Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, dengan
ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ARSITEKTUR NUSANTARA
yang kami beri judul "Perkembangan Arsitektur Masjid Masa Peralihan Hindu-Islam di
jawa.
Adapun makalah ilmiah ARSITEKTUR NUSANTARA tentang " Perkembangan
Arsitektur Masjid Masa Peralihan Hindu-Islam di jawa" ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan membaca banyak sumber sumber sejarah, sehingga dapat
memperlancar proses pembuatan makalah ini.
semoga dari makalah ARSITEKTUR NUSANTARA tentang " Perkembangan Arsitektur
Masjid Masa Peralihan Hindu-Islam di jawa " ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu, kritik dan saran dari Anda kami tunggu
untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Semarang ,19 Oktober 2016

Akhmad Setiawan
Pa 14. 1. 0275
BAB I
PENDAHULUAN

Islam datang ke Indonesia bukanlah merupakan suatu power yang membawa segala
alat peperangan untuk menaklukkan bangsa Indonesia sehingga dipaksa melaksanakan ajaran
Islam, atau datang dengan segala taktik dan strategi yang menentukan tujuan kemenangan
yang gemilang sehingga dapat menekan penguasa untuk mempergunakan kewibawaannya
sehingga dapat menerapkan ajaran Islam itu sebagai suatu keharusan yang mutlak.
Islam datang dan menerapkan ajaran dan pengaruhnya secara perlahan-lahan melalui
dakwah-dakwah tentang keimanan, serta menerapkan unsur-unsur kebutuhan pelaksanaan
ajaran agama Islam sebagai tempat bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa berupa masjid
secara berbaur dengan bentuk-bentuk lama dari penggunaan yang sudah ada.
Salah satu aspek kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan peri kehidupan
bangsa Indonesia adalah arsitektur. Arsitektur adalah salah satu segi dari kebudayaan yang
menyentuh segi kemanusiaan secara langsung, yang dengan sendirinya mengandung faktor
pelaksanaan kehidupan manusia.
Arsitektur merupakan tujuan utama dari hasil usaha orang-orang yang
menciptakannya, serta merupakan suatu pemikiran yang sesuai dengan keadaan, tingkat
kecakapan serta penghayatan masyarakat terhadap arsitektur tersebut.
Arsitektur sangat erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia, baik berupa
aktivitas jasmaniah, maupun aktivitas rohaniahnya. Antara lain sangat erat kaitannya dengan
seni sebagai perwujudan aktivitas rohanian dari kehidupan manusia. Bersama-sama dengan
seni rupa, seni suara, seni sastra, seni pahat, seni ukir, serta lain-lainnya.
Keindahan emprisif pada arsitektur memang banyak kesamaannya, dengan keindahan
yang terdapat pada seni lukis, dan seni lain yang semuanya merupakan wujud dari perasaan
dan emosi. Kepuasan terhadap arsitektur mula-mula bisa saja hanya sekedar berupa
kekaguman akan bentuk lahiriah atau kekaguman akan bentuk luar saja, tapi justru
kekaguman pertama itulah yang sangat menentukan setiap segi dari bagian-bagian pada
arsitektur tersebut, yang ternyata melebihi kemampuan yang dapat disajikan oleh seni patung
atau seni lukis. Bagian-bagian yang menjadi penunjang penampilan bentuk luar, ternyata
harus serasi dengan kepuasan yang disebabkan oleh ketepatan fungsinya, sehingga dapat
secara utuh mendukung keindahan arsitektur tersebut secara tuntas. Maka faktor kontruksi,
bahan-bahan yang dipergunakan, serta keterampilan dalam pembuatan, merupakan segi yang
saling berkaitan satu sama lainnya hingga menjadikan wujud karya arsitektur.
Arsitektur Islam dapat dilihat secara tersendiri yang nyata kehadirannya dalam
sejarah, sebagai bagian yang terpenting dari sejarah kehidupan umat Islam. Pembatasan ini
berkisar pada pembicaraan masalah-masalah yang bersifat teknis semata, serta sifat-sifat fisik
arsitektur saja tanpa menyinggung masalah-masalah falsafah secara mendalam
Penampilan arsitektur Islam secara fisik, ternyata sangat menarik perhatian, sebab
muncul bentuk bangunan yang dihasilkan oleh penganut Islam. Bangunan tersebut bertujuan
sebagai ungkapan tertinggi dari nilai-nilai luhur suatu kehidupan manusia yang juga
melaksanakan ajaran syariat Islam.
Pola penampilan masjid sangat dipengaruhi oleh lingkungan, daerah, serta adat
istiadat kebiasaan. Penampilan bangunan merupakan hal yang bersifat tambahan, yaitu disaat
Islam telah berkembang sedemikian majunya. Saat itu para pendukung Islam telah
menemukan kemungkinan-kemungkinan guna melahirkan bangunan-bangunan yang megah
dan tinggi nilainya. Kemungkinan itu merupakan hal yang penting sebagai syarat untuk
menampilkan bangunan yang tinggi mutu dan nilainya, baik berupa kecakapan-kecakapan
dalam masalah tehnik, maupun kemungkinan yang berupa kemampuan penyediaan
anggarannya.
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih
mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan
ajaran agama Islam secara keseluruhan. Muncul masjid yang menggambarkan fungsi sosial
yaitu masjid madarasah, sebagai tempat pendidikan agama Islam, masjid rumah sakit, masjid
sekolah serta masjid dapur umum untuk tujuan kemanusiaan dalam rangka memberi makan
secara tetap kepada fakir miskin, dan masjid kuburan.
Tumbuhnya bangunan masjid sebagai salah satu bagian dari arsitektur Jawa tentu
mempunyai latar belakang yang menjadi alasan dari sejarah kelahirannya di Indonesia. Dari
pemaparan diatas maka timbul berbagai permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Masjid

Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti
sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d)
ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini
berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".

Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata
mezquita dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai
dalam bahasa Inggris secara luas.

Sejarah Masjid

Masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hijrah dari Mekkah ke
Madinah adalah Masjid Quba, lalu kemudian Masjid Nabawi. Ciri dari kedua masjid ini
hampir sama dengan masjid-masjid Madinah lainnya mengikutinya kemudian, yaitu sangat
sederhana. Bentuknya empat persegi panjang, berpagar dinding batu gurun yang cukup
tinggi. Tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon kurma, atapnya terbuat dari pelepah daun
kurma yang dicampur dengan tanah liat. Mimbarnya juga dibuat dari potongan batang pohon
kurma, memiliki mihrab, serambi dan sebuah sumur. Pola ini mengarah pada bentuk
fungsional sesuai dengan kebutuhan yang diajarkan Nabi.Biasanya masjid pada waktu itu
memiliki halaman dalam yang disebut Shaan, dan tempat shalat berupa bangunan yang
disebut Liwan. Beberapa waktu kemudian, pada masa khalifah yang dikenal dengan
sebutan Khulafaur Rasyidin pola masjid bertambah dengan adanya Riwaqs atau
serambi/selasar. Ini terlihat pada masjid Kuffah. Masjid yang dibangun pada tahun 637 M ini
tidak lagi dibatasi oleh dinding batu atau tanah liat yang tinggi sebagaimana layaknya masjid-
masjid terdahulu, melainkan dibatasi dengan kolam air. Masjid ini terdiri dan tanah lapang
sebagai Shaan dan bangunan untuk shalat (liwan) yang sederhana namun terasa suasana
keakraban dan suasana demokratis (ukhuwah Islamiah).

Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang Gujarat, yang mengembangkan Islam


ke Timur pada masa Khalifah bani Ummaiyah/Muawiyah dimana pusat pemerintahannya
tidak lagi di Mekkah atau Madinah melainkan sudah dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di
Syria. Daerah yang mula-mula mendapat tebaran agama Islam antara lain Perlak, Samudra
Pasai (Aceh) dan Palembang, pantai utara Jawa yaitu Jepara dan Tuban serta Indonesia Timur
seperti Ternate, Ambon dan lain-lain, yaitu sekitar tahun 1500 M.

