pengantar
Wayang merupakan salah satu budaya berupa kesenian tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Macam-macam wayang adalah wayang kulit, wayang kayu, dan pertunjukan drama tradisional.
Namun dalam penelitian ini wayang ditujukan untuk wayang kulit. Wayang adalah seni yang
dianggap sebagai jembatan transformasi budaya dan agama, khususnya dalam peradaban
masyarakat Jawa. Wayang adalah seni pertunjukan berupa gambaran komunikasi simbolik
tentang perilaku manusia dalam praktik keagamaan dan budaya. Hal ini membuktikan bahwa
pewayangan secara filosofis merupakan bentuk pencerminan watak, perilaku, dan kehidupan
manusia.1 Yang utama adalah bahwa wayang tidak hanya sebagai seni estetika bagi
masyarakat tetapi juga
merupakan seni etika budaya yang dikomunikasikan secara simbolik dan sebagai sarana moral dan
moral. pesa
Dalam setiap pertunjukan wayang tentunya terdapat pesan kebaikan moral berupa ajaran
agama dan berbagai informasi penting bagi masyarakat serta hiburan bagi masyarakat.
Kemudian, pesan dan informasi disampaikan dan disajikan melalui karakter yang dibawakan
oleh masing-
masing dalang pada setiap pertunjukan.2 Narasi dalang umumnya bersumber dari cerita
rakyat, Wiracarita Populer, dan Naskah Gubahan.3 Namun seringkali narasi tersebut
dimodifikasi dengan kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi saat itu.
Sehingga hal inilah yang membuat Wayang terus mampu beradaptasi dan berinovasi mengikuti perkembangan zaman.
Fakta sejarah memberikan informasi bahwa dalam kesenian klasik masyarakat Nusantara,
Wayang yang sebelumnya memuat konsep pemujaan arwah nenek moyang yang dibungkus
dengan tradisi Hindu, kemudian digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali.
Seperti halnya Sunan Kalijaga, menggunakan Wayang sebagai proses sinkretis agama dan
budaya dengan inovasi dan dialog yang menarik kemudian disajikan kepada masyarakat.4
Maka dalam pertunjukan Wayang, secara tidak langsung terjadi gesekan antara budaya dan
ideologi agama Hindu menjadi sebuah kode etik. perilaku yang diambil melalui ajaran agama
(Islam).5 Inilah strategi para wali dalam menyebarkan Islam sebagai upaya yang ditempuh
melalui jalur budaya Jawa. Penyebaran juga dimulai dengan ekspedisi penaklukan
Blambangan yang kemudian menjadi identitas budaya antara Islam, Mataram, dan Hindu.6 Hal
ini disebabkan Walisongo berusaha
memasukkan unsur nilai-nilai Islam ke dalam pewayangan. Unsur-unsur tersebut disampaikan
secara simbolis melalui pesan sosial masyarakat Islam, baik sistem pemerintahan, sosialisasi
tetangga, hingga ranah privat yaitu membentuk pola kehidupan keluarga dan juga pola kehidupan
pribadi.7
1 Asrul Anan dan Siti Juwariyah, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Karakter Wayang
Punakawan,” Al Murabbi: Jurnal Pendidikan Islam 2 (2017): 325-40.
2 Tri Ratna Herawati, “Analisis Nilai Karakter Dalam Wayang Kulit Dengan Lakon Puspito
Manik Sebagai Sumber Belajar Sastra Siswa Smp,” Jurnal Skripta 5, no. 1 (2019): 83–96.
3 Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, “Ensiklopedia Islam
Nusantara,” Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, no. Edisi Budaya (2018): 378.
4 Erli Mujiningsih, Erlis N. Yetti, “Sunan Kalijaga dalam Novel Babad Walisongo dan Kisah
Dakwah Walisongo,” Bahasa dan Seni 43, no. 2 (2015): 213–26.
108
5 I Gusti Ngurah Seramasara, “Wayang Sebagai Media Komunikasi Simbolik Perilaku Manusia
Dalam Praktek Budaya Dan Agama Di Bali,” Mudra Jurnal Seni Budaya 34, no. 1 (2019): 80–86,
https://doi.org/10.31091/ mudra.v34i1.640. 6 I Nengah Duija, Tokoh Sabdopalon: Rekonstruksi Makna Politik
Kebudayaan Hindu-Islam, 2015.
7 Eko Setiawan, “Makna Filosofi Wayang Purwa Dalam Lakon Dewa Ruci,” Kontemplasi: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin 5, no. 2 (2017), https://doi.org/10.21274/kontem.2017.5.2.399-418.
