Anda di halaman 1dari 3

Tugas Ujian Akhir Semester

Sejarah Islam Indonesia


Dosen Pengampu : Erwin Padli

Nama : Muh. Surya

Nim : 200101099

Kelas : PAI 4 D

Sejarah Masuknya Islam di Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah

Perjalanan masuknya ajaran islam di Pujut pada kondisi yang bersumber dari tulisan-
tulisan sejarah, selain itu juga melakukan analisis terhadap peninggalan agama islam di Pujut.
Peninggalan islam yang sampai sekarang masih terpelihara dengan rapi di Pujut adalah Masjid
Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Maqom Wali Nyatuk, Kerbau Sebute, dan Kitab-
Kitab Thareqat Macapat Lontar (Langit Gite, Jatisware, Brambang Wulung, dll). Dari bukti
peninggalan Islam ini, maka bahwa ajaran Islam yang berkembang di Pujut pada awalnya adalah
ajaran yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga di tanah Jawa.
Sinkretisme antara budaya masyarakat Pujut kuno dengan ajaran Islam masih kental
terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Sinkretisme ini sendiri pernah menjadi perdebatan
antara Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga. Perdebatan itu muncul ketika Sunan Bonang
berkeinginan untuk melaksanakan syariat Islam secara murni, namun Sunan Kalijaga
berpendapat lain bahwa sinkretisme itu perlu saat ini karena menghilangkan budaya secara
langsung justru akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat Jawa yang baru memeluk agama
Islam namun menurut Sunan Kalijaga budaya tersebut perlu di islamkan sampai suatu saat akan
datang suatu generasi yang akan merubahnya.
Serat menak adalah lakon Wayang Purwa yang digunakan sebagai salah satu media
dakwah yang digunakan oleh mubaligh dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Pujut. Serat
Menak menceritakan tentang perjalanan dakwah Wong Menak (Jayengrana) dari negeri mekah.
Lakon-laokn (sasak = kelampan) dalam serat menak menggambarkan tentang metode dakwah
melalui pendekatan perang (jihad), perkawinan, dan perdamaian. Pendekatan ini juga banyak
dipakai oleh para Waliyullah dalam menyebarkan ajaran Islam dimana penyebaran Islam lebih
dominan dilakukan dengan melakukan perkawinan dengan para puteri raja. Di Pujut pendekatan
ini juga banyak dilakukan dimana para Kyai menikahi puteri dari tokoh-tokoh masyarakat
setempat.
Metode dakwah dengan menggunakan media Wayang Kulit Purwa adalah metode
dakwah yang dikembangkan oleh Waliyullah Sunan Kalijaga dengan menggubah Serat Menak.
Metode dakwah Wayang Kulit Purwa sampai saat ini masih berkembang dengan baik di Pujut
dan tetap dilestarikan sebagai warisan dari para waliyullah penyebar agama Islam.
Masyarakat Pujut memiliki pertalian budaya dan bahasa yang serumpun dengan suku
Sunda di Jawa Barat. Pertalian budaya dan bahasa ini juga mendekatkan ajaran ketuhanan yang
sama, pada mulanya sebelum ajaran Islam masuk di Pujut masyarakat meyakini dan menjalankan
suatu ajaran ketuhanan yang disebut sebagai ajaran Jatisunda. Kesamaan kepercayaan kepada
tuhan, budaya, rumpun bahasa dan tatanan sosial Austronesia Melayu – Polinesia, barangkali
menjadi alasan bagi Gajah Mada dari Majapahit untuk menyebut Pulau Lombok sebagai Sunda
Kecil.
Setelah masuknya Islam di Pujut maka ajaran kepercayaan Jati sunda sebagai pondasi
dasar ajaran hidup masyarakat mengalami evolusi kepada pondasi ajaran tauhidiyah islamiyah
yang diajarkan oleh para Waliyullah. Melihat prinsip hidup dan laku hidup para Kyai Sepuh (ahli
agama) yang ada dalam masyarakat Pujut, maka dapat kita temukan ajaran hidup yang