Suatu karya arsitektur hampir selalu, secara disadari ataupun tidak, mencerminkan
cirri budaya dari kelompok manusia yang terlibat didalam proses penciptaannya. Sekurang-
kurangnya akan tercermin dari tata nilai yang dianut.(Eko Budihardjo, 1997b:24)
Arsitektur Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sendirinya sesuai apresiasi
masyarakat. Seperti apa timbulnya dan kemana berkembangnya akan dipengaruhi oleh peran
arsitek dalam proses perkembangan secara nasional karena itu, arsitek tidak bisa
memencilkan dirinya dalam identitas subyektif, tetapi harus meningkatkan peranannya untuk
terlibat lebih luas.(Edi Supriyatna, 1996:43)
Dalam perkembangan arsitektur Islam selanjutnya, pada samping masjid ada kuburan.
Meskipun tidak merubah fungsi dan tugasnya sebagai masjid. Disamping kiri dan kanan
bangunan masjid terdapat kuburan-kuburan yang berkembang sebagai tempat pekuburan
umum yang tidak terbatas pada makam tokoh yang dihormati saja. Sebagai kelengkapan dari
kuburan-kuburan yang ada di sekitar masjid tersebut biasanya terdapat tembok pemisah
dengan pintu-pintu gerbang tersendiri.
Arsitektur masjid pada masa ini merupakan penyempurnaan dari perkembangan
terahir dari masuknya unsur-unsur Timur Tengah terutama pada bentuk Kubah, lengkung-
lengkung serta menara. Faktor penyebabnya adalah adanya suasana kehidupan baru yang
seolah-olah membuka kemungkinan untuk bangkit guna kembali berkarya sesudah
mengalami beberapa saat kekosongan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan
pembangunan.
Ciri dari penampilan fisik masjid pada saat itu adalah kubah dan menara yang
kemudian mencapai puncak perkembangannya pada ahir tahun limah puluhan. Penerapan
Kubah dengan lengkung maupun menara pada saat itu mulai disertai dengan pertimbangan
yang lebih professional, dengan penekanan-penekanan pada wujud Kubah sebagai titik
klimaks dari keseluruhan bangunan masjid tersebut. Unsur-unsur pendukung estetika
bangunan agaknya telah mulai pula diperhatikan dalam perencanaannya, sehingga pada
beberapa masjid tampak juga keserasian yang baik.(Abdul Rochym, 1983b:125)
Ada pula masjid-masjid yang sudah dibangun secara bertingkat, karena
perkembangan pemikiran yang tuntas. Misalnya karena alasan hendak menerapkan fungsi
yang menyeluruh dari segala kegiatan masjid yang harus dapat tertampung oleh ruangan-
ruangan yang tersedia.
Pada saat itu juga sudah ada masjid yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan kantor
guna melaksanakan kegiatan penunjang, serta ruangan-ruangan untuk perpustakaan, sarana
kesehatan, ruang ceramah atau ruang pendidikan agama.
Penampilan secara keseluruhan, yang didukung oleh penempatan bagian-bagian
bangunan serta elemen-elemennya yang diperhitungkan, memang baik dan serasi sehingga
patut untuk dicontoh. Hal ini dapat tercapai karena bagian tadi telah ditetapkan berdasarkan
cara-cara pembuatan bangunan menurut ketentuan fungsi dan estetikanya yang di Indonesia
pada saat itu mulai diperhatikan.
Ruang dan waktu merupakan satu-satunya bentuk dimana kehidupan dibangun dan
dari sinilah seni harus didirikan.(Cornelis van Deven, 1991:258)
Sementara itu perkembangan corak dan gaya masjid terus juga melaju. Penampilan
bentuk menjadi lebih bervariasi, seperti terbukti dengan munculnya berbagai macam corak
Kubah yang menonjol pada masjid-masjid didaerah. Contohnya di masjid Agung
Banyuwangi yang memiliki Kubah kontruksi lipat, Kubah berbentuk kerang di masjid Agung
Jember, Kubah bintang pada masjid Agung Semarang, atau bahkan Kubah setengah bola
yang dominan dan megah pada masjid Istiqlal Jakarta dan pada masjid-masjid lain didaerah.
Pola tradisional daerah bukanlah lagi satu-satunya cara untuk menampilkan bentuk tapi digali
kembali hakikat bentuk intinya kemudian direncanakan kembali untuk menampilkan corak
yang baru.
Perkembangan yang dimulai sejak awal tahun limah puluhan di abad kedua puluh ini
cukup pesat kemajuannya, yaitu sejak munculnya bangunan-bangunan masjid dengan gaya
kubah sampai saat peraliha ke zaman yang lebih modern. Pada saat itu mulai tampak
