah sejarawan (ahli sejarah) dengan maksud tertentu dalam penulisannya?
d. Dapatkah filsut sejarah melihat evolusi sejarah dari abad ke abad, secara evolutif
kontinutif, serta bagaimna cara-cara ahli sejarah menulis peristiwa sejarah?
Filsafat sejarah kritis (the critival philoshopy of history) adalah unsur yang
memiliki lingkup kerja, yaitu meneliti sarana-sarana yang dipergunakan ahli sejarah
dalam menerangkan peristiwa masa lalu dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan. Arena kerja filsuf sejarah kritis, tidak terlepas dari karya
sejarah yang telah diwujudkan oleh ahli sejarah. Hal ini karena, dengan pengkajian
karya sejarah tersebut, akan diketahui bermacam-macam sarana yang
dipergunakan penulisnya.
Filsafat sejarah spekulatif (the peculative philoshopy of history) adalah kajian
seputar dua makna kata sejarah yaitu proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu
sejarah. Berbeda dengan ini, Hegel berpendapat bahwa unsur filsafat sejarah jenis
ini cenderung pada makna sejarah pertama, yaitu filsafat sejarah sebagai proses
historis.
Menutup pembahasan pembagian filsafat sejarah, tampaknya apa yang
dipahami Rapar lebih mudah bahwa pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur
yang berbeda. Alur pertama berupaya untuk memandang proses sejarah secara
menyeluruh, kemudian mencoba menafsirkannya untuk nmemahami arti dan makna
serta tujuan sejarah. Filsafat sejarah yang mengikuti alur pertama disebut filsafat
sejarah spekulatif. Alur kedua tidak memandang proses sejarah secara menyeluruh,
tetapi memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah, cara dan metode
yang digunakan oleh sejarawan, dan sebagainya. Filsafat sejarah yang mengikuti
alur kedua ini disebut filsafat sejarah kritis.
Dalam filsafat sejarah spekulatif, ada beberapa pertanyaan yang berupaya
dijawab, antara lain: Apakah arti, hakikat, dan makna sejarah? Apakah sebenarnya
yang menggerakan proses sejarah? Apakah tujuan akhir proses sejarah? Tokoh-
tokoh filsafat sejarah spekulatif yang terkenal ialah Giambattista Vico (1668-1744),
Johann Gottfried von Herder (1744-1803), GeorgWilhelmFriedrichHegel (1770-
1831), Karl Marx (1818-1883), dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975).
Dasar yang digunakan para filsuf sejarah spekulatif untuk menafsirkan proses
sejarah begitu bervariasi. Ada yang mendasarkan tafsiran mereka atas dasar
pertimbangan empiris, metafisis, dan religious. Karena dasar yang digunakan
berbeda-beda, tentu bentuk dan hasil tafsirannya pun berbeda-beda. Sebagai
contoh, Marx berpendapat bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus
tunggu yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Bagi
Toynbee, sejarah merupakan siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.
Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan
atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifal epistemologis
dan konseptual. Pada umunya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang
penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang diketengahkan oleh sejarawan
profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam. Karena itu, timbul
pertanyan: Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan oleh sejarawan? Apakah narasi sejarah memiliki validitas objektif?
Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911) Benedetto
Croce (1866-1952), dan Robin George Colliwood (1889-1943).