dilaksanakan adalah lima ajaran hidup yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
Ajaran hidup tersebut adalah sebagai berikut : (1) Marsudi Ajining Sarira, yaitu suatu
sikap hidup untuk menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain. Penerapan ajaran
hidup ini dilakukan dengan menjauhi perbuatan yang dapat merusak tubuh yang dalam istilah
Sunan Kalijaga di sebut “Molimo” ( Mabuk, Madat, Maling, Madon/Berzina, Main/Judi),
(2) Manembah, yaitu perbuatan menyembah kepada Allah SWT yang dimplementasikan dalam
perbuatan sholat syari’at dan sholat daim, (3) Mangabdi. Yaitu prilaku mengabdi kepada orang
tua, keluarga, masyarakat, desa dan negara. Mengabdi juga bentuk penyerahan diri atau ridho
atas kehendak Allah SWT, (4) Maguru, yaitu suatu sikap untuk selalu menuntut ilmu baik ilmu
pengetahuan maupun ilmu agama, dan (5) Martapa, yaitu suatu sikap pendekatan diri kepada
Allah SWT. Dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT cara yang umum dilakukan adalah
berkhalwat (menyepi) dan dzikir makrifat. Martapa adalah perjalanan (thareqat) untuk mencari
guru sejati dan rasa sejati pada tujuh lathoif.
Masjid kuno Gunung Pujut dan Masjid Rembitan adalah peninggalan sejarah Islam yang
menyimpan pesan spiritual yang tinggi. Selain dijadikan sebagai tempat ibadah kedua masjid ini
juga memberikan pembelajaran hakekat yang tinggi. Diyakini masjid Pujut dan Rembitan
dibangun oleh Waliyullah penyebar agama Islam di Pujut dan Lombok umumnya. Berdasarkan
bentuk arsitekturnya masjid Pujut dan Rembitan bercirikan bangunan Jawa dengan atap seperti
atap masjid Demak. Masjid tidak memiliki jendela dan hanya memiliki satu pintu yang
berukuran rendah, sehingga untuk memasuki masjid harus sambil merunduk. Bentuk pintu ini
merupkan simbul – simbul ilmu hakekat penghambaan manusia kepada Allah SWT. Dari bentuk
ini maka dapat disimpulkan bahwa masjid Gunung Pujut dan masjid Rembitan didirikan oleh
ulama tasawuf atau ahli sufi yang telah mencapai maqom makrifat.
Berbicara tentang penyebaran Islam di Pujut maka tidak lepas dari tokoh spiritualis yang
menjadi legenda tokoh penyebar Islam yaitu “Balok Tui”. Nama tokoh ini sangat erat dan akrab
dengan masyarakat Pujut dari dulu sampai sekarang. Balok Tui adalah salah seorang putera dari
Datu Pujut yang menjadi murid utama dari Wali Yatok seorang mubaligh penyebar agama Islam
yang masih samar jatidirinya. Balok Tui dalam dakwahnya menggunakan cara pendekatan
pengajaran dari rumah ke rumah (sasak = Ngamarin). Ngamarin dilakukan sambil menggembala
Kerbau, dan Kerbau tersebut sampai sekarang masih ada yang oleh masyarakat Pujut disebut
“Kuwao Sebute” (Kuwao = Kerbau).
Dakwah ngamarin merupakan cara dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga
sebagaimana disebut dalam tembang lir ilir nya : “…. cah angon – cah angon penekno belimbing
kui, lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodo tiro….” . Pesan yang disampikan dalam
tembang tersebut adalah bahwa mubaligh itu tidak ubahnya seperti penggembala yang
menggembalakan hati masyarakat yang perlu dibersihkan dengan rukun Islam yang
dipersonifikasikan seperti belimbing buah yang memiliki lima segi. Dalam proses ngamarin
tersebut maka disetiap kampung besar dapat terbentuk kader mubaligh baru yang disebut “Kyai
Gubuk” (gubuk = Desa/Kampung). Kyai Gubuk inilah yang selanjutnya bertugas untuk
mengayom dan membimbing masyarakat dalam penyelenggaraan syariat Islam sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai