Anda di halaman 1dari 16

Bau Nyale.....

(I Made Purna) 99

BAU NYALE : TRADISI BERNILAI


MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME
BAU NYALE: THE VALUABLE TRADITION
OF MULTICULTURALISM AND PLURALISM

I Made Purna
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali
Jl. Raya Dalung Abianbase No. 107 Kuta Utara Badung Bali
e-mail: made.purna@kemdikbud.go.id dan purna.bpsntbali@gmail.com

Naskah Diterima:10 Januari 2018 Naskah Direvisi:14 Februari 2018 Naskah Disetujui:3 Maret 2018

Abstrak
Budaya spiritual etnis Sasak dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan yang
cepat. Diawali dengan masuknya agama Islam dari Jawa dan Makasar, serta agama Hindu dari
Bali. Kehadiran kedua agama tersebut kemudian diolah masyarakat Sasak dalam konsep
sinkretisme, dan wadah puncaknya berupa ajaran Islam Wetu Telu. Pengejahwantahan dari
sinkretisme menghasilkan tradisi-tradisi sebagai penguat identitas etnis Sasak. Satu di antara
tradisi yang ada, yaitu Bau Nyale. Sebagai pokok sandaran analasis penulisan membatasi tiga
pokok rumusan, yaitu 1) apa fungsi tradisi Bau Nyale bagi masyarakat pendukungnya; 2) nilai-
nilai budaya apa saja yang dimuat dalam tradisi Bau Nyale; 3) Kenapa diberi pengakuan,
penghargaan dan kesetaraan tradisi Bau Nyale dengan tradisi yang lain yang hidup di Lombok
oleh komunitas lain. Pisau analisis untuk mengidentifikasi yaitu teori semiotika dan neo-
fungsionalisme. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik deskriptif
interpretatif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi dan nilai budaya
yang dimuat pada tradisi Bau Nyale. Dari hasil mengidentifikasi, maka karya budaya intangible
Bau Nyale layak sebagai tradisi yang memiliki nilai multikulturalisme dan pluralisme.
Kata kunci: Bau Nyale, sinkretisme, multikulturalisme dan pluralisme.

Abstract
Sasak ethnic spiritual culture in its journey has experienced rapid development. It starts
with the entry of Islam from Java and Makasar, as well as Hinduism from Bali. The presence of
the two religions is then processed by the Sasak community in the concept of syncretism, and the
top place is the teachings of Islam Wetu Telu. The implication of syncretism resulted traditions as
a reinforcement of Sasak ethnic identity. One of the existing traditions, is the Bau Nyale. There
are three main issues in this research, which are 1) what is the function of Nyale Bau tradition for
the support community; 2) what cultural values are contained in the Bau Nyale tradition; 3) why
is Bau Nyale tradition given the recognition, appreciation and equivalence with other traditions
that live in Lombok by other communities. Theories used to identify are the semiotics theory and
neo-functionalism. This research is a qualitative research with descriptive interpretative
technique. The purpose of this study is to identify the functions and cultural values contained in the
Bau Nyale tradition. From the results of identifying, the Bau Nyale cultural work deserves a
tradition that has value multiculturalism and pluralism.
Keywords: Bau Nyale, Sincritism, Multiculturalism and Pluralism.

A. PENDAHULUAN etnis Sasak di Pulau Lombok sangat


Fenomena kehidupan yang diwadahi banyak. Fenomena itu dimulai ketika pada
tradisi dan memiliki muatan nilai abad XVI telah terjadi perubahan ditandai
multikulturalisme dan pluralisme pada masuknya agama Islam dari Makassar
100 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

dengan menaklukkan Kerajaan Seleparang. Hindu dan Islam pada etnis Sasak di
Pada abad tersebut pengaruh agama Islam Lombok disebut sinkretisme, yaitu
menyebar dengan cepat. Cepatnya perpaduan dua atau lebih religi untuk
penerimaan agama Islam pada etnis Sasak mencari keserasian, keseimbangan, dan
karena sebelumnya, yakni abad XIII kedamaian hati (Purna, 2003).
Islam sudah masuk ke Lombok oleh raja Tidak dapat dipungkiri kenyataan
Muslim Jawa (Sufisme Jawa). Muslim ini, dan harus diakui, bahwa fenomena ini
Makassar yang segera berpadu dengan adalah anugrah Tuhan Yang Mahaesa dan
sufisme Jawa ini dengan cepat mampu tidak mungkin ditolak keberadaannya.
mengkonversikan hampir seluruh etnis Kuatnya perlawanan pengaruh Hindu
Sasak ke dalam Islam, meskipun terhadap Islam telah mampu membentuk,
kebanyakan mereka masih membangun kepercayaan baru yang
mencampuradukkan antara Islam dengan disebut dengan ajaran “ Islam Wetu Telu”
kepercayaan lokal yang non-Muslim (Islam Waktu Tiga). Ajaran ini merupakan
(Budiwanti, 2000: 9). Kepercayaan perwujudan sinkretisme kepercayaan
sebelum Islam masuk, yaitu Sasak Boda, animisme, Hindu, dan Islam. Namun sejak
Hindu-Budhis yang sudah sejak abad VII tahun 1960-an pengalaman terhadap
masuk ke Lombok. ajaran ini berubah. Penganut ajaran Islam
Dengan adanya pengaruh agama, dengan acuan pertamanya berdasarkan
seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen kitab suci Al Quran dan Hadis Nabi
bahkan Konghucu sejak zaman dahulu Muhammad SAW biasanya mereka sebut
menyebabkan kepercayaan etnis Sasak di “Islam Wetu Lima” (Islam Waktu Lima),
Lombok cukup baragam. Sebelum masuk dan dewasa sekarang hanya menyebut
pengaruh dari agama-agama tersebut, di Islam saja. Akan tetapi praktik tradisi
Lombok sudah mengenal kepercayaan sebagai warisan leluhur masih “hidup”,
Boda dengan sebutan lumrahnya Sasak- dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan
Boda. Meskipun demikian, Sasak-Boda “Islam Wetu Telu”, dalam kehidupan
tidak sama dengan Budhisme. Sasak- berupacara maupun kehidupan sehari-hari
Boda ditandai dengan adanya animisme masih berjalan, seperti pada tradisi
dan panteisme. Di samping itu, karena ada Maulid, Rowah Wulan dan Sampet Jumat,
kepercayaan dan pemujaan terhadap Maleman, Lebaran Tinggi dan Lebaran
leluhur termasuk berbagai dewa lokal Topat, Lebaran Pendek, Bubur Abang dan
lainnya yang menjadi fokus utama Bubur Puteq, Buang Awu/Bubus,
penganut kepercayaan tersebut. Ngurisang, Molang Maliq, Turun Tanaq,
Pencampuran kepercayaan ini tampaknya Merosok Gigi, Nyunantang, Merarik dan
terus berlanjut, terutama terlihat semakin Betikah, Selamet Bumi, Nelung, Mituq dan
menguatnya kepercayaan Hindu seiring Nyiwaq, Matang Pulu, Nyatus dan Nyiu,
terjadinya penaklukkan Kerajaan Perang Topat, Upacara Siklus Padi, dan
Makassar-Lombok oleh Kerajaan tradisi Bau Nyale. Semua jenis tradisi itu
Karangasem Bali. Pengaruh agama Hindu bagi “Islam Wetu Lima” dianggap
semakin menguat. Dengan demikian menyimpang dari ajaran Islam. Karena
tidaklah mengherankan jika ada pendapat dalam prosesi perayaan telah melakukan di
yang mengatakan bahwa etnis Sasak pada antaranya: 1) Melibatkan/menghadirkan
kondisi tertentu identik dengan arwah leluhur. 2) Menggunakan perantara
Hinduisme. Fenomena yang bernafaskan dalam berhubungan dengan Tuhan. 3)
Hindu seperti di ibukota Provinsi Nusa Kebiasaan minum berem/tuak sebagai
Tenggara Barat (Mataram) maupun di pelengkap upacara. 4) Memplotkan Nabi
Lombok Tengah seperti di pantai selatan Adam AS sebagai tujuan utama perayaan
pulau Lombok jalinan keduanya sangat prosesi, sedangkan Nabi Muhammad SAW
erat. Fenomena antara unsur-unsur agama
Bau Nyale..... (I Made Purna) 101