C. Gerak Sejarah dan Tujuannya


1. Gerak Sejarah Maju
Ide gerak sejarah yang maju ke depan sering dikemukakan para filsof yang
cenderung mengukuhkan perbuatan manusia dan pencapaian-pencapaiannya
dalam sejarah. Mengenai asal ide kemajuan ini bisa diacu pada pendapat-pendapat
Bacon (Sahakian, 1968: 124-140) dan Descartes (Snyder, 1955: 25-28), dua panji
kebangkitan ilmiah di Barat. Pada akhir abad ke-19 ide ini semakin tersebar luas,
yaitu pada waktu terjadi polemik antara para pengikut sastrawan dan krtiisi lama
dengan sastrawan dan kritisi baru.
Untuk mempertahankan sikap mereka, para pengikut sastrawan dan kritisi
baru terpaksa menuduh para pengikut sastrawan dan kritisi lama bahwa mereka
telah terperosok dalam khayalan pengukuran yang keliru. Yakni pada waktu mereka
memandang orang-orang yang lebih dulu dari mereka sebagai orang-orang yang
lebih kuat pikirannya. Padahal manusia apabila ia semakin dewasa kebijakannya
pun semakin matang dan orisinal, demikian halnya kemanusiaan yang bersama
perjalanan zaman semakin mengarah kepada kemajuan. Jadi, apabila manusia yang
terdahulu mempunyai kelebihan dalam keterdahuluannya, maka manusia yang
berikutnya mempunyai kelebihan dalam kesempurnaannya.
Teori kemajuan ini kemudian tersebar dan mempengaruhi bidang-bidang
kegiatan manusia lainnya seperti politik, sosial, seni, filsafat, dan sejarah, sehingga
pada abad ke-19 kata kemajuan memiliki berbagai makna. Di antara makna kata itu
ada yang berkaitan dengan “ide perkembangan yang memandang watak manusia
sebagai hasil tertinggi proses perkembangan itu sendiri”, dan oleh karena itu
kemajuan historis juga terkandung dalam watak itu. Makna kata ini ada pula yang
berkaitan dengan “filsafat denominasional”, di mana konsepsi kemajuan mengambil
corak teori yang integral dalam filsafat sejarah, seperti halnya yang kita dapatkan
pada beberapa filosof abad ke-19 seperti Karl Marx, Frederick Engels, dan lain-lain,
atau dalam “filsafat sosial” yang diwakili oleh Auguste Comte dan John Stuart Mill.
Kemudian pada abad ke-20, teori kemajuan meraih berbagai dukungan dari
kalangan kaum Marxis, pragmatis, dan para penganut aliran eksperimental. Sejak
awal kemunculannya, teori kemajuan erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan.
Seruan para penganut teori ini pada dasarnya ditegakkan di atas kemajuan yang
diraih kamanusiaan dalam sebagian ilmu pengetahuan yang membuat
tersingkapnya sebagian hal yang tidak diketahui sebelumnya, dan di antara hasilnya
adalah masa pencerahan dengan optimisme dan rasa percaya terhadap masa
depan yang erat berkaitan dengannya, keinginan untuk mengendalikan alam,
peremehan masa lalu dengan segala khurafatnya, dan keinginan untuk menguasai
pembuatan sejarah.
Teori kemajuan ini oleh para pendukungnya dideskripsikan sebagai suatu
proses akumulatif sepanjang masa. Oleh karena itu orang-orang zaman modern,
dengan sarana dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, lebih maju ketimbang
orang-orang zaman dahulu di bidang ilmu pengetahuan dan industri. Oleh karena itu
kekaguman tidak logis terhadap orang-orang dahulu tidak mempunyai landasan, dan
kekaguman itu menurut mereka merupakan batu penghalang jalan kemajuan
manusia. Dengan pandangan yang demikian ini, kemajuan adalah filsafat optimistis
yang memandang kesempurnaan manusia sebagai hal yang tidak terbatas dan
sejarah manusia bergerak maju di mana pengetahuan manusia menjadi semakin
berkembang dan sedikit demi sedikit semakin mendekati tujuan akhir masyarakat
manusia, yaitu terealisasinya kebebasan, kesempurnaan, dan penguasaan
sepenuhnya atas alam.
Dari segi lain, teori kemajuan mendapat kritik dari para penganut relativisme
historis yang memandang teori kemajuan hanya sebagai salah satu pola organisasi
sosial yang berupaya menganalisis realitas dan mengorganisasikannya berdasarkan
percobaanpercobaan masa lalu, guna terjadinya perubahan yang lebih besar dan
demi kebaikan sebanyak mungkin anggota-anggota masyarakat. Jadi, kemajuan
dalam pengertian yang demikian ini merupakan suatu nilai moral yang lebih banyak
mengandung suatu sifat pengarahan dan perasaan tanggung jawab bersama
daripada merupakan suatu filsafat realistis tentang realitas sejarah dalam
pengertiannya yang dikenal.

