Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM


PADA MASA BANI UMAYYAH DI DAMASKUS
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Sejarah dan Kebudayaan Lokal
Dosen pengampu : Ibu Wiji Hidayati

Oleh :
Fendi Tri Cah yono
07650061

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2007
Internalisasi Islam Dalam
Arsitektur Jawa

Mark R. Woodward memberikan antitesis terhadap pandangan yang relative


mapan dengan mengatakan bahwa Islam Jawa bagaimanapun berakar pada tradisi dan
teks suci Islam itu sendiri. Islam di Jawa lebih merupakan tradisi yang
diejawentahkan dari hubungan teks suci Sunah Rosul dan kondisi histories. Dari
pikiran Mark R. Woodward tersebut maka sebagai salah satu produk budaya,
arsitektur di Jawa juga merupakan bagian dari interprestasi teks dalam kehidupan
orang Jawa yang menyejarah dan merupakan bentuk kreatifitas Islam Jawa dalam
mengaktualisasikan teks tersebut dalam bentuk realitas sosial. Yang mana terdapat
berbagai macam argumen dalam penginterpretasian Islam itu sendiri .

Dalam sejarah Islam masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam
Islam, yakni dengan dibangunnya masjid Quba sebagai masjid yang pertama oleh
Rosulullah SAW. Awal mula bangunannya sangatlah sederhana dengan lapangan
terbuka sebagai intinya dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta
ditengah–tengah lapangan terdapat sumber air untuk bersuci. Bentuk bangunan
tersebut dijadikan dasar dalam pembangunan masjid diberbagai wilayah Islam.
Dalam pembangunannya, masjid–masjid tersebut mengalami penambahan menara,
makam di sekitar masjid, hiasan kaligrafi, maksura, dan interior yang indah, seperti
bangunan masjid di Jawa yang atapnya bersirap.

Masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga terjadilah


pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dibawa penyebar
ajaran Islam dan kebudayaan yang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat, yang
akhirnya memunculkan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak disertai oleh
spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif.

Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan


dalam melahirkan karya seni arsitektur, seperti candi, keratin, benteng, kuburan,
rumah joglo, tata ruang kota/desa, dll. Maka dari itu agar Islam dapat diterima
sebagai agama orang Jawa, simbol–simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan
konsep Jawa yang memberikan keunggulan tersendiri muslim Jawa dalam karya
arsitektur, seperti yang terlihat dalam bangunan menara masjid Kudus (Al-Aqsha)
yang dibangun oleh Sunan Kudus yang fungsinya sebagai tempat adzan untuk
memberitahukan waktu sholat tiba, karena pada zaman tersebut belum ada pengeras
suara. Yang bentuk bangunan menaranya mirip dengan meru pada bangunan hindu,
lawang kembar, pintu gapura dan yang kesemuanya bercorak agama hindu, yang
bertujuan untuk menarik simpati masyarakat hindu agar memeluk Islam.

Selain menara masjid Al-Aqsha terdapat pula bangunan masjid yang memakai
bentuk atap bertingkat dan pondasi persegi. Pondasi yang persegi ini tepat pada arah
mata angina. Selain itu terdapat pula cirri khas mimbar dengan pola ukiran teratai,
mastaka atau memolo. Disebelah timur terdapat pintu masuk dan serambi yang luas,
di tengah-tengah tembok sebelah barat ada bangunan menonjol untuk mihrab yang
berbentuk lengkung pola kalamakra, dan dibagian selatan terdapat pawestren
(karma)/pangwadon (ngoko), yaitu tempat khusus untuk sholat perempuan dan
maksura yang merupakan tempat khusus untuk raja atau sultan pada waktu sholat
jum’at.

Masjid di Jawa biasanya dilengkapi dengan bedug dan kentongan sebagai


pertanda masuknya waktu sholat, yang pada masanya dianggap sangat efektif sebagai
sarana komunikasi, karena memang pada saat itu belum ada media komunikasi yang
lebih modern. Tapi pada kenyataannya, saat ini masih banyak ditemukan bedug dan
kentongan di berbagai masjid-masjid di Jawa.

Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga sebagai lambang
ke-Islaman seseorang yaitu Iman (pengesahan Allah SWT yang jernih dan murni serta
tak kenal kompromi terhadap setiap mitologi dan kemusyrikan) , Islam (pola
pengembangan yang dilakukan dengan ijtihad yang menggunakan kemampuan logika
serta menuntut dukungan kepemimpinan rasional), dan Ihsan (penghambaan /
beribadah kepada Allah seakan-akan melihat dzat Allah atau merasa selalu dilihat
Allah SWT). Namun Nurcholis Majid menafsirkannya sebagai penghayatan
keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar (purwa), tingkat nenengah (madya), dan
tingkat akhir (wusana). Selain itu , dianggap pula sejajar denagn syariat, thoriqot, dan
makrifat.