agak diabaikan (Natsir Abdullah, 2007: 49- sedikit perbedaan konsepsi mengenai
50). dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk
Oleh karena telah terjadi praktik organisasi sosial, sejarah, adat kebiasaan.
tradisi yang dianggap menyimpang oleh Menurut Blum (2001), multikulturalisme,
kelompok tertentu pada masyarakat etnis yaitu meliputi sebuah pemahaman,
Sasak, dan rasanya sulit dihapuskan, maka penghargaan, dan penilaian, atas budaya
perlu pemahaman terhadap tradisi melalui seseorang serta sebuah penghormatan dan
pandangan Pluralisme dan keingintahuan tentang budaya lain.
Multikulturalisme. Pluralisme dalam Pemikiran ini sifatnya lebih ke penilaian
terminologi gereja digunakan sebagai terhadap budaya-budaya lain, bukan
sebutan orang yang memegang lebih dari dalam arti menyetujui sepenuhnya budaya
satu jabatan. Secara filosofis menurut Toha lain, melainkan mencoba untuk bagaimana
(2005), pluralisme dimaknai sebagai budaya lain dapat mengekspresikan dirinya
sistem pemikiran yang mengakui adanya di antara para pendukungnya yang
landasan pemikiran yang mendasar lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan dan
dari satu. Dalam perspektif sosial-politik, berbagai kualitas perbedaan antara
pluralisme dimaknai sebagai sistem yang mayoritas dan minoritas yang hidup dalam
mengakui keeksistensian keragaman harmoni di tengah-tengah pluralistik
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, agama maupun kepercayaan.
aliran, maupun partai dengan tetap Para cendekiawan Muslim seperti,
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan Farid Esak, Abdul Aziz Sachedina dan
yang sangat karakteristik di antara Syed Hasyim Al, berpendapat tentang
kelompok-kelompok tersebut (Sumerta, multikulturalisme dapat penulis jadikan
2016). Secara sederhana pemikiran dan sandaran untuk menerapkan
pandangan pluralisme, yaitu dimaknai multikulturalisme di tengah umat Muslim
keeksistensian berbagai kelompok atau yang ada pada etnis Sasak di Lombok.
keyakinan dengan tetap terpeliharanya Multikulturalisme sama sekali tidak
perbedaan-perbedaan karakteristik masing- bertentangan dengan Islam.
masing, sepanjang tujuan akhir suatu Multikulturalisme merupakan kondisi
keyakinan maupun kepercayaan ditujukan obyektif di lapangan yang mengharuskan
kepadaNya. umat muslim dan umat agama lain saling
Adapun multikultural berarti memahami, menghormati dan menjaganya.
keragaman budaya, di mana suatu individu Karena agama Islam sendiri mengakui dan
hidup di antara berbagai kelompok sosial menghormati multikulturalisme sebagai
dengan kebiasaan yang berbeda. tertuang dalam ayat 13 surat al Hujarat
Pemaknaan pandangan maupun pemikiran (Qodir, 2015: 186).
multikulturalisme menurut para ilmuan Kedua cara pandang maupun
sosial yaitu cara pandang, kebijakan, pemikiran tersebut di atas sangat tepat
penyikapan dan tindakan oleh masyarakat diaplikasikan di Indonesia umumnya dan
maupun negara yang majemuk dari segi di Pulau Lombok khususnya. Karena
etnis, budaya, agama, dan sebagainya. secara karakteristik Pulau Lombok sebagai
Namun mempunyai cita-cita untuk pulau yang menyimpan akar-akar
mengembangkan semangat kebangsaan keragaman agama, suku/etnis, seni budaya,
yang sama dan mempunyai kebanggaan tradisi, adat-istiadat, dan cara hidup yang
untuk mempertahankan kemajemukan berbeda-beda. Sangat tepat ungkapan
tersebut. Parekh (1997), memberi umum yang mengatakan “ di Lombok ada
pandangan terhadap multikulturalisme, agama Hindu dan budaya Bali, sedangkan
yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas di Bali belum tentu ada budaya Sasak.
beberapa macam komunitas budaya Para pengelola negara maupun masyarakat
dengan segala kelebihannya, dengan yang berdomisili di Pulau Lombok harus
102 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

menyadari, bahwa keanekaragaman mempertahankan inti teorinya” (Ritzer,


kultural merupakan sifat dasar hidup 2005). Walaupun sebelumnya Parsons
manusia, ia akan berkembang perlahan- dalam membangun teorinya telah
lahan dan mutlak. mengintegrasikan berbagai macam input
Di pihak lain kita telah menyadari, teoritis, dan tertarik dengan
bahwa mengaplikasikan pluralisme, kesalinghubungan domain-domain utama
terutama pluralisme agama masih menjadi dari dunia sosial, terutama sistem kultur,
perdebatan. Fenomena pluralisme agama sosial dan personalitas. Namun pada
mendapat tanggapan pemaknaan yang akhirnya ia memandang fungsional-
beragam, kalau tidak boleh dibilang struktural dalam pengertian yang sempit
bertentangan. Oleh karena itu, tradisi Bau sebatas pada sistem kultur sebagai penentu
Nyale yang ada di Lombok Tengah akan sistem lainnya.
lebih disoroti dari aspek Neo-fungsionalisme mencoba untuk
multikulturalismenya, namun tidak lepas melakukan sintesa kembali terhadap
dari pemikiran pluralisme. Karenanya, konstruksi teoritisnya. Alexander dan
secara kenyataan tradisi Bau Nyale juga Colomy melihat neo-fungsionalisme
memiliki fungsi sebagai wadah pembinaan sebagai “rekonstruksi dramatis terhadap
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. fungsionalisme struktural di mana
Dengan kata lain, yang mengikuti prosesi perbedaannya dengan pendiriannya
Bau Nyale terdiri atas berbagai suku, (Parsons) diakui dengan jelas dan ada
agama, baik Islam Wetu Telu, Islam Waktu keterbukaan yang eksplisit terhadap teori
Lima, berbagai lapisan sosial, bahkan dan teoritisi lainnya.
para turis dari manca negara. Kelompok Dalam neo-fungsionalisme banyak
Islam Waktu Lima tidak terlalu melarang mengintegrasikan teori dari berbagai pakar
menyelenggarakan Bau Nyale. Karena seperti materialisme Marx dengan
kelompok ini menyadari, bahwa Bau simbolisme Durkheim.Tendensi struktural-
Nyale telah memiliki multi fungsi dan fungsional untuk menekankan keteraturan
multi nilai budaya dalam kehidupan etnis diimbangi dengan seruan untuk mendekati
Sasak. kembali teori perubahan sosial.
Teori yang digunakan dalam Terkait dengan kajian ini,
mengkaji tradisi Bau Nyale yaitu: Neo- penggunaan teori neo-fungsionalisme
fungsional. Neo-fungsionalisme dipandang relevan untuk mengungkap
merupakan suatu istilah yang digunakan hubungan-hubungan atau keterkaitan
untuk menandai kelangsungan hidup antara tradisi Bau Nyale dengan situasi
fungsionalisme-struktural. Dalam upaya ini alam pantai di Kabupaten Lombok Tengah
juga melakukan upaya memperluas bagian selatan yang penduduknya sebagian
konsepnya selain berusaha untuk sebagai petani dan nelayan. Keberadaan
mengatasi kelemahan utama dan tradisi Bau Nyale bisa berjalan dan eksis
memperkuat lagi teori tersebut. Neo- hingga sekarang karena alamnya sangat
fungsionalisme juga mengacu kepada mendukung. Juga respon masyarakat dan
rekonstruksi Jeffrey Alexander atas teori pemerintah baik pemerintah kabupaten
struktur fungsional Parsons dengan jalan maupun provinsi, bahkan pemerintah pusat
mengambil aspek dari teori Marxisan lalu memberi peluang lewat pariwisata.
memecahkan masalah politik Marxis Dalam konteks keagamaan,
(Agger, 2006: 55). persoalan-persoalan interagama dan
Jeffrey Alexander dan Paul Colomy antaragama seringkali hadir di tengah-
mendefinisikan neofungsionalisme sebagai tengah masyarakat dengan kuat. Hal itu
“rangkaian kritik-diri teori fungsional karena emosi keagamaan, yang disebut
yang mencoba memperluas cakupan religiouscommitment dan religious claim
intelektual fungsionalisme yang sedang yang memungkinkan seseorang yang
Bau Nyale..... (I Made Purna) 103