2. Gerak Sejarah Mundur


Kini kita beralih pada bentuk lani dari konsepsi beberapa peneliti tentang
gerak sejarah. Apabila sementara ahli ada yang menganut ide gerak maju
kemanusiaan ke depan, sebaliknya ada pula para ahli yang menyatakan bahwa
kemanusiaan bergerak mundur. Namun ide gerak mundur historis ini tidak
diperbincangkan banyak filosof, tidak seperti halnya dalam kalangan awam yang di
setiap masa kita masih tetap mendengarkan dari mereka keluhan terhadap zaman
dan kerinduan terhadap masa lalu, dengan kebaikan, kejayaan, dan keutamaan
yang dimilikinya. Pesimisme historis yang demikian ini timbul, kadang-kadang, dari
perasaan manusia yang merasakan kebrutalan masanya dan runtuhnya nilai-nilai
estetis dan etis dalam kalangan banyak orang. Di antara faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya keadaan yang demikian itu adalah terjadinya peperangan
yang menghancurkan, sirnanya harapan atas perdamaian dan perealisasian
kemakmuran yang selalu berulang, dan sikap para tokoh agama terhadap kritik
sosial atas etika masa yang sedang berlangsung.
Walaupun terjadi kemajuan berbagai sistem sosial yang bisa diamati,
beberapa pemikir sering menyatakan ketidakmampuan kemanusiaan untuk
mencapai kemajuan yang riil. Misalnya saja ujar Goethe: “Kini manusia menjadi lebih
cerdas dan sadar, namun ia tidak menjadi lebih berbahagia dan bermoral”.
Sementara Georges Sorel (meninggal pada tahun (1922) menentang para filosof
kemajuan dan para penyusun teori-teori perkembangan sosial politik dan
memandang para tokoh yang searah dengan Fovilles sebagai para penipu yang
berkelebihan, sewaktu mereka menyatakan bahwa menyadari terjadinya
peningkatan perasaan kehormatan manusiawi, kebebasan, dan individualitas dalam
kalangan masyarakat dengan maju dan tersebarluasnya demokrasi.
Ide kemajuan, menurut beberapa penulis, dengan demikian merupakan ilusi
yang dikemukakan sejumlah pemikir, filosof, dan pembaharu yang berpendapat
bahwa sejarah umum, yang bergerak menurut garis horisontal, merupakan suatu
“kemanusiaan” yang selalu bergerak. Akibatnya, mereka pun mengacaukan antara
pengertian-pengertian yang tidak mempunyai indikator, seperti penguasaan rasio,
kebahagiaan sejumlah besar orang, pencerahan, kebebasan bangsa-bangsa,
penguasaan alam, perdamaian yang abadi, dan ilusiilusi lain-lainnya. Dalam hal ini
mereka terdorong di belakang optimisme naif yang tidak dikuatkan oleh pengalaman
sejarah: “Maka mereka pun mempunyai gambaran bahwa kemanusiaan bergerak
secara terus-menerus ke arah suatu tujuan tertentu. Gambaran ini bukannya mereka
terima karena adanya bukti ilmiah, tapi karena mereka mengharapkan hal itu dan
harapan cukup menjadi bukti. Agar pandangan mereka itu mendapatkan landasan,
mereka pun menciptakan kata “kemanusiaan”, dan seakan kemanusiaan merupakan
sesuatu yang hakiki, maujud, hidup di luar”. Walau demikian kemanusiaan
merupakan kata yang abstrak. Sebab, seperti dikatakan Goethe, dalam hari-hari
yang telah lalu yang ada hanialah manusia. dan yang akan ada juga hanya manusia.
Jadi, kata kemanusiaan itu ada kalanya mengandung makna species hewan dan
ada kalanya tidak sama sekali mengandung suatu makna, baik apakah makna
tujuan, perencanaan, atau upaya seperti dikemukakan para pendukung ide
kemajuan.
Kaum pesimis ini sendiri, yang menganut ide gerak sejarah yang mundur ke
belakang, apabila tidak mengajak massa untuk mengadakan revolusi yang keras,
hampir tidak merefleksikan suatu garis pikiran yang gamblang dalam kalangan para
sejarawan kebudayaan, karena sedikit sekali para filosof sejarah yang mengambil
pendapat itu. Menurut pendapat paling ekstrem dari kaum pesimis ini, kebudayaan-
kebudayaan mempunyai daur historis, yakni kebudayaan itu lahir, tumbuh,
berkembang dan mati, seperti halnya makhluk hidup, untuk digantikan atau tidak
setelahnya, oleh kebudayaan lainnya, seperti akan diuraikan nanti. Tampak bahwa
sejarah – dalam perasaan manusia modern – telah menjadi suatu alam yang berjalin
dan kompleks, yang membuat manusia tidak mampu memahami rinci-rinci dan
bagian-bagiannya yang tersusun dalam satu pola yang bermakna. Menurut sejumlah
penulis modern mengenai hal itu, rinci-rinci sejarah itu tidak menyajikan kepada kita
kunci rasional apa pun yang membuat kita mampu memahami gerak sejarah. “Ia
hanialah serangkaian perubahan-perubahan cepat yang tidak tergambarkan. Apalagi
sejarahnya sendirilah yang tidak lagi membawa suatu misi ontologis yang bermakna:
adakalanya ia tidak sama sekali mempunyai tujuan dan adakalanya mempunyai
tujuan yang beraneka namun tidak ada satu pun yang memberi perasaan bermakna
terhadap landasan harapan dan nilai-nilai manusiawi.
Pesimisme dalam memahami sejarah yang demikian itu, meski pada
substansinya mengandung penghancur konsepsi kemajuan seperti yang dikenal,
tidak menyatakan secara terang-terangan gerak sejarah yang mundur ke belakang,
sebab ia mengungkapkan tentang sirnanya keyakinan atas keintegrala n rasio
manusia, kesempurnaannya, dan kemampuannya untuk berhasil,
mengaktualisasikan diri, dan berkembang, yaitu keyakinan yang begitu besar daya
tarik dan pengaruhnya selama abad-abad pertama zaman modern. Oleh karena itu,
masih banyak penulis modern yang menganut ide kemajuan, meski ide itu sendiri
mendapat banyak kritikan dan meski sejumlah filosof merasa bahwa kebudayaan
manusia modern hampir di ambang kehancuran.
Sebagai penutup uraian ringkas tentang ide gerak sejarah yang mundur ke
belakang menuju ke hancuran, seperti dikemukakan sejumlah pengkaji, dapat
dinyatakan bahwa seorang peneliti yang jujur tidaklah bisa membatasi perjalanan
tertentu dari kebudayaan: bahwa ia bergerak maju ke depan atau mundur ke
belakang. Ini karena setiap kebudayaan mengalami kemajuan atau kemunduran,
sebab itu masa lalunya tidak selalu bisa menjadi indikator masa depannya dan
penguasaan intelektualnya terhadap alam pun tidak selalu menunjukkan
kemajuannya yang menyeluruh. Untuk itu, perbincangan tentang masalah ini tidak
akan diperpanjang lagi dan kini kita beralih pada sebuah pola lain dari gerak sejarah,
seperti dikemukakan para penulis modern.

