Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

IMAM MALIK

MATA PELAJARAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

Oleh Kelompok 3

1. AULIA NABILA SYAHPUTRI


2. FINA HERAWATI
3. MUHAMMAD FARHAN ARERI
4. MUHAMMAD HAKIM

Guru Mata Pelajaran :

Desi Roza Tika, S.Ag

KELAS XII MIA 2

MAN 1 DUMAI

TAHUN PELAJARAN 23/24


KATA PENGANTAR

Allhamdulillahrobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Swt. kami panjatkan


,karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sebagaimana mestinya. Makalah yang berjudul Sunan Kudus dan
Sunan Muria ini, disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah
kebudayaan islam dengan tepat pada waktunya

Ucapan terima kasih kepada ibu Desi Roza Tika, S.Ag dan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu proses
penyusunan dalam menyelesaikan makalah ini.

Walaupun makalah ini telah selesai, tetapi kami yakin masih banyak
kekurangan yang ada. Sehingga, kami meminta saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya. Supaya pembuatan makalah kedepannya
jauh lebih baik lagi.

Demikian prakata dari kami, semoga makalah ini menjadi reverensi dan
menambah wawasan bagi para pembaca,

Dumai, 11 Sepetember 2023

Penulis
PEMBAHASAN

A. Biogarafi Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yanh
tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Ja’far Shadiq. Nama Ja’far Shadiq diambil dari
nama datuknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhuammad al-Baqir bin Ali
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti
Muhammad. Menurut Rahman dalam Sejarah Hidup Walisongo (1988) Ia adalah
putra dadri pasangan Suna Ngudung.Sunan Ngudung sendiri adalah putra dari
saudara Sultan Mesir, adik dari Raja Dampul. Sunan Ngudung dan saudarinya,
Raja Dampul pergi kre negeri Puser Bumi dicirebon dan bertemu dengan Syarif
Hidayat, yaitu sepupu mereka yang menjadi Sunan di Gunung Jati.

Syarif Hidayat menyarankan agar Ngudung pergi ke Ampeldenta berguru


kepada Sunan Ampel. Dan akhirnya ia pun pergi dan berguru disana dan menjadi
murid terkasih Sunan Ampel. Ngudung kemudian dinikahkan cucu Sunan Ampel
yang bernama Syarifah, yang dikenal dengan nama Nyi Ageng Manila, adik
SunanBonang. Dari pernikahan itu, lahirlah Raden Fatimah Ja’far Shadiq, yang
dikenal dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk
Kudus, ia berasal dari lahir di Al-Quds Negara Palestina.

Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar
Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan sekitarnya.
B. Dakwah Sunan Kudus

Kiprah dakwah dari Sunan Kudus di Pulau Jawa bermula saat Sunan Kudus
pergi menuju kota Kudus. Sunan Kudus masuk ke kota Kudus bersama dengan
santri-santrinya yang mana santri-samtrinya ini adalah mantan prajurit perangnya
ketika memimpin perang terdahulu. Setelah sampai di Kudus, Sunan beserta
dengan santri-santrinya membangun sebuah masjid sebagai tempat ibadah dan
pusat penyebaran agama. Masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus adalah Masjid
Menara Kudus yang maish berdiri hingga kini. Masjid Menara Kudus didirikan
pada tahun 1456 Hijriyah yang bertepatan dengan 1549 Masehi. Terlebih, strategi
dakwah yang dilakukan Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam di Kudus yakni
dapat dilihat dari caranya yang berusaha mengajarkan toleransi beragama kepada
umat hindu dan Buddha yang berada di Kudus. Sebagaimana pendekatan dakwah
yang dilakukan para wali penyebar islam pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-
16, yaitu menggunakan pendekatan yang sesuai dengan firman Allah SWT. dalam
suarah An-Nahl ayat 125. Dalam perjalana hidupnya, Sunan Kudus banyak
bergurau kepada Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan local dengan
mengapresiasi terhadap budaya setempat. Dengan kebijaksanaan dakwah itu,
sebagaimana walisongo lainnya, Sunan Kudus berusaha mendekati masyarakat
untuk menyelami serta memahami apa yang diharapkan masyarakat.