menyediakan dirinya untuk menjadi Penelitian ini secara implisit


penganut yang dianggap paling setia. menyebutkan , bahwa kepercayaan
Sekalipun sebenarnya masalah religious Wetu Telu ada yang mirip dengan
commitment dan religious claim kepercayaan Hindu, seperti pemujaan
merupakan hal yang tidak dapat ditolak terhadap benda-benda yang dianggap
kehadirannya, dalam kacamata yang lebih keramat. Namun ada pula yang mirip
positif, bukan dalam perspektif yang dengan kepercayaan Islam, seperti
negatif, sehingga memperhatikan umat lain melaksanakan salat dan puasa
sebagai mitra dalam dialog antar dan meskipun tidak sepenuhnya.
interagama. Di sinilah sebenarnya hal
2. Penelitian Leeman (1989), yang
yang mendapat perhatian dari aktivis dan
meneliti tentang sosiokultural
para penggerak dialog antar dan
masyarakat Sasak. Struktur masyarakat
interagama yang ada di tanah air sehingga
Sasak terdiri atas Sasak Boda, Sasak
terjadi tradisi berdialog dengan antar dan
Wetu Telu, Sasak Waktu Lima.
interagama, antarbudayawan, tokoh adat,
Kepercayaan Sasak-Boda disimpulkan
para pemangku adat, para pemangku
sebagai kepercayaan asli Sasak. Sasak-
kebijakan (birokrasi) dll. Untuk
Boda adalah masyarakat Sasak yang
mendialogkan tradisi-tradisi yang
berkebudayaan dan beragama Budha.
dipandang representatif sebagai identitas
Sistem pewarisan masyarakat Sasak-
diri keetnisan seperti Bau Nyale. Dari latar
Boda patrilineal. Struktur
belakang tersebut di atas maka rumusan
masyarakatnya tidak mengenal
masalah yang akan dijadikan sandaran
feodalisme. Pemimpin keagaman
pembahasan dapat dirumuskan sebagai
disebut “pemangku” atau “Belian”.
berikut : 1) Apa fungsi Bau Nyale bagi
Kedua istilah ini sebetulnya tidak asing
masyarakat pendukungnya; 2) Nilai-nilai
bagi Hindu. Sedangkan pimpinan adat
budaya apa saja yang dimuat dalam tradisi
disebut “Penoak” atau “Toak Lokak”
Bau Nyale. 3) Kenapa Bau Nyale perlu
Diinformasikan kelompok
diberi kesetaraan, penghargaan, pengakuan
kepercayaan ini telah tersebar di
dari kelompok komunitas lain. Sejalan
bagian-bagian ujung Lombok Barat
dengan permasalahan tersebut di atas,
seperti di Tanjung, Bayan, dll.
maka tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk
Kelompok Sasak Wetu Telu, yaitu
mengidentifikasi fungsi-fungsi dan nilai-
Sasak yang orientasi kebudayaan dan
nilai budaya apa saja yang dimuat dalam
keagamaannya lebih condong ke adat
tradisi Bau Nyale, sehingga etnis Sasak
yang dipengaruhi oleh ajaran agama
tidak pernah tidak menyelenggarakan ritual
Hindu. Kelompok masyarakat Sasak
Bau Nyale. Penelitian ini merupakan
seperti dianggap sebagai puncak dari
penelitian kualitatif dengan teknik
sinkretisasi kepercayaan Islam-Hindu.
deskriptif interpretatif.
Sedangkan Sasak Waktu Lima, yaitu
Penelitian yang senada untuk
kelompok masyarakat yang
mengungkap perbedaaan, keragaman dan
menjalankan ajaran Islam secara
sinkretisme kepercayaan maupun budaya,
kaffah. Ia sudah menjalankan kelima
namun belum dianalisa dengan
rukun Islam serta mematuhi semua
multikultural dan plural dapat dibaca
ketentuan-ketentuan Islam. Saat ini
pada beberapa penelitian sebagai berikut:
ketiga kelompok inilah yang menjadi
1. Penelitian yang dilakukan oleh Van identitas etnis Sasak yang ada di Pulau
Baal (1976), dengan judul penelitian Lombok.
“Pesta Alip di Bayan Lombok”.
3. Penelitian Budiwanti (2000), dengan
Penelitian ini memfokuskan kajiannya
judul penelitian “Islam Sasak : Wetu
pada salah satu tradisi etnis Sasak yang
Telu versus Waktu Lima”. Hasil
ada di Bayan, yaitu Wetu Telu Bayan.
104 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

penelitian ini menggambarkan secara Lombok” Penelitian ini mengambil


implisit kepercayaan masyarakat Sasak lokasi kajian di Bayan Lombok Utara.
dengan mengambil sampel tradisi- Hasil perpaduan antara unsur agama
tradisi yang ada selama ini. Yang agak Hindu dengan Islam dapat dibuktikan
mengkhawatirkan penelitian ini antara lain pada sarana
mengenai perkembangan agama Islam persembahyangan, tidak mengenal
di Lombok. konsep sirik/musrik menduakan
Tuhan, adanya Kamaliq, masih ada
4. Penelitian Ma’moen (2001) dengan
keyakinan kekuatan roh nenek
judul “Nilai Pendidikan Religi dalam
moyang, kostum sembahyang,
Sinkretisasi Kepercayaan Islam-Hindu
penerapan konsep kosmologi,
di Lombok : Studi di Desa Lingsar
peralatan sarana upacara seperti uang
Lombok Barat”. Penelitian ini telah
kepeng, konsep sistem ajaran Wetu
menemukan gejala sinkretisasi Islam-
Telu “lahir, hidup, mati”. Etnis Sasak
Hindu pada perayaan-perayaan.
melakukan perpaduan dari dua
5. Penelitian Sumertha (2016), dengan keyakinan tersebut karena tujuannya
judul : “Simbol-simbol Hindu dan untuk mencari keserasian,
Islam Wetu Telu dalam Interaksi Sosial keseimbangan, dan kedamian hati.
Religius Umat Beragama di Desa
Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten B. METODE PENELITIAN
Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Pendekatan yang digunakan dalam
Barat”. Hasil penelitian ini penelitian ini yaitu penelitian kualitatif
menunjukkan bahwa penggunaan yang bertumpu pada paradigma
simbol-simbol agama Hindu dan Islam interpretatif dan paradigma teori sosial
Wetu Telu di Pura Taman Lingsar kritis. Obyek penelitian adalah tradisi
merupakan strategi penguasa untuk Nyale di Pantai Seger Desa Kuta
menata kehidupan beragama antara Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok
Hindu etnis Bali dengan Islam Wetu Tengah NTB. Karena Nyale juga ada di
Telu etnis Sasak. Bentuk simbol- Lombok Timur, Sumbawa, Sumba,
simbol yang digunakan dibedakan Lembata, dan lain-lain. Pendekatan fungsi
menjadi simbol fisik dan non-fisik ini tidak saja secara emik lewat wawancara
yakni: Simbol fisik meliputi artefak, mendalam terhadap informan, tetapi
bangunan candi, petirtan (taman), disertai dengan observasi selama
padmasari, bale pelinggih, dan ritual. berlangsungnya tradisi Nyale, serta studi
Sedangkan simbol-simbol non-fisik pustaka dari hasil penelitian yang sejenis di
meliputi: Keyakinan atau kepercayaan, perpustakaan daerah Nusa Tenggara Barat
mistis, teologi dan estetis. Secara dan perpustakaan Universitas Mataram.
sistemik simbol fisik dapat memberi
makna terhadap simbol non-fisik. C. HASIL DAN BAHASAN
Bertahannya penggunaan simbol- Masyarakat Sasak, terutama yang
simbol Hindu dan Islam Wetu Telu di tinggal di pesisir selatan, selalu
Taman Lingsar di antaranya, faktor menyelenggarakan tradisi tersebut secara
sejarah, politik pemerintahan, sosial, sistemik. Secara sistemik dimaksudkan
ekonomi, adat dan budaya, agama dan diawali dengan “rapat wariga”, untuk
kepercayaan. Dan dewasa sekarang membahas firasat yang dirasakan oleh
sangat didukung oleh faktor pemangku, untuk penentuan waktu yang
pariwisata. tepat dengan merujuk terhadap tanda-
tanda alam, kejadian atau peristiwa yang
6. Penelitian I Made Purna (2003) dengan
terjadi di masyarakat, dan siapa-siapa
judul “Sinkretisme Agama Hindu dan
yang dilibatkan dalam penyelenggaraan.
Islam pada Masyarakat Sasak di
Bau Nyale..... (I Made Purna) 105

