Anda di halaman 1dari 33

1.

Kauman
- sejarah / cerita rakyat :
Sunan Kudus merupakan salah satu dari wali Sembilan atau walisongo yang menyebarkan agama
islam di Pulau Jawa. Nama kecil dari sunan kudus adalah sayyid Jaffar Shadiq Azmatkhan. Ia
putra dari pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.

Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana
hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus
banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa
Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.

Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali – yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan
Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha.

Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi
ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi
simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”.

Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih
sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut
bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati
Jipang, Arya Penangsang.

Kiprah Dakwah Sunan Kudus

Kiprah dakwah dari Sunan kudus di Pulau Jawa bermula saat Sunan Kudus pergi menuju kota
Kudus. Kondisi kota Kudus saat itu bahwasanya sudah ada yang pernah mendakwahkan Islam,
yakni Kyai Telingsin, Sehingga sebagian masyarakatnya juga sudah ada yang mengenal Islam.
Sunan Kudus masuk ke kota Kudus bersama dengan santri-santrinya yang mana santri-santrinya
ini adalah mantan prajurit perangnya ketika memimpin perang terdahulu. Setelah sampai di
Kudus, Sunan beserta dengan santri-santrinya membangun sebuah masjid sebagai tempat ibadah
dan pusat penyebaran agama.

Masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus adalah Masjid Menara Kudus yang masih berdiri hingga
kini. Masjid Menara Kudus didirikan pada tahun 1456 Hijriyah yang bertepatan dengan 1549
Masehi.

Terlebih, strategi dakwah yang dilakukan Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam di Kudus yakni
dapat dilihat dari caranya yang berusaha mengajarkan toleransi beragama kepada umat hindu dan
Buddha yang berada di Kudus. Pada Umat Hindu, bentuk toleransi itu dapat dilihat dari sikap
Sunan Kudus yang menghormati sapi yang disucikan oleh umat hindu. Pada hari Qurban, Sunan
Kudus tidak menyembelih sapi dan hanya menyembelih kerbau.

Hal itu yang membuat umat hindu kemudian tertarik untuk masuk ke agama Islam. Ketika Sunan
Kudus berhasil membujuk umat hindu memeluk agama Islam, selanjutnya Sunan Kudus juga
bermaksud membujuk umat Buddha untuk memeluk agama Islam, adapun strategi yang dilakukan
oleh Sunan Kudus yakni membuat padasan wudhu (tempat berwudhu), dengan pancuran yang
berjumlah delapan buah. Pada masing-masing pancuran, diberi sebuah arca yang diletakkan di atas
padasan tersebut.

Hal yang dilakukan Sunan Kudus tersebut berhasil menarik simpati umat Buddha. Adapun
maksud Sunan Kudus membuat padasan wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan buah
disebabkan karena Sunan Kudus mengetahui delapan ajaran yang diajarkan dalam agama Buddha.

Delapan ajaran tersebut dikenal dengan nama Asta Sanghika Marga. Isi ajaran Asta Sanghika
Marga adalah “seseorang harus memiliki pengetahuan yang benar, mengambil keputusan yang
benar, berkata yang benar, bertindak atau berbuat yang benar, hidup dengan cara yang benar,
bekerja dengan benar, beribadah dengan benar dan menghayati agama dengan benar”. Usaha ini
membuat hasil yang tidak percuma, banyak Umat Buddha berbondong-bondong ke masjid dan
memeluk agama Islam setelah Sunan Kudus menjelaskan bagaimana agama Islam yang
sebenarnya.

Selain itu, dalam hal adat istiadat, Sunan Kudus tidak langsung menentang masyarakat yang
sering menabur bunga di perempatan jalan dan disamping jalan, menaruh sesajen di kuburan, dan
adat lain yang bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau tidak langsung menentang adat itu, tetapi
beliau mengarahkan adat tersebut sesuai ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan mengarahkan
fungsi sesajen yang berupa makanan lebih baik diberikan kepada orang yang kelaparan atau butuh
makan. Sunan Kudus juga mengajarkan bahwa meminta pertolongan bukan kepada ruh nenek
moyang tetapi harus kepada Allah SWT.

Keteladanan dari Sunan Kudus

Keteladanan yang dapat kita ambil dari kisah Sunan Kudus adalah metode dakwahnya dengan
mengadopsi kultur (budaya) hindu-buddha dan mengarahkannya agar sesuai dengan ajaran Islam
merupakan metode yang strategis mengingat Kota Kudus memiliki masyarakat yang taat dalam
ajarannya saat itu. Sunan Kudus tidak memaksa masyarakat agar menerima islam, namun Sunan
Kudus membuat masyarakat akhirnya mau menerima Islam dengan sendirinya tanpa ada unsur
paksaan.

Bagi masyarakat yang ingin melihat jejak sejarah dari Sunan Kudus dapat mengunjungi Menara
Kudus. Menara Kudus adalah contoh tercantik dari keberhasilan dakwah kultural Islam. Dengan
demikian, Menara Kudus bisa dijadikan counter discourse atas gerakan dakwah politik
- objek unggulan : aka masjid menara kudus, rumah adat kudus,
Riwayat Sunting
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak terlepas dari peran Sunan Kudus sebagai penggagas dan
pendiri. Sebagaimana Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus menggunakan pendekatan kultural
(budaya) dalam berdakwah. Ia mengadaptasi dan melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah
masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dalam pengaruh agama Hindu dan Buddha.
Akulturasi budaya Hindu dan Budha dalam dakwah Islam yang dilakukan Sunan Kudus terlihat
jelas pada arsitektur dan konsep bangunan Masjid Menara Kudus.

Masjid ini mulai didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini didasarkan pada inskripsi
berbahasa Arab yang tertulis pada prasasti batu berukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm yang
terletak pada mihrab masjid.[3]. Peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di
Palestina, oleh karena itu masjid ini kemudian dinamakan Masjid Al Aqsha.

Arsitektur Sunting
Masjid Sunting
Masjid Menara Kudus ini memiliki lima pintu sebelah kanan, dan lima pintu sebelah kiri.
Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid
yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar daripada
semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi[butuh rujukan]. Di dalamnya terdapat kolam
masjid, kolam yang merupakan padasan tersebut merupakan peninggalan kuno dan dijadikan
sebagai tempat wudhu.

Di dalam masjid terdapat dua bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca
khutbah. Di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa disebut oleh penduduk
sebagai "Lawang Kembar".

Di komplek masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas
pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha,
yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
Menara Sunting

Menara Masjid

Menara Masjid Kudus

Bentuk Paduraksa Masjid Menara Kudus

Bentuk Masjid Menara Kudus asli sebelum pelebaran masjid


Menara Kudus memiliki ketinggian 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di
sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah.
Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan
pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di
dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895
M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa
karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak
bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).[4]

Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri
lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen.
Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk
suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua
tumpuk atap tajug.

Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap
tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur
arsitektur Jawa-Hindu.
- atraksi wisata : ndandangan
Dhandhangan (juga ditulis dandangan) merupakan festival yang diadakan di Kabupaten Kudus,
Jawa Tengah, Indonesia, untuk menandai dimulainya ibadah puasa pada bulan Ramadan. Masjid
Menara Kudus biasanya menjadi pusat keramaian pada acara ini.[1] Menurut tradisi, nama
dhandhangan diambil dari suara beduk masjid tersebut saat ditabuh untuk menandai awal bulan
puasa. Awalnya, dhandhangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara
Kudus setiap menjelang Ramadan untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang
penentuan awal puasa. Selanjutnya, kesempatan ini juga dimanfaatkan para pedagang untuk
berjualan di sekitar masjid sehingga akhirnya kini dikenal masyarakat sebagai pasar malam yang
ada setiap menjelang Ramadan.[2]

Perayaan Sunting
Pada perayaan ini beragam barang dijual dan pada masa kini sering diikutkan berbagai sponsor
dari sejumlah industri besar. Meskipun demikian, ada satu mainan yang selalu terkait dengan
festival ini, yaitu kepala "Barongan Gembong Kamijoyo". Selain itu, diadakan pula berbagai acara
kebudayaan seperti festival rebana dan pawai (kirab).[3][4]
Kirab Sunting
Kirab Dandangan[5] yang menampilkan potensi dari sejumlah desa yang ada di Kudus, seperti
visualisasi Kiai Telingsing, Sunan Kudus, rumah adat Kudus, batil (merapikan rokok), dan
membatik. Kirab dimulai dari Jalan Kiai Telingsing menuju pangkalan ojek di kompleks Menara
Kudus yang ada di Jalan Sunan Kudus dengan jarak sekitar 3 kilometer. Jumlah peserta arak-
arakan Dandangan yang tercatat, sekitar ratusan peserta berasal dari kelompok seniman,
masyarakat, dan pelajar. Puncak dari kegiatan tersebut diisi dengan teatrikal sejarah perayaan
Dandangan. Dari delapan rombongan yang mengikuti kirab tersebut, tampak hadir artis ibu kota
Mandala Soji yang memerankan tokoh Sunan Kudus. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Pemerintah Kabupaten Kudus, Hadi Sucipto mengungkapkan, kegiatan hari ini merupakan upaya
melestarikan budaya Kudus serta mengenalkan potensi wisata setempat kepada masyarakat luas.

2. Loram kulon
- sejarah / cerita rakyat :
Masjid di Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, ini tampak khas karena memiliki gerbang
berarsitektur Hindu-Buddha. Masjid At-Taqwa, nama masjid tersebut, masyarakat Kudus sering
menyebutnya Masjid Wali Loram.

Masjid ini didirikan seorang Muslim keturunan Tiongkok bernama Tji Wie Gwan, yang tak lain
ayah angkat Sultan Hadirin. Dia diperintahkan langsung oleh Sunan Kudus untuk membangun
masjid itu, untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar.

Dari depan, tampak gerbang Masjid Wali Loram tersusun dari ratusan batu bata merah setinggi
lebih kurang empat meter. Terdapat dua pintu di sebelah utara dan selatan, serta satu pintu utama
di tengah. Gerbang itu sangat mirip dengan gerbang Masjid Menara Kudus.

Seputarkudus.com berkesempatan menemui Afrohamanudin (48), Takmir Masjid Wali Loram,


Jumat (10/6/2016), di masjid At-Taqwa. Dia sangat antusias berbagi cerita pendirian masjid dan
penyebaran Islam di Loram Kulon.

“Gerbang Masjid At-Taqwa dibuat oleh ayah angkat Sultan Hadirin bernama Tji Wie Gwan
keturunan Tiongkok. Pembangunan dilakukan sekitar tahun 1596-1597 masehi,” kata
Afrohamanudin mengawali cerita pembangunan Masjid Wali Loram.

Menurutnya, pembangunan gerbang tersebut merupakan perintah langsung dari Sunan Kudus.
Bangunan yang dibuat Tji Wie Gwan membuat masyarakat Loram yang saat itu masih menganut
Hindu-Buddha, tertarik untuk datang melihat.

Tidak hanya gerbang, Afrohamanudin menyebut Tji Wie Gwan juga membuat bangunan masjid
yang kini dikenal masyarakat dengan nama Masjid Wali Loram. “Nama masjidnya lebih dikenal
Masjid Wali Loram. Karena saat Pemerintahan Orde Baru mengharuskan ada penamaan masjid,
akhirnya Masjid Wali Loram di beri nama Masjid Jami At-Taqwa,” jelasnya.

Dia menuturkan, pada masa itu, masyarakat Loram mayoritas menganut Hindu-Buddha. Karena
Tji Wie Gwan membuat gapura yang menyerupai tempat ibadah agama yang dianut masyarakat
sekitar, hal itu membuat banyak warga yang penasaran dan datang untuk melihat.

“Masyarakat Loram penasaran ingin tahu apa yang ada di balik gerbang. Masyarakat yang masuk
ke masjid, oleh Tji Wie Gwan diperkenalkanlah fungsi bangunan masjid,” tambahnya.

