Anda di halaman 1dari 3

SUNAN GIRI

 Nama: Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden


'Ainul Yaqin, Joko Samudra.
 Lahir: Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra
Sengkala “Jalmo orek werdaning ratu” (1365 Saka).
 Wafat: tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining
Sukmo” (1428 Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.
 Ayah: Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah.
 Ibu: Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa
wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit.
 Guru: Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa wabah
penyakit di kerajaan Blambangan, makadariitu Prabu Menak Sembuyu membuatkan peti terbuat
dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan untuk
menghanyutkannya ke laut.

Ibunya, Dewi Serkadu meninggal karena mencari peti besi yang dihanyutkan. Syekh Maulana Ishak
setelah itu ditemukan oleh awak kapal menuju Bali yang lalu memutar haluan kembali ke Gresik
untuk mengembalikan bayinya kepada Nyai Gede Pinatih, seorang saudagar perempuan di Gresik
sebagai pemilik kapal. Bayi itu lalu diangkat sebagai anak dan dinamai Joko Samudra.

Pada umur 12 tahun Joko Samudra ke Surabaya dan berguru pada Sunan Ampel, tak lama Sunan
Ampel tahu identitas Joko Samudra dan mengirimnya bersama Sunan Bonang ke Pasai untuk
memperdalam ilmu tentang Islam. Di sana Joko Samudra disambut baik oleh Maulana Ishak yang tak
lain adalah ayahnya sendiri.

Joko Samudra berguru pada ayahnya selama 3 tahun, lalu diperintahkan untuk kembali ke Jawa
untuk megembangkan ajaran Islam. Joko Samudra diberi segumpal tanah, beliau harus mencari
dimana tanah yang serupa dengan tanah tersebut. Dengan bertfakur dan meminta pertolongan Allah
SWT., Beliau diberi petunjuuk yaitu gunung yang bercahaya, disanalah letak tanah yang ia cari.

Di Gunung tersebut Joko Samudra membangun pesantren pertama di Gresik, Pesantren Giri di
sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir
(1403 Saka). Dalam Bahasa Jawa Giri berarti Gunung, sejak itu Joko Samudera dikenal sebagai Sunan
Giri.

Pesantren Giri terus menyebarkan Islam, bahkan menjadi salahsatu pusatnya di Jawa dan
memengaruhi Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan
Maluku. Karena itu sunan Giri mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri. Bahkan Pesabtren Giri
berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton yang menguasai Gresik dan sekitar sebelum
ditumbangkan oleh Sultan Agung

Terdapat beberapa karya seni tradisonal. Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan
Giri, di antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-gantiLir-ilir dan
Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Sunan Kudus

Nama Asli: Jafar Al Sadiq

SUNAN KUDUS

Ja’far shodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan sunan kudus, adalah putera dari
pasangan Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngundung di Jipang
Panolan (letaknya disebelah utara kota Blora)dengan syarifah Dewi Rahil binti Sunan
Bonang.

Sunan kudus menyiarkan agama islam seperti para wali yang lain yaitu dengan
kebijaksanaan, tidak memakai kekerasan atau paksaan. Diantaranya caranya dapat di
sebutkan misalnya:melarang untuk memotong binatang yang dianggap suci bagi agama
hindu, menggunakan elemen-elemen bangunan candi hindu untuk bangunan masjid makam,
menciptakan gending maskumambang dan mijil. Dengan cara demikian sunan Kudus
mengajarkan dengan kemauannya sendiri para penganut agama hindu ini kemudian masuk
islam

Menara kudus adalah sebutan dari salah satu masjid peninggalan sunan kudus. Masjid yang
terletak di kota Kudus , Jawa Tengah ini, lebih dikenal dengan Masjid Menara atau Masjid
Kudus ketimbang nama aslinya, Masjid Al-Aqsha. Masjid yang dibangun oleh Ja’far Shadiq
atau Sunan Kudus ini, mempunyai menara yang sangat antik, yang mencerminkan perpaduan
dua budaya yaitu Islam dan Hindu Jawa

Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah
sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956
Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Masjid
ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini
berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah
perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya
menjadi pusat keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk
menyambut bulan Ramadan.

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana keberbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk hindu penduduknya. Cara
Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha, mengingatkan kita
kepada salah satu pembelajaran Budha yang pertama yang diberikan di Banares India

Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.Sunan Kudus memancing masyarakat
untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid, misalnya Kanjeng Sunan Kudus justru
menyembelih kerbau, bukan sapi pada hari raya Idul Qurban.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”.
Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya.
Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa
kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid,
Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan
Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Sekarang ini, acara dandangan
masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang
ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa,
hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.

inskrip di atas mihrab Masjid Menara (Al-Aqsha) berupa candra sengkala lamba,yaitu berupa
tulisan bahasa Arab.Inskrip yang masih jelas terlihat di atas mihrab Masjid Al-Aqsha Kudus
tersebut menyebut angka 956 Hijriah atau Senin Pahing tanggal 3 Oktober 1549 M. Inskripsi
tersebut telah memuat beberapa data antara lain mengenai tahun pendirian masjid, nama
tokoh yang mendirikan masjid, nama kota Kudus, nama Masjid Kudus, dan nama menara
Kudus. Selain prasasti di atas mihrab Masjid Menara Kudus tersebut, ada pula prasasti yang
terdapat Pada Blandar Menara Kudus dengan huruf Jawa dan bahasa Jawa berupa sengkalan
yang berbunyi “gapuro rusak ewahing jagad wong ngarungu”. Yang berarti tahun Jawa 1609
bertepatan dengan tahun 1687 M.Batu pualam ini diperoleh Sunan Kudus ketika diminta
menjadi pemimpin rombongan jemaah haji ke Mekkah. Perjalanan haji bersama rombongan
selain mengunjungi Mekkah dan Madinah juga ke Masjidil Aqsho di Palestina. Selain ibadah
haji juga mendalami 51ilmu agama Islam. Dalam mendalami ilmu agama, dia mendapat
penghargaan dari Amir(gubernur) Negeri Palestina (Baitul Maqdis), yaitu batu pualam yang
indah. Jafar Shodiq minta supaya batu pualam ditulisi seperti apa yangdapat dilihat sekarang.
Melihat bentuk dan gaya tulisannya, dapat dipastikan bahwa itu bukan tulisan orang asli
Jawa. Kisah lain mengenai batu pualam ialah ketika di Baitul Makdis timbul epidemik atau
wabah penyakit. Saat terjadi epidemik, Jafar Shodik berjasa dalam membantu memberikan
pengobatan dan penggaulangan penyakit. Akhirnya dia mendapat penghargaan dari Amir
Baitul Makdis berupa batu pualam. Jafar Shodiq minta supaya batu pualam tersebut diberi
tulisan

sebagai kenang-kenangan berdirinya nageri Kudus dan masjid Kudus. Batu Pualam itulah
yang kini terletak di atas mihrab masjid menara bertuliskan 956 H.

Anda mungkin juga menyukai