Anda di halaman 1dari 6

Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia

Nama : M. Thoriq Dwi Alfian

Kelas : X-Mipa 5

No. Absen : 22

A. Akulturasi Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Indonesia di Bidang Seni Bangunan

1. Masjid Agung Demak

Masjid Demak yang merupakan peninggalan bersejarah kerajaan Islam ini, tetap berdiri kokoh
di Jl Sultan Patah, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jateng.

Masjid kebanggaan warga 'Bintoro'sebutan tlatah Demak ini memiliki ciri arsitektur yang khas.
Pengaruh akulturasi menjadikan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 11.220 meter persegi ini
memiliki perbedaan mencolok dengan tempat ibadah Muslim di Tanah Air pada umumnya.

Sebagai salah satu bangunan masjid tertua di negeri ini, Masjid Agung Demak dibangun dengan
gaya khas Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan
langgam rumah tradisional Jawa Tengah.
Persinggungan arsitektur Masjid Agung Demak dengan bangunan Majapahit bisa dilihat dari
bentuk atapnya. Namun, kubah melengkung yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan
Islam, malah tak tampak. Sebaliknya, yang terlihat justru adaptasi dari bangunan peribadatan
agama Hindu.

Bentuk ini diyakini merupakan bentuk akulturasi dan toleransi masjid sebagai sarana penyebaran
agama Islam di tengah masyarakat Hindu. Kecuali mustoko yang berhias asma Allah dan menara
masjid yang sudah mengadopsi gaya menara masjid Melayu.

Keunikan akulturasi semacam ini, setidaknya juga berakar pada Masjid Menara, Kudus,
Kabupaten Kudus, yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah timur kota Demak.

Hal ini menunjukkan bahwa para ulama penyebar tauhid di tanah Jawa memiliki kemampuan
untuk mengharmonisasi kehidupan sosial di tengah masyarakat Hindu yang begitu dominan,
ketika itu.

Dengan bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak
lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajug.

Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil dengan
kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajug tertinggi berbentuk limas
dengan sisi kemiringan lebih runcing.

Sejumlah pakar arkeolog menyebutkan, bentuk bangunan seperti ini dipercaya juga menjadi ciri
bangunan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Namun, penampilan atap masjid
berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yang terdiri atas
Iman, Islam, dan Ihsan.

2. Masjid Kudus
Masjid Kudus terletak di desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Masjid ini didirikan pada tahun 1549 M atau 956 H oleh Syekh Jafar Sodiq yang lebih dikenal
sebagai Sunan Kudus. Masjid Menara Kudus, demikian orang-orang menyebut sebelumnya
diberi nama “Masjid Al Aqsha”.

Masjid Menara Kudus ini memiliki lima pintu sebelah kanan, dan lima pintu sebelah kiri.
Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid
yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang
merupakan padasan tersebut merupakan peninggalan kuno dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat dua bendera, yang terletak di kanan dan kiri
tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa
disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".

Terdapat pula tempat wudhu yang unik dengan panjang 12 m, lebar 4 m, dan tinggi 3 m. Bahan
bangunan dari bata merah berlantai keramik menghiasi bangunan yang berbentuk persegi
panjang dengan delapan pancuran, dilengkapi arca yang diletakkan di atasnya. Ini mengadaptasi
dari keyakinan Budha, Delapan Jalan Kebenaran atau Asta Sanghika Marga.

Masjid ini memiliki menara yang istimewa. Bentuk menara ini mengingatkan pada bentuk candi
corak Jawa Timur. Regol-regol serta gapura bentar terdapat di halaman serambi dan di dalam
masjid bercorak kesenian klasik Jawa Timur itu. Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil
akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam.

Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m.
Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang semuanya berjumlah 32
buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru dengan berlukiskan masjid manusia dengan
unta dan pohon kurma. Sementara 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang.