Tji Wie Gwan, katanya, juga mengajarkan budaya dan Islam kepada warga Loram yang masuk ke
masjid. Akhirnya, banyak masyarakat Loram yang masuk Islam. “Karena kepandaiannya dalam
membuat bangunan dan menyebarkan Islam, Tji Wie Gwan mendapatkan julukan Sungging Badar
Duwung. Sungging artinya ahli ukir, Badar sama dengan batu dan Duwung artinya tatah)”
jelasnya.

Awal Penyebaran Islam Di Loram


Afrohamanudin menjelaskan awal masuknya Islam di wilayah Loram. Ketika terjadi gejolak
perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, Sunan Kudus yang saat itu masih menjadi Senopati
lebih memilih keluar dari Kerajaan. Dia ingin melanjutkan penyebaran Islam ke wilayah utara.
“Sebelumnya, Sunan Kudus bertemu Kiai Telingsing untuk memberitahukan keinginannya
menyebarkan agama Islam ke wilayah arah utara,” tuturnya.

Pertemuan antara Sunan Kudus dan Kiai Telingsing, kata Afrohamudin terjadi wilayah Loram.
Karena melihat Loram dekat dengan jalur transportasi air dan memiliki tanah yang subur, akhirnya
diputuskan menyebarkan agama Islam di Loram dengan membangun sebuah tempat untuk
berdakwah.

“Ketika itu yang disuruh Sunan Kudus untuk menyebarkan agama Islam di Kudus selatan yakni
Sultan Hadirin menantu dari Sunan Kudus,” jelasnya.

Dia mengisahkan, Sultan Hadirin yang menjadikan Dewi Prodo Binabar (Putri Sunan Kudus)
sebagai istri keduanya, mengajak ayah angkatnya Sungging Badar Duwung untuk membantu
berdakwah di Loram. “Lalu dibuatlah gapura menyerupai tempat ibadah agama Hindu-Buddha
yang di dalamnya ada masjid,” tambahnya.

Menurutnya, Sunan Kudus sudah mengetahui Sungging Badar Duwung ahli dalam bidang
bangunan dan ukir. Karena sebelumnya telah menyelesaikan Masjid Mantingan di Jepara yang
konon membuat Sunan Kudus terpesona. “Ada yang menceritakan, Sunan Kudus sendiri yang
meminta untuk dibuatkan bangunan Masjid di Loram,” ungkapnya.
- objek unggulan: masjid wali loram, sentra kerajinan kreatif
logo inibaru

Hits

Pasar Kreatif

Inspirasi Indonesia

Tradisinesia

Adventurial

Kulinary

Karikartun

Infografik

Video

Unduh Aplikasi

playstore
A Group Member Of

Medcom

Beranda Islampedia
Menyusuri Sejarah dan Tradisi di Masjid Wali Loram Kulon Kudus
Rabu, 04 Jul 2018 14.10
Nggak hanya unik dari segi arsitekturnya. Masjid Wali Loram ini punya tradisi menarik. Yuk
simak!
Menyusuri Sejarah dan Tradisi di Masjid Wali Loram Kulon Kudus
Penampakan Gapura dan Masjid Wali Loram Kudus. (Seputarkudus.com)

Inibaru.id – Nama resmi masjid ini adalah Masjid Jami At-Taqwa, namun masyarakat setempat
lebih suka menyebutnya Masjid Wali Loram Kulon. Masjid ini berada di Desa Loram Kulon,
Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Melansir Aroebinang.com (21/02/2018), bangunan asli masjid ini dibangun pada 1596-1597 oleh
seorang Tionghoa Muslim asal Campa bernama Tjie Wie Gwan. Sumber lain, piyeleh.com
(Januari 2017) menulis bahwa masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan atas perintah Sultan Hadlirin.

Seperti laiknya bangun masjid pada zaman dahulu, Masjid Wali Loram Kulon ini dibuat dengan
kayu jati yang telah dilengkapi dengan menara, sumur tempat berwudhu dan bedug.

Begian depan Masjid At Taqwa. (Piyeleh.com)

Namun seiring bertambahnya usia, masjid ini menjadi rapuh sehingga telah dilakukan pemugaran
pada awal 1990-an. Bagian yang sama sekali nggak diubah yaitu bagian gapura paduraksa yang
berada di depan masjid. Ada aksara arab berbunyi “Allhumma baariklana bil khoir” dan di
bawahnya ada terjemahannya yang berbunyi “Ya Allah, berkahilah kebaikan kepada kami” yang
tertera di gapura itu.

Seperti Masjid Menara Kudus, Masjid Wali Loram Kulon ini juga berarsitektur Jawa Hindu dan
mengkombinasikannya dengan gaya Timur Tengah. Selain gapura, bagian masjid yang masih asli
ada saka guru, mustaka cungkup masjid, sumur, pintu ukir, dan bedug.

Tradisi-tradisi Unik

Keunikan lain ada pada tradisi yang dilakukan di masjid ini. Seperti yang ditulis pada
Jelajahiptek.blogspot.com (30/06/2018), ada tradisi Nganten Mubeng Gapura di Masjid Wali.

Tradisi ini merupakan tradisi yang dilakukan para pengantin baru yang telah selesai melaksanakan
prosesi ijab qobul. Pengantin ini harus melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura
klasik batu bata merah bercorak Hindu.

Tradisi Nganten Mubeng (Sindonews.com)


Tradisi lain yang ada di Desa Loram Kulon ini yaitu bersedekah dengan mengirim nasi kepel ke
Masjid Wali Loram Kulon. Masyarakat yang memiliki hajat seperti menikahkan anak, sunat,
membangun rumah, melahirkan, dan lain-lain akan membawa sedekah nasi kepel dan lauk bothok
masing-masing 7 bungkus.

Seorang warga menyerahkan nasi kepel pada pengurus masjid. (Murianews.com)

Nasi kepel merupakan nasi yang dibungkus dengan daun jati atau daun pisang, berbentuk bulat
dan diikat. Angka tujuh (Jawa: pitu) menjadi perlambang bagi pitulung (pertolongan), pitutur
(nasihat), dan pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup.
- atraksi wisata : ampyang maulid
Ampyang Maulid adalah sebuah perayaan di Kabupaten Kudus[1] yang dilaksanakan oleh
masyarakat Loram Kulon guna memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Ampyang maulid
menjadi salah satu budaya yang dilestarikan sampai sekarang dan diperingati setiap tanggal 12
Robi’ul Awwal. Pada peserta acara ini meliputi musholla-musholla serta dukuh yang berada di
kawasan Loram Kulon. Namun lama kelamaan tradisi ini justru makin berkembang sehingga
menyebabkan para peserta bertambah, mulai dari madrasah-madrasah bahkan organisasi serta
lembaga-lembaga luar Loram Kulon.

Etimologi Sunting
Ampyang Maulid terdiri dari dua kata yaitu Ampyang dan Maulid. Menurut sesepuh Desa Loram
Kulon Ampyang adalah jenis kerupuk yang terbuat dari tepung, berbentuk bulat dengan warna
yang beraneka macam. Sedangkan kata Maulid adalah berasal dari bahasa Arab Walada menjadi
bentuk masdar Maulidan yang artinya kelahiran. Jadi kata Ampyang bila dirangkai kata Maulid
sehingga menjadi Ampyang Maulid mempunyai arti makanan yang ditata sedemikian rupa dalam
suatu wadah yang unik, yang diusung oleh Masyarakat pada perayaan memperingati hari lahirnya
Nabi Muhammad SAW di Masjid Wali Loram Kulon.

Tujuan Sunting
Karakteristik Ampyang Maulid dapat diartikan sebagai perayaan yang bernuansa da’wah
Islamiyah yang dilaksanakan oleh Masyarakat Desa Loram Kulon dalam rangka memperingati
hari lahirnya Nabi Muhammad SAW[2] di Masjid Wali Loram Kulon.

Perkembangannya Sunting
Tradisi Ampyang di desa Loram Kulon memiliki ciri khas dan keunikan yang telah ada sejak
zaman Tjie Wie Gwan[3]. Namun pada zaman penjajahan Belanda, dilanjutkan zaman penjajahan
jepang tahun 1941-1945 tidak dapat dilaksanakan karena kondisi dan situasi politik yang berakibat
krisis panjang mpada masa itu. Menjelang timbulnya gerakan partai komunis Indonesia(PKI)
sampai masa akhir G 30 S PKI, tradisi ampyang ini sempat terhenti juga karena situasi politik.
Dalam perkembangannya tahun 1995 M tradisi ampyang ini kembali dilaksanakan sebagai syiar
agama islam.

Acara Sunting
Oleh masyarakat Desa Loram Kulon pada waktu event itu kerupuk tersebut dijadikan sebagai
hiasan sebuah tempat makanan berbentuk persegi empat, terbuat dari bambu, kayu dengan bentuk
tempat Ibadah agama Islam seperti miniatur Masjid, Musholla, Rumah adat dan lainnya yang
bagian pojoknya diberi hiasan spesifik bunga “Jambul” yaitu bambu yang diserut hingga
mlungker-mlungker (melingkar-lingkar) kemudian diberi berbagai macam warna
- akomodasi :

3. Jepang
- sejarah/ cerita rakyat :
lat di Masjid Wali, Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kudus. (KORAN MURIA / EDY
SUTRIYONO)

Koran Muria, Kudus – Masjid Al Makmur, atau yang biasa dikenal dengan nama Masjid Wali, di
Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kudus, sudah tak asing lagi sebagai salah satu masjid yang
mempunyai cerita sejarah tentang Arya Penangsang, si Adipati Jipang.

Masjid yang dibangun sekitar abad 16 ini, menjadi sejarah perjalanan spritual si Arya Jipang
tersebut. Dari berbagai cerita tutur, tempat berdirinya Masjid Wali, merupakan tempat
persinggahan Arya Penangsang, saat melakukan perjalanan dari kerajaannya menuju tempat Sunan
Kudus, untuk belajar ilmu agama.

Fatkhurrohman Aziz, pengurus Masjid Wali menyebut, daerah tempat masjid itu berdiri, sekitar
abad 16, merupakan daerah rawa yang sangat besar. Di tempat tersebut, Arya Penangsang
menambatkan perahunya, untuk melanjutkan perjalanan ke kediaman Sunan Kudus.

“Saat Arya Penangsang melakukan perjalanan dari Kadipaten Jipang (daerah Blora), untuk
berguru ke Sunan Kudus. Perahunya ditambatkan di daerah sini, yang dulu merupakan rawa
besar,” katanya kepada Koran Muria, Selasa (7/6/2016).

Sunan Kudus, mengetahui kebiasaan muridnya itu yang sering beristirahat di daerah itu. Hingga
akhirnya Sunan Kudus membangun sebuah masjid, sebagai tempat beribadah dan berisitirahat
sang murid kesayangan.

“Selain sebagai tempat istirahat sambil mengerjakan salat, masjid ini juga dijadikan fasilitas Arya
Penangsang untuk menyebarkan ajaran Islam kepada warga Desa Jepang,” ujarnya.

Misi Arya Penangsang menyebarkan Islam di daerah itu, juga merupakan perintah Sunan Kudus.
Masjid tersebut menjadi pusat penyebaran Islam di sekitar kawasan Kecamatan Mejobo, waktu
itu.

Masjid peninggalan Sunan Kudus ini, desainnya hampir sama dengan Masjid Attaqwa atau Masjid
Menara Kudus. Mulai dari bentuk arsitekturnya maupun yang lain.

“Kesamaan masjid ini yakni terletak pada keempat tiang soko gurunya. Masjid Al Makmur dan
Masjid Attaqwa juga mempunyai tiang soko guru. Selain itu juga mempunyai gapura Arya
Penangsang,” paparnya.

Di gapura pintu masuk, selatan parkir Menara juga ada gapura Arya penangsang. Begitu juga di
depan Masjid Wali juga mempunyai gapura Arya Penangsang.