Dalam kondisi seperti ini masjid sebagai bentuk arsitektur Jawa Islam hadir
dengan sosok fisik budaya lama yang sarat dengan muatan nilai baru (Islam). Dan
bentuk bangunan masjid tersebut terpengaruh gaya masjid di India dari Malabab,
sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa bangunan masjid dipengaruhi oleh seni
bangunan di Bali yang mirip dengan bangunan Wartilan.

Seperti halnya bangunan Pawestren pada masjid-masjid di Jawa, Pawestren


Masjid di Kudus kulon tidak berada di sebelah selatan tetapi berada di sebelah utara
dimasjid Mantingan pun tidak kita jumpai Pawestren ini, karena masjid iniadalah
bangunan baru meskipun bekas-bekas bangunan kunonya masih ada. Menurut
Tudjimah kemungkinan masjid Mantingan dahulu juga memiliki Pawestren.

Di Jawa ternyata tidak hanya ada bagian bangunan yang bernama Pawestren,
tetapi malahan ditemukan masjid yang jamaahnya khusus kaum perempuan, yang
disebut “Masjid Istri” (1926) di kampung Pengkolan, yang bentuknya persegi dibuat
dari batu, berdiri di tengah halaman dan terdapat tulisan:

1 Februari 1926 1344 Rajab 18

Masjid Istri

Masjid Istri ini juga ditemukan di kampung Karangkajen (1927), Yogyakarta.


Bangunannya berupa tembok tinggi putih tanpa jendela dan dikelilingi pagar bambu,
selain itu juga ditemukan di Plampitan Surabaya dan Suronatan Yogyakarta.

Di Masjid besar Mangkunegaraan terdapat serambi di kiri kanan ruang dalam


masjid. Serambi utaradipakai untuk rapat pengadilan agama dan serambi selatan
untuk wanita. Terdapat blumbangan yang mengelilingi serambi dan di depan pintu
masuk ruang wanita ada blumbang khusus. Selain itu terdapat ruangan khusus yang
dipergunakan jika susuhunan dan permaisuri, putri-putri, sehingga mereka tidak dapat
dilihat oleh pengunjung masjid biasa.
Deskripsi mengenai arsitektur masjid di Jawa terjadi pada awal masa
pertumbuhan sampai perkembangannya pada pertengahan abad ke-20. Jadi setelah
pertengahan abad ke-20 ciri-ciri blumbangan atau kolam sudah tidak nampak, tetapi
ciri-ciri lain sebagai arsitektur Islam Jawa masih nampak pada bentuk atapnya dan
pondasi segi empatnya. Seperti pada masjid Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Di sekitar komplek makam Masjid Jawa juga terdapat bangunan makam yang
biasanya merupakan makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar masjid tersebut
berada. Seperti Masjid Qudus yang berda satu komplek dengan makam sunan Kudus,
Masjid Demak satu komplek dengan makam Raden Patah, dan juga makam Imogiri
yang juga dekat dengan masjid. Hal tersebut dapat memunculkan suatu argumen
bahwa makam-makam yang berada di sekitar areal masjid pada umumnya merupakan
makam ulama-ulama besar / Waliyullah.

Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral bahkan
cenderung dikeramatkan. Arsitekturnya terdapat beberapa bentuk ada yang hanya
dengan ditandai dengan batu nisan, yang diberi cungkup, hiasan-hiasan, klambu dan
ada pula makam yang berkijing.

Penempatan makam ada yang menyatu dengan komplek masjid, di puncak


bukit seperti komplek neoporole raja-raja Mataram di Imogiri yaitu menyerupai
bangunan pura yang merupakan akulturasi dengan budaya Hindu. Hal itu juga tampak
pada kompleks makam Syeikh Maulana Maghribi di Parangtritis.

Bangunan makam sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan yang


berlapis-lapis mengingatkan kita pada bentuk bangunan kedhaton pada keraton pada
jaman kerajaan Hindu dengan lawang kori. Tampilnya berbagai seni dan steril tipe
candi pada makam di Jawa adalah bukti interelasi budaya Jawa dan Islam dalam
arsitektur makam.

Dalam Islam sebenarnya terdapat tradisi penguburan jenazah yang didasarkan


pada hadits nabi seperti:
1. Kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui
(HR. Baihaqi)
2. Membuat tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala
(HR. Abu Daud)
3. Dilarang menembok kubur (HR. At Tarmidzi dan Muslim)
4. Dilarang membuat tulisan di atas kubur (HR. An Nasai)
5. Dilarang membuat bangunan di atas kubur (HR. Ahmad dan Muslim)
6. Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist-hadist tersebut dipandang sebagai kaidah normatif Islam sedangkan


dalam realitas makam Islam di Jawa, tidak diberlakukan dikarenakan telah terjadi
suatu proses percampuran dengan budaya lokal yang menimbulkan suatu pergeseran
nilai-nilai atau kaidah normatif Islam. Hal tersebut mengingatkan bahwa dalam tradisi
pra Islam kematian ditafsirkan “kembali ke alam dewa”, ‘hilang’, ‘sirna’. Dan makam
dianggap sebagai tempat ‘tidur panjang’ (pasarean), ‘astana’, atau ‘tempat
ketenangan’ (kasunyatan).