3. Makam Sunan Gresik


Makam merupakan tempat peristirahatan terakhir. Apabila diklasifikasikan, makam termasuk
kebudayaan yang berwujud artefak atau benda.  Menurut peraturan (ajaran) agama Islam, jika
seseorang meninggal mayatnya harus dimandikan agar bersih, kemudian dibungkus dengan
kafan yaitu kain putih yang tidak dijahit. Setelah itu disalatkan. Dan mayatnya
ditanam (dikubur) di tempat yang telah ditentukan.[11] Namun tidak jarang pula makam-makam
ini diberi hiasan. Hal ini ditujukan sebagai penghormatan terhadap keluarga yang sudah tidak
ada. Tidak jarang pula pemberian hiasan ini sebagai legitimasi jika yang di baringkan di tempat
ini merupakan orang yang penting atau yang berpengaruh.
Seperti halnya makam-makam lain, makam Sunan Gresik yang merupakan makam-makam tertua
juga memiliki hiasan atau ornamen-ornamen tertentu yang berbeda dengan hiasan di makam-
makam lain. Walaupun diketahui makam Sunan Gresik berbeda dari makam-makam sunan-
sunan lain, di mana makam-makam sunan lain sudah mengadopsi unsur kebudayaan Indonesia
kuno berupa punden berundak sedangkan makam Sunan Gresik tidak menggunakan konsep
tersebut. Namun masih terlihat beberapa unsur budaya, seperti halnya:
a. Unsur  Budaya Islam
Unsur budaya Islam adalah unsur yang paling dominan di antara unsur budaya yang lain. Unsur
budaya ini terdapat di inskripsi jirat nisan Sunan Gresik. Memang mengenai jirat dan nisan ini
memiliki beberapa pendapat tentang asalnya.
b. Unsur Budaya Hindu-Buddha
Di makam Sunan Gresik ini, kita juga menjumpai beberapa anasir yang menunjukkan budaya
masa klasik. Sesuai dengan jiwa zaman kala itu, ketika Jawa masih terdapat dominasi agama
Hindu-Buddha, makam Islam layaknya makam Sunan Gresik pun tidak luput dari campuran
kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam. Unsur Budaya Hindu-Buddha terlihat dari adanya gapura
paduraksa dan banyaknya batu nisan yang mengelompok.
c. Unsur budaya Jawa
Unsur budaya Jawa ditunjukan dengan “Prasasti Pendek” yang terdapat di sisi kanan bawah
gapura. Prasati ini bertuliskan aksara Jawa Kuno yang menunjukan tahun 1340 Saka
(1419 Masehi). Tulisan Jawa ini juga terdapat pada sisi atas paduraksa.

B. Akulturasi Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Indonesia selain di Bidang Seni


Bangunan
a. Bidang Kesenian

Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernapas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya sebagai berikut :

 Permainan debus, yaitu tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda
tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayat-
ayat dalam Al Quran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
 Seudati, sebuah bentuk tarian dari Aceh. Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya
permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Tarian ini
aslinya dimainkan oleh delapan orang penari. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya
antara lain salawat nabi.
 Wayang, termasuk wayang kulit, Pertunjukan wayang sudah berkembang sejak zaman
Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan Kemudian berdasarkan cerita
Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.
b. Pemerintahan

Pada zaman awal, budaya yang kental adalah budaya kerajaan dimana rakyat menghormati raja.
Kemudian masuk beberapa agama seperti hindu dan budha, sehingga rakyat juga menghormati
brahmana dan juga biksu. Juga menganggap raja adalah titisan atau reinkarnasi dewa. Sehingga
harus diakamkan di candi atau pura. Selanjutnya muncul ajaran agama islam, yang juga
mempengaruhi budaya kerajaan. Dimana raja dan para pejabat kerajaan tidak boleh disembah,
hanya boleh di hormati saja.

Ketika meninggal maka dikubur berdasarkan cara islam. Kemudian zaman kerajaan runtuh,
digantikan oleh sistem pemerintahan republik. Dimana pemimpinnya adalah presiden, hal ini
terjadi setelah adanya pengaruh budaya eropa setelah masa penjajahan.

c. Kalender

Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau berusaha membenahi
kalender Islam. Perhitungan tahun yang dipakai atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar
menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga sekarang kita
mengenal tahun Hijriyah. Sistem kalender itu juga berpengaruh di Nusantara. Bukti
perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang
diciptakan oleh Sultan Agung.

Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan
Muharam diganti dengan Sura dan Ramadan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai
tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura
tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633).

d. Cara Berpakaian dan Kebiasaan

Dalam pergaulan akulturasi budaya sangat kental terasa, baik dari kebiasaan maupun cara
berpakaian. Misalkan saja pada zaman dulu, pakaian Jawa masih banyak dipakai, baik oleh
kalangan bawah, menengah, maupun atas. Seiring dengan masuknya islam, pakaian berubah dari
budaya jawa menjadi budaya islam. Sehingga muncullah jubah dan gamis.

Kemudian jawa islam mengakulturasi budaya cina, maka muncullah baju koko atau baju takwa.
Selain itu kebiasaan-kebiasannya juga berbah. Salah satu contohnya adalah kalimat salam
“Assalamualaikum” yang digunakan saat bertamu, berkomunikasi, maupun saling menyapa.
 

Anda mungkin juga menyukai