Untuk memperkuat keberadaan dijadwalkan tanggal 16 dan 17 Februari.


tradisi Bau Nyale, Masyarakat Sasak telah Menurut informasi di lapangan, bahwa
memberi nilai budaya, yaitu harapan dari nyale keluar antara tanggal 15 dan 16
masyarakat mengenai hal-hal yang baik, Februari merupakan kesepakatan kalender
atau sesuatu yang diagungkan oleh adat yang sudah disetujui oleh empat
sebagian besar anggota masyarakat sebagai pemangku yakni, pemangku dari empat
suatu sistem etika. Sistem etika tersebut penjuru mata angin (utara, timur, selatan
dijadikan pola bagi atau sasaran maupun dan barat) dan ahli perbintangan, ahli
tujuan yang diacu dalam rangka kelautan, ahli pertanian, serta tokoh
mewujudkan tindakan bagi para individu budaya, agama dan masyarakat. Adapun
sebagai anggota masyarakat Sasak. pemilihan tanggal 16 dan 17 Februari 2017
Dengan kata lain, nilai-nilai budaya dapat merupakan pemilihan dari pihak
diartikan sebagai “pandangan-pandangan” pemerintah. Kesepakatan jadwal
atau pendapat-pendapat yang digunakan penyelenggaraan ditentukan pada
oleh warga suatu komunitas atau “Sangkep Wariga”, yang diselenggarakan
masyarakat untuk menilai, untuk oleh krama adat dan pemerintah. Setiap
menentukan baik-buruknya, bermanfaat keluar nyale hanya berlangsung antara
tidaknya berbagai macam hal atau, fajar terbit sampai matahari terbit (antara
peristiwa yang ada dalam fenomena pukul 04–06). Tentu kondisi ini
kehidupan mereka” (Ahimsa Putra, 2006). menimbulkan tanda tanya bagi setiap diri
Dengan demikian nilai-nilai budaya yang warga masyarakat. Mereka anggap sebagai
akan digali pada tradisi Bau Nyale dapat suatu keajaiban alam atas kehendak Allah/
dijadikan alat ukur, alat penilai mengenai Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi setiap
sistem pengetahuan budaya etnis Sasak. keluarnya nyale selalu diiringi oleh hujan
rintik-rintik. Sedangkan sebelumnya
didahului hujan lebat yang turun hampir
setiap hari. Sungguh suatu keajaiban,
kemudian setelah selesai penangkapan
nyale hujan turun berhari-hari pula
lamanya. Kemudian berhenti sebagai
musim masa peralihan antara musim
penghujan (bahasa Sasak, musim taun)
dengan musim kemarau (bahasa Sasak,
musim balit).
Keadaan seperti itu dijadikan tanda
Gambar 1. Nyale setelah Ditangkap oleh para petani tentang buruk baiknya
Sumber : Dokumentasi Penulis, 2017. musim pada tahun bersangkutan.
Ketidakfahaman mereka tentang hakikat
Fungsi tradisi Bau Nyale dapat nyale itu sebenarnya menimbulkan
diuraikan sebagai berikut. ketakjuban mereka kepada kekuasaan
Allah/Tuhan Yang Mahaesa yang
1. Wadah Pembinaan Ketakwaan mendatangkan rasa syukur dan ketakwaan
Kepada Tuhan Yang Mahaesa kepadaNya. Sebelum nyale ditangkap,
Keluarnya nyale ke permukaan laut hujan turun terus menerus yang menurut
yang hanya dua kali dalam setahun, yaitu kepercayaan mereka sebagai hujan yang
pada tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh, menyongsong keluarnya nyale. Kemudian
dan tanggal 19, dan 20 bulan kesebelas setelah ditangkap, hujan turun lagi sebagai
kalender Sasak (bulan Februari). Akan pengantar nyale. Penulis dapat buktikan
tetapi, pada penyelenggaraan tradisi Bau pada saat pengamatan di lapangan sekitar
Nyale tahun 2017, nyale keluar tanggal 15 jam 06.00 pagi, tanggal 17 Februari 2017,
dan 16 Februari. Sedangkan puncak acara
106 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

ada hujan turun secara tiba-tiba dan keagamaan mereka. Bahkan legenda Putri
disertai munculnya pelangi yang sangat Mandalike menjadi mitos bagi masyarakat
indah di langit. Menurut istilah suku pendukungnya. Mitos Putri Mandalike
bangsa Sasak hujan yang turun setelah dipercaya sebagai kebenaran
nyale ditangkap disebut ''ujan atong keagamaan/religius. Mitos ini diterima
nyale" atau "ujan uleq nyale”. dan dipercaya oleh masyarakat Sasak
Dalam kepercayaan etnis Sasak, sebagai pemikiran dan kebenaran religius.
saat turunnya hujan itu dinilainya sebagai Sebagai kebenaran religius dimaksudkan
rahmat yang mendatangkan air bagi sawah oleh Malinowski (dalam Adibrata, 1990),
mereka yang mempercepat dan bahwa mitos bagi masyarakat
mempersubur tumbuhnya tanaman padi pendukungnya bukanlah sekedar cerita
mereka. Hujan dengan lebatnya turun, yang menarik atau yang dianggap
menandakan akan banyak nyale bersejarah. Akan tetapi merupakan satu
mengambang ke permukaan air laut pada pernyataan dari kebenaran yang tinggi atau
waktunya. Bagi manusia berarti suatu kenyataan yang utama yang memberikan
rezeki yang tidak ternilai harganya.Semua pola dan landasan bagi kehidupan dewasa
itu menunjukkan kebesaran Tuhan Yang ini.
Mahaesa. Manusia hanya menerima, dan
menikmati saja. Sebagai balasan, manusia 2. Wadah Integrasi dan Membangkitkan
diminta hanya mengakui kebesaran, dan Solidaritas
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kenyataan yang tidak dapat
Binatang-binatang itu pun disiplin. disangkal pada dua bulan terakhir mereka
Mereka tidak akan keluar jika bukan pada jarang bertemu satu dengan yang lain,
waktunya. Allah/Tuhan Yang Mahaesa karena kesibukan dengan tugas di sawah
melengkapi dengan naluri yang masing-masing. Di penyalean mereka
mengarahkan kepada disiplin yang tinggi dapat bertemu, dan masing-masing datang
tanpa membantah. Kemudian Allah /Tuhan dengan bekalnya. Pemilihan jadwal Bau
Yang Mahaesa telah menciptakan iklim Nyale yang disebabkan siklus alam,
baginya berupa hujan, guruh, dan kilat dikarenakan hasil kesepakatan masyarakat
yang menyertai “perkelaminannya”. Sasak, serta sangat berkaitan dengan
Sesungguhnya menurut ilmu pengetahuan kemampuan tanggapan aktif antara
pada saat itu binatang itu sedang manusia dengan alam lingkungan. Etnis
“berkelamin”. Nyale jantan melepaskan Sasak, walaupun sudah memeluk dan taat
bagiannya sepanjang 10-15 cm, dan yang ajaran agama Islam, akan tetapi peristiwa
betina melepaskan bagiannya sepanjang 10 alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang
-15 cm juga. Bagian itu mengambang ke Mahaesa tetap dipercaya dan dijalankan
permukaan laut untuk mengadakan dengan suka cita. Bahkan penjadwalannya
“perkelaminan”. Nyale yang sebenarnya, ini dipercaya sebagai hari untuk
tetap tinggal di lubang-lubang karang yang menyambut kehadiran Putri Mandalike.
terhampar di bawah permukaan laut. Mitos Putri Mandalike inilah yang
Untuk memperkuat keyakinan, menjadi sumber pola pikir filosofis suku
bahwa tradisi Bau Nyale memiliki bangsa Sasak, yaitu aik meneng-tunjung
kedudukan fungsi religi dapat diamati dari tilah-empak bau, yang hingga kini masih
seni drama Putri Mandalike. Drama Putri tetap dianggap relevan sebagai dasar
Mandalike memberikan santapan pada pemikiran untuk penyelesaian berbagai
jiwa, karena di dalamnya terungkap ajaran masalah yang ada (Trisnawati, 2001).
moral dengan dimanifestasikan sentimen Kehadiran mereka bersama di pantai
kemasyarakatan menjadi berkobar-kobar menimbulkan rasa kebersamaan,
setiap penyelengggaraan pertujukan yang kekeluargaan, dan keakraban.
pada akhirnya meningkatkan emosi Menunjukkan adanya pertalian asal-usul
Bau Nyale..... (I Made Purna) 107