Machine Translated by Google
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan
Keagamaan Vol 17 No 1
(2022)| 107-121
Praktik budaya lokal dengan gabungan yang mengakar dalam masyarakat Jawa
dengan nilai-nilai religi “Islam” tentu tidak mudah. Hal ini dikarenakan strata budaya
dan sosial masyarakat Jawa pada masa itu sangat dipengaruhi oleh manusia yang
dianggap kontemplatif dan suci serta memiliki kemampuan mistik, mereka adalah
para pendeta; Pendeta, Guru, Biksu, Wiku, Resi, dan Empu. Dengan demikian, hal ini
menunjukkan bahwa kebudayaan dan agama pada masa Hindu-Buddha hanya
menitikberatkan pada
kehidupan mistik dan religius. Melalui seni bayang-bayang wayang “Wayang Kulit”
yang
dibawakan oleh para Walisongo, tradisi Animisme, Dinamisme, dan Paganisme
ditransformasikan menjadi Mistik Monoteistik.8 Langkah pertama untuk menciptakan
akulturasi budaya adalah mengganti teologi Hindu dengan teologi Islam. Oleh karena
itu, bentuk dakwah komunikatif Wayang menjadi upaya transformasi yang efektif
dilakukan oleh para Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga untuk membantu
mempercepat laju
Islamisasi di tanah Jawa . kisah yang sarat pesan sufistik. Kemudian, aspek mistis
yang
melekat pada wayang kulit Lakon diolah dengan ajaran tasawuf yang membimbing masyarakat
mela
Secara umum tradisi pementasan wayang kulit mengandung nilai-nilai filosofis
kehidupan, pedoman baik dan buruk, praktik budaya, dan nilai-nilai religi dalam
kehidupan sehari-hari.11 Namun pedoman tersebut lebih mudah dipahami jika ada
perantara antar tokoh lakon dalam pewayangan. . Mengapa untuk memahami pesan
budaya dan agama, karakter Lakon menempati beberapa lapisan peran penting, yaitu
sosial budaya, fenomena budaya, dan agama teologis? Lakon yang sampai saat ini
digemari dan dijadikan sebagai Tauladan, tokoh dan panutan masyarakat Indonesia
dalam pementasan wayang kulit adalah Punakawan yang terdiri dari Semar, Nala Gareng,
Petruk, da
Menariknya, menurut sejarah, tokoh Punakawan ini diciptakan berbeda oleh para
pendakwah Islam awal dengan versi pada abad XI. Sarana tersebut, oleh Sunan
Kalijaga Punakawan, dimodifikasi menjadi sarana dakwah Islam di tanah Jawa.13
Kesenian wayang yang diajarkan Sunan Kalijaga tentunya sangat berbeda dengan
kesenian
wayang kulit klasik sebelumnya yang sarat dengan ajaran Hindu dan Budha.
Misalnya
tokoh Punakawan yang identik dengan Semar dan anak-anaknya dalam pewayangan.
Sejak masa Majapahit, sosok Punakawan identik dengan Sabdopalon. Meskipun
109
terdapat sedikit perbedaan nama, namun kedua tokoh tersebut memiliki latar
belakang yang
sama dalam mengembangkan akulturasi budaya dan agama.14 Hal ini terjadi pada
masa
peralihan sejarah Hindu ke Islam, sehingga melatarbelakangi perubahan sosial-budaya- d
keagamaan
Tokoh Punakawan menurut versi para wali terdiri dari Kata Semar berasal dari
kata Arab Simaar dan Ismar yang berarti kokoh, kokoh, kuat, dan tidak goyah.
Semar digambarkan sebagai manusia yang bijaksana dan memiliki pengetahuan yang
luas baik pengetahuan fisik maupun mental. Sedangkan Nala Gareng berasal dari
kata Nala Khairan
yang berarti memperoleh kebaikan. Gareng digambarkan sebagai manusia yang tidak
cakap dalam berbicara tetapi cerdik dan memiliki wawasan berpikir yang luas.
Belakangan, Petruk
berasal dari kata Fat Ruk yang berarti tinggalkan. Petruk digambarkan sebagai sosok
yang
cerewet namun tidak memiliki kelebihan apapun. Belakangan, Bagong berasal dari
kata Albaghoya yang berarti hal yang buruk.15 Sedangkan Bagong, salah satu
Punakawan, merupakan tokoh perwakilan Semar. Tokoh Bagong cerdas dan suka
mengkritik namun
dengan nada kritik yang khas disertai Humor.16
110
menemukan jejak-jejak transformasi budaya dan agama pada masyarakat Jawa
melalui Lakon Punakawan.
Artikel ini tidak hanya mengangkat tokoh Punakawan sebagai tokoh legenda,
tokoh fiksi, tokoh akulturasi, tokoh pewayangan, tokoh teknik, dan lain-lain. Namun,
ciri budaya yang dihasilkan melalui penokohan tersebut memberikan warna pada
sejarah budaya masyarakat Jawa. Pertama, proses penetrasi Islam secara mental,
spiritual, dan material dalam interaksi sosial yang sebelumnya masih kental dengan
pengaruh budaya Hindu.
Kedua, identitas peran Punakawan mencerminkan Wong Cilik namun berwatak
religius.
Demikianlah yang digunakan oleh para wali untuk mengajarkan tauhid, tasawuf, dan ruhani k
serta ritual
15 Anan dan Juwariyah, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Tokoh Wayang
Punakawan.” 16 Anan dan Juwariyah. 17 Anan dan Juwariyah.
18 Ponimin dkk., “Kreasi Seni Patung Bertema Figur Wayang ‘Punokawan’ Sebagai Penguat
Karakter Masyarakat Desa Wisata di Malang,” Karinov 3, no. 3 (2020): 164–73.
19 Sumarsam, Memaknai Wayang Dan Gamelang: Temu Silang Jawa Islam Dan Global, Cetakan
ke (Yogyakarta: Gading, 2018).
20 Kiki Zakiah Darmawan, “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode,” Mediator: Jurnal
Komunikasi 9, no. 1 (2008): 181–88, https://doi.org/10.29313/mediator.v9i1.1142.
metode
Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah melalui
kajian pustaka yang mengacu pada aktivitas atau kegiatan interaksi sosial dalam
masyarakat.21 Peneliti dalam penelitian ini memfokuskan pada pengungkapan Lakon
Punokawan melalui makna tokoh dan ungkapan yang diungkapkan oleh dalang.
melalui Lakon Punakawan dalam pertunjukan wayang kulit. Selanjutnya dilakukan
identifikasi Lakon Punakawan sebagai peristiwa transformasi budaya dan agama pada
masyarakat Jawa.