Warga melintas di depan Gapura Arya Penangsang Masjid Wali, Desa Panjang. (KORAN
MURIA / EDY SUTRIYONO)
Warga melintas di depan Gapura Arya Penangsang Masjid Wali, Desa Panjang. (KORAN
MURIA / EDY SUTRIYONO)

Dia melanjutkan, untuk nama masjid ini memang dahulunya tidak ada yang paham. Sehingga
masjid Al Makmur ini disebut dengan julukan Masjid Wali Jepang. “Karena masjid ini dibangun
oleh Sunan Kudus dan Arya Penangsang. Sehingga dinamai Masjid Wali,” tuturnya.

Sementara itu, nama Al Makmur, merupakan pemberian ulama dari Desa Karangmalang,
Kecamatan Gebog, bernama Sayyid Dloro Ali. Pemberian nama itu sekitar tahun 1917 M atau
1336 H.

“Beliau berkata bahwa bila seseorang atau warga yang memberikan sedekah atau amal jariyah
kepada masjid, maka akan bisa makmur dunia akhirat. Sehingga masjid ini diberi nama Masjid Al
Makmur,” imbuhnya.

- objek unggulan : masjid wali jepang, sentra anyaman bambu


Tampak muka Masjid Wali Jepang Kudus dengan kekhasan bangunannya berupa gapura
paduraksa yang kondisinya masih cukup baik. Secara tradisional gapura ini biasanya memisahkan
jaba tengah dengan jaba jero. Gapura itu menjadi terlihat menonjol, selain elok, karena bangunan
tembok lainnya disemen dan dicat dengan warna hijau pupus. Jika saja tembok juga dibuat dengan
bata telanjang tentu akan jauh lebih elok dan serasi. Tengara di depan menunjukkan bahwa gapura
paduraksa itu telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Ini
penting karena dengan berlalunya waktu bisa saja muncul sekelompok orang berpemikiran sempit
yang hendak menghancurkan warisan budaya itu.

Bagian teras Masjid Wali Jepang Kudus dengan ornamen menyerupai benteng dan tulisan dalam
aksara Arab di bagian depannya. Pilar-pilar persegi yang dibalut keramik tampak berjejer
menyangga atap teras yang dibeton. Di atas sana terlihat dua puncak atap, yang sebelah depan
berupa kubah dengan aksara "Allah" dan di belakangnya terlihat mustaka di puncaknya. Masjid ini
memiliki menara sederhana sebagai tempat pengeras suara saat adzan.

masjid wali jepang kudus


Pemandangan pada ruang utama masjid dengan empat sokoguru dari kayu jati serta bagian mihrab
dengan ornamen unik, seolah ingin menggambarkan keningratan Adipati Jipang Panolan itu. Di
dalam lingkaran hitam terdapat tulisan "Allah" dan "Muhammad", dan pada tembok relung imam
juga terdapat sejumlah aksara Arab. Jika diperhatikan, karpet sajadah dipasang agak miring
terhadap dinding masjid. Itu berarti bahwa bangunan masjid tidak tepat mengarah ke kiblat
sehingga shaf salatnya yang harus dibuat miring, ketimbang merubah tembok bangunan.

Selain soko guru dan gapura paduraksa, yang disebut masih asli adalah sumur dan mustaka pada
puncak atap masjid. Kami sempat melihat sumur tua di dekat tempat wudlu, yang masih dipasang
timba karet tradisional, meski airnya sudah dinaikan ke bak dengan menggunakan pompa listrik.
Ada juga sebuah gentong besar yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi untuk menampung air.
Sebuah bedug yang cukup tua saya lihat diletakkan di teras depan.

masjid wali jepang kudus


Pandangan lurus pada relung imam dan mimbar yang terpisah. Meskipun terkesan tak lazim,
namun ornamen pada relung imam itu menjadi ciri khas Masjid Wali Jepang Kudus peninggalan
Arya Penangsang ini. Diapit oleh huruf Arab berbunyi "Allah" dan "Muhammad" adalah ornamen
yang sepertinya menggambarkan Kori Agung pada Gapura Paduraksa yang ada di bagian depan
masjid ini.

Nama Masji Al-Makmur diberikan oleh seorang ulama asal Karang Malang bernama Sayid Doro
Ali Alaydrus yang tertulis pada prasasti dalam huruf Arab-Pegon bertanggal 16 Muharram 1336
H/ 1917 M, berbunyi "Iki jenenge masjid Al-Makmur. Insyaallah sopo-sopo wonge shodaqoh
neng masjid iki selamet donya akhirat." Terjemahannya "Ini namanya Al-Makmur. Jika Allah
menghendaki siapa saja yang mengeluarkan sebagian hartanya di masjid ini selamat dunia
akhirat". Beliau juga memulai tradisi Air Salamun pada Rabu terakhir Bulan Sapar.

masjid wali jepang kudus


Pandangan pada ornamen mimbar yang terbuat dari dua potongan kayu dengan lingkaran-
lingkaran berisi kaligrafi berwarna keemasan. Mimbarnya sendiri terkesan biasa, hanya dihias
dengan ram-raman kayu polos yang dicat hijau muda, sementara tempat duduk bagi khatib dilapis
jok warna hijau tua. Selain merasa lebih berhak atas tahta Demak karena ayahnya lebih tua dari
Trenggono, Arya Penangsang juga hendak membalas dendam atas kematian ayahnya yang
dibunuh Sunana Prawoto (saat masih bernama Raden Mukmin). Ia mengutus Rangkud untuk
membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud berhasil menghabisi Sunan
Prawoto namun ia juga tewas karena sang sunan yang sebenarnya sudah pasrah menjadi marah
saat melihat isterinya ikut terbunuh.
Keberpihakan Sunan Kudus pada Arya Penangsang dalam perebutan tahta digambarkan pada
kisah menegangkan saat Penangsang yang telah menghunus keris Kyai Setan Kober berhadapan
dengan Hadiwijaya yang juga telah menghunus kerisnya. Sunan Kudus yang tiba-tiba datang lalu
berdiri diantara kedua adipati itu. Tangan kirinya segera memegang erat tangan kanan Hadiwijaya
yang memegang keris Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanannya memegang tangan kiri Arya
Penangsang yang tak memegang apa-apa. Sunan Kudus lalu berkata dengan keras kepada Arya
Penangsang untuk segera menyarungkan kerisnya. Melihat Arya Penangsang masih termangu,
sang sunan kembali mengulangi perintahnya agar Arya Penangsang segera menyarungkan
kerisnya. Setelah perintahnya diulang untuk ketiga kalinya, baru Arya Penangsang menyarungkan
keris, ke dalam warangkanya. Padahal yang dimaksud Sunan Kudus adalah agar Arya Penangsang
menyarungkan keris Kyai Setan Kober ke tubuh Hadiwijaya, musuhnya yang paling kuat. Arya
Penangsang akhirnya tewas dalam perang tanding melawan Sutawijaya. Usus terburai Arya
Penangsang yang disangkutkan ke warangka lantaran terkena tombak Kyai Plered, putus saat ia
mencabut keris Kyai Setan Kober dengan niat membunuh lawannya.

Jarak dari Masjid Menara Kudus ke Masjid Wali Jepang sekitar 6 km arah ke timur dan lalu ke
selatan, melewati Jalan Sunan Kudus, lanjut lurus ke Jl Mejobo hingga mentok lalu belok kanan
ke Jl Budi Utomo sejauh 940 meter. Selanjutnya belok kiri ke Jl Suryo Kusumo sejauh 325 meter,
dan lalu belok kanan masuk ke Gang Suryo Kusumo 6 yang berada persis di depan Kantor Desa
Jepang, sejauh sekitar 230 meter hingga tiba di depan masjid.
- atraksi wisata : rebo wekasan
Selayang Pandang Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang, Kudus
Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang, Kudus. (Tribratanewskudus.com)

Inibaru.id – Setiap tahun, warga Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah mengadakan tradisi Rebo Wekasan. Tradisi ini diadakan pada Rabu terakhir di bulan
kedua dalam penanggalan Hijriah yakni Safar. Pada tradisi tersebut, warga Desa Jepang bakal
melakukan kirab budaya dan membagikan air Salamun.

Mengenai nama Rebo Wekasan, ada banyak versi yang menjelaskannya. Ada yang mengatakan
Rebo Wekasan berasal dari kata Rebo yang berarti Rabu dan pungkasan yang bermakna terakhir.
Namun, ada pula yang menyebut wekasan dalam kata itu berarti "pesanan" karena Rabu terakhir
Safar diyakini masyarakat sebagai hari diturunkannya bala atau malapetaka selama setahun.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Juli Kasiyanto menyebut tradisi ini
dimulai ulama bernama Ndoro Ali pada 1925 silam. Tradisi itu bertujuan untuk mensyiarkan
ajaran Islam dengan cara membagian air Salamun yang berasal dari sumur kuno di Masjid Al-
Makmur, Jepang, Mejobo. Konon, sumur ini terbentuk dari bekas tancapan tongkat Sunan Kudus
yang mengeluarkan air.

“Air Salamun diyakini bertuah dan bisa menjadi penolak bala dan marabahaya. Kata Salamun
berasal dari kata ‘salam’ yang artinya ‘selamat’,” jelas Juli seperti ditulis
Tribratanews.jateng.polri.go.id (14/11/2017).

Dalam tradisi itu, setiap RT dan RW yang ada di Desa Jepang mengirim perwakilan untuk
memeriahkan kirab budaya. Nggak ketinggalan, santri dari pondok pesantren, ibu-ibu PKK,
organisasi masyarakat (ormas), dan masyarakat lain juga ikut ambil bagian.

Tradisi ini dimulai dengan kirab budaya. Pada 2017 lalu, rirab dilakukan sejauh 2 kilometer dari
lapangan Kecamatan Mejobo dan berakhir di Masjid Al-Makmur. Di dalam kirab itu, kamu bisa
melihat hasil pertanian, kerajinan bambu, dan potensi lain dari Desa Jepang. Selain itu, pawai juga
dimeriahkan pelbagai kesenian seperti pakaian adat budaya, kendaraan hias, gunungan hasil bumi,
hasil kerajinan masyarakat dan UMKM, serta drum band
- akomodasi :

4. Terban
- sejarah / cerita rakyat :
- objek unggulan : museum purbakala pati ayam, gardu pandang
- atraksi wisata : Barongan dan terbang klasik.
- akomodasi :