3. Gerak Sejarah Daur Kultur


Teori daur kultural adalah salah satu teori para pengasas filsafat kontemplatif
sejarah, dimana konsepsi mereka tentang gerak sejarah biasanya tidak lepas dari
upaya untuk menyingkapkan pola dan watak ritmenya. Di samping kelompok-
kelompok yang menganut ide ge r a k sejarah yang maju ke depan atau mundur ke
belakang, seperti telah diuraikan di muka, ada kelompok yang menyatakan bahwa
sejarah mempunyai daur kultural yang mengulang kembali dirinya sendiri dalam satu
bentuk atau lainnya. Ibn Khaldun, Vico, Spengler, dan Toynbee dipandang sebagai
para tokoh teori ini, meskipun sesama mereka tidak seiring pendapat mengenai rinci-
rinci teori ini dan dimensi-dimensi sosial, historis, dan filosofisnya.

4. Gerak Sejarah Menurut Hukum Fatum


Pada dasarnya alam raya sama dengan alam kecil yaitu manusia. Macro
cosmos sama dengan micro cosmos. Cosmos menunjukkan bahwa alam teratur dan
di alam itu hukum alam berkuasa. Hukum yang berlaku dalam macro dan micro
cosmos yaitu alam raja dan alam manusia dikuasai oleh nasib (kadar) yaitu suatu
kekuatan gaib yang menguasai macrocosmos-microcosmos.
Perjalanan hidup alam semesta ditentukan oleh nasib; perjalanan matahari,
bulan, bintang, manusia dan sebagainya. Tak dapat menyimpang dari jalan yang
sudah ditentukan oleh nasib.Hukum alam yang menjadi dasar dari segala hukum
cosmos ialah hukum lingkaran atau hukum cyclus (siklus). Setiap kejadian, setiap
peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi. Hukum cyclus di Indonesia di sebut dengan
cakra manggilingan yang berarti bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari
cakram itu dan bahwa segala kejadian-peristiwa berlangsung dengan pasti. Cakram
adalah lambang nasib (kadar) yang berputar terus serba abadi tanpa putus.

5. Paham Santo Agustinus


Faham fatum menjelma dalam agama nasrani sebagai faham ketuhanan
dengan sifat yang sama;
• kekuatan tunggal fatum menjadi tuhan
• serba keharusan, menurut rencana alam, menurut ketentuan fatum menjadi
kehendak Tuhan
• sejarah sebagai wujud kadar menjadi sejarah sebagai wujud kehendak Ilahi.
Tujuan gerak sejarah adalah terwujudnya kehendak Tuhan yaitu civitas dei
atau kerajaan Tuhan. Masa sejarah adalah masa percobaan, masa ujian bagi
manusia. Kehendak. Tuhan harus diterima dengan rela dan ikhlas; mnusia tidak
dapat melepaskan diri dari kodrat Ilahi;. Keharusan kodrat Ilahi menurut faham ini
ditambah dengan ancaman di akhirat masuk civitas diaboli (kerajaan iblis) atau
neraka.