yang sama pula. Kesadaran mereka telah dalam laut menyambut gelombang yang
menimbulkan keharuan. Sebagian dari begitu besar karena ada kebanggaan telah
mereka, di tempat penyalean ini, bertemu memiliki tradisi yang belum tentu ada di
dengan istri mereka sebelum menjadi tempat lain. Kalaupun ada, akan tetapi cara
suami istri, sewaktu sama-sama masih menyikapinya tidak akan persis sama. Rasa
perawan dan jejaka. Kemudian mereka patriotismenya untuk menghadapi
menjadi suami istri (Lalu Wecana, lingkungan alamnya tidak sama.
1982/1983). Jiwa patriotisme hadir ke tepi pantai,
Sekali-sekali terdengar sorak-sorai bukan karena ingin mendapatkan jumlah
yang sambung-menyambung menyambut tangkapan. Namun karena percaya isi
gelombang yang gulung-gemulung cerita mitos Putri Mandalike. Dalam cerita
mengantarkan nyale ke tepi. Antara mitos Putri Mandalike, patriotisme
mereka saling memperlihatkan hasil tergambarkan mengenai sikap dan jiwa
tangkapan. Mereka masing-masing Putri Mandalike, yang lebih mencintai
tersenyum puas. Sedikit atau banyak hasil kerajaan dan rakyat banyak daripada
tangkapan, sama sekali tidak menimbulkan dirinya sendiri.
perasaan bangga, atau perasaan iri. Di situ
sungguh-sungguh terdapat perasaan 4. Wadah Enkulturasi Budaya
persaudaraan yang sejati, dan ikhlas. Para penangkap nyale bukanlah
Seolah-olah kedatangan mereka ke sana orang-orang yang berasal dari Kecamatan
bukanlah untuk mengutamakan Pujut saja, sebagai pemilik tradisi tersebut,
memperoleh hasil tangkapan, tetapi untuk tetapi juga orang-orang yang berasal dari
membangun integrasi, dan membangkitkan kecamatan lain, dan orang-orang dari Kota
rasa solidaritas kelompok. Mataram. Bagi mereka yang berasal dari
luar kelompok masyarakat pemilik tradisi
tersebut, kedatangannya ke sana hanyalah
untuk menyaksikan tradisi yang terkenal
itu. Tetapi secara tidak sadar mereka juga
menjadi perhatian anggota kelompok
masyarakat tradisional. Caranya
berpakaian, sikapnya, dan perkataannya
memberi pengaruh atau sebaliknya. Secara
tak langsung di situ terjadi proses
enkulturasi. Apalagi yang hadir di situ
Gambar 2. Ribuan Peserta Menangkap Nyale bukan semata-mata orang dewasa, tetapi
Dini Hari Sekitar Pukul 3 Pagi. juga anak-anak dan remaja.
Sumber: Dokomentasi Penulis. Anak-anak dan remaja menyaksikan
dalam praktik bagaimana proses tradisi itu
3. Wadah Pembinaan Semangat berlangsung. Di situ mereka dapat meniru,
Patriotisme dan berbuat serta mengambil contoh sesuai
Dalam suasana persatuan, kesatuan dengan yang mereka perlukan. Mereka
yang dilatarbelakangi oleh keindahan alam menyaksikan sendiri, dan ikut merasakan
pantai dengan lautnya yang luas, dan bagaimana seharusnya membina kesabaran
gelombang besar gulung-gemulung semalam suntuk menanti fajar
menimbulkan semangat patriotisme. menyingsing, saat keluarnya nyale ke
Kecintaan dan rela berkorban pada saat permukaan laut. Segalanya itu mereka
menjaga kehadiran nyale yang dibawa oleh hayati, dan mereka praktikkan bersama
ombak sungguh menakjubkan. Bahkan seluruh warga masyarakat tradisional yang
tidak sedikit mereka menganggap sebagai hadir di situ. Enkulturasi juga dapat
pejuang menyambut kehadiran Putri diajarkan dalam penyelenggaraan Bau
Mandalike. Mereka berani sampai ke
108 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

Nyale di antaranya cara menangkap nyale melupakan segala permasalahan yang


dengan jaring kecil, juga pada saat terdapat dalam dirinya dan yang ada di
pementasan drama kolosal yang lingkungan rumah tangganya.
mengambil tema Putri Mandalike. Menurut informasi dari para krama
adat, bahwa “kalau zaman dahulu sebelum
5. Fungsi Historis ada listrik atau diesel masuk desa, di sana-
Penyelenggaraan Bau Nyale sini terdapat api unggun yang dikelilingi
mengajak masyarakat mengenang kembali oleh para pemuda dan pemudi dengan
sejarah leluhur dan pemimpin lainnya yang beberapa orang tua yang mendampingi
pernah berjasa terhadap tradisi Bau Nyale. mereka”. Kehadiran orang tua gadis di situ
Di dalam pementasan drama kolosal Putri tidak menjadi halangan bagi mereka untuk
Mandalike sudah diperlihatkan, bahwa berpantun-pantun bersahutan selama
nyale itu berasal dari penjelmaan rambut sampiran, dan isi pantun masih dalam
Putri Manadalike. Putri Mandalike batas-batas kesopanan. Pantun bersahutan
merupakan tokoh sentral, maupun tokoh antara pemuda, dan pemudi yang duduk
figur yang syarat dengan nilai-nilai moral berhadapan dibatasi oleh api unggun. Hal
yang hakiki yaitu kearifan dan kesediaan ini merupakan hiburan yang menarik.
untuk berkorban. Kearifan dan kesediaan Bagi muda-mudi pantun bersahutan
berkorban justru datang dari seorang merupakan sarana "enkulturasi" yang
perempuan. Sementara para pangeran sangat berharga. Dari pantun itu mereka
terjebak kepicikan dan egoisme. Sebelum dapat memetik berbagai hikmah dan
terjun ke laut, Putri Mandalike kegembiraan. Bagi orang tua yang sudah
menyampaikan pesan-pesan kepada para berkeluarga membawa kenangan masa
pangeran dan seluruh masyarakat Sasak lampau yang tak terlupakan. Pantun
yang hadir pada saat pengumuman yang bersahut-sahutan merupakan atraksi yang
disampaikan, agar setiap tanggal 19 dan 20 menarik yang dapat menghilangkan
setiap bulan sepuluh, datang ke pantai kantuk, sementara menunggu fajar
selatan untuk menangkap nyale sebagai menyingsing.
penjelmaannya. Putri Mandalike mampu Dengan singkat dapat dikatakan
membangkitkan sentimen kemasyarakatan acara menangkap nyale merupakan hiburan
Sasak dari dahulu sampai sekarang. yang sangat menarik bagi seluruh warga
masyarakat pendukung tradisi tersebut.
6. Fungsi Rekreasi Malah kurang lebih empat puluh tahun
Pada umumnya kalau keadaan yang lalu acara menangkap nyale telah
musim normal penangkapan nyale selalu menarik perhatian warga kota dalam
bertepatan dengan selesai menanam padi berbagai jenis umur pria dan wanita.
di sawah. Pekerjaan di sawah maupun di Bahkan pada penyelenggaraan tahun 2017
rumah sedang kosong.Yang perlu dijaga para turis manca negara cukup banyak
agar airnya jangan sampai kepenuhan. yang hadir. Sehingga di penyalean Pantai
Apalagi tanaman padi masih kecil. Seger pada setiap acara penangkapan nyale
Menangkap ikan nyale bagi mereka suasananya seperti pasar malam.
mempunyai makna dan arti tersendiri.
Mereka dapat melepaskan rasa lelah yang 7. Bau Nyale sebagai Gerakan
selama itu mereka pikul. Pandangan mata Pelestarian Lingkungan Alam
yang lepas menjernihkan pikiran yang Tradisi Bau Nyale yang dipusatkan
kusut. Kebebasan mengungkapkan beban di Pantai Seger, merupakan tradisi yang
derita yang tersimpan di dadanya melalui tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari
"tandak," dan teriakan lepas, sungguh- interpretasi manusia pendukungnya dalam
sungguh mempunyai arti dan kesan menjawab persoalan-persoalan kehidupan
tersendiri.Untuk sementara mereka dapat yang menyangkut hubungan manusia
Bau Nyale..... (I Made Purna) 109