pelepasan dari kebiasaan lama, untuk kemudian mulai menerapkan unsure-unsur luar sebagai
bentuk baru tapi direncanakan dengan cermat. Sedangkan detail-detail bangunan sudah mulai
menerapkan bahan-bahan baru. Demikian pula halnya dengan corak bangunan masjid, yang
pada saat yang lalu senantiasa terikat oleh berbagai keharusan seperti fungsi formal atau
fungsi semu (keramat), maka disaat itu sudah mulai adanya usaha pencapaian kearah fungsi
yang sebenarnya, yaitu masjid sebagai pusat ibadah dan kegiatan Islam lainnya.
Perkembangan yang dimulai sejak awal tahun limah puluhan di abad kedua puluh ini cukup
pesat kemajuannya, yaitu sejak munculnya bangunan-bangunan masjid dengan gaya kubah
sampai saat peraliha ke zaman yang lebih modern. Pada saat itu mulai tampak pelepasan dari
kebiasaan lama, untuk kemudian mulai menerapkan unsur-unsur luar sebagai bentuk baru tapi
direncanakan dengan cermat. Sedangkan detail-detail bangunan sudah mulai menerapkan
bahan-bahan baru. Demikian pula halnya dengan corak bangunan masjid, yang pada saat
yang lalu senantiasa terikat oleh berbagai keharusan seperti fungsi formal atau fungsi semu
(keramat), maka disaat itu sudah mulai adanya usaha pencapaian kearah fungsi yang
sebenarnya, yaitu masjid sebagai pusat ibadah dan kegiatan Islam lainnya.
Pada penampilannya dizaman mutakhir ini penerapan unsur-unsur pengeruh dari luar
itu (misalnya dari Timur Tengah) meskipun masih diterapkan, tapi pemakaiannya sebagai
bagian dari bangunan masjid sudah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang seksama
berdasarkan ketentuan-ketentuan estetika untuk kepentingan bangunan.
Karena berkembangnya fungsi yang mendekati aslinya dari masjid-masjid tersebut
maka ukuran masjid pun menjadi lebih besar, tidak hanya sekedar untuk mencapai
kemegahan tapi terutama karena merupakan perwujudan dari satuan-satuan ruang yang perlu
disajikan untuk melayani kebutuhan dalam rangka kegiatan sesuai dengan ajaran agama
Islam, sehingga terdapat masjid yang bertingkat-tingkat.
Disaat masa perkembangan tersebut corak semakin berganti, sehingga satu gaya
tertentu diganti oleh gaya lain yang lebih baru. Gaya dengan corak kubah tidak lagi
merupakan hal yang menjadi patokan dalam pembangunan masjid, tapi hanyalah merupakan
unsur yang dipertimbangkan sebagai elemen dari kesatuan bentuk.
Pola ornamentik senantiasa terdapat pada bangunan masjid dimasa lampau, yaitu
disaat kesempurnaan bangunan masih tersalur melalui ekspresi yang emosional dari bentuk
ukiran dan hiasan hanyalah merupakan gaya yang telah berlalu. Kedudukannya digantikan
dengan unsur-unsur bagian dari bangunan berupa kelengkapan dan detail seperti jendela,
pintu, mihrab dan perabotan lain yang sekarang tampil dalam wujud-wujud yang dekoratif
sifatnya, artinya semua bidang, bentuk bulat, warna dapat berbicara sebagai unsur dekoratif
tersebut. Bahkan seluruh bagian itu sudah merupakan wadah dari kessan-kesan demokratif
dalam menyempurnakan penampilan dari bangunan mesjid tersebut.
Meskipun tidak mandiri, tetapi melalui struktur, tekstur, kolom, dan bentuk-bentuk
yang ada pada banguna mesjid itu telah menjadi unsur dekoratif. Sama halnya dengan bagina
lain dari banguna mesjid, maka segi dekoratif in merupakan elemen suatu kesatuan dari
keseluruhan.
Bahkan kelengkapan masjid yang biasanya ramai dengan hiasan-hiasan, saat itu mulai
melepaskan kebiasaan tersebut misalnya mimbar.
Intensitas cahaya yang banyak di Indonesia ini kemudian diperhitungkan pula sebagai
unsur pendukung yang sifatnya dekoratif, misalnya melalui pola kerawang yang tampil juga
sebagai elemen yang cukup indah.
Dari penjelasan di atas arsitektur pembangunan masjid-masjid di zaman yang lebih
mutakhir ini tentunya terdapat akibat-akibat yang memberikan pengaruh terhadap
perkembangan masjid yang ada di daerah-daerah. Meskipun masyarakat umum mempunyai
lingkungan dan kondisi daerah akan tetapi pengaruh-pengaruh terutama berdasarkan
pengalaman visual biasanya cepat masuk ke kehidupannya.
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih
mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan
ajaran agama Islam secara keseluruhan