6. Masa Renaisans
Disebabkan oleh kegiatan-kegiatan para ahli filsafat di Zaman Renaisance,
pengaruh gereja mulai berkurang. Perhatian manusia beralih dari dunia akhirat
kedunia yang fana ini, kepercayaan pada diri pribadi sendiri bertambah dalam
sanubari manusia. Manusia itu sendiri lambat laun melepaskan diri dari agama serta
beranilah mereka mengembangkan semangat-otonom. Sumber gerak Sejarah tidak
dicari diluar pribadinya tetapi dicari dalam diri sendiri.
Hubungan dengan cosmos diputuskan, ikatan dengan Tuhan ditiadakan,
manusia berdiri sendiri atau otonom. Gerak Sejarah tidak menuju ke akhirat tetapi
kearah kemajuan duniawi. Maka dalam hidup yang seolah-olah tidak memerlukan
tuhan itu lagi, timbul faham-faham baru yang berpedoman evolusi-tak-terbatas.
Faham-faham itu terkenal historical-materialisme atau economic determinims.
Faham ini menerangkan bahwa pangkal gerak sejarah ialah ekonomi, dimana gerak
sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang keperluan masyarakat
(produksi).
Gerak sejarah terlaksanakan dengan pasti menuju kearah masyarakat yang
tidak mengenal pertentangan kelas. Kemajuan ilmu pengetahuan serempak dengan
kemajuan filsafat dan teknik mengakibatkan timbulnya alam pikiran baru di Eropa.
Gerak sejarah dipangkalkan pada kemajuan (evolusi) yaitu keharusan yang
memaksa segala sesuatu untuk maju. Faham historical-materialism yang disusun
Karl Marx (1818-1883) dan F. Engels (1820-1895). Jelas pula bahwa otonomi yang
dibanggakan oleh manusia abad ke-19 sebetulnya hanya pembebasan dari Tuhan
dan penambatan kepada hukum ekonomi.

7. Tafsiran Sejarah Menurut Oswald Spengler


Dalil Oswald Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam
segala-galanya sama dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan, sama pula
dengan peri kehidupan manusia. Gerak sejarah tidak bertujuan sesuatu kecuali
melahirkan, membesarkan, mengembangkan, meruntuhkan kebudayaan.
Mempelajari sejarah bertujuan untuk mengetahui tingkat suatu kebudayaan
(diagnose).

8. Tafsiran Arnold J. Toynbee


Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan 21 kebudayaan yang sempurna
dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan
melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut:
• genesis of civilizations – lahirnya kebudayaan
• growth of civilizations – perkembangan kebudayaan
• decline of civilizations – keruntuhan kebudayaan
o breakdown of civilizations – kemerosotan kebudayaan
o disintegration of civilizations – kehancuran kebudayaan
o dissolution of civilizations – hilang dan lenyapnya kebudayaan
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh
sebagian kecil dari pemilik-pemilik kebudayaan tersebut. Jumlah kecil tersebut
menciptakan kebudayaan dan massa meniru. Tanpa meniru yang kuat dan dapat
mencipta maka suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.

9. Teori Pitirim Sorokin


Pitirim Sorokin adalah orang ahli sosiologi dan tersohor karangannya.
Pendapatnya berbeda dengan aliran-aliran pendahulunya. Gerak sejarah terutama
menunjukkan fluctuation from age to age yaitu naik turun, pasang surut, timbul
tenggelam, dengan ganti berganti. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah
terutama menunjukkan fluctuation from age to age yaitu naik-turun,pasang-surut,
timbul-tenggelam dengan berganti-ganti. Ia menyatakan tentang adanya cultural
universe atau alam kebudayaan dan disitu terdapat masyarakat denagan aliran-
aliran kebudayaan. Dalam ajaran yang seluas itu terdapatlah tiga corak (typus) yang
tertentu yaitu :
a. ideational yaitu mengenai kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayan.
b. Sensate yaitu yang serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusatkan
panca indra.
Perpaduan daripada ideational-sensate ialah idealistik yaitu suatu kompromi