Menurut peneliti, terdapat tiga inti transformasi budaya dan agama pada
masyarakat Jawa yang meliputi sosial budaya, agama, dan politik.22 Pertama, peneliti
melihat proses perubahan sosial budaya masyarakat Jawa dalam tatanan sosial
budaya. alam melalui modifikasi Lakon Punakawan dalam dakwah yang dilakukan
oleh para wali.
111
Perubahan budaya kolonial pada masyarakat Jawa yang sebelumnya beragama Hindu
Budha tampak lebih Animisme dan Dinamisme menuju Mistik Monoteistik. Kedua,
menganalisis aktivitas sosial masyarakat Jawa sebagai bentuk pergeseran ideologi
Hindu Jawa menuju Islamisasi Jawa melalui konsep Islam egaliter. Proses Islamisasi
tentu mengubah perilaku dan keyakinan masyarakat asli Jawa yang berlangsung
sangat
lama pada abad ke - 14 hingga ke- 18 . Dengan demikian, proses tersebut juga
mengantarkan masyarakat pada abad ke -20 modernisme Islam.23 Ketiga, Lakon
Punakawan dilakukan oleh para dalang sebagai bentuk interpretasi kegelisahan “Wong Cilik”
melalu
Kajian ini memiliki beberapa unsur metodis yang digunakan peneliti;25 pertama,
metode analisis deskriptif sejarah digunakan untuk memberikan interpretasi terhadap
fenomena sejarah dan memasukkan literatur sejarah dalam melihat bentuk-bentuk
transformasi budaya dan agama di masyarakat. Langkah pertama yang dilakukan
dalam
metode ini adalah menemukan beberapa data terkait peran Lakon Punakawan dalam
pewayangan sebagai alat transformasi budaya, sebagai alat konflik batin masyarakat,
dan sebagai alat dakwah. Dengan demikian, fungsi Lakon berubah secara kultural
terkait
kepercayaan masyarakat dan tradisi masyarakat yang ada. Kedua, tentunya peran
Lakon Punakawan dalam pewayangan Jawa memberikan informasi tentang
transformasi dan perubahan paradigma umum masyarakat Jawa terkait budaya dan
agama. Dengan
demikian, pendekatan sosiologis untuk memahami perubahan masyarakat Jawa
melalui pewayangan Punakawan serta perubahan interaksi sosial, interaksi
keagamaan, dan interaksi politik.26 Selanjutnya peneliti mencari data penelitian
terdahulu, penelitian
terkait, dan penelitian yang memiliki kesamaan dalam objek material dan objek formal.
Kemudian dar
kesamaan antara objek formal dan objek material, kemudian di-recall oleh peneliti untuk
mendapatkan benang merah perbedaan yang terang dan menjadi kebaruan dalam penelitian
ini.
112
Punakawan bermain
Lakon menjadi unsur penting dalam pewayangan; identitas lakon berfungsi sebagai media
komunikasi, persembahan simbolik, kerukunan, norma masyarakat, peneguhan sosial, dan
upacara keagamaan.27 Lakon yang dibawakan oleh dalang bersumber dan berbentuk seperti
prosa Gancaran atau Syair. Dalam bentuk Lakon Balongan, ada yang bersumber dari Naskah
Lakon yang disusun mulai dari penulisan petunjuk teknis pementasan, dialog, Karawitan,
Sulukun, dan lain-lain.28 Dengan demikian, Lakon menjadi sajian dengan nuansa yang
berbeda.
Secara etimologis, Punakawan berasal dari dua kata. Pertama, Puno yang berarti
mengerti, dan Pana yang berarti cahaya.29 Kedua, kata Pono atau Kawan berarti Kanca,
teman, saudara,
atau Pamong.30 Berdasarkan kedua kata tersebut, arti lengkap Punakawan adalah teman yang
menunjukkan jalan cahaya (baca: kebaikan), serta saudara yang bisa mengasuh dan
membimbing menuju kebaikan dan kearifan hidup di dunia. Punakawan adalah pamong yang
tanggap ing sasmito lan limpat ing gratiho. Yaitu, sebagai seorang sahabat yang memiliki
kecerdasan, kearifan batin, kearifan, wawasan ilmu yang luas, serta ucapan dan perkataan
yang sejalan dengan
perbuatan. Punakawan juga bisa diartikan sebagai sahabat yang mengerti kebaikan dan
bijaksana serta mutiara hikmah.
Dalam pewayangan, sosok Punakawan tidak hanya terdapat dalam Mahabharata atau
Ramayana. Namun sosok tersebut merupakan sosok asli Indonesia yang telah ada sebelum
zaman Madya, yang dibuktikan melalui beberapa sobekan bukti pada relief candi Panataran,
candi Tegawangi, dan candi Sukuh.33 Punakawan secara khas diwujudkan dalam bentuk yang
tidak profesional
sebagai tipikal Lakon dalam pertunjukan Wayang Kulit Nusantara. Ciri-ciri tersebut diterapkan
dalam peran atau lakon dengan perbuatan, keunikan, dan juga gaya bicaranya. Sehingga
Lakon
Punakawan sering disebut sebagai Wayang Dagelan karena dalang sering menggunakan Lakon ini
sebagai sar
27
Bambang Harsrinuksmo, Ensiklopedi Wayang Indonesia, ed. oleh M.A. etc. Drs. H. Solichin, Drs. Suyanto, S.Kar., 2016.