5. Rahtawu
- sejarah / cerita rakyat:
Rahtawu merupakan sebuah nama desa yang berada di kecamatan Gebog, Kudus, Jawa Tengah,
Indonesia. Rahtawu terletak di daerah paling atas dari Kecamatan Gebog, Kudus. Desa Rahtawu
ini terdiri dari sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit terjal. Kehidupan masyarakatnya
sebagian besar adalah petani. Padi dan kopi merupakan komoditas unggulan. Di desa Rahtawu
juga memiliki potensi wisata yang sangat menarik. Di kawasan ini, dengan ketinggian ± 1.627 m
dari permukaan air laut, pengunjung dapat menikmati panorama alam pegunungan yang asri dan
indah mempesona dengan udara yang bersih, segar dan sejuk.
Letak geografis desa Rahtawu sendiri seharusnya bisa menarik minat masyarakat untuk
melakukan wisata. Bagi para pecinta alam (penjelajahan alam, hiking, dll.) dapat menyusuri jalan
setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan puncak gunung wukir yang
disebut dengan puncak Songo Likur. Selain itu, di kawasan itu juga terdapat mata air sungai yang
cukup besar di Kudus, yaitu mata air Kali Gelis yang biasanya disebut sungai Serang. Desa
Rahtawu memiliki banyak peninggalan kuno yang bersifat mistis salah satunya banyaknya bukti
petilasan seperti petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso hingga eyang Semar.
Menurut juru kunci petilasan Eyang Sakri, nama Rahtawu sudah ada sejak zaman nenek moyang
(zaman kadewan) dan belum ada seorangpun yang menceritakan asal muasal nama Desa tersebut.
Sedangkan menurut masyarakat setempat nama Rahtawu berarti darah yang mengalir. Pada jaman
dahulu, konon pada saat istri Sakri melahirkan seorang anak laki-lakinya yang diberi nama
Abiyoso itu banyak mengeluarkan darah bahkan tidak bisa di hentikan, sehingga darah keluar
bagai aliran air. Sehingga saat itu sakri yang sekarang dikenal Eyang Sakri memberi nama desa
tersebut RahTawu ( yaitu darah keluar yang banyak dan sampai ditawu ).
Desa Rahtawu dulunya adalah daerah gunung yang bertelaga yang disebut Wukir Rehtawu. Wukir
Rehtawu merupakan salah satu nama puncak pada deretan pegunungan yang tinggi dan luas di
Jawa Tengah. Deretan pegunungan itu disebut Sapta Arga. Bukti dari gunung yang bertelaga
tersebut adalah ditemukannya fosil-fosil tulang ikan purba, batu karang yang besar dan tanah liat
di seluruh pelataran desa ini. Banyak para dewa yang bersemedi di Wukir Rehtawu, setelah
perubahan zaman dari masyarakat beragama Hindu hingga Islam masyarakat pun memilih
bertempat tinggal di daerah Wukir Rehtawu. Dari satu per satu warga hingga ratusan kini yang
bermukim dulunya membabati hutan dan menjadikannya daerah pemukiman warga. Semakin
banyaknya warga maka dijadikanlah sebuah desa dengan nama Rahtawu.
Masyarakat desa rahtawu mempercayai bahwa adanya mitos yang beredar secara turun menurun
yakni larangan menanggap wayang. Wayang merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia untuk
meneladani sifat para tokoh dewa. Wayang di Indonesia ditampilkan ketika seorang punya hajat.
Namun berbeda dengan masyarakat desa Rahtawu jika masyarakat melanggar tabu dengan
menanggap wayang di daerah Rahtawu akan berakibat bencana yang dapat membahayakan
masyarakat khususnya bagi dalang yang menanggap wayang tersebut. Musibah tersebut biasanya
berupa penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan dan angin besar yang dapat membahayakan
masyarakat setempat. Hal ini pun pernah terjadi sebelum abad modern kita dalangnya dikabarkan
hilang.
Masyarakat menganggap bahwa para dewa yang dimainkan oleh dalang lewat pagelaran wayang
tersebut marah. Dengan adanya mitos tersebut masyarakat desa rahtawu jika mempunyai khajat
lebih memilih menanggap tayub atau jogetan tradisional di daerah pantura Jawa Tengah. Budaya
yang sanggat kental di masyarakat setempat adalah doa bersama setiap tanggal 1 suro yang
bertujuan untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih
banyak dari tahun lalu.
Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam tidak nampak jelas. Tidak ada jejak
berupa bangunan peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada arca maupun ornamen
bangunan yang terbuat dari batu berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan, Lawu, dan
tempat-tempat lainnya di Jawa. Nilai budaya yang dapat kita ambil untuk sikap dan pribadi kita
dari folklore desa Rahtawu adalah nilai religius untuk selalu bersyukur kepada Allah dengan
memanjatkan doa, nilai peduli lingkungan dan komunikatif sosial.
- objek unggulan : puncak natas angin, 29, argopiloso
Teluk - Love

Home/Tempat Wisata
Tempat WisataTempat WisataWisata Jawa TengahWisata Kudus
Pesona Keindahan Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah
abdulghofaradinugroho 0 1.009 3 minutes read
Keindahan Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah

Informasi Umum
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah adalah salah satu tempat wisata
yang berada di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah adalah tempat wisata yang ramai
dengan wisatawan pada hari biasa maupun hari liburan. Tempat ini sangat indah dan bisa
memberikan sensasi yang berbeda dengan aktivitas kita sehari hari.

Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah memiliki pesona keindahan yang
sangat menarik untuk dikunjungi. Sangat di sayangkan jika anda berada di kota Kudus tidak
mengunjungi Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah yang mempunyai
keindahan yang tiada duanya tersebut.

Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah sangat cocok untuk mengisi
kegiatan liburan anda, apalagi saat liburan panjang seperti libur nasional, ataupun hari ibur
lainnya. Keindahan Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah ini sangatlah
baik bagi anda semua yang berada di dekat
atau di kejauhan untuk merapat mengunjungi tempat Destinasi Desa Wisata Rahtawu di kota
Kudus.

Lokasi
Dimana lokasi Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah ? seperti yang
tertulis di atas lokasi terletak di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa
Tengah, Indonesia. Tetapi jika anda masih bingung di mana lokasi atau letak Destinasi Desa
Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah saya sarankan anda mencari dengan mengetik
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah di search google maps saja. Di
Google maps sudah tertandai dimana lokasi yang anda cari tersebut.

Daya Tarik
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah merupakan tempat wisata yang
harus anda kunjungi karena pesona keindahannya tidak ada duanya. Penduduk lokal daerah
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah juga sangat ramah tamah terhadap
wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Kota Kudus juga terkenal akan Destinasi Desa Wisata
Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah yang sangat menarik untuk dikunjungi.

Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah terdiri dari sebuah lembah hijau yang
dikelilingi dengan bukit-bukit terjal. Ketika memasuki Desa Wisata Rahtawu anda akan
disambut dengan Gapura ucapan selamat datang. Kemudian berikut juga
disambut dengan pemandangan alam yang cukup indah. Di sebelah kiri jalan
terdapat tebing-tebing yang tinggi dan pada kanan jalan terdapat jurang
yang cukup curam dan juga jajaran pegunungan.

Desa Wisata Rahtawu Kudus memiliki


nama pemandian alami Kedung Gong. Di dalam lokasi tersebut kita bisa
menikmati air yang dingin dengan sungai yang segar. Ini
dikarenakan airnya yang begitu jernih dan juga bersih. Terdapat juga
batu-batu akan
menambah keaslian/kealamian alam.

Disana juga terdapar Aliran air terjun yang berasal dari tebing yang ada disana cukup deras. Air
terjun ini juga termasuk salah satu air terjun yang unik karena
mempunyai beberapa tingkat atau seperti tangga. Meskipun dengan debit
air yang mengalir dengan tidak begitu deras, namun sudah tersedia sebuah
tempat kubangan air yang digunakan untuk berenang. Air Terjun tersebut selain dimanfaatkan
untuk wisata alam, juga
dimanfaatkan oleh para petani sekitar daerah wisata. Yaitu sebagai salah
satu irigasi untuk mengairi sawah nya supaya tanaman-nya tetap bisa
subur sepanjang musim.

Fasilitas
Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah bisa dibilang sebuah wisata alam
yang memiliki beberapa akan fasilitas dan pelayanan di antaranya sebagai berikut :

– Area Parkir kendaraan

– Mushola

– Kamar mandi / MCK

– Tempat Istirahat

– Rumah Makan

– Rumah Penginapan

– dan masih banyak lainya

Transportasi
Bagi wisatawan asal kota Kudus sudah tidak bingung lagi untuk mendatangi lokasi Destinasi Desa
Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah. Akan tetapi bagaimana bagi wisatawan luar kota
bahkan luar negeri, tentu mereka bingung dan takut kesasar. Tapi jangan khawatir bagi wisatawan
luar kota Kudus saya mempunyai solusinya agar anda semua tidak kesasar.

Tentunya sarana transportasi apa yang anda pakai untuk berwisata ke Destinasi Desa Wisata
Rahtawu di Gebog Kudus Jawa Tengah dengan memakai kendaraan pribadi seperti : Mobil atau
motor pribadi. Anda bisa meminta panduan arah ke Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog
Kudus Jawa Tengah di google maps yang terpasang di smartphone anda. Karena memakai
kendaraan pribadi akan lebih menyenangkan dari pada memakai kendaraan umum.
Akan tetapi jika anda memakai kendaraan umum seperti : bis umum atau angkutan lainnya juga
bukan masalah besar, pasalnya anda bisa berhenti di Kecamatan Gebog. Setelah itu melanjutkan
dengan menggunakan ojek ataupun kendaraan pribadi anda menuju lokasi Destinasi Desa Wisata
Rahtawu di Gebog Kudus tersebut.

Saran dan Tips


Saran dan tips sebelum menuju ke tempat Destinasi Desa Wisata Rahtawu di Gebog Kudus Jawa
Tengah, anda perlu mempersiapkan keperluan yang akan butuhkan seperti membawa bekal, air
minum dan lainnya. Serta beberapa barang tambahan seperti kamera karena anda pasti ingin
mengabadikan moment bersama kelurga ataupun teman – teman anda.
Jangan lupa bawa perlengkapan kesehatan (contohnya adalah sabun, tissue basah, obat-obatan,
antiseptik). Siapkanlah fisik dan kendaraan anda supaya liburan anda berjalan dengan lancar. Jaga
kondisi diri anda dan selalu berhati – hati.
- atraksi wisata : Kirab Budaya Tujuh Gunungan. Souvenir khas Rahtawu, adalah ukir kayu
kaligrafi dan kerajinan bambu, dan Kopi Luwak.
Desa Rahtawu terkenal dengan banyaknya tempat pertapaan para leluhur. Disana terdapat banyak
tempat petilasan pertapaan leluhur jaman dahulu. Nama petilasan tersebut diambil dari cerita
pewayangan. Diantaranya adalah Hyang Semar, pertapaan Eyang Abiyoso, pertapaan Eyang Loko
Joyo, Dewi Kunthi, Argo Jambangan, Jonggringsaloko, dll. Desa Rahtawu berada dikaki lereng
Gunung Muria yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian. Oleh karenanya, tempat ini sangat
cocok digunakan untuk mengasah batin atau laku prihatin bagi orang jawa.

Desa Rahtawu memiliki tradisi dan budaya turun temurun. Di Desa ini, ada beberapa pantangan
yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar, yaitu mengadakan hiburan wayang kulit. Jika
dilanggar, konon maka yang bersangkutan akan mendapatkan bencana. Jika warga ingin
mengadakan hajatan, mereka biasanya mengadakan Tayuban. Hal ini dimaksudkan untuk
memanjatkan do’a kepada Tuhan dan meminta keselamatan dan kemakmuran dari hasil bumi yang
berlimpah.

Panorama Alam Perbukitan Desa Rahtawu Kudus


Objek Wisata Alam Rahtawu Kudus
Memang banyak cerita dan Sejarah di Desa Rahtawu. Menurut cerita orang Desa Rahtawu nama
Rahtawu berarti Getih sing bercecer (darah yang bercecer). Menurut cerita Babad dan Purwa,
konon para leluhur Raja-Raja Jawa merupakan keturunan Dinasti Bharata. Petilasan pertapaan
yang berada di Desa Rahtawau diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan tempat
bertapanya para “Eyang Suci”. Kebanyakan petilasan tersebut merupakan berupa batu datar yang
diperkirakan sebagai tempat duduk ketika bertapa / semedi / meditasi. Namun sekarang petilasan
tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuatkan bilik yang tertutup dan terkunci sehingga
sedemikian rupa terkesan sakral. Pembukaan tutup bilik diadakan setiap bulan Suro (Muharram)
tanggal 1 s/d 10. Tak heran jika setiap bulan Suro Desa Rahtawu menjadi sangat ramai oleh para
pengunjung yang ingin ngalap berkah disana.