10. Sifat Gerak Sejarah


Teori-terori yang memberikan arah dan tujuan kepada gerak sejarah dapat
disimpulkan demikian :
a. Tanpa arah-tujuan
b. Pelaksanaan kehendak tuhan : gerak sejarah ditentukan oleh tuhan dan menuju
kearah kesempurnaan manusia menurut kehendak tuhan
c. Ikhtiar, usaha dan perjuangan manusia dapat menghasilkan perubahan dalam
nasib yang sudah ditentukan oleh tuhan. Maka sejarah merupakan perimbangan
antara kehendak Tuhan dengan usaha manusia
d. Evolusi dengan kemajuan yang tidak terbatas : gerak sejarah membawa manusia
setingkat demi setingkat terus kearah kemajuan.
e. Disamping gerak evolusi itu terdapat paham historical-materialism yang
menentukan bahwa masyarakat tak berkelas itu adalah muara daripada gerak
sejarah setelah melalui masa kapitalis
f. Reaksi terhadap faham evolusi itu menghasilkan beberapa aliran baru yaitu:
• Aliran menuju ketuhanan seperti umpamanya faham A. J. Toynbee, bahwa
gerak sejarah itu akan sampai kepada masa bahagia apabila manusia
menerima tuhan serta kehendak tuhan sebagai dasar mutlak daripada
perjuangannya
• Aliran irama gerak sejarah menurut faham Pitirim Sorokin yang menyatakan
bahwa gerak sejarah tidak bertujuan apa-apa dan bahwa gerak sejarah itu
hanya menunjukkan datang lenyapnya atau ganti bergantinya corak-corak:
ideational sensate dan idealistic
• Aliran kemanusiaan yaitu suatu aliran yang sangat luas yang berpusatkan
pendapat mutlak bahwa manusialah yang terpenting di dunia ini.
Gerak sejarah sukar ditentukan sifatnya karena kemungkinan-kemungkinan
untuk memberikan tafsiran banyak sekali, tetapi betapa sukarnya juga untuk
menentukan sifatnya nyatalah bahwa:
✓ Dasar mutlak daripada gerak sejarah adalah manusia
✓ Isi gerak sejarah adalah pengalaman kehidupan manusia
Demikian sifat sejarah sebagai daya penggerak manusia untuk menciptakan
dunia baru yang bersifat positif dan optimistis. Manusia dapat dan mampu
mengubah dunia serta menentukan nasibnya sendiri sampai meraih tujuan geraknya
sendiri sehingga menjadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan dalam rentetan
sejarah.
BAB VII EKSPLANASI SEJARAH