28
M.A. etc. Drs. H. Solichin, Drs. Suyanto, S.Kar., “Ensiklopedi Wayang Indonesia,” 2016.
29
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: Delta Pamungkas, 2004).
30
Anan dan Juwariyah, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Tokoh Wayang Punakawan.” 31
Mulyono, Apa Dan Siapa Semar.
Sunarto
32
-,“PANAKAWAN WAYANG KULIT PURWA: Asal-usul dan Konsep Perwujudannya,” Panggung 22, no.
113
Machine Translated by Google
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan
Vol 17 No 1 (2022)| 107-
121
atau lelucon praktis.34 Kehadiran Lakon Punakawan dalam dunia pewayangan tidak
hanya menjadi ciri khas Ndagel tetapi juga sebagai lakon yang mengusung konsep
ketuhanan, konsep religi, dan konsep filosofis dalam cerita pewayangan.35
Kedua, Gareng adalah anak pertama Semar. Gareng memiliki nama lengkap Nala
Gareng. Nala artinya hati, sedangkan Gareng artinya garing atau Kering dalam bahasa
Indonesia. Secara filosofis Nala Gareng berasal dari Naala Qorin yang berarti
memperoleh banyak sahabat, dan Nala Khairan yang berarti memperoleh kebaikan.40
Nama Gareng
lainnya adalah Cokrowongso, Pegat Waja, Wiryatmeja, Ronggo Cethut, Brojo Lintang, Pancal Pamor,
Kuda Parawana, dan Pandupragola.41 Lakon Gareng dalam pewayangan digambarkan sebagai tokoh
dengan bentuk fisik yang jelek dan cacat. Rambut kepala sangat sedikit, badan pendek dan
34 Harsrinuksmo.
35 Harsrinuksmo. 36 Harsrinuksmo.
114
37 Wisma Nugraha R Christianto, “Peran Dan Fungsi Tokoh Semar-Bagong Dalam Pergelaran
38
Lakon Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran,” Humaniora 15, no. 3 (2003): 285–301.
39
Raden_Ngabehi_Ronggowa, Serat_Paramayoga_Part_II.pdf, hlm Harsrinuksmo, Ensiklopedi Wayang
Indonesia.
40 Anan dan Juwariyah, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Tokoh Wayang
Punakawan.” 41 -, “PANAKAWAN WAYANG KULIT PURWA: Asal-usul dan Konsep
Perwujudannya.”
terong, siku kaku, kaki pincang, dan tumit terkena penyakit Pathek atau Frambusia.42 Namun, di
balik ketidaksempurnaan fisiknya, Gareng menggambarkan sosok manusia yang harus berhati-hati
dalam menjalani kehidupan. Tangan cacat yang menggambarkan manusia harus terus berusaha
apapun hasil yang didapat, dan hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mata juling maksudnya
adalah manusia harus bisa memanfaatkan apa yang diberikan Tuhan kepadanya untuk melihat
realitas kehidupan.
Ketiga, Petruk adalah anak kedua Semar dalam pewayangan Indonesia. Petruk memiliki
banyak
nama, antara lain Udawala, Dawala, Dublajaya, Jengglongjaya, dan Pentung Pinanggul. Wayang
Kulit Purwa dan pertunjukan drama tradisional Lakon Petruk menggambarkan tokoh dengan
tubuh tinggi, leher besar, dan hidung mancung dengan karakter yang periang dan mahir dalam
semua jenis Gending. Itu sebabnya, dalam adegan itu, Goro-Goro Petruk selalu menjadi bintang
utama. Ciri khas yang dimiliki Petruk juga terlihat pada komunikasi yang mengandung lawakan
dan sindiran yang ditujukan kepada masyarakat.43 Secara filosofis Lakon Petruk merupakan
perbaikan atas ciptaan Gareng yang kurang sempurna. Petruk adalah sosok yang sempurna
secara fisik karena dengan kaki dan tangan
yang panjang, hidung mancung, dan tubuh yang ramping menggambarkan manusia yang sempurna.
Namun, kesempurnaan dianalogikan bahwa manusia yang memiliki kelebihan (baca: harta) pasti suka
beramal dan bersedekah kepada sesama. Berdasarkan hal tersebut, Petruk sering disebut Kanthong
Bolong. Selain itu, sikap Petruk yang paling utama dicontohkan oleh manusia adalah menyerahkan jiwa
dan raganya kepada Tuhan dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan berbuat kebaikan dengan ikhlas.44
Padahal, Punokawan di setiap daerah memiliki penyebutan nama yang berbeda. Misalnya
pada Gagrak Banyumas dengan Surakarta dan Ngayogyakarta ada perbedaan penamaan
115
tokoh. Bagong versi Surakarta dan Ngayogyakarta tetap disebut Bagong, sedangkan di
Banyumas disebut Bawor.47 Namun, secara umum Lakon Semar dan Bagong serta anggota
Punokawan lainnya memiliki fungsi yang sama: menjaga, merawat, membimbing, dan memberi
solusi atas masalah yang sulit dipecahkan
oleh manusia di dunia. 42 Harsrinuksmo,
Harsrinuksmo.
44 Anan dan Juwariyah, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Tokoh Wayang
Punakawan.” 45 Harsrinuksmo, Ensiklopedi Wayang Indonesia.
46 R Christianto, “Peran Dan Fungsi Tokoh Semar-Bagong Dalam Pergelaran Lakon Wayang Kulit Gaya
Jawa Timuran.”
47Adhi Purnama, “Nilai Moral Lakon ‘Semar Mbangun Kahyangan’ Sanggit Ki Eko Suwaryo,” Jurnal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa 05, no. 03 (2014): 96–106.
Dalam prosesnya, akulturasi berjalan dengan baik dan humanis dengan adanya fasilitas
wayang ini. Mengapa demikian karena pertunjukan wayang menampilkan seni pertunjukan dan
tiga dimensi nilai: estetika, etika, dan filosofi? Selain itu, Wayang memiliki kemampuan
Hamot, Hamong,
dan Hamemangkat.50 Artinya selain dimensi nilai yang dimiliki wayang, wayang dapat
menyerap
dan menyaring serta menerima masukan budaya lain, kemudian ditampilkan menjadi nilai
baru.
yang sesuai dengan perkembangan wayang itu sendiri. Maka tidak heran jika banyak dalang
mengkolaborasikan bahasa komunikasi kontemporer dengan tradisi asli wayang klasik
Nusantara.
Dengan demikian, wayang dapat mengantisipasi perkembangan zaman hingga saat ini.
116
wayang, bicara manusia atau orang Jawa. Dengan demikian, transformasi budaya dan agama
di Jawa dapat dilihat melalui tiga aspek; Pertama, perubahan budaya teologis masyarakat
Jawa sangat dipengaruhi oleh kehidupan Animisme-Panteistik. Sebab, posisi pemuka agama
saat itu sangat mendominasi.
Dengan demikian, penduduk Jawa pada abad ke- 13 umumnya menganut agama Hindu-
Buddha.51
Masyarakat Jawa berkembang dari tahap kepercayaan dan identitas menjadi sintesis
mistis pada abad ke- 18 dan awal abad ke -19 . Hal ini ditandai dengan masuknya Islam,
yang dianggap
sebagai agama sederhana dalam hal upacara ibadah dan ritus keagamaan. Selain itu, Islam
memiliki syarat masuk yang sangat mudah, tanpa mengklasifikasikan strata dalam masyarakat.
Dengan demikian, prosesi transformasi Islam di Jawa berlangsung sangat cepat.52 Sunan
Kalijaga dan beberapa wali lainnya melaksanakan upaya transformasi tersebut dengan
menggunakan sarana
wayang. Wayang yang identik dengan konsep pemujaan arwah nenek moyang serta tradisi Hindu diubah
oleh huk Ajaran Tauhid (baca: Islam) kemudian diterima oleh semua lapisan masyarakat kecil hingga ke
pelosok
48 Naufaldi Alif dkk., “Akulturasi Budaya Jawa Dan Islam” 23, no. 2 (2020):
143–62. 49 Alif dkk.
50
Harsrinuksmo, Ensiklopedi Wayang Indonesia.
51
Falakhudin, “Dakwah Wali Songo dan Islamisasi Di Jawa.” 52 S
Soebardhi, Islam Di Indonesia (Prisma, 1978).
Machine Translated by Google
Lakon Punakawan sebagai Bentuk Transformasi Religius dan Budaya Masyarakat
Jawa Fuad Noorzeha, Agus Sutono, & John Abraham Ziswan Suryosumunar
kebangsawanan.53 Wayang yang awalnya dibuat dengan kertas berbentuk manusia, kemudian
disulap oleh para Wali dengan kulit kambing berkarakter khas budaya lokal namun bernilai
Islami.54
Padahal Lakon Punakawan sudah ada jauh sebelum munculnya kebudayaan Islam, dibuktikan
melalui peninggalan purbakala berupa relief pada candi. Namun, karakter khas itu kemudian
dimanfaatkan dan digulingkan oleh para wali. Alasan utama para wali adalah melihat arti Punakawan
dalam bahasa
Arab ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ) bÿnÿkÿwÿn) yang berarti kebaikan; Hal ini kemudian disesuaikan dengan syariat
Islam.55 Pertama, tokoh bernama Semar dalam bahasa Arab ÿÿÿÿÿ) mismÿr) artinya paku, yang
diharapkan dapat menjadi penanaman Tauhid Monotheistik ke dalam pemahaman masyarakat Jawa
yang identik dengan Hindu-Buddha. . Paku yang menancap pada keyakinan bahwa tidak ada
Tuhan
selain Allah. Lakon kedua disebut Gareng, dalam bahasa Arab ÿÿÿÿ) qarÿn) yang artinya sahabat.
Artinya, dalam Islam juga harus memperhatikan teman dalam hidup karena teman selalu
mengundang kebaikan. Tokoh ketiga adalah Petruk, dalam bahasa Arab ÿÿÿÿÿ) fÿtrÿk) yang secara
harfiah berarti pergi. ÿÿÿÿÿ juga bisa berarti meninggalkan perbuatan yang menyimpang dari
kaidah ketuhanan, baik kepercayaan Animisme, Dinamisme, maupun Paganisme. Yang keempat
adalah Bagong, dalam bahasa Arab ÿÿÿÿ) baqin) yang berarti abadi, atau ÿÿÿÿÿ) al-bagiya) yang
117
berarti pertimbangan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Dengan demikian, apa yang diharapkan
dari lakon ini dapat memberikan pesan bahwa manusia dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk.
Semua unsur sarana akulturasi tersebut membuktikan bahwa wayang menjadi jalur kesenian
yang menarik perhatian masyarakat saat itu. Karena tidak mungkin mengakulturasi budaya Hindu
ke dalam ajaran Islam tanpa pendekatan persuasif tetapi dengan paksaan. Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk memadukan karakter masyarakat Jawa dengan makna dan pesan karakter
Islami yang tertanam
dalam setiap Lakon Punakawan. Kemudian, dalam setiap Lakon terdapat cerita yang sarat dengan
pesan-
pesan Islam sehingga dakwah melalui seni wayang secara tidak langsung mempengaruhi budaya
masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan dan manusia. Lebih lanjut, dengan menarik
perhatian publik, Lakon Punokawan dinilai lebih luwes dalam berdakwah dan berdampak positif
bagi penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pada akhirnya transformasi teologis bersifat simbolik
dengan menggunakan media wayang, khususnya dalam Lakon Punakawan, menjadi pendekatan
komunikatif persuasif kehumasan yang dapat diterima masyarakat Jawa.
Kedua, selain makna karakter Islami dalam Lakon Punakawan, terdapat pesan yang
disisipkan oleh Sunan Kalijaga dalam Lakon Pandawa, yaitu sebagai simbol rukun Islam dan
Semar dengan tiga pesan bijak.56 Seringkali pada wayang kulit pertunjukan, lakon Pandawa
(Yudistira, Bima, Arjuna,
Nakula, dan Sadewa) harus lengkap dan lengkap. Sebab, setiap Lakon merupakan pemahaman
tentang rukun Islam yang harus diyakini dan diamalkan (Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan
Haji).57 Kemudian, pesan yang disampaikan oleh Lakon Semar; Jangan mengaku pintar jika
belum bisa menemukan
kesalahan diri sendiri, jangan mengaku lebih unggul jika suka merendahkan orang lain, jangan
mengaku suci jika belum bisa bersatu. dengan Tuhan (Jangan mengaku bijak jika Anda
53
Hanum Jazimah Puji Astuti, “Islam Nusantara Sebuah Argumentasi Beragama Dalam
Bingkai Kultural,” INJECT (Jurnal Komunikasi Interdisipliner) 2, no. 1 (tahun): 27–52.
54
Ummu Akbar, Syiar 9 Wali Di Pulau Jawa: 9 Kisah Seru Pejuang Islam (Jakarta:
Mizan, n.d.).
55
P Poedjosoebroto, Wayang Lambang Ajanar Islam (Jakarta: Pradnya Paramita,
1978).
56
Ashoumi Hilyah, "Akulturasi Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga", Akulturasi Dakwah
Sinkretis Sunan Kalijaga 10, no. 01 (2018): 101–13.
57
Bambang Marhiyanto, Sunan Kalijaga: Sosok Wali, Filsuf Dan Budayawan
(Surabaya: Jawara, 2000).
Machine Translated by Google
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan
Vol 17 No 1 (2022)| 107-121
tidak dapat menemukan kesalahannya, tidak mengaku lebih unggul jika suka memandang rendah orang
lain, dan tidak mengaku suci jika belum bisa menyatu dengan Tuhan).
Tiga pesan Semar menjadi bentuk kontradiksi dengan Lakon Punakawan sebagai Sabdopalon pada
masa Majapahit. Mengapa Lakon Sabdopalon diciptakan setelah Majapahit untuk memperlancar peralihan
agama Hindu ke Islam dalam teks dan seni pertunjukan, legitimasi keagamaan, dan juga ekspresi
simbolis masyarakat Hindu di Blambangan Banyuwangi?
Sedangkan Lakon Semar di Punakawan karya Sunan Kalijaga merupakan simbol Tauhid “ojo ngaku suci
yen durung biso manunggal ing gusti (Jangan mengaku suci jika belum bisa manunggal dengan
118
Tuhan).” Berdasarkan hal tersebut maka ada lima jalan jika manusia ingin Manunggal ing Gusti, yaitu;
(asy-syarÿ'ah) ÿÿÿÿÿÿÿ yang artinya Sembah Raga (menyembah badan), (ÿÿ-ÿarÿqah) ÿÿÿÿÿÿÿ yang
artinya Sembah Kalbu
(menyembah hati), (al-haqÿqah) ÿÿÿÿÿÿÿ yang artinya Sembah Jiwo (menyembah jiwa), (al-ma'rÿfah)
ÿÿÿÿÿÿÿ yang artinya Sembah Roso (menyembah rasa), (al maÿabbah) ÿÿÿÿÿÿ yang artinya Sembah
Tresno
(menyembah cinta).58
Pertunjukan wayang kulit dulunya merupakan pertunjukan untuk kalangan bangsawan, namun
ketika wayang di tangan para wali dipertunjukkan kepada masyarakat umum. Inilah mengapa Islam
diterima, salah satunya karena memiliki sistem sosial yang egaliter. Konsep Walisongo yang ditanamkan
dalam Lakon
Punakawan adalah tentang etika hidup dan keberagaman, kemudian dengan mengajarkan tentang
“Ibadah, Mu'amalah, Akhlaq”. Hal itu ditanamkan melalui ucapan Semar, “ojo ngaku unggul yen ijeh
seneng ngasorake wong liyo (jangan sok unggul kalau suka merendahkan orang lain).” Artinya, jangan
ngaku masyarakat baik kalau masih suka menganggap orang lain lebih rendah. Hal ini dapat kita lihat
pada perubahan ideologi budaya Jawa-Hindu yang sebelumnya dirasakan terkesan menggunakan strata
sosial atau kasta dalam masyarakat berubah menjadi persamaan antar manusia, dari Ningrat menjadi
Marat.59 Selanjutnya, Lakon Semar Mbabar Jati digunakan dalam pertunjukan Wayang Ki Anom Suroso
“kasunyatan jati diri menungso neng duweni sifat loro neng manunggal” mengandung makna; Pertama,
manusia adalah makhluk sosial yang tidak boleh membeda-bedakan status sosial dan saling
membutuhkan. Kedua, manusia adalah makhluk tuhan yang kebaikan dan keburukannya terhadap
sesama, masyarakat, dan negara akan diadili menurut
perbuatannya. Bangsawan dan orang-orang yang akan dihakimi oleh Tuhan didasarkan pada perbuatan
yang
dilakukan. Hal ini tentunya menggeser pemahaman tentang strata dan kasta dalam masyarakat Jawa.