Sebagai tempat ibadah


Mesjid dapat diartikan sebagai suatu bangunan tempat melakukan ibadah shalat secara
berjamaah atau sendiri-sendiri, serta kegiatan lain yang berhubungan dengan Islam. Selain
masjid dikenal pula istilah-istilah lain seperti mushalla, langgar atau surau. Mushalla atau
langgar biasanya digunakan untuk shalat wajib (fardu) sebanyak lima kali sehari semalam,
serta untuk pendidikan dan pengajaran masalah-masalah keagamaan. Sedangkan masjid,
digunakan juga sebagai tempat shalat berjamaah seperti shalat Jumat, shalat hari Raya (kalau
tidak di tanah lapang), shalat tarawih serta tempat itikaf.

Masjid juga dipakal sebagai tempat berdiskusi, mengaji dan lain-lain yang tujuan utamanya
mengarah pada kebaikan. Karena sesuai dengan hadits, dikatakannya: dimana kamu
bersembahyang, disitulah masjidmu

Pada setiap masjid, tentunya ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan sesuai dengan
kebutuhan peribadatan. Yang perlu diperhatikan adalah antara lain urut-urutan kegiatan shalat
baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalam Islam secara tegas dipisahkan antara jamaah laki-
laki dan wanita. Dengan demikian, sejak awal masuk, bersuci (wudlu) sampai pada waktu
shalat sebaiknya pemisahan itu telah dilakukan.

Ruang untuk shalat atau yang disebut Liwan, biasanya berdenah segi empat. Hal ini sesuai
dengan tuntunan dalam shalat bahwa setiap jemaah menghadap kearah kiblat.dengan
pandangan yang sama dan satu sama lain berdiri rapat. Shalat berjamaah dipimpin oleh
seorang imam, yang berada dtengah pada posisi terdepan.

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang
dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang terlampir sebelumnya. Dengan
masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua
(lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang
melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut
tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Ajaran Islam mulai masuk ke Indonesia
sekitar abad Penyebaran awal Islam di Nusantara dilakukan pedagang-pedagang Arab, Cina,
India dan Parsi. Setelah itu, proses penyebaran Islam dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara melalui perkawinan, perdagangan dan peperangan.

Banyak masjid yang diagungkan di Indonesia tetap mempertahankan bentuk asalnya yang
menyerupai (misalnya) candi Hindu/Buddha bahkan pagoda Asia Timur, atau juga
menggunakan konstruksi dan ornamentasi bangunan khas daerah tempat masjid berada. Pada
perkembangan selanjutnya arsitektur mesjid lebih banyak mengadopsi bentuk dari Timur
Tengah, seperti atap kubah bawang dan ornamen, yang diperkenalkan Pemerintah Hindia
Belanda.
Kalau dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi pada budaya yang
masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki bentuk yang
hampir sama dengan candi Hindu Budha. Hal ini karena terjadi akulturasi budaya antara
budaya setempat dengan budaya luar.

Antar daerah satu dengan yang lain biasanya juga terdapat perbedaan bentuk. Hal ini juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya setempat.

Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat
kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Wujud akulturasi
dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Untuk lebih
jelasnya silakan Anda simak gambar berikut:

Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia.