Kemudian beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus


terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal
bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu. Langkah Sunan
Kudus tersebut tentumengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun
mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hall aim dari ajaran yang
mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus . islam
tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Suna Kudus
melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan
Kudus juga bias dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang
sekarang difungsikan sebagai tempat berwudhu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi
dengan relief area sebagai ornament penambah estika. Jumlah delapan pada
pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau
Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam
kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa
dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara.Menara Kudus bukanlah
menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkanlebih mirip dengan
bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.Menara
tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat
untukmemukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang
kononmerupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmarkKabupaten Kudus. Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah
suatu hal yangmelampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan
mengusung nilai-nilaiakulturasi saat itu belumlah ramai.

Pada Umat Hindu, bentuk toleransi itu dapat dilihat dari sikap Sunan Kudus
yangmenghormati sapi yang disucikan oleh umat hindu. Pada hari Qurban, Sunan
Kudus tidakmenyembelih sapi dan hanya menyembelih kerbau. Hal itu yang
membuat umat hindukemudian tertarik untuk masuk ke agama Islam. Ketika
Sunan Kudus berhasil membujukumat hindu memeluk agama Islam, selanjutnya
Sunan Kudus juga bermaksud membujukumat Buddha untuk memeluk agama
Islam, adapun strategi yang dilakukan oleh SunanKudus yakni membuat padasan
wudhu (tempat berwudhu), dengan pancuran yang berjumlah delapan buah. Pada
masing-masing pancuran, diberi sebuah arca yangdiletakkan di atas padasan
tersebut. Hal yang dilakukan Sunan Kudus tersebut berhasilmenarik simpati umat
Buddha. Adapun maksud Sunan Kudus membuat padasan wudhudengan pancuran
yang berjumlah delapan buah disebabkan karena Sunan Kudusmengetahui
delapan ajaran yang diajarkan dalam agama Buddha. Delapan ajaran
tersebutdikenal dengan nama Asta Sanghika Marga. Isi ajaran Asta Sanghika
Marga adalah“seseorang harus memiliki pengetahuan yang benar, mengambil
keputusan yang benar, berkata yang benar, bertindak atau berbuat yang benar,
hidup dengan cara yang benar, bekerja dengan benar, beribadah dengan benar dan
menghayati agama dengan benar”. Usaha ini membuat hasil yang tidak percuma,
banyak Umat Buddha berbondong- bondong ke masjid dan memeluk agama Islam
setelah Sunan Kudus menjelaskan bagaimana agama Islam yang sebenarnya.
Selain itu, dalam hal adat istiadat, SunanKudus tidak langsung menentang
masyarakat yang sering menabur bunga di perempatan jalan dan disamping jalan,
menaruh sesajen di kuburan, dan adat lain yang bertentangandengan ajaran Islam.
Beliau tidak langsung menentang adat itu, tetapi beliaumengarahkan adat tersebut
sesuai ajaran Islam. Salah satunya adalah denganmengarahkan fungsi sesajen
yang berupa makanan lebih baik diberikan kepada orangyang kelaparan atau
butuh makan. Sunan Kudus juga mengajarkan bahwa meminta pertolongan bukan
kepada ruh nenek moyang tetapi harus kepada Allah SWT.
A. Biografi Sunan Muria

Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden
Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus,
ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para
pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang
tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan
Kinanti.

Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan
dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Jarak antara kaki undag-
undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak
kurang dari 750 m. Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan
muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam
kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta
para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki
kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Sunan Muria adalah tokoh agama yang amat bersahaja. Dia tidak berkaitan
dengan hal-hal politik atau popularitas yang memungkinkan kisahnya lebih
banyak tertulis dalam sejarah. Sebagai wali, sunan muria lebih banyak
membenamkan dirinya dalam kehidupan rakyat kecil, yang miskin dan golongan
marhaen. Para muridnya kebanyakan dari kalangan para petani,pedagang, dan
nelayan kecil. Dia berbaur dan menyelami setiap sisi terdalam kehidupan
masyarakat. Langkahnya yang sederhana ini telah membawanya menciptakan
tembang sinom dan kinanti. Satu tindakan lain yang membuktikan sunan Muria
menyusup dalam lubuk hati rakyat adalah tidak dilarangnya tradisi melakukan
kenduri setelah kematian seseorang yang dikenal denga tradisi hindu-jawa.
Namun walaupun begitu menurut catatan sejarah, ia tetap melarang tradisi-tradisi
yang mutlak sebagai amalan syirik. Contohnya membakar kemenyan dan menaruh
sajian ditempat yang di anggap keramat.

Metode yang merupakan lanjutan dari kerja dakwah ayahnya ini menyebabkan
sunan muria lebih mengenal tradisi jawa. Dia juga dikenal sebagai seorang
seniman yang melestarikan gamelan dan kesenian tradisi lainnya. Melalui cara ini
sunan Muria mulai sedikit demi sedikit memasukkan ajaran agama dan syiariat
islam. Inilah awal masuknya penyebaran islam yang dilakukan oleh sunan Muria,
dengan begitu rakyat tidak terkejut dengan ajaran baru islam. Pembenaran tentang
ajaran islam diterima rakyat secara rasional, sebab berjalan di wilayah yang akrab
dengan mereka. Syair-syair jawa diubah liriknya dengan kebajikan-kebajikan
Islam. Rakyat mengenal islam sebagai sesuatu yang lembut. Metode ini masih
berlangsung hingga saat ini dijawa, Nahdlatul Ulama menggunakan dalam
menyebarkan syiar dan memberikan tentang pembenaran ajaran islam kepada
rakyat. Begitu dekatnya sunan Muria dengan rakyatnya hingga luasnya wilayah
dakwah merambah sampai daerah permukiman terpencil. Seperti daerah gunung
Muria sendiri sangat terpencil namun dakwahnya sampai wilayah ke pati, pesisir
jawa, selain tentunya kudus.
B. Dakwah Sunan Muria

Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama
Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Sunan muria menyebarkan agama islam kepada para pedagang, nelayan,


pelaut dan rakyat jelata. Cara beliau menyebarkan agama islam dengan tetap
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah. Beliau juga
yang telah menciptakan berbagai tembang jawa. Salah satu hasil dakwah beliau
melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti. Tempat dakwahnya
berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya diperluas meliputi Tayu,
Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria
karena tinggal di gunung muria.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran


Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata
ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar.
Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir
utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan
yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam
masyarakat.

Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di


Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati.

Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Dengan
gayanya yang moderat, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai
tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah
kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak
diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau
menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga
berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa.
Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai
sekarang masih lestari

Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik
yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750
meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung
setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau
berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak
dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Sunyoto, Atlas Walisongo,cet 1 (Depok: Pustaka. MaN, 2012)

Wahyudi, Agus Makrifat Jawa,Makna HIdup Sejati para Walisongo,

Yogyakarta Pustaka Marwah, (2007)

Adfar, Zainul, Resolusi Konflik Para Wali,Semarang, IAIN Walisongo (2009)

Abdillah, Aji Sasmito, dalam http://www.abdillahajisasmito.com/sistem-


pemerintahan-walisongo/ di akses pada 16 September 2023, jam
08.40 WIB

Amar, Imron Abu, Sunan Kalijaga KAdilangu Demak, Kudus Menara, 1992

Ansa Ahmad, Menguak Pengalaman Keagamaan,Yogyakart:


Pustaka Pelajar 2004

Anda mungkin juga menyukai