Dengan demikian, Lakon Punakawan dapat memberikan siraman rohani sebagai proses olah rasa
agar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta melahirkan karakter Islami yang
egaliter
dalam bentuk perilaku. Perubahan ideologi tertanam dalam simbol “jawa digawa, arab digarap (Jawa
harus dibawa, dan Arab harus dilakukan)” Karakter Jawa diubah melalui kombinasi unsur Islam dalam
Wayang yang diterima oleh masyarakat .60 Upaya para wali, khususnya Sunan Kalijaga, membuat
Lakon, kemudian merekonstruksi cerita pewayangan dari tradisi Hindu menjadi sebuah kisah yang
berkaitan dengan dakwah Islam. Misalnya, seperangkat Gamelan yang dimodifikasi dengan nama Gong
Sekaten atau Gong Syahadattain mengharuskan orang mengucapkan Syahadatain ketika ingin melihat
pertunjukan wayang kulit. Hal ini kemudian menjadi akulturasi budaya yang efektif dan dapat diterima
oleh masyarakat Jawa.
119
Ketiga, Punakawan menjadi simbol Wong Cilik (umat awam) melalui tokoh Semar, Gareng,
Petruk, dan Bagong. Wayang Kulit merupakan sajian kritis dengan berbagai penampilan dari
setiap Lakon secara menarik, menghibur, dan menyampaikan kritik sosial. Artinya dalam
cerita pewayangan selalu disisipkan gejolak problematik yang dialami masyarakat ke dalam
situasi kenegaraan yang sedang terjadi.61 Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan
bentuk komunikasi dan fungsi
wayang selama berabad-abad. mentransformasi budaya dan agama dalam masyarakat Jawa.
Dalam seni tradisi Banyuwangi, Lakon Semar sebagai Sabdopalon menunjukkan ekspresi
simbolis masyarakat Hindu terhadap perjuangan sosial budaya keagamaan pasca Majapahit.
Hal itu
dilakukan sebagai bentuk protes masyarakat Hindu terhadap ekspedisi Mataram yang
melakukan perusakan dan perbudakan, serta sebagai pencegahan penyebaran Islam yang
begitu cepat.62
Selanjutnya, Lakon Punakawan menjadi cermin dari apa yang dialami masyarakat; misalnya
cerita SDR atau “Semar Dadi Ratu” merupakan Lakon yang secara simbolis menyimpan dan
menyiratkan pesan keinginan berupa sosok “Ratu Adil” yang diidam-idamkan masyarakat
untuk hadir menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya .63 Singkatnya, sosok
pemimpin yang
mampu menyembuhkan krisis intelektual, moral, dan spiritual. Selanjutnya dalam pesan Lakon
Bagong dalam Pementasan Wayang Ki Seno Nugroho “Bareng dadi ratu ngunekke kawulane
wong kere, sak durunge dadi ratu munduk-munduk, wes gong. Nek aku dadi ratu ngeko tak
aspal, tak
sejahterake (sebelum raja berbicara akan memperbaiki jalan, dan setelah menjadi raja sering
menghina orang lain).” Suara rakyat yang mengharapkan pemimpin yang tidak melupakan
amanatnya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin yang tidak berbohong tentang janjinya
kepada rakyat.
Kemudian, Lakon Semar Kuning dalam pementasan Wayang Ki Joko Edan “perubahan politik,
ekonomi, budoyo mlebu parobahan kehidupan, la sopo menyanyi pantes dadi ratu? ora ono
liyo mung
satrio sing biso nguasai perubahan yo hamung gumantung satrio kang kasinungan wahyu cokro
ningrat (politik, ekonomi, perubahan budaya, dan perubahan hidup, jadi siapa yang pantas menjadi
raja? tidak ada yang bisa membawa perubahan selain Satria, dan siapa yang bertahan kepada
Wahyu Cokro Ningrat)”. Semar berpendapat bahwa Satria atau pemimpin yang bisa memberikan
perubahan pada kehidupan adalah pemimpin yang bisa mawas diri, mau menghargai perbedaan
dalam keberagaman, pemimpin yang tidak memikirkan nasibnya, dan pemimpin yang tidak lepas
dari watak spiritual.