dengan Tuhannya (adat gama), tata Saat makan, para peserta di penyalean
hubungan manusia dengan sesamanya (tap saling memberi makanan untuk mengisi
sila), dan tata hubungan manusia dengan kegiatan begadang. Walaupun zaman
alam lingkungannya (luwir gama). dahulu para peserta tangkap nyale,
Walaupun Pantai Seger dijadikan terutama kaum muda-mudinya, disibukkan
kawasan Mandalike dengan pembangunan dengan kegiatan berbalas pantun,
kepariwisataan oleh ITDC (Indonesian bertandak dan berbelanja. Karena itu tidak
Tourism Divelopment Corporations), mengherankan di pinggir jalan menuju
namun pola-pola ideal yang pernah pantai dan di pusat kegiatan Festival
dirasakan oleh masyarakat Sasak yang Pesona Bau Nyale berdiri warung-warung
hidup di bagian pesisir selatan Pulau dadakan yang digunakan jualan untuk
Lombok tetap dipertahankan. melayani para peserta. Garakan ekonomi
Etnis Sasak bagian selatan sangat pada saat penyelenggaraan Bau Nyale
yakin dan percaya, bahwa Tuhan Yang sangat tinggi, karena yang hadir untuk
Mahaesa ada. Tuhan Yang Mahaesa yang menangkap maupun yang menyaksikan
menciptakan alam semesta dan seluruh pementasan maupun penangkapan nyale
isinya, baik terindra maupun tidak terindra. ribuan orang. Tidak mungkin rasanya bagi
Semuanya ini dilengkapinya pula dengan yang hadir tidak akan belanja, baik untuk
kerangka eksistensi saling ketergantungan, membeli makanan, minuman maupun
sehingga keseluruhannya eksistensi di barang suvenir lainnya.
alam ini berbentuk sebuah dinamika relasi
saling butuh. Sumber dinamika adalah 9. Bau Nyale sebagai Event Pariwisata
Tuhang Yang Mahaesa. Kesadaran inilah Masyarakat Sasak di Lombok
yang menjadi dasar filosofis kebudayaan Tengah bagian selatan, khususnya di
maupun tradisi Bau Nyale. Untuk sekitar Pantai Seger Kuta, dahulu tidak
memperkuat kedudukan Bau Nyale, maka pernah berpikir maupun merencanakan jika
dibuatkan cerita mitos Putri Mandalike, Bau Nyale yang mereka lakukan akan
sehingga Bau Nyale menjadi kegiatan menjadi demikian besarnya. Mereka
sakral yang selalu ditunggu-tunggu. melaksanakannya lebih merupakan suatu
Mitos Putri Mandalike disakralkan, maka dukungan dan perwujudan rasa bakti
lingkungan pantai yang dijadikan pusat kepada leluhur dan kepercayaan yang
penangkapan nyale juga ikut sakral. mereka yakini. Mereka datang dengan
Masyarakat Sasak sangat takut merusak harapan tertentu yang tidak bersifat
Pantai Seger. Masyarakat sangat material. Atau yang bersifat pamrih
menyadari manusia tidak bisa membuat pribadi, tetapi dihubungkan dengan
pantai. Hanya bisa memeliharanya. keselamatan keberhasilan panen dan
Masyarakat Sasak sangat sadar laut kesejahteraan hidupnya dan menyambut
maupun pantai sumber untuk mendapatkan Putri Mandalike. Pertimbangan komersial
penghidupan. Karena itu laut dan pantai memang ada, tetapi tidak dominan.
harus dijaga dan dilestarikan habitatnya Komersial muncul jika setelah
seperti nyale itu sendiri. mendapatkan nyale banyak.Tentu yang
diutamakan kebutuhan keluarga, seperti
8. Bau Nyale sebagai Penggerak untuk dimakan, keperluan upacara
Ekonomi kesuburan tanah pertanian, kemudian
Waktu yang dibutuhkan untuk sisanya dijual.
menangkap nyale hanya 2 sampai 2,5 jam. Dewasa ini penyelenggaraan ritus
Namun waktu untuk menunggu puncak/ Bau Nyale sudah tidak ada
momen penangkapan cukup lama. Pada bekayaq/bertandaq, belancaran, tidak ada
saat menunggu puncak/momen ini juga kegiatan api unggun. Mereka lebih
memerlukan energi untuk modal begadang. memilih kesenian lain seperti pementasan
110 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

artis-artis baik lokal maupun nasional. bahkan diharapkan untuk menjadi


Alasannya karena malu jika diisi kegiatan pemimpin.
seperti bertandaq dan belancaran. Mereka Dengan demikian, maka dapat
dianggap kolot, tidak memenuhi selera dikatakan bahwa aspek feminisme yang
masa kini. muncul dalam cerita Putri Mandalike,
adalah berasal dari diri dan jiwa atau
10. Bau Nyale sebagai Wadah Ekspresi psikologi seorang perempuan, yang dengan
Nilai Budaya sendirinya melahirkan adanya persamaan
Tradisi Bau Nyale mampu bertahan dan kesetaraan antara kaum perempuan
sampai sekarang, karena telah memiliki dengan kaum lelaki dalam berbagai bidang
nilai-nilai budaya yang memberi identitas dan aspek kehidupan. Nilai-nilai budaya
etnis Sasak pada umumnya dan perempuan yang dikandung dalam cerita Putri
Sasak khususnya. Mengutip hasil Mandalike juga telah dimuat dalam bentuk
penelitian dari Made Suarsana (2001), naskah Lontar Sasak, di antaranya: 1)
telah mengungkap, bahwa tradisi Bau Naskah Lontar Kotaragama, yang
Nyale mengandung nilai-nilai budaya mengamanatkan, bahwa bagi perempuan
sebagai berikut: 1) Nilai Spiritual atau yang memiliki kepribadian yang utuh,
Nilai Ketuhanan, 2) Nilai Integrasi, 3) sopan santun dan selalu berbuat baik untuk
Nilai Solidaritas. Sedangkan nilai-nilai kepentingan orang banyak, maka
budaya yang dikandung dalam cerita-mitos selayaknya dihormati, dimuliakan. Bagi
Putri Mandalike, yaitu 1) Nilai Kebesaran, perempuan yang demikian itu akan
2 Nilai Ksatria, 3) Nilai Emansipasi, 4) menjadikan pahala yang baik pula. Karena
Nilai Keadilan, 5) Nilai Pengorbanan, 6) itu perempuan Sasak sangat dilarang untuk
Nilai Patriotisme (H. Moh Yakum, 2009). dicabuli, dikagetkan karena dibangunkan
Dari beberapa ciri aspek feminisme pada malam hari, dan perempuan Sasak
yang ada dalam cerita Putri Mandalike, sangat pantang untuk ikut pesiar dengan
kesemuanya tercermin dari diri tokoh laki-laki sambil menyanyikan lagu cinta.
utama yakni Putri Mandalike. Putri 2) Naskah Lontar Rengganis
Mandalike yang memiliki budi pekerti mengamanatkan, bahwa perempuan sangat
yang mulia, selalu menghormati dan dilarang mankir dari janjinya, perempuan
menghargai orang lain, cerdas, arif dan harus sopan, memiliki etika dan rasa
bijaksana, sabar dan lemah lembut. Jiwa kemanusiaan yang tinggi. Perempuan yang
seperti ini merupakan jiwa kewanitaan, demikian itu akan menyatu tidak saja di
yang secara psikologis, wanita memiliki dunia, juga di akhirat dengan suaminya. 3)
perasaan dan nurani halus serta keibuan, Naskah Lontar Megantaka yang
yang selalu mudah mengalah, berpikir mengamanatkan, bahwa perempuan Sasak
panjang, mampu mengontrol dan harus penuh keberanian, dan setia terhadap
mengendalikan emosinya, nalurinya suami, disiplin dan tegas, dan segera harus
mampu memahami dan mengerti perasaan bisa mengatasi jika anggota keluarga tidak
orang lain, ramah, pemurah dan perhatian makan. Jika perempuan Sasak mampu
terhadap sesama. menjalankan dirinya dari amanat cerita
Bersamaan dengan sifat-sifat seperti mitos Putri Mandalike dan ketiga isi
itu, Putri Mandalike ternyata mampu naskah Lontar tersebut di atas, maka
berbuat sebagaimana sifat kaum lelaki, sangat layak disebut perempuan Sasak
misalnya keberanian, ketabahan, yang memiliki peran sebagai Inen Bale,
kepemimpinan dan jiwa patriotisme, dan di Inen Gawe, dan Inen Pare (Wirata, 2016:
samping itu ia juga mendapatkan 264-269). Inen Bale, Inen Gawe, dan Inen
perlakuan sebagaimana kaum lelaki, yakni Pare berarti bahwa perempuan sebagai ibu
dihargai, dihormati, disegani, diberikan rumah tangga yang mampu mengurus
kebebasan dan kemerdekaan berpendapat, rumah tangganya sendiri secara mandiri,
Bau Nyale..... (I Made Purna) 111