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar memiliki ciri sebagai
berikut:

1. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil
dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan
biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya
yang disebut dengan Mustaka.
2. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar
Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug
untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan
budaya asli Indonesia.
3. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan
didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada
bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang Duwur berikut
ini:

Makam Sendang Duwur (Tuban)

Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

1. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.


2. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya
juga terbuat dari batu.
3. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau
kubba.
4. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan
makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk
kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap
dan tidak berpintu).
5. di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya
makam tersebut adalah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam
Sendang Duwur seperti yang tampak pada gambar 2 tersebut.
MASJID AGUNG DEMAK

Tampak depan Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa
Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya
para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas
penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri
masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.

Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki
empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka.
Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.

Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja
Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana jugaterdapat sebuah museum, yang berisi
berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.

MASJID MENARA KUDUS

Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar) adalah
mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah
dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama dan
terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak
Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya
yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai
menara masjid di seluruh dunia.

Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk
sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa
disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy.

Menara Masjid Kudus merupakan bangunan menara masjid paling unik di Kota Kudus karena bercorak Candi
Hindu Majapahit.

Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian
dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal
ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-
Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang
dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket
serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang
sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang
berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang
dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko
(kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di
Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.
MASJID AGUNG BANTEN

Kompleks bangunan masjid di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara kota Serang,
ibu kota Provinsi Banten ini menjadi obyek wisata ziarah arsitektur yang sangat menarik,
karena gaya seni bangunan yang unik dan terdapat elemen arsitektur menarik.

Sisi menarik pertama dari bangunan utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh Sultan
Maulana Hasanuddin (1552-1570), sutan pertama Kasultanan Demak yang juga putra
pertama Sunan Gunung Jati itu adalah atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan
bangunan utama masjid yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina
bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan
keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa,
bahkan di seluruh Indonesia.

Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap
konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu
berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang
bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam
posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.

Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai
atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu
sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid
beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta
tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di
seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa
pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula
menggunakan unsur menara di Jawa.

Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini
dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/pengamat ke lepas pantai karena
bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang
jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut,
membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.

Kesimpulan
Karena pengaruh agama Hindu yang lebih dulu di Indonesia khususnya di Jawa, maka
corak candi mulai menerap pada bangunan masjid. Ruang masjid di Jawa dibentuk pendopo,
atapnya susun seperti pagoda:gapura yang berbentuk Candi Bentar, ukiran-ukiran gaya
Hindu-Jawa:menara berbentuk candi. Unsur lokal dalam arsitektur masjid di Indonesia
kadang-kadang sangat kuat. Saat itu mulai pula terdapat masukan yang berupa ornamen yang
diterapkan pada bangunan masjid, meskipun sifatnya masih sangat sederhana. Ujung-ujung
atap masjid yang runcing biasanya dihiasi dengan semacam mahkota yang memang
fungsinya hanyalah sebagai hiasan. Ukir-ukiran juga ditampilkan di daerah mihrab dan
mimbarnya, disertai dengan hiasan huruf Arab yang berlafad-lafad. Masjid menempati arah
barat dari alun-alun, dan dibangun bersebelahan dengan tempat kediaman raja atau keraton.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa penampilan masjid diawal perkembangannya
mempunyai watak tradisional daerah dengan pembawaannya yang lugu dan sederhana.
Pada kenyataan perkembangan awal arsitektur masjid di Jawa bercorak seperti
bangunan candi yang diserap sebagai penampilan yang berdasarkan tuntutan kegunaan Islam.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok dalam perkembangan
Islam di Indonesia ini adalah kebudayaan lama yang diislamkan.
Perkembangan arsitektur masjid di Indonesia khususnya di Jawa memang bergerak
setahap demi setahap. Segala unsur budaya memberikan sumbangan serta penambahan
kekayaan wujud penampilan masjid tersebut. Masukan tersebut kemudian berakulturasi dan
melekat pada arsitektur Islam di Indonesia.
Dalam perkembangan arsitektur Islam selanjutnya, pada samping masjid ada kuburan.
Meskipun tidak merubah fungsi dan tugasnya sebagai masjid. Disamping kiri dan kanan
bangunan masjid terdapat kuburan-kuburan yang berkembang sebagai tempat pekuburan