Lakon PDR atau “Petruk Dadi Ratu” yang populer memiliki ungkapan “aku iki reti yen
pengin golek wong ayu gampang, nangging aku duwe karep arsa ngluhurke sipating abdi
(Menurutku
mencari orang cantik itu mudah, tapi aku punya keinginan untuk memperbaiki diri). siapa
saya).” Ungkapan tersebut memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin harus memiliki
sifat mulia sebagai pelayan batin yang melayani rakyat dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang
disampaikan oleh Ki Ethus Nugroho “wong amarto sok sumuci suci, koyo sapu sumongko
nyapune liyone, sapune dewe reget (Amarta suci selalu mengoreksi orang lain, meskipun
perlu dikoreksi)”. Ungkapan
120
tersebut mengandung arti bahwa seorang pemimpin tidak boleh berbicara sebelum melakukan
introspeksi diri, seh Berdasarkan contoh tersebut, baik Lakon Semar, Petruk, maupun Bagong dapat
dikembangkan oleh dalang dengan menyesuaikan fenomena kenegaraan saat itu.64 Pesan yang tersirat
dalam
61
Lanjar Rani dkk, “Analisis Wacana Kritis dalam Pementasan Wayang Kulit Lakon
'Petruk Dadi Ratu,'” Universitas Kristen Satya Wacana, 2013.
62
Duija, Tokoh Sabdopalon: Rekonstruksi Makna Politik Budaya Hindu-Islam.
63
Gas.
64
Rani dkk., “Analisis Wacana Kritis dalam Pementasan Wayang Kulit Lakon 'Petruk
Dadi Ratu.'”
121
122
Machine Translated by Google
Lakon Punakawan sebagai Bentuk Transformasi Religius dan Budaya Masyarakat Jawa
Fuad Noorzeha, Agus Sutono, & John Abraham Ziswan Suryosumunar
Referensi
Alif, Naufaldi, Universitas Islam, Negeri Sunan, Ampel Surabaya, Laily Mafthukhatul,
Universitas Islam, Negeri Sunan, dkk. “Akulturasi Budaya Jawa Dan Islam” 23, no.
2 (2020): 143–62.
Anan, Asrul, dan Siti Juwariyah. “Analisis Nilai Pendidikan Islam Pada Tokoh Wayang
Punakawan.” Al Murabbi: Jurnal Pendidikan Islam 2 (2017): 325–40.
Akbar, Ummu. Syiar 9 Wali Di Pulau Jawa: 9 Kisah Seru Pejuang Islam. Jakarta: Mizan,
n.d.
Darmawan, Kiki Zakiah. “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode.” Mediator:
Jurnal Komunikasi 9, no. 1 (2008): 181–88.
https://doi.org/10.29313/mediator.v9i1.1142.
Drewes, Prof. dr. GJW Walisongo Debat Seputar Makrifatullah, 202M.
Drs. H. Solichin, Drs. Suyanto, S.Kar., M.A. etc. “Ensiklopedi Wayang Indonesia,” 2016.
Duija, saya Tengah. Tokoh Sabdopalon: Rekonstruksi Makna Politik Budaya Hindu-
Islam, 2015.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Delta Pamungkas, 2004.
Falakhudin, Fuad. “Dakwah Wali Songo dan Islamisasi Di Jawa.” Dakwah Wali Songo
Dan Islamisasi Di Jawa 15 (2011): 11.
Harsrinuksmo, Bambang. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Disunting oleh M.A. etc. Drs. H.
Solichin, Drs. Suyanto, S.Kar., 2016.
Hanum Jazimah Puji Astuti. “Islam Nusantara Sebuah Argumentasi Beragama Dalam
Bingkai Kultural.” INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication) 2, no. 1
(n.d.): 27–52.
Herliana, Monika. “Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Pemberkatan Pernikahan Agama
Khonghucu (Kajian Studi Etnografi Komunikasi).” Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan
Sastra 14, no. 3 (2019): 303–17. https://doi.org/10.14710/nusa.14.3.303-317.
Halo, Ashumi. "Akulturasi Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga." Akulturasi Dakwah Sinkretis
Sunan Kalijaga 10, no. 01 (2018): 101–13.
Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Mujiningsih, Erlis N. Yetti, Erli. “Sunan Kalijaga dalam Novel Babad Walisongo dan
Kisah Dakwah Walisongo.” Bahasa dan Seni 43, no. 2 (2015): 213–26.
Marhiyanto, Bambang. Sunan Kalijaga: Sosok Wali, Filsuf Dan Budayawan. Surabaya:
Jawara, 2000.
Mulyono, Sri. Apa Dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
———. Simbolisme Dan Mistikisme Dalam Wayang Sebuah Tinjauan Filosofis. Jakarta:
Gunung Agung, 1978.
Poedjosoebroto, P. Wayang Simbolik Ajaran Islam. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.
Ponimin, Mitra Istiar Wardhana, Ahmad Taufik, Nur Hadi, dan Andy Pramono. “Kreasi
Seni Patung Bertema Figur Wayang ‘Punokawan’ Sebagai Penguat Karakter
Masyarakat Desa Wisata di Malang.” Karinov 3, no. 3 (2020): 164–73.
Pramudiyanto, Ahmad, Supana Supana, dan Muhammad Rohmadi. “Characteristic of
Wong Cilik on Wayang Kulit Wanda of Panakawan Figures.” Humanus 17, no. 2
(2018): 174. https://
doi.org/10.24036/humanus.v17i2.100683.
123
Bulan purnama, saudara. “Nilai Moral Lakon 'Semar Mbangun Kahyangan' Sanggit Ki Eko
Suwaryo.” Jurnal Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa 05, no. 03 (2014): 96–106.
R Christianto, Wisma Nugraha. “Peran Dan Fungsi Tokoh Semar-Bagong Dalam
Pergelaran Lakon Wayang Kulit Gaya Jawa Timur.” Humaniora 15, no. 3 (2003):
285–301.
Raden_Ngabehi_Ronggowa. Serat_Paramayoga_Bagian_II.pdf, hlm
124
125