mampu bekerja dari awal sampai akhir, Tuhan yang telah berkehendak terhadap
dan seorang ibu yang mampu mengerjakan ciptaan-Nya.
sawah dengan hasil yang berlimpah ruah. Sejalan dengan pendapat Farid
Apalagi perempuan Sasak mampu Esack, Syed Hasyim Ali dan Abdul Aziz
menjalankan hidupnya dengan: 1) Sachhedina (dalam Zuly Qodir, 2015),
Wibusana, berpakaian yang baik, 2) masing-masing menegaskan tentang
Wirasa, memiliki penghayatan yang baik, pemikiran multikulturalisme. Pertama,
baik terhadap orang tua, sebaya, maupun multikulturalisme merupakan kondisi
terhadap anak-anak. 3) Wiraga, seseorang yang dapat menerima
berpenampilan yang menarik. Jika hal (penerimaan) dan mengakui (pengakuan)
tersebut sudah terpenuhi, maka perempuan tentang keberlainan dan keragaman.
yang demikian itu disebut perempuan yang Multikulturalisme melampaui toleransi
“widagda ngawe bawa sakti mandraguna”. atas keberlainan. Sebab multikulturalisme
Perempuan Sasak yang mendekati hadir dalam diri yang tulus dan dalam
sempurna. Perempuan Sasak yang tindakan terhadap pihak lain yang
berkharisma. berlainan. Kedua, multikulturalisme
“kondisi masyarakat di mana kelompok
11. Bau Nyale dari Perspektif kebudayaan, keagamaan, dan etnis hidup
Pluralisme dan Multikulturalisme berdampingan dalam sebuah bangsa
Menyadari dari potensi fungsi dan (negara). Multikulturalisme juga berarti
nilai budaya yang dikandung pada tradisi bahwa realitas itu terdiri dari banyak
Bau Nyale seperti yang diuraikan tersebut substansi yang mendasar.
di atas. Karena itu sangat layak tradisi Bau Multikulturalisme juga merupakan
Nyale sebagai fenomena budaya dan keyakinan bahwa tidak ada sistem penjelas
kepercayaan mendapat pengakuan (pemahaman) tunggal atau pandangan
pemikiran yang mengakui adanya tentang realitas yang dapat menjelaskan
kebhinekaan, keragaman, kemajemukan seluruh realitas kehidupan”. Ketiga,
baik yang bercorak ras, etnis, aliran, dan pluralisme, bahwa “pluralisme merupakan
lain-lain. Perlu menjunjung tinggi aspek istilah atau kata ringkas untuk
perbedaan, maupun karakter yang dimiliki menyebutkan suatu tatanan dunia baru di
oleh kelompok yang ada. Perlu memberi mana perbedaan budaya, sistem
sikap penghargaan, penghormatan, kepercayaan, dan nilai-nilai
penilaian, atas perbedaan budaya membangkitkan kegairahan pelbagai
seseorang maupun kelompok, walaupun ungkapan manusia yang tidak kunjung
tidak menyetujui sepenuhnya. Bau Nyale habis sekaligus mengilhami pemecahan
merupakan fenomena budaya dan konflik yang tak kunjung terdamaikan”.
kepercayaan yang representatif untuk Ketiga cendekiawan Islam tersebut
mengungkap multikulturalisme dan sangat menyadari bahwa multikulturalisme
pluralisme. dan pluralisme merupakan kondisi obyektif
Dengan kata lain, pemikiran dan di lapangan yang mengharuskan tidak
sikap multikulturalisme dan pluralisme umat muslimnya saja yang harus saling
merupakan hal yang tidak bisa ditolak memahami, menghormati dan menjaganya.
keberadaannya. Karenanya, tidak Namun juga umat agama maupun
mengherankan apabila umat Islam di kelompok lain. Kondisi tersebut dapat
Lombok tidak melarang penyelenggaraan diciptakan dan di antara sesama umat
tradisi Bau Nyale. Bagi agama Islam beragama harus secara tegas menolak serta
multikulturalisme sudah menjadi mencegah jika terdapat kelompok orang
sunatullah, kehendak Tuhan, sehingga yang hendak menghancurkan kondisi
menentangnya sama dengan menentang obyektif multikulturalisme dan pluralisme
112 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

di Lombok khususnya dan di Indonesia diyakini original dari Tuhan dan bukan
umumnya. konstruksi manusia (dalam Moh. Sabri
Kehidupan masyarakat di sekitar AR, 2015: 237). Oleh karena itu perlu
Desa Kuta maupun Pantai Seger, keterbukaan dalam menyikapi
Dundang, Orong Ejan, Muluq, Mereseq, multikulturalisme dan pluralisme yang
Boloan, Ebuah, Terasaq, dll, mereka lebih bersifat dialogis dengan mengajak
sangat menjunjung tinggi rasa berbagai bentuk agama maupun tradisi
persaudaraan dan kebersamaan. Karena yang autentik agar memiliki visi
hidup dijalankan dengan rasa persaudaraan “universal” dalam merumuskan apa yang
dan kebersamaan yang tinggi akan dalam filsafat disebut the meaningand the
menimbulkan rasa aman. Lebih-lebih di purpose of life (makna dan tujuan hidup
kawasan Pantai Kuta dan Seger dijadikan manusia). Hidup dalam keagamaan yang
Kawasan Pariwisata Mandalika. Dapat terpenting tidak pada tataran “formalnya”,
dipastikan kawasan Mandalika akan hidup namun lebih ditekankan pada aspek
dari berbagai ras, suku, agama, golongan, “dalamnya”.
okopasi, dll. Mereka akan hidup dengan
menghadapi penuh perbedaan di antara D. PENUTUP
mereka. Etnis Sasak di Lombok sangat kaya
Kebersamaan dan kerukunan yang akan fenomena budaya yang diwadahi
dirasakan di tempat penyelenggaraan pada tradisi bermuatkan nilai multikulturalisme
saat pelaksanaan tradisi Bau Nyale sangat dan pluralisme. Fenomena ini dimulai
tinggi. Tradisi Bau Nyale menjadi salah ketika agama Islam dari Jawa masuk yang
satu refleksi dan integritas etnis Sasak dibawa oleh Pangeran Prapen, putra Sunan
yang berada di kawasan pantai bagian Giri sekitar awal abad XVI. Pada saat itu
selatan Lombok Tengah. Hal ini dapat pula di Lombok sudah ada dua kerajaan
diamati pada saat persiapan ritual yang besar yaitu Kerajaan Seleparang di
harus dilengkapi dengan sesaji khusus. Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik.
Mereka hidup saling menghormati dan Didengar dua kerajaan tersebut sudah
membantu melengkapi peralatan ritual mulai masuk Islam maka Raja Bali
antarwarga. Mereka merasa berdosa jika Waturenggong dari Kerajaan Gelgel pada
tidak ikut membantu dalam tahun 1520 menyerang Kerajaan
penyelenggaraan warisan leluhur. Mereka Seleparang, tapi gagal. Sepuluh tahun
tidak memandang kelompok Islam Wetu kemudian penyerangan dilanjutkan dan
Telu maupun Islam Waktu Lima. Demikian sekaligus mengutus Dang Hyang Nirartha
dari umat lain, mereka bersatu untuk untuk mencari jalan damai. Kehadiran
melaksanakan tradisi Bau Nyale. unsur budaya Hindu di Lombok
Untuk amannya tradisi Bau Nyale dimantapkan lagi pada tahun 1580 ketika
sepanjang masa, maka para pemeluk Kerajaan Karangasem yang dipimpin Anak
agama tertentu jangan berangkat dengan Agung Ketut Karangasem ekspedisi. Atas
pemikiran bahwa hanya agama dan kitab dasar pertemuan dua budaya dan
sucinyalah sumber kebenaran, dan kepercayaan tersebut, sehingga lahirlah
sepenuhnya diyakini sebagai : 1) bersifat kelompok kepercayaan Islam Wetu Telu
konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu
yang tanpa kesalahan sama sekali; 2) lebih berorientasi terhadap kebudayaan dan
bersifat lengkap dan final dan karena itu keagamaannya lebih condong ke adat yang
memang tidak diperlukan kebenaran dari dipengaruhi oleh agama Hindu. Islam Wetu
agama maupun tradisi lain; 3) kebenaran Telu dianggap sebagai puncaknya
agama sendiri merupakan satu-satunya sinkretisme antara Islam-Hindu. Hasil dari
jalan keselamatan, pencerahan atau sinkretisasi yang masih dijalankan dewasa
pembebasan; 4) seluruh kebenaran itu sekarang seperti tradisi Bau Nyale.
Bau Nyale..... (I Made Purna) 113