(Baca juga : Ziarah Religi ke Makam Sunan Muria Kudus)


Objek Wisata Sungai Segar dan Alami
Aliran Sungai yang Masih Segar dan Alami
Dibalik semua cerita tersebut, sejarah Rahtawu masih merupakan misteri. Desa Rahtawu memang
identik dengan pewayangan. Sampai saat ini, Desa Rahtawu masih menjadi tempat untuk
kepentingan ngalap berkah yang bermacam-macam. Nuansa spirituil religius jawa memang sudah
berbaur dengan adat budaya yang oleh beberapa pihak dianggap klenik, sirik dan tahayul.
Sehingga kiranya masih diperlukan kajian ilmiah dan spirituil yang mendalam.
- akomodasi :

6. Padurenan
- sejarah/ cerita rakyat :
Pembawa tradisi Mauludan Jawian adalah Raden Muhammad Syarif. Beliau adalah putra bungsu
dari Bupati Sumenep (Macan Wulung Yudonegoro). Awal kisah, Bupati Sumenep (Macan Wulung
Yudonegoro) memiliki 2 putra. Ketika dikalahkan oleh Cokroningrat IV, putranya yang sulung
dikalahkan bersama Belanda. Putra sulung tersebut tidak diketahui namanya secara pasti. Adapun
putranya yang bungsu bernama Raden Muhammad Syarif. Setelah Raden Muhammad Syarif
mengetahui bahwa kakaknya bersekutu dengan Belanda dan memfitnahnya, maka Raden
Muhammad Syarif pergi mengembara dengan meninggalkan istrinya. Ketika itu raden Muhammad
syarif belum memiliki keturunan. Pengembaraan Raden Muhammad Syarif tidak melewati jalur
darat, melainkan melewati jalur laut (utara Jawa). Muhammad Syarif tidak membawa apa-apa
melainkan hanya satu buah gentong, kitab kitab Al-Qur’an, baju pusaka, dan empat buah kelapa
untuk membantu pengarungan laut Jawa. Dari Sumenep melewati laut utara terus ke barat sampai
ke kabupaten Jepara dengan selamat.
Raden Muhammad Syarif terus berjalan dan melewati daerah Mantingan, Syiripan, Mayong,
Tunggul Syaripan, Gebog, Buloh, Geringging, Jurang, Ngepon, Manisan, Ngaringan, Gerjen, dan
akhirnya sampailah Raden Muhammad Syarif di desa Padurenan.
Dikatakan bahwa ketika membuka lahan, Raden Muhammad Syarif menemukan buah yang belum
pernah beliau jumpai sebelumnya. Bentuknya seperti beluluk (kelapa yang masih muda dan kecil),
bundar dan kulit luarnya berduri yaitu buah Kenongo. Berhubung Raden Muhammad Syarif
belum tahu namanya, maka beliau berkata: “buah ini sebangsa duren (durian) atau duren-durenan.
Jadi namanya desa Ndorenan”. Inilah nama yang asli.
Perjalanan Raden Muhammad Syarif sampai di Padurenan yaitu sekitar 300 tahun yang lalu,
bertepatan dengan turunnya Pangeran Diponegoro. Setelah cukup lama tinggal di Padurenan,
beliau tidak berkelana lagi dan sudah merasa nyaman berada di Padurenan. Beliau juga sudah
berhasil dalam berdakwah, salah satu diantaranya yaitu tradisi Mauludan Jawian. Beliau
membawa tradisi tersebut dari daerah Madura. Oleh karena itu, lagu-lagu Mauludan Jawian yang
ada di Padurenan mirip dengan lagu-lagu Mauludan Jawian yang ada di daerah Madura. Itu adalah
sejarah adanya mauludan Jawian.
Setelah dirasa nyaman dan tinggal menetap di Padurenan, beliau memiliki keinginan untuk
membangun masjid. Raden Muhammad Syarif pun mempersiapkan alat-alat pertukangan dan
kayu penyangga (soko). Soko yang ingin digunakan untuk membangun masjid di Gerjen diambil
dan didirikan di Padurenan. Masjid bisa berdiri sempurna kira-kira pada tahun 1029 H atau 1789
M. Sampai sekarang masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan Mauludan Jawian. Masjid
tersebut diberi nama Masjid As-Syarif. Nama masjid diambil dari nama beliau, karena beliau telah
berjasa dalam pembangunan masjid tersebut. Seiring berjalannya waktu, masjid tersebut
mengalami rehab yang pertama yaitu pada tahun 1209 H. Jadi, rehab yang pertama dilaksanakan
kira-kira sudah 200 tahun yang lalu.
Disisi lain, ketika Raden Muhammad Syarif berangkat mengembara meninggalkan Sumenep,
sebenarnya beliau baru saja melakukan pernikahan kira-kira baru tiga bulan. Karena keadaan pada
waktu itu tidak aman (pasca perang dengan Sekutu) maka istrinya tidak diajak dan diberi pesan
agar menyusulnya di hari dan bulan yang lain. Raden Muhammad Syarif berkata: “kalau keadaan
sudah aman kamu boleh menyusul dan jangan lupa Raden Syuhud (sepupu Raden Muhammad
Syarif / paman Pangeran Diponegoro) diajak untuk menemani, arah tujuan adalah kebarat ditanah
Jawa pesisir utara antara Kudus dan Jepara”.
Setelah benar-benar aman, istri Raden Muhammad Syarif pun menyusul dan apa yang menjadi
pesan Raden Muhammad Syarif selalu ditaati (mengajak Raden Syuhud). Dalam perjalanannya,
istri Raden Muhammad Syarif selalu mendapatkan banyak rintangan, akan tetapi semuanya dapat
diatasi berkat kepintaran Raden Syuhud. Ketika sudah sampai di Kudus, istri Raden Muhammad
Syarif pun mulai menanyakan keberadaan suaminya kepada orang yang dilewati. Sampai akhirnya
istri Raden Muhammad Syarif berada di desa Gebog dan bertemu dengan seorang ibu janda yang
mengetahui keberadaan Raden Muhammad Syarif.
Di desa gebog, istri Raden Muhammad Syarif dan Raden Syuhud menginap di rumah ibu janda.
Ibu janda tersebut menceritakan banyak hal tentang Raden Muhammad Syarif. Tetapi tiba-tiba istri
Raden Muhammad Syarif tersebut menderita sakit, dan semakin hari sakitnya semakin parah.
Karena hal tersebut, istri Raden Muhammad Syarif menitip pesan kepada ibu janda:
1. Desa ini nemanya tetap Gebog Syaripan
2. Pekerjaan menenun ini teruskan karena memang sudah menjadi penghasilan kamu sampai
anak cucu.
3. Seandainya pagi atau sore saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, saya mohon agar dikubur
disini saja.
4. Keluarga Gebog dan anak cucunya dimana saja, setelah selesai akad nikah supaya mengingat
dan berziarah ke makamku. Hal ini supaya kelak kalau berumah tangga bisa tentram dan aman
rukun selamanya.
“Saya menjadi semakin sakit dan belum bisa bertemu dengan suamiku. Ini sangat berat rasanya.
Namun walaupun saya belum bertemu di dunia, saya berharap bisa bertemu besok di akhirat.
Jangan lupa pesan saya bu..” kata istri Raden Muhammad Syarif.
Tidak berselang lama, istri Raden Muhammad Syarif pun di panggil oleh Allah SWT. Dan apa
yang menjadi wasiat istri Raden Muhammad Syarif tadi dilaksanakan oleh ibu janda semua.
Kejadian ini kira-kira tahun 1752 M.
Setelah wafatnya istri Raden Muhammad Syarif, Raden Syuhud meneruskan perjalanannya. Dan
akhirnya beliau bertemu dengan Raden Muhammad Syarif. Raden Syuhud menceritakan semua
kejadian kepada Raden Muhammad Syarif, dan beliau juga menceritakan tentang ibu janda dan
menunjukkan tempat pemakaman istri Raden Muhammad Syarif.
Semua itu adalah sekilas dari perjalanan dan sejarah Raden Muhammad Syarif. Beliau akhirnya
wafat di Padurenan dan di makamkan di Padurenan, tepatnya di belakang Masjid As-Syarif.
Sampai sekarang, Raden Muhammad Syarif pasti di khauli, yaitu pada legi akhir pada bulan
muharram. Untuk hari dan tanggal bisa berganti, tetapi harus legi akhir bulan muharram.

- objek unggulan :
Kerajinan bordir di Kudus sebenarnya sudah dikenal sejak sebelum Indonesia merdeka, tetapi baru
sebatas pada mengisi waktu luang. Kemudian sejak awal 1970 berkembang pesat menjadi industri
rumah tangga dan umumnya lokasi usaha di Kudus Kulon yang dikenal sebagai tempat orang
kaya, pedagang sukses, dan pengusaha rokok.

Sampai menjelang akhir Mei ini, pengusaha bordir yang umumnya bermain di kelas atas masih
tetap berdiri tegak karena konsumennya memang kalangan menengah atas.

Sedang perajin bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, 7 kilometer utara pusat pemerintahan
Kabupaten Kudus, tergolong pemain baru. Dari sekitar 100 perajin, hanya 30 persen yang berskala
besar. Selebihnya kecil dan menengah.

Selain dikenal sebagai pusat kerajinan bordir, di desa ini juga banyak dijumpai usaha konveksi
yang dari segi jumlah pengusahanya lebih banyak sehingga bila ditotal dengan pengusaha bordir,
mencapai lebih dari 200 pengusaha/unit usaha.

Kehadiran usaha bordir dan konveksi di Desa Padurenan yang berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Jepara, serta mampu bertahan di saat terpuruknya industri besar, menengah dan kecil,
menjadikan Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang, Bank Jateng, Balai Pengembangan
Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi Jateng, lembaga konsultan Swisscontact, PT Pertamina, dan
Pemerintah Kabupaten Kudus, bersama-sama turun tangan menjadikan desa ini menjadi desa
produktif klaster wisata bordir dan konveksi.

Menurut Bupati Kudus, Musthofa, dalam APBD 2009, 7 satuan kerja perangkat daerah dan
pemerintah Kecamatan Gebog telah mengalokasikan dana Rp 1,126 miliar untuk menunjang
terwujudnya klaster bordir dan konveksi.

AGIKAN:

News Regional
Mari Kembangkan Bordir Kudus!
Kamis, 28 Mei 2009 | 17:50 WIB
KOMPAS.com — Kerajinan bordir di Kudus sebenarnya sudah dikenal sejak sebelum Indonesia
merdeka, tetapi baru sebatas pada mengisi waktu luang. Kemudian sejak awal 1970 berkembang
pesat menjadi industri rumah tangga dan umumnya lokasi usaha di Kudus Kulon yang dikenal
sebagai tempat orang kaya, pedagang sukses, dan pengusaha rokok.

Sampai menjelang akhir Mei ini, pengusaha bordir yang umumnya bermain di kelas atas masih
tetap berdiri tegak karena konsumennya memang kalangan menengah atas.

Sedang perajin bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, 7 kilometer utara pusat pemerintahan
Kabupaten Kudus, tergolong pemain baru. Dari sekitar 100 perajin, hanya 30 persen yang berskala
besar. Selebihnya kecil dan menengah.

Selain dikenal sebagai pusat kerajinan bordir, di desa ini juga banyak dijumpai usaha konveksi
yang dari segi jumlah pengusahanya lebih banyak sehingga bila ditotal dengan pengusaha bordir,
mencapai lebih dari 200 pengusaha/unit usaha.

Kehadiran usaha bordir dan konveksi di Desa Padurenan yang berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Jepara, serta mampu bertahan di saat terpuruknya industri besar, menengah dan kecil,
menjadikan Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang, Bank Jateng, Balai Pengembangan
Produktivitas Tenaga Kerja Provinsi Jateng, lembaga konsultan Swisscontact, PT Pertamina, dan
Pemerintah Kabupaten Kudus, bersama-sama turun tangan menjadikan desa ini menjadi desa
produktif klaster wisata bordir dan konveksi.

Menurut Bupati Kudus, Musthofa, dalam APBD 2009, 7 satuan kerja perangkat daerah dan
pemerintah Kecamatan Gebog telah mengalokasikan dana Rp 1,126 miliar untuk menunjang
terwujudnya klaster bordir dan konveksi.

Bila sarana dan prasarana tersebut telah direalisasi, maka langkah yang ditempuh Pemkab Kudus
adalah mengajak mampir segenap peziarah dan wisatawan yang berkunjung ke kompleks Masjid
Menara dan Makam Sunan Kudus, serta kompleks Makam Masjid Sunan Muria. Rute perjalanan
mereka kita belokkan sesaat ke Desa Padurenan. "Begitu pula jika ada wisatawan dan tamu
pemerintah kabupaten yang mengunjungi Kudus, akan kita ajak mampir. Tentu yang dibidik
mereka mau membeli aneka produk yang dihasilkan warga desa setempat, khususnya kerajinan
bordir dan konveksi," tutur Musthofa.

Desainer kondang, Ramli yang sempat menggelar peragaan busana di pendapa Kabupaten Kudus
dan pelatihan pada perajin bordir-konveksi di ruang pertemuan kantor pemerintah Desa
Padurenan, menyatakan dukungan adanya klaster tersebut.

Namun dalam perbincangan dengan Kompas , melalui telepon selulernya, Rabu (27/5) malam,
Ramli mengingatkan agar perajin memproduksi aneka jenis produk bordir maupun konveksi
sehingga tidak menimbulkan persaingan tidak sehat antar-perajin/pengusaha. "Selain itu pembeli
juga disuguhkan banyak pilihan, apalagi pilihan terbaik yang mengikuti tren masa kini. Ini bakal
sangat menarik," ujar Ramli.

Miftah dan Aswan, pengusaha bordir kelas menengah kecil, menyatakan siap untuk menyukseskan
klaster wisata bordir dan konveksi. Selain telah memperoleh berbagai bentuk pelatihan, seperti
manajemen usaha, kualitas produk, pemasaran, dan desain. "Kami juga mendapat bantuan modal
dari Bank Jateng maupun penyandang dana lain. Selain itu, kami berharap koperasi bordir dan
konveksi juga segera diwujudkan. Salah satu manfaatnya untuk penyediaan bahan baku, sehingga
harga belinya lebih murah," tuturnya.

- atraksi wisata :
Proses awal dilaksanakan Mauludan Jawian itu harus pada tanggal 12 Rabiul Awwal, sebagai
penghormatan kepada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mauludan Jawian dilaksanankan di
masjid As-Syarif (masjid peninggalan Raden Muhammad Syarif) pada jam 8 malam sampai jam 1
malam. Masyarakat yang menghadiri Mauludan Jawian yaitu sekitar 500 sampai 600 orang.
Masyarakat tersebut terdiri dari anak-anak kecil, orang dewasa, hingga orang yang sudah tua dan
lanjut usia. Jadi, semua lapisan masyarakat mengikutinya. Pelaksanaan Mauludan Jawian tersebut
dihadiri masyarakat tanpa menggunakan undangan.
Mauludan Jawian antara lain berzanzi dan syaroful anam. Orang yang membaca berzanjian itu
turun-temurun, namun pada generasi sekarang jarang yang berani memimpin. Al-berzanzinya
dibaca mulai dari awal sampai akhir, yang didalamnya ada 18 bagian. Orang yang memimpin Al-
berzanzi itu harus mempunyai suara yang keras serta baik. Untuk sholawatannya tidak otodidak,
tetapi ada latihannya, yaitu dengan sering mendengarkan maka lama kelamaan akan terbiasa dan
bisa. Seseorang yang memimpin sholawatan tersebut harus mempunyai suara yang keras dan
napas yang panjang. Dan seseorang yang memimpin itu empat orang. Dengan dua orang di
sebelah kiri dan dua orang disebelah kanan. Separuh bait dibacakan dua orang, kemudian separuh
baitnya lagi dibaca dua orang yang lainnya.
Proses pelakasanaan Mauludan Jawian diawali dari iftitah, tahlil, kemudian Mauludan Jawian dan
tidak ada mauidoh terlebih dahulu. Ditengah acara tersebut ada istirahatnya (makan & minum).
Mauludan Jawian itu akan terasa khidmat kalau sudah jam 11 malam dimana suasana sudah
hening dan hati terasa tenang dan tentram.
Dalam pelaksanaan Mauludan Jawian tidak ada ritual terlebih dahulu, hanya berzanzi saja.
Kebanyakan yang mengikuti Mauludan jawian itu adalah orang-orang yang tenang. Tidak
mungkin orang yang jarang sholat dan berperilaku buruk akan mengikuti Mauludan Jawian. Yang
membedakan Mauludan jawian dengan Mauludan lainya adalah terletak pada lagunnya.
Sebenarnya Mauludan Jawian dahulu itu tidak didaerah Padurenan saja, yaitu ada juga di daerah
Gerjen dan Besito. Tetapi karena tidak ada yang meneruskannya, maka tradisi Mauludan Jawian
tersebut hilang. Dan untuk di daerah Padurenan ini merupakan suatu keharusan malakukan
Mauludan Jawian, sehingga sampai sekarang Mauludan Jawian tetap ada di Padurenan.

7. Colo
- sejarah/ cerita rakyat :

Sunan muria adalah salah satu anggota walisongo dan putra dari salah satu walisongo juga yaitu
Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Nama asli dari Sunan Muria adalah Raden Umar Syahid. Beliau
menyebarkan agama islam dengan cara yang halus seperti yang dilakukan oleh ayahanda beliau
Sunan Kalijaga. Raden Umar Syahid mempunyai peran penting dalam proses penyebaran isalm di
sekitar gunung muria. Tempat tinggal sunan muria berada di puncak gunung muria, yang salah
satu puncaknya bernama Colo. Gunung tersebut terletak di sebelah utara kota kudus.

Cara Berdakwah

Berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu
puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat
jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Sunan muria menyebarkan agama islam kepada para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Cara beliau menyebarkan agama islam dengan tetap mempertahankan kesenian gamelan dan
wayang sebagai alat dakwah. Beliau juga yang telah menciptakan berbagai tembang jawa. Salah
satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti. Tempat
dakwahnya berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya diperluas meliputi Tayu,
Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria karena tinggal di
gunung muria.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah,
Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka
daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati,
Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal
sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam
masyarakat.

Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak
(1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus
dan Pati.

Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Dengan gayanya yang moderat,
mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat
kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai
nyewu, yang tak diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau
menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat
berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti
dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena
sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya
atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada
penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu
tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.

Kesaktian Sunan Muria

Bukti bahwa sunan muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah
perkawinan sunan muria dengan dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Ngerang, yaitu
seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, yang bertempat tinggal di
juana, pati jawa tengah. Demikian sakti sunan ngerang sehingga sunan muria dan sunan kudus
sampai berguru kepadanya.
Beliau memiliki ilmu yang dapat mengembalikan serangan dari lawannya. Itu terjadi ketika Kapa
adik seperguruan beliau yang telah menculik istri sunan muria menyerang sunan muria dengan
mengerahkan aji pamungkas. Namun serangan itu berbalik menghantam dirinya sendiri sehingga
merenggut nyawanya.

Makam Sunan Muria

Sunan Muria dimakamkan di atas puncak bukit bernama bukit Muria. Dari pintu gerbang masih
naik lewat beratus tangga (undhagan) menuju ke komplek makamnya, yang terletak persis di
belakang Masjid Sunan Muria. Mulai naik dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga
sampai pelataran Masjid jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.

Setelah kita memasuki pintu gerbang makam, tampak di hadapan kita pelataran makam yang
dipenuhi oleh 17 batu nisan. Menurut Juru Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit dan
pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan semacam Patih dalam Keraton).

Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan cungkup makam beratapkan sirap dua tingkat. Di
dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon
makamnya puterinya perempuan bernama Raden Ayu Nasiki.

Dan tepat di sebelah barat dinding belakang masjid Muria, sebelah selatan mihrab terdapat
makamnya Panembahan Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangannya Juru Kunci adalah
putera sulungnya Sunan Muria.
- objek unggulan : makam sunan muria, air terjun montel, air tiga rasa rejenu
- atraksi wisata : kupatan, wiwit kopi

Selain dikenal dengan destinasi wisata religi, Kudus yang sebelumnya terkenal dengan makam
Sunan Muria ini ternyata juga menyimpan pesona alam yang sangat menakjubkan. Keindahan
alam yang semacam ini disajikan dalam bentuk air terjun Montel dan lokasinyapun juga tidak
terlalu jauh dari Sunan Muria.
Oleh sebab itu, bagi Kamu yang berencana untuk berziarah ke makam sunan muria, cobalah untuk
menyempatkan diri singgah dan menikmati deburan air yang jatuh dari ketinggian tertentu sembari
menghirup udara segar di sekitar. Sangat cocok untuk Kamu yang ingin melepas jenuh terhadap
rutinitas sehari-hari.
Di musim liburan, tempat wisata air terjun Montel ini sangat banyak dikunjungi oleh para
wisatawan dari berbagai daerah. Kegiatan melepas penat setelah perjalanan jauh sering kali
dijadikan sebagai alasan bagi mereka yang berkunjung ke lokasi wisata.
Selain itu, banyak pula yang berkunjung ke air terjun Montel sebab banyaknya fasilitas yang bisa
dimanfaatkan selama menghabiskan waktu di air terjun yang memiliki ketinggian kurang lebih 50
meter ini. Tak hanya itu, harga tiketnya yang cenderung sangatlah terjangkau atau sekitar Rp 7,500
per orang. mengingat potensi wisata air terjun ini sangat menjanjikan.
Tidak mengherankan jika pihak Pemerintah Kabupaten Kudus juga turut memberikan perhatian
tersendiri atas kemajuan wisata tersebut dengan membangun berbagai fasilitas pendukung seperti
halnya mushola, kamar mandi, tempat parkir, warung makan, akses untuk ojek dan juga masih
banyak lagi.

Pesona Keindahan Anti Stress di Lokasi Wisata Air Terjun Montel

arsip.murianews.com

Dianggap sebagai wisata yang sangat populer di kawasan Kudus setelah makam Sunan Muria,
banyak wisatawan dari berbagai daerah yang selalu menyempatkan diri singgah di lokasi tersebut.
Keindahan alamnya yang dipadukan dengan nuansa segar udara serta air yang jatuh dari
ketinggian sekitar 50 meter tersebut sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat bersantai dan
melepas penat setelah melakukan perjalanan jauh.
Tidak mengherankan jika dengan diberikannya suasana alam yang sangat mendukung ini, Kamu
bakalan betah bermain-main di lokasi ini. Di lokasi ini pula disediakan gazebo yang pastinya bisa
dimanfaatkan oleh pengunjung yang mengunjungi air terjun Montel untuk duduk dan menikmati
deburan air yang jatuh dari tebing.

beautiful-indonesia.umm.ac.id

Tidak ketinggalan, bagi Kamu yang memang hobi fotografi, air terjun Montel bisa menjadi solusi
untuk bisa tetap eksis bersama kawan-kawanmu. Pasalnya, pemandangan lokasi wisata yang satu
ini sangatlah menarik dengan nuansa alamnya yang dipenuhi dengan berbagai vegetasi hijau dan
juga bebatuan yang di bawahnya mengalir aliran air dari air terjun tersebut.
Meskipun air terjun yang harus ditempuh selama 10 menit dari area parkiran ini tidaklah sebesar
beberapa air terjun di sekitarnya, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi minat pengunjung
untuk menikmati alam yang masih sangat alami.
Bagi Kamu yang ingin berbasah-basahan di bawah air, pastikan Kamu menyiapkan pakaian ganti
dan Kamu bakalan bisa mandi di kolam yang terbentuk secara alami di lokasi air terjun Montel.
Kesegaran air yang berasal dari sumber mata air akan memberikan kesejukan tersendiri untuk
Kamu yang memang ingin menghabiskan liburan sembari melepas rasa capek. Jika tidak ingin
mandi, Kamu bisa membasuh muka demi merasakan kesegaran air yang sangat bersih.

welovefatwakehidupan.blogspot.com

Sedangkan untuk Kamu yang memang ingin menghabiskan waktu selama beberapa hari di sekitar
air terjun Montel, kini telah disediakan penginapan yang bisa dijadikan sebagai solusi untuk Kamu
yang memang bermalam di lokasi ini. Perlu diketahui pula, bahwa lokasi penginapan yang
dimaksud juga tidak terlalu jauh dengan air terjun, sehingga akan sangat memudahkan Kamu yang
memang ingin menjangkau obyek wisata yang sangat populer di Kudus tersebut.
Tidak hanya itu saja, wisata kulinerpun juga bisa Kamu nikmati selama berlibur di air terjun
Montel. Ada berbagai kedai makanan kecil yang menjajakan snack untuk Kamu yang memang
sedang merasa lapar. Untuk harganya, Kamu tidak perlu khawatir, sebab berbagai jajanan yang
ditawarkan di lokasi tersebut sangatlah terjangkau dan pastinya juga tidak membuat kantongmu
kering. Salah satu jajanan yang paling banyak disukai oleh pengunjung adalah cilok atau pentol
dengan sajian kuah yang hangat sangat cocok untuk dinikmati setelah bermain air di bawah air
terjun.