A. Arti dan pentingnya eksplanasi sejarah


Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa
tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan yang tepat
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements). Arti penting dari
eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya
mengenai suatu peristiwa sejarah. Penjelasan sejarah ialah usaha membuat unit
sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Mengapa sekedar “penjelasan” dan
bukan “analisis” yang lebih meyakinkan dan pasti? Kata “analisis ” memang juga
dipakai secara bergantian dengan “penjelasan”, di antaranya oleh Marc Bloch,
terutama ketika orang menganalisis hubungan kausal antara gejala sejarah. Akan
tetapi, karena kata “penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya,
sedangkan kata “analisis” tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah,
maka di sini dipakai kata “penjelasan”.
Eksplanasi sejarah merupakan kegiatan yang menghubungkan atau
mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya melalui penggunaan
pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat dari penjelasan umum
tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan penjelasan sejarah.
Penjelasan ilmiah dimulai dengan observasi (pengamatan), berakhir dengan konsep
– konsep umum (generalisasi), dimana gejala dilihat sebagai dalam kerangka suatu
penegakan generalisasi.
Sedangkan penjelasan dalam sejarah berupaya untuk menyelami apa yang
ada di dalam suatu peristiwa (dapat menghayati peristiwa sebenarnya dari dalam).
Bagian dalam suatu peristiwa adalah pikiranyang ada dibalik wujud fisik. Sedangkan
bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud fisik atau gerak dari suatu peristiwa.
Eksplanasi sejarah terdiri dari beberapa bagian yaitu konsep, fakta, kontruksi, dan
sebab musabab. Konsep adalah kesimpulan dari gejala-gejala dalam suatu peristiwa
sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak
langsungdari dokumen sejarah dan dianggap credible (dapat dipercaya). Setelah
melalui tahap pengujian sesuai hukum metode sejarah. Kontruksi adalah
pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa sejarah.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, pertama sebab langsung dan kedua
sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah pemicu peristiwa sejarah yang dapat
diketahui dengan observasi, pengamatan, ataupun perekaman. Sedangkan sebab
tidak langsung merupakan pemicu terjadinya peristiwa sejarah yang tidak dengan
begitu saja dapat dibuktikan namun sebab tidak langsung inilah yang merupakan
bagian terpenting dalam pembentukan fakta sejarah. Penyusunan fakta sejarah tidak
terlepas dari konsep, ketiga hal ini merupakan bagian terpenting dalam kontruksi
sejarah.
Ekspalansi sejarah secara pradikmatikal terdiri atas ekspalandum
(ekspalandum), atau pernyataan untuk memberikan ekspalansi dan eksplans atau
perangkat pernyataan untuk memberikan ekspalansi. Eugene J. Mehaan dalam T
Ibrahim Alfian menyatakan bahwa ekspalansi adalah proses yang dilalui peristiwa-
peristiwa tunggal (ekpelikanda) dihubungkan demngan peristiwa-peristiwa tunggal
dan fenomena yang terisolasi tidaklah bermakna fakta belaka. Tanpa ekspalansi,
fakta itu tidak berarti apa-apa.
James A. Black dan Dean J. Champion menyebutkan bahwa eksplanasi
dapat tercapai jika saling pertalian dapat di buktikan antara sebab-sebab tertentu
dengan akibat- akibatnya .hal yang fundamental dalam esplanasi adalah sifatnya
yang saing berkait anatau relation nature. Harus ada dua hal yaitu fakta untuk di
susun untuk bersamaan dengan itu mekanisme konseptual yang dapat di terima dan
masukakal yang melaluinya dapat di kaitkan secara bersama- sama. Jika kita
jelaskan tentang fakta, kita harus memperhitugkan mengapa fakta itu harus
dianggap berkaitan satu dengan yang lain, dan kita harus memahaminya dengan
menunjukkan mengapa terjadi dalam bentuk yang demikian.
Terdapat dua perangkat masalah yang timbul dalam tugas eksplanasi
diantaranya adalah:
1. Masalah menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi
dan disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;
2. Masalah memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini
terlihat, eksistensi fakta merupakan bahan pokok untuk teori-teori kehidupan
sosial.
Menurut J. Meehan ada empat kasus yang khas dalam eksplanasi diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Eksplanasi kausal yang menghubungkan explicandum (sesuatu atau peristiwa
atau fenomena yang perlu di jelaskan) dengan seperangkat kondisi- kondisi yag
terjadi sebelumnya yag perlu ada atau cukup untuk menghasilkan explicandum.
2. Eksplanasi fungsional yang menghubungkan dengan konteks yang lebih lias
dengan menunjukkan fungsi yang di embannya, seperti kita menjelaskan fungsi
hati dalam organ tubuh.
3. Eksplanasi teleologis yang menghubungkan explicandum dengan tujuan suatu
sistem atau maksud si pelaku, seperti perilaku seekor binatang dapat dijelaskan
karena ia mencari makan atau perilaku manusia dalam upayanya untuk
mencapai maksud dan tujuan tertentu.
4. Eksplanasi genetik atau eksplanasi sejarah yang menelusuri keadaan- keadaan
sebelum suatu peristiwa terjadi dan menunjukkan bagaimana proses yang
terjadi.
Deskripsi dan eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal, keduanya memiliki
perbedaan. Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual
dalam peristiwa sejarah, meliputi apa (what), di mana (where), kapan (when), dan
siapa (who). Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang
sebuah peristiwa. Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual
untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa. Mengapa (why) dan
bagaimana (how) merupakan pertanyaan analisis-kritis yang juga menuntut
jawaban analisis-kritis yang bermuara pada penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam
kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual
karena eksplanasi tanpa deskripsi adalah fantasi.
Secara tuntas deskripsi dan keterangan atau eksplanasi tidak dapat di
bedakan satu sama lain. Sebuah laporan faktual mengenai peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada bulan Agustus 1914 di Eropa mengenai indikasi mengenai sebab
meletusnya perang dunia I. Laporan itu mengatur fakta-fakta tertentu, dapat
memperlihatkan, bahwa baik mobilisasi tentara Rusia maupun keinginan staf
angkatan darat Jerman yang tidak mau buang waktu, menentukan perkembangan
seterunya. Mengingat hal itu, maka terdapat filsuf-filsuf sejarah yang mengatakan
bahwa secara prinsip mustahil membedakan deskripsi dari keterangan. Menurut
mereka, sederetan ucapan singular sudah mampu menerangkan sesuatu atau
mempunyai kemampuan eksplikatif. Akan tetapi, biasanya para ahliberpendapat
bahwa keterangan dan deskripsi secara hakiki berbeda dari yang lain. Mereka
bernalar sebagai berikut: keterangan-keterangan historis, biasanya berupa”karena p,
maka q (p dan q merupakan deskripsi-deskripsi mengenai kedaan-keadaan pada
masa silam). Misalnya, ”karena Bismarck ingin merongrong perjuangan partai
sosialis maka ia menerapkan suatu sistem jaminan sosial”.
Sementara itu, para sejarawan berpendapat lain banwa eksplanasi dan
deskripsi secara hakiki berbeda satu samalainnya. Hakekat suatu eksplanasi sejarah
selalu berkaitan antara dua deskripsi mengenai keadaan pada masa silam. Kaitan
tersebut selalu berobjek pada kedua deskripsita di Sebuah eksplanasi bukan
merupakan suatu deskripsi mengenai sesuatu dalam kenyataan sejarah. Deskripsi
itu merupakan rangkaian peristiwa dan terdapatu nsur akibat yang ditimbulkan.
Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Maka sejarawan harus jujur, tidak
menyembunyikan data, dan bertanggung jawab terhadap keabsahan data –
datanya.