Walaupun tradisi Bau Nyale ada penguatan identitas keetnisan, kelompok


pada posisi Islam Wetu Telu, akan tetapi keagamaan dan unsur budaya daerah, akan
penyelenggaraannya tidak dilarang oleh tetapi mampu membentuk jatidiri dan
kelompok Islam Waktu Lima (Islam). karakter bangsa yang membedakan antara
Karena tradisi ini telah memiliki multi bangsa yang satu dengan bangsa yang lain
fungsi, dan nilai budaya : 1) sebagai wadah di dunia.
pembinaan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Mahaesa, 2) sebagai wadah integrasi dan DAFTAR SUMBER
solidaritas, 3) sebagai wadah pembinaan 1. Jurnal, Makalah, Skripsi, dan Tesis
patriotisme, 4) sebagai wadah pelestarian Adibrata, I Dw. Kt. Anom. 1990.
budaya tradisional, 5) sebagai wadah ‘Upacara Bau Nyale dan Fungsinya
enkulturasi budaya, 6) sebagai fungsi bagi Masyarakat Suku Sasak di Desa
historis, 7) sebagai wadah rekreasi, 8) Rembitan Kecamatan Pujut Lombok
Tengah’. Skripsi. Denpasar: Jurusan
sebagai gerakan pelestarian lingkungan
Antropologi, Faksas Unud.
alam, 9) sebagai penggerak ekonomi, 10)
sebagai even pariwisata, dan sebagai Leeman, M. “Internal and External Factors of
wadah ekspresi nilai budaya kebebasan, Sosio-Cultural and Sosio Economic
ksatria, emansipasi, keadilan, Dyanamics in Lombok NTB” dalam
Anthropogeographie University Zuerich
pengorbanan, dan patriotisme.
Jerman Vol 8. 1989.
Atas dasar muatan fungsi dan nilai
budaya selayaknya tradisi Bau Nyale Ma’moen, Hilman. 2001.
berada sebagai karya budaya intangible Nilai Pendidikan Religi pada
bernilai multikulturalisme dan pluralism. Sinkretisasi Islam-Hindu di Lombok,
Studi di Desa Lingsar Lombok Barat.
Karena karya budaya intangible ini bisa
Mataram IKIP Unram.
disetarakan, dihormati dan diberi
pengakuan yang sama dengan tradisi- Purna, I Made. “Sinkretisme Agama Hindu dan
tradisi yang lain yang ada di Indonesia Islam pada Masyarakat Sasak di
umumnya maupun di Lombok khususnya. Lombok” dalam Jurnal Penelitian
Tradisi Bau Nyale dapat dijadikan rujukan Sejarah dan Nilai Tradisional Edisi
Kesebelas Nomor 11/III/2003.
identitas etnis Sasak. “Ingat Bau Nyale
Ingat Sasak; Ingat Sasak Ingat Bau Nyale”. Suarsana, I Made. “Kajian Nilai-nilai Budaya
Kehidupan kebudayaan Indonesia Pada Tradisi Bau Nyale di Lombok
akan selalu menghadapi dunia yang Dalam Rangka Sosialisasi dan
berubah, maka karya budaya etnis yang Intergrasi” dalam Jurnal Jnana Budaya
Media Informasi Sejarah, Sosial, dan
berada di daerah-daerah dan sering disebut
Budaya Edisi Kelima No. 05/V/2001.
sebagai budaya “pinggiran” perlu segera
dikaji, diteliti untuk bahan kebijakan Sumertha, I Wayan. 2016.
pelestarian. Lebih-lebih budaya takbenda Simbol-simbol Hindhu dan Islam Wetu
(intangible), yang memiliki muatan Dalam Interaksi Sosial Religius Umat
Beragama di Desa Lingsar Kecamatan
multikultur maupun pluralis dari enam
Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
agama negara dan 150 organisasi Provinsi Nusa Tenggara Barat.
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Disertasi. Denpasar: Program Sarjana
Mahaesa tingkat pusat, serta 611 etnis IHDN.
(suku bangsa). Karena jenis budaya seperti
Trisnawati, Ida Ayu. 2001.
ini dapat dijadikan simpul-simpul
Seni Drama Putri Mandalika Dalam
penyatuan dan persatuan etnis, bangsa dan Tradisi Ritus Bau Nyale di Lombok
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tengah, Nusa Tenggara Barat. Tesis.
Hasil kebijakan baik yang Denpasar: Program Pasca Sarjana Unud.
dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat umum bukan saja untuk Wacana, Lalu. 1983.
114 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 99 -114

Bau Nyale di Lombok. Proyek Media Indonesia tentang Umat, Kewargaan,


Kebudayaan Depdikbud. Jakarta. dan Kepemimpinan Non-Muslim.
Bandung: Mizan.
Wirata, I Wayan. “Perempuan Dalam Cerita
Naskah Islam Lokal (Suku Sasak) di Zoest, Aart Van. 1993.
Lombok (Pendekatan Sosiologi)” Semiotika: tentang Tanda, Cara
dalam Jurnal Mudra Pusat Penerbitan Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan
LPPM ISI Denpasar Vol. 31 No. 2. Mei dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber
2016. Agung.
Yakum, H.Moh. 2009. “Kisah Putri Mandalike
Nyale, Cerita Rakyat Nusantara Suku
Sasak”. Makalah.

2. Buku
Abdullah, Natsir. 2007.
Penyimpangan Ajaran Agama pada
Berbagai Ritual Perayaan di Lombok
Serta Dampaknya Terhadap Kehidupan
Bermasyarakat. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Bahasa dan Seni.
Mataram: Unram.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006.
Strukturlaisme Levi-Strauss Mitos dan
Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.
Baal, J. Van. 1976.
Pesta Alip di Bayan Lombok. Belanda.
Blum, A Lawrence. 2001.
Antirarisme, Multikulturalisme, dan
Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai yang
Bersifat Mendidik bagi Sebuah
Masyarakat Multikultural, dalam Larry
May, dan Shari Colinn-Chobanian,
Etika Terapan; Sebuah Pendekatan
Multilkultura, Terjemahan; Sinta
Carolina dan Dadang Rusbiantoro,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Budiwanti, Erni. 2000.
Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu
Lima. Yogyakarta: LKiS.
Qodir, Zuly. 2015.
“Pemikiran Islam Multikulturalisme dan
Kewargaan” dalam buku: Fikih
Kebhinekaan. Bandung: PT Mizan
Pustaka.
Ritzer, George dan Douglas J. Gooman. 2005.
Teori Sosiologi Modern.Terjemahan.
Jakarta: Prenada Media.
Sabri AR, Mohd. 2015.
“Agama Mainstream, Nalar Negara dan
Fikih Kebinekaan: Menimbang
Philosophia Perennis” dalam Fikih
Kebinekaan, Pandangan Islam

Anda mungkin juga menyukai