Oleh :
Fendi Tri Cah yono
07650061
Dalam sejarah Islam masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam
Islam, yakni dengan dibangunnya masjid Quba sebagai masjid yang pertama oleh
Rosulullah SAW. Awal mula bangunannya sangatlah sederhana dengan lapangan
terbuka sebagai intinya dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta
ditengah–tengah lapangan terdapat sumber air untuk bersuci. Bentuk bangunan
tersebut dijadikan dasar dalam pembangunan masjid diberbagai wilayah Islam.
Dalam pembangunannya, masjid–masjid tersebut mengalami penambahan menara,
makam di sekitar masjid, hiasan kaligrafi, maksura, dan interior yang indah, seperti
bangunan masjid di Jawa yang atapnya bersirap.
Selain menara masjid Al-Aqsha terdapat pula bangunan masjid yang memakai
bentuk atap bertingkat dan pondasi persegi. Pondasi yang persegi ini tepat pada arah
mata angina. Selain itu terdapat pula cirri khas mimbar dengan pola ukiran teratai,
mastaka atau memolo. Disebelah timur terdapat pintu masuk dan serambi yang luas,
di tengah-tengah tembok sebelah barat ada bangunan menonjol untuk mihrab yang
berbentuk lengkung pola kalamakra, dan dibagian selatan terdapat pawestren
(karma)/pangwadon (ngoko), yaitu tempat khusus untuk sholat perempuan dan
maksura yang merupakan tempat khusus untuk raja atau sultan pada waktu sholat
jum’at.
Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga sebagai lambang
ke-Islaman seseorang yaitu Iman (pengesahan Allah SWT yang jernih dan murni serta
tak kenal kompromi terhadap setiap mitologi dan kemusyrikan) , Islam (pola
pengembangan yang dilakukan dengan ijtihad yang menggunakan kemampuan logika
serta menuntut dukungan kepemimpinan rasional), dan Ihsan (penghambaan /
beribadah kepada Allah seakan-akan melihat dzat Allah atau merasa selalu dilihat
Allah SWT). Namun Nurcholis Majid menafsirkannya sebagai penghayatan
keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar (purwa), tingkat nenengah (madya), dan
tingkat akhir (wusana). Selain itu , dianggap pula sejajar denagn syariat, thoriqot, dan
makrifat.
Dalam kondisi seperti ini masjid sebagai bentuk arsitektur Jawa Islam hadir
dengan sosok fisik budaya lama yang sarat dengan muatan nilai baru (Islam). Dan
bentuk bangunan masjid tersebut terpengaruh gaya masjid di India dari Malabab,
sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa bangunan masjid dipengaruhi oleh seni
bangunan di Bali yang mirip dengan bangunan Wartilan.
Di Jawa ternyata tidak hanya ada bagian bangunan yang bernama Pawestren,
tetapi malahan ditemukan masjid yang jamaahnya khusus kaum perempuan, yang
disebut “Masjid Istri” (1926) di kampung Pengkolan, yang bentuknya persegi dibuat
dari batu, berdiri di tengah halaman dan terdapat tulisan:
Masjid Istri
Di sekitar komplek makam Masjid Jawa juga terdapat bangunan makam yang
biasanya merupakan makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar masjid tersebut
berada. Seperti Masjid Qudus yang berda satu komplek dengan makam sunan Kudus,
Masjid Demak satu komplek dengan makam Raden Patah, dan juga makam Imogiri
yang juga dekat dengan masjid. Hal tersebut dapat memunculkan suatu argumen
bahwa makam-makam yang berada di sekitar areal masjid pada umumnya merupakan
makam ulama-ulama besar / Waliyullah.
Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral bahkan
cenderung dikeramatkan. Arsitekturnya terdapat beberapa bentuk ada yang hanya
dengan ditandai dengan batu nisan, yang diberi cungkup, hiasan-hiasan, klambu dan
ada pula makam yang berkijing.
Dalam pemikiran Jawa, keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan
pembangunan di dalam keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan
kehidupan masyarakat keraton dengan jagat raya itu. Dengan demikian, maka
bangunan itu merupakan lambang yang penuh arti. Pengaturan bangunan dengan pola
tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya, yang terletak di
depan belakang atau kanan kirinya.
Selain merupakan pusat jagat raya, keraton juga dianggap sebagai pusat kota.
Arsitektur dan ikonografinya yang sangat komplek, mensimbolisasikan eksplanasi-
eksplanasi sufi mengenai siklus kehidupan, hubungan jalan mistik antara Allah dan
manusia dan antara kesolehan normatif dan doktrin mistik.
Tata ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu Jawa menggunakan konsep tata
ruang yang berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya memakai konsep
Islam, hal ini terlihat dengan penggunaan konsep mancapat dalam tata ruang desa-
desa di Jawa, tetapi unsur-unsur macapatnya dengan ajaran nilai Islam, yaitu dengan
menempatkan keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan
yang berpusat pada alun-alun.
Bentuk arsitektur tata kota yang lain dapat kita lihat pada bangunan taman sari
dan hiasan-hiasan pada keraton seperti keraton Yogya yang memiliki hiasan kaligrafi,
gapura masjid dan benteng.
Area istana meliputi juga struktur massif yang dikenal sebagai taman sari,
yang disebut oleh orang Belanda, Istana Air (Water Castle). Istana tersebut terdiri atas
beberapa tempat keramat, kamar mandi, kanal-kanal untuk kapal kecil dan
terowongan bawah tanah. Istana yang berfungsi kombinasi sebagai kebun, benteng,
sekaligus tempat ibadah dibangun oleh Hamengkubowono I. Di Taman Sari terdapat
masjid dan kuil yang diperuntukkan kepada gusti kanjeng ratu kidul, yaitu ratu para
roh pantai selatan dan istri sultan.
Dan deskripsi tentang bentuk arsitektur Islam Jawa di atas tercermin cara
Islam mensosialisasikan diri di Jawa, yang memperlihatkan ikhtiar Islam untuk
masuk di Jawa secara kultural, bukan dengan pemaksaan dan kekerasan.
Berangkat dari hal tersebut, maka pada saat sekarang dengan tidak
mengurangi pelestrarian nilai-nilai budaya arsitektur Jawa Islam kuno – kita masih
bisa dan terus melakukan pengembangan Islam dengan melakukan pemaduan dengan
kemajuan teknologi arsitektur sepanjang masih fungsional dan masih berpedoman
pada nilai-nilai keislaman dan budaya lokal.