B. Model-Model Eksplanasi Sejarah


Helius Sjamuddin (1996) membagi eksplanasi sejarah kedalam beberapa
model, yaitu sebagai berikut:
1. Kausalitas
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan
merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect).
Hukum sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena
merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah adalah kajian tentang
sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan aksioma atau
kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas dianggap ketinggalan
karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas adalah
pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab
untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut
kemajemukan sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab
memiliki kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-
sebab untuk kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab
dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme
dalam sejarah (determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in
history). Ahli filsafat Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah
determinisme. Kritik terhadap determinisme adalah dianggap mengabaikan
kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap bertentangan dengan
adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan
antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang
kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena
dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian,
kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah (low intellectual
vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi
fakta sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan
memilihnya karena dianggap mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti
(signifikansi) dengan apa yang diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut
multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta
relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang lainnya merupakan
esensi penafsiran sejarah.
2. Covering Law Model (CLM)
Sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan
pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum umum (general law), suatu
pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah
berdasarkan bukti-bukti empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa
setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum
(general law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis dari
bentuk universal (hypothesis of universal form).
Menurut teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam
dengan sejarah. Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-
peristiwa itu di bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Penjelasan diperoleh
dengan cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum
umum dan kondisi-kondisi awal.
3. Hermeneutika
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM.
Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu
kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia
hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik)
daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari
masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa
lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam
alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan
berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah.
Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan pengalaman
hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang digunakan.
4. Model Analogi
Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai
eksplanasi sejarah. Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi
yang sangat berguna. Analogi berperan penting dalam proses kreativitas intelektual.
Analogi dapat berperan ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, analogi dapat
meningkatkan suatu yang tidak disadari atas inferensi awal ke tingkat rasionalitas
dalam pikiran . Ke luar, analogi bekerja sebagai wahana mengalihkan pikiran
seseorang kepada orang lain.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi
menimbulkan kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif dalam
menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa
sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam pembuktian.
Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan
metafora dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi. Beberapa contoh
metafora sejarah antara lain:
a. Machiavellian, diambil dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan
doktrin politik seseorang yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai
tujuan politiknnya.
b. Cut the Gordian Knot, dari nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk
menggambarkan penggunaan cara-cara drastis tanpa bersusah payah.
c. Pyrrhic victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan
sebuah kondisi di mana kemenangan perang diperoleh dengan kerugian
besar. Sejarawan menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perjuangan
seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sampai
kehabisan daya.
d. Carthaginian Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran
Kartago yang dilakukan Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah
kekuatan. Sejarawan menggunakan metafora ini untuk menggambarkan
politik bumi hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran munculnya kekuatan
lain.
5. Model Motivasi
Eksplanasi model motivasi dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan suatu perbuatan yang
inteligen, sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang perbuatan itu.
b. Bentuk tingkah laku yang berpola. Pada dasarnya, model ini menekankan
penggunaan pendekatan psikohistori yang berpijak pada teori psikoanalisis
dari Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini terletak pada keterbatasan-
keterbatasan metode psikoanalisis sendiri, selain prosedur historiografis yang
kurang memadai.

C. Beberapa contoh kausalitas dan eksplanasi sejarah


Salah satu contohnya adalah mengenai “Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan”, dalam
hal ini dapat muncul beberapa sebab dari terjadinya peristiwa tersebut, sebagai
contohnya :
• Ada yang berpendapat bahwa kelompok sukarno-hatalah yang menyebabkan
peristiwa itu dapat terjadi pada tangga 17-08-1945
• Argumentasi lain ada yang mengatakan bahwa Subarjolah yang menyebakan
peristiwa itu terjadi pada tanggal 17-08-1945, sebab dialah yang
membebaskan Sukarno-Hatta dari Rengasdengklok dengan mempertaruhkan
jiwanya
• Dalam hal ini dapat juga orang mengemukakan peristiwa itu dapat terjdai
pada tanggal 17-08-1945 karena Maeyda berbaik hati meminjamkan
rumahnya untuk rapat merumuskan teks proklamasi kmerdekaan
Dalam hal ini sejarawan tidak dapat menulis semua sebab yang merupakan
daftar panjang dalam karyanya. Oleh karena itu Sejarawan harus memilihnya untuk
ditulis dan memberikan argumentasinya yang meyakinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Aam Abdilah. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia
Abd Rahman Hamid & Muh. Saleh Madjid. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Ombak
E.Tamburaka, Rustam. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah Sejarah
Filsafat dan Iptek. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta,

SUMBER INTERNET
www.wikipedia.org
www.pustakaunpad.ac.id
www.academia.edu/14727521/Pengantar_Ilmu_Sejarah
http://bangsalimtuban.blogspot.com/2013/05/filsafat-sejarah.
http://aldenabil.blogspot.com/2013/09/ilmu-bantu-sejarah.

Anda mungkin juga menyukai