Munculnya arsitektur makam Islam di Jawa harus dipahami sebagai suatu


kenyataan yang tidak mengingkari akidah Islam, tetapi kelanjutan suatu tradisi yang
telah tumbuh pada masa pra Islam. Realitas arsitektur tersebut merupakan
konsekuensi dari tingginya karya seni manusia muslim Jawa yang terinspirasikan
oleh kehalusan karya seni manusia Jawa dan tingginya nilai ajaran agamanya (Islam).

Kemampuan para arsitek muslim Jawa dalam mengakomodasi dua unsur


kebudayaan tidak hanya dalam bentuk masjid dan makam, tetapi telah pula
merambah pada lingkup yang lebih luas, yakni pada tata ruang sebuah wilayah atau
penataan kota.

Dalam pemikiran Jawa, keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan
pembangunan di dalam keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan
kehidupan masyarakat keraton dengan jagat raya itu. Dengan demikian, maka
bangunan itu merupakan lambang yang penuh arti. Pengaturan bangunan dengan pola
tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya, yang terletak di
depan belakang atau kanan kirinya.

Selain merupakan pusat jagat raya, keraton juga dianggap sebagai pusat kota.
Arsitektur dan ikonografinya yang sangat komplek, mensimbolisasikan eksplanasi-
eksplanasi sufi mengenai siklus kehidupan, hubungan jalan mistik antara Allah dan
manusia dan antara kesolehan normatif dan doktrin mistik.

Tata ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu Jawa menggunakan konsep tata
ruang yang berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya memakai konsep
Islam, hal ini terlihat dengan penggunaan konsep mancapat dalam tata ruang desa-
desa di Jawa, tetapi unsur-unsur macapatnya dengan ajaran nilai Islam, yaitu dengan
menempatkan keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan
yang berpusat pada alun-alun.

Bentuk arsitektur tata kota yang lain dapat kita lihat pada bangunan taman sari
dan hiasan-hiasan pada keraton seperti keraton Yogya yang memiliki hiasan kaligrafi,
gapura masjid dan benteng.

Area istana meliputi juga struktur massif yang dikenal sebagai taman sari,
yang disebut oleh orang Belanda, Istana Air (Water Castle). Istana tersebut terdiri atas
beberapa tempat keramat, kamar mandi, kanal-kanal untuk kapal kecil dan
terowongan bawah tanah. Istana yang berfungsi kombinasi sebagai kebun, benteng,
sekaligus tempat ibadah dibangun oleh Hamengkubowono I. Di Taman Sari terdapat
masjid dan kuil yang diperuntukkan kepada gusti kanjeng ratu kidul, yaitu ratu para
roh pantai selatan dan istri sultan.

Secara umum arsitektur Islam Jawa dapat dikelompokkan dalam bentuk:


1. Bangunan sakral yang disakralkan, seperti masjid dan makam.
2. Bangunan yang dianggap sekuler atau profan seperti benteng, keraton dan
tata kota, tamansari (publik service) dan sebagainya.

Dan deskripsi tentang bentuk arsitektur Islam Jawa di atas tercermin cara
Islam mensosialisasikan diri di Jawa, yang memperlihatkan ikhtiar Islam untuk
masuk di Jawa secara kultural, bukan dengan pemaksaan dan kekerasan.

Berbagai bentuk arsitektur tersebut juga dijadikan sebagai media


penyampaian pesan Islam sehingga di dalam melihat arsitektur Islam yang cenderung
disebut orang sebagai suatu sinkretisme harus dilihat esensinya yang hakiki bukan
pada bentuk atau wajahnya oleh karenanya bentuk arsitektur Jawa Islam yang sering
dianggap sinkretis tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak final, tetapi
sebagai sesuatu yang masih terus beradaptasi dengan ruang dan waktu. Seiring
dengan terus berjalannya waktu terjadilah berbagai macam dinamika-dinamika sosial
yang melahirkan suatu produk budaya baru (reproduksi budaya).

Berangkat dari hal tersebut, maka pada saat sekarang dengan tidak
mengurangi pelestrarian nilai-nilai budaya arsitektur Jawa Islam kuno – kita masih
bisa dan terus melakukan pengembangan Islam dengan melakukan pemaduan dengan
kemajuan teknologi arsitektur sepanjang masih fungsional dan masih berpedoman
pada nilai-nilai keislaman dan budaya lokal.

Anda mungkin juga menyukai