Lokasi air terjun Montel Kudus

Bagi Kamu yang penasaran dengan keindahan alam air terjun Montel ini, cobalah untuk singgah
di Desa Kajar, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Berlokasi di sebelah utara
makam Sunan Muria atau tepatnya di kaki Gunung Muria, tempat wisata ini memiliki kisaran
suhu udara sekitar 18 – 20 derajat celcius. Tentunya, dengan kisaran suhu tersebut, udara di sekitar
sangatlah sejuk dan sangat cocok untuk dijadikan sebagai refreshing.
Dengan debit air yang jatuh dari tebing dan aliran di sepanjang sungai cukup deras menjadikan
banyak pengunjung yang dengan senang hati menghabiskan waktu sembari menikmati berbagai
aktivitas di lokasi wisata air terjun Montel.
Disarankan untuk Kamu yang ingin menikmati keindahan wisata ini untuk berkunjung pada pagi
hari, sebab kondisi udaranya sangatlah segar dan pastinya juga tidak banyak pengunjung, sehingga
hal ini terkesan lebih nyaman.

Rute dan Cara Menuju Lokasi Wisata Air Terjun Montel

BolehTanya.com

Tempat wisata ini berlokasi sejauh 19km dari Alun-Alun Kudus atau Simpang 7 Kudus yang bisa
dituju dengan menempuh jalur Jalan Raya Kudus-Colo selama 37 menit. Bagi Kamu yang
berkunjung dengan menggunakan kendaraan pribadi, Kamu bisa memulai perjalanan dari
Simpang 7 Kudus yang kemudian dilanjutkan dengan mengambil arah menuju Colo atau Makam
Sunan Muria.
Dengan mengikuti jalan tersebut, Kamu akan tiba di pelataran parkiran Makam Sunan Muria. Dari
sini, Kamu bisa belok kiri dan terus mengikuti jalan tersebut hingga pada akhirnya tiba di parkiran
air terjun Montel.
Sedangkan untuk Kamu yang berniat memanfaatkan jasa angkutan umum untuk mengunjungi air
terjun Montel ini bisa dimulai dari titik terminal Kudus. Sesampai di terminal Kudus, untuk
menjangkau obyek wisata air terjun yang indah ini Kamu disarankan naik angkutan umum yang
mengarah ke Colo serta meminta sopir kendaraan untuk berhenti di Makam Sunan Muria.
Dari makam Sunan Muria ini, Kamu bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri
jalan menuju ke lokasi wisata ataupun juga bisa memanfaatkan tukang ojek dengan membayar
sejumlah uang demi menghantarkan Kamu hingga sampai di tempat tujuan.
Pesona indah air terjun Montel memang telah dikenal oleh banyak wisatawan dari berbagai
daerah. Hal ini dibuktikannya dengan jumlah pengunjung di musim liburan yang sangat
membludak. Di lain sisi, perlu diperhatikan untuk Kamu yang sudah membeli tiket, akan sangat
disarankan untuk tidak membuang tiket masuk, sebab sebelum Kamu memasuki kawasan wisata,
tiketmu bakalan dilubangi sebagai pertanda jika Kamu telah masuk menggunakan tiket.
Terlepas dari itu semua, jika Kamu ingin menikmati keindahan alam air terjun Montel, segera
bergegas untuk meluncur ke kota Kudus sekarang juga.
- akomodasi :

8. Kaliputu
- sejarah / cerita rakyat :
- objek unggulan : sentra jenang kudus
- atraksi wisata :
- akomodasi :

9. Wonosoco
- sejarah / cerita rakyat :

- objek unggulan: sendang Dewot, Goa Pawon, Goa Keraton, Goa Lebon dan Goa Surodiro.
Desa Wonosoco, letaknya di ujung selatan Kabupaten Kudus, tepatnya di Kecamatan Undaan.
Untuk sampai ke desa ini dapat menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari pusat kota. Di
sepanjang perjalanan ke desa tersebut, hamparan sawah yang hijau luas, menjadi pemandangan
yang menarik, membuat mata tidak bosan-bosannya memandang. Memang hanya lewat daratlah
perjalanan yang bisa ditempuh, baik dengan sepeda motor atau mobil.wisata-goa-2-edit

Setelah melewati pintu gerbang atau gapura, sampailah di Desa Wonosoco itu. Cukup dengan
hanya membayar uang masuk Rp 3.000 per orang, pengunjung bisa masuk ke desa yang kaya
dengan wisata alam itu. Informasi tentang obyek wisata, bisa dilihat pada peta lokasi letak-letak
obyek wisata yang bisa dikunjungi.
Dalam peta itu digambarkan, selain wisata hutan yang hijau dan lebat, juga wisata yang cukup
menantang, berupa goa-goa yang juga masih alami. Diantaranya yang sudah dibuka dan aman
untuk dilihat, adalah Goa Batu Cantik, Goa Kraton, dan Goa Surodipo. Menurut penuturan warga
setempat,

Sejarah ditemukannya goa-goa itu, berawalnya dari sejumlah orang yang mencari binatang landak
di hutan desa tersebut. Dikarenakan hari sudah malam, mereka terpaksa tidur di sawah. Saat
sedang terlelap itu, mereka bermimpi menjumpai landak yang ukurannnya sebesar kambing. Esok
harinya saat terbangun, mereka melihat binatang yang ada dalam mimpi, mereka pun
mengejarnya, namun landak termasuk ke sebuah goa. Melihat goa yang keadaannya gelap itu,
mereka tidak berani masuk ke dalamnya dan memutuskan melapor kepada kepala desa setempat.
Menerima laporan tersebut, kepala desa, disertai sejumlah warga, pergi mendatangi goa tempat
landak itu menghilang. Sesampai di tempat yang dituju, setelah ditelusuri, ternyata tidak hanya
satu goa, melainkan terdapat goa-goa yang lain. Oleh warga setempat, goa-goa itu pun diberi nama
sesuai dengan keindahan alam yang ada di dalamnya. Contohnya, goa yang memiliki batu stalaktit
putih yang bagus dan cantik, di beri nama Goa Batu Cantik. Selanjutnya, Goa Keraton, Goa
Keraton yang didalamnya menyerupai taman sebuah keraton, sehingga dinamakan goa keraton.
Goa yang terakhir adalah Goa Surodipo. Nama ini di ambil dari nama sebuah punden atau makam
Surodipuro yang letaknya berdekatan dengan goa tersebut. Konon, Surodipuro adalah seorang
tokoh penyebar Islam pertama dan beliau pula yang mendirikan desa Wonosoco.

Pada hari-hari libur, Desa Wisata Wonosoco ini akan ramai di kunjungi oleh wisatawan. Selain di
suguhi pemandangan perbukitan hijau dan ladang jagung yang luas, di atas hawanya sangat tenang
dan hening sehingga dapat menyegarkan pikiran. Kita juga bisa berfoto di dalam goa maupun di
luar gua dengan pemandangan yang cukup bagus.

- atraksi wisata : Wayang Klitik dan Kirab Resik-resik Sendang.


Wonosoco berbatasan dengan sebelah timur Pati dan Grobogan ( selatan ). Selain alamnya yang
indah desa di Kecamatan Undaan ( 22 km selatan Kota Kudus ). Prosesi ritual adat resik-resik
sendang digelar warga Desa Wonosoco dengan mengarak hasil bumi keliling kampung menuju
sendang. Dilakukan setahun sekali yakni satu bulan jelang Ramadan digelar prosesi resik-resik
sendang pada Sendang Dewot dan Sendang Gading, yang airnya tidak pernah habis. Warga
menggantungkan air sendang untuk minum, masak dan mandi. Oleh Pemerintah Kabupaten acara
ini ditingkatkan dengan melibatkan pemerintah dan tokoh masyarakat, bekerja sama dengan
seniman di Kudus dan Sakapanduwisata. Banyak potensi wisata yang bisa dikembangkan yaitu
bisa digunakan untuk lokasi bumi perkemahan, wanawisata. Disini juga terdapat pertunjukan
wayang klithik dimana dalang harus memiliki garis keturunan dari dalang sebelumnya. Disebut
wayang klithik, karena suara yang ditimbulkan bunyinya klithik-klithik.

- atraksi wisata
warga desa Colo kecamatan Bae Kudus Jawa Tengah melaksanakan tradisi yang dinamakan
“Wiwit Kopi”. Ritual ini merupakan ekspresi rasa terima kasih pada Tuhan atas rezeki melalui
buah kopi yang berlimpah tahun sepanjang tahun.

wiwit1

Wiwit kopi diawali dengan tarian yang diperagakan oleh anak-anak desa Colo kecamatan Dawe
Jawa Tengah. Ratusan warga, Selasa 20 September 2016 sore, berkumpul di areal kebun kopi
yang berada di lereng pegunungan Muria. Mereka duduk secara lesehan di antara pohon kopi dan
tebing pegunungan Muria yang membentang.

Para masyarakat yang hadir ini sedianya akan melaksanakan ritual tahunan tradisi wiwit kopi yang
selalu dilaksanakan sesaat menjelang panen raya kopi.

wiwit4

Warga datang berbondong-bondong ke areal lahan perkebunan milik Perhutani yang mereka
kelola. Warga datang dengan membawa bungkusan berisi ayam lingkung bakar khas Kudus dan
berbagai lauk-pauk tradisional seperti tempe dan tahu goreng.

Setelah lauk dan pauk tersebut selesai di doakan, mereka langsung menyantap nasi berserta lauk
pauk tersebut secara bersama-sama.

wiwit3

Menurut Bupati Kudus Musthofa, yang turut serta menikmati ritual kopi khas Colo ini, dia
berharap tradisi seperti ini bisa terus dijaga dan bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk datang
langsung ke desa Colo. Musthofa berharap nantinya para wisatawan bisa menikmati kopi khas
Colo yang langsung dipetik dari kebunnya.

wiwit6

Saat ini di lereng gunung Muria terdapat lahan milik Perhutani yang dikelola masyarakat dengan
menanam kopi seluas sembilan puluh hektar lebih. Untuk perhektar lahan yang dikelola bisa
menghasilkan satu ton kopi basah jika kondisi cuaca sedang bagus.

Sementara itu menurut salah seorang warga desa Colo, Pranyoto Shofil Fuad, ritual yang sudah
dilakukan sejak zaman Belanda itu berupa doa dan makan bersama. Tradisi ini menurut Pranyoto
merupakan wujud terimakasih masyarakat kepada Tuhan atas limpahan hasil panen kopi pada
tahun ini. Selain itu mereka juga berdoa dan berharap pada panen tahun berikutnya akan lebih baik
lagi hasilnya.

wiwit5

Selain berdoa dan makan bersama, masyarakat Solo juga melepaskan ratusan burung. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan alam. Karena jenis burung yang dilepas adalah jenis
pemangsa ulat yang biasanya menjadi hama ko
- akomodasi :

10. Kaliwungu
- sejarah / cerita rakyat :
- objek unggulan : makam rogomoyo, sentra rumah adat kudus
Mbah Rogo Moyo merupakan tokoh cikal bakal di dukuh Proko Winong, Desa Kaliwungu, Kec.
Kaliwungu Kudus. Dari keterangan narasumber, Rogo moyo merupakan nama asli dari mbah
Rogo moyo.
Mbah Rogo Moyo pertama kali datang, ke dukuh Kwaraan desa Getassrabi Kudus, dan ketika itu
sedang ada arak-arakan kemudian mbah Rogo moyo terus berjalan hingga sampai ke dukuh
Jepanan, dan bertemulah dengan Nyai Plintheng (Cikal bakal dukuh Jepanan), dan disarankanlah
mbah Rogo moyo untuk pergi ke dukuh Proko Winong karena di Jepanan sudah banyak yang
bertempat tinggal.
Kedatangan mbah Rogo moyo ke desa Kaliwungu, selain menyebarkan agama islam, mbah Rogo
moyo juga mempunyai keahlian dalam bidang pertukangan kayu. Jadi sambil berdakwah
menyebarkan agama islam beliau juga menyalurkan keahliannya dalam bidang pertukangan.
Peninggalan mbah Rogo moyo diantaranya ialah peralatan pertukangan. Peralatan pertukangan
tersebut yang masih utuh yaitu jangka yang terbuat dari besi, serta siku-siku yang terbuat dari
kayu. Begitu pula buku yang berukuran lebar 20 cm X 15 cm, dan setebal 20 halaman. Yang
katanya saat ini tidak ada seorang pun yang berani memakai peralatan pertukangan dari
peninggalan mbah Rogo moyo, baik jangka maupun siku-sikunya. Dan juga sampai saat ini belum
ada yang dapat membaca buku peninggalan dari mbah Rogo moyo.
Itulah peninggalan dari mbah Rogo moyo yang konon juga adalah anggota pasukan setia pasukan
Diponegoro. Namun sayangnya saya belum dapat melihat peninggalan berupa peralatan
pertukangan dan buku tersebut, karena peninggalan tersebut tidak ada di lokasi maupun di tempat
narasumber, yang katanya disimpan oleh adik dari narasumber.
Setiap setahun sekali beberapa hari setelah haul mbah sunan Kudus, tepatnya setiap tanggal 13
Muharrom, barang-barang peninggalan dari mbah Rogo moyo itu dikirab bersama kain luwur
(tirai makam) yang digunakan untuk mengganti kain luwur yang lama (Bukak luwur). Makam
mbah Rogo moyo berada satu kompleks pemakaman umum di Dukuh Prokowinong, Desa
Kaliwungu, Kec. Kaliwungu Kudus.
Menurut keterangan narasumber, mbah Rogo moyo bermukim di Prokowinong sekitar pada tahun
1800-an. Selama hidup dikampung itulah beliau bekerja sebagai tukang kayu. Karena
kepiawaiannya, yang kemudian dipercaya untuk memebuat Pendapa Kabupaten kudus semasa
dipimpin oleh Bupati Tjandranegara III pada tahun 1819.
Karyanya berbentuk rumah tumpang 9 (buntet) dan 7 (sinom) yang kemudian menjadi rumah adat
Kudus, masih dapat dijumpai di Prokowinong pada tahun1990-an, yang kemudian di bongkar
karena telah dibeli orang dari luar desa. Selain dalam pertukangan kayu Mbah Rogo moyo juga
pandai mengukir. Bisa jadi, rumah adat Kudus menemukan bentuknya seperti yang ada sekarang
ini berkat rancangan dari mbah Rogo moyo.
Dari keterangan narasumber rumah dan ukiran buatan mbah Rogo moyo sangatlah istimewa, dan
tidak ada yang bisa menyamainya. Bahkan menurut keterangan narasumber rumah dan ukiran
karya mbah Rogo moyo tersebut memiliki kekuatan mistis yang luar biasa. Tidak semua orang
bisa memilikinya, hanya orang yang ‘alim atau berhati bersihlah yang dapat memiliki rumah dan
ukiran karya dari mbah Rogo moyo. Bahkan dari cerita narasumber, sampai saat ini tidak bisa
menjual dan membeli rumah dan ukiran bekas karya mbah Rogo moyo dulu dengan sembarangan,
meskipun itu berupa sepotong kayu bekas yang diambil dari rumah ataupun ukiran dari mbah
Rogo moyo. Jika griyo (rumah) maupun ukiran beliau jatuh ketangan orang yang salah, atau
bahkan seenaknya saja dalam memperlakukan kayu atau ukiran tersebut, justru akan dapat
menimbulkan efek buruk bagi yang memiliki.
Disamping peralatan pertukangan, buku yang berisi teknik pertukangan dan motif ukiran,
bangunan Pendapa Kabupaten Kudus, serta rumah adat Kudus, juga pasujudan yang sampai saat
ini masih tersisa sebagian bangunannya. Pasujudan itu berada satu atap dengan masjid Darul
Istiqomah. Yaitu masjid tersebut berada terpisah dengan area makam mbah Rogo moyo, tapi masih
di dukuh Prokowinong, kira-kira 300 meter dari area makam mbah Rogo moyo. Namun dari
keterangan narasumber, masjidnya bukanlah bangunan dari mbah Rogomoyo, melainkan hanya
pasujudannya saja.
Pasangan bata merah pasujudan masih tersisa berdiri satu meter membentuk ruangan segi empat
yang dua tumpukan bata dari tanah diputus dengan balok kayu yang berukir dan sesudahnya baru
dipasang bata lagi.
Seperti mewarisi keahlian mbah Rogo moyo, di Kaliwungu khususnya di dukuh Prokowinong kini
ada belasan warganya yang membuka usaha gebyok ukir Kudusan. Disamping puluhan tukang
kayu di luar yang hanya membuat gebyok kayu.

- atraksi wisata : khal mbah rogomoyo


Salah satunya adalah sebuah kebudayaan di sebuah desa di Kabupaten Kudus, tepatnya di desa
Kaliwungu dukuh Prokowinong. Di desa terpencil yang mungkin belum diketahui masyarakat
kota Kudus yang menyimpan budaya yang perlu dilestarikan yaitu “Kirab Haul Mbah
Rogomoyo”. Mbah Rogomoyo adalah seorang ulama penyebar agama Islam di wilayah dukuh
Prokowinong.

Sejumlah warga mengikuti Kirab Rogo Moyo di Kaliwungu, Kudus, Jateng, Rabu (5/11). Prosesi
Haul Rogo Moyo yang dikenal sebai tokoh pencipta rumah adat Kudus itu menjadi salah satu
bentuk kerukunan dan kebersamaan warga. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ed/ama/14.
Sejumlah warga mengikuti Kirab Rogo Moyo di Kaliwungu, Kudus, Jateng, Rabu (5/11). Prosesi
Haul Rogo Moyo yang dikenal sebai tokoh pencipta rumah adat Kudus itu menjadi salah satu
bentuk kerukunan dan kebersamaan warga. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ed/ama/14.
Diketahui dari berbagai sumber masyarakat dan para ulama di daerah tersebut Mbah Rogomoyo
adalah seorang pendatang yang sampai saat ini belum diketahui silsilah keturunannya, berbagai
sumber mengatakan bahwa beliau berasal dari Solo. Ia juga seorang prajurit Pangeran Diponegoro
yang selalu setia dan berani pada saat melawan penjajah Belanda.

Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap oleh penjajah Belanda dan kemudian Mbah
Rogomoyo beserta teman-temannya yaitu Mbah Rogo Perti, Mbah Rogo Joyo, Mbah Rogo Dadi
pergi ke brang wetan (Jawa Timur) Kediri. Kemudian dengan semangat yang dimiliki, mereka
melanjutkan perjalanan untuk menyebarkan da’wah dan mengikuti kata hati dengan
mengharapkan mendapat hidayah dari Allah SWT dan akhirnya sampailah Mbah Rogomoyo di
wilayah dukuh Prokowinong.

Mbah Rogomoyo adalah seorang yang memiliki keilmuan yang tinggi, diantaranya adalah
pengetahuan luas dibidang agama, keahlian dibidang pertukangan kayu dan keahlian dibidang ukir
kayu. Didalam kepandaaian yang beliau miliki, beliau menciptakan rumah adat Kudus (Rumah
Joglo Pencu Tumpang Songo) yang memiliki nilai budaya yang diakui sejak dulu sampai sekarang
dan terkenal di masyarakat Kudus maupun manca negara. Dan tidak lupa juga dengan keahlian
ukirnya yang menciptakan Gebyok Rogomoyo yang mengandung nilai religi, keindahan dan
keunikan yang menjadi kan ciri khas tersendiri.

Pada tahun 1812-1837 saat Kanjeng Kyai Adipati Ario Condronegara III menjabat sebagai bupati
Kudus yang ke-3, beliau mengutus seorang utusan untuk menemui Mbah Rogomoyo agar hadir di
Kabupaten Kudus menghadap Kanjeng Kyai Adipati Ario Condronegoro III. Kemudian Mbah
Rogomoyo mendapat kepercayaan dari Kanjeng Kyai Adipati Ario Condronegara III untuk
membangun Pendopo Kabupaten Kudus yang saat ini hasil karyanya masih ada.

Sejumlah warga mengikuti Kirab Rogo Moyo di Kaliwungu, Kudus, Jateng, Rabu (5/11). Prosesi
Haul Rogo Moyo yang dikenal sebai tokoh pencipta rumah adat Kudus itu menjadi salah satu
bentuk kerukunan dan kebersamaan warga. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ed/ama/14.

Sejumlah warga mengikuti Kirab Rogo Moyo di Kaliwungu, Kudus, Jateng, Rabu (5/11). Prosesi
Haul Rogo Moyo yang dikenal sebai tokoh pencipta rumah adat Kudus itu menjadi salah satu
bentuk kerukunan dan kebersamaan warga. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ed/ama/14.
Selanjutnya setelah Mbah Rogomoyo wafat, diadakanlah Buka Luwur Mbah Rogomoyo yang
disertai Kirab Budaya yang diberi nama “Kirab Haul Mbah Rogomoyo” yang sejak dulu hingga
sekarang selalu di adakan pada tanggal 13 Muharram. Kirab tersebut di adakan setiap satu tahun
sekali dengan tujuan untuk melestarikan peninggalan-peninggalan Mbah Rogomoyo seperti
Rumah Adat, alat-alat pertukangan, dan buku pertukangan yang sekarang tersimpan di dalam
masjid Alit Darul Istiqomah, kemudian juga pelestarian gebyok Mbah Rogomoyo agar nilai-nilai
budayanya dapat diketahui dan dilestarikan masyarakat setempat sebagai bukti peninggalan Mbah
Rogomoyo.

Kirab Haul Mbah Rogomoyo selalu dimeriahkan seluruh masyarakat dukuh Prokowinong dan
dukuh-dukuh di sekitar wilayah kecamatan Kaliwungu,diantaranya adalah pemuda pemuda
setempat yang meramaikan dengan mengadakan pertunjukan drama dan menyanyikan lagu-lagu
Jowo, ratusan pelajar juga mengikuti kirab untuk menambah kemeriahan Kirab Haul Mbah
Rogomoyo.

Seluruh lapisan masyarakat di daerah tersebut bergotong-royong dalam mempersiapkan hal-hal


yang diperlukan. Seluruh eleman masyarakat menyambut kirab dengan suka cita. Tua, muda, kaya
miskin, semua membaur dalam gempita Kirab Haul Mbah Rogomoyo.

Tepat tanggal 13 Muharram semua masayarakat setempat sudah menyiapkan arak-arakan seperti
hasil bumi, sesajen munggah galangan, dan ada juga miniatur rumah adat kudus dan juga masih
banyak lagi. Kemudiaan semua itu diarak dari Masjid Darul Istiqomah yang ada di desa setempat
hingga ke kompleks makam Mbah Rogomoyo. Tahun ini kirab haul Mbah Rogomoyo diikuti
sekitar 1500 peserta kirab yang memeriahkan acara tersebut. Para peseta tersebut menampilkan
berbagai atraksi dan pertunjukan seperti pencak silat, atraksi barongan, dan berbagai pertunjukkan
khas Kudus.
- akomodasi :

Anda mungkin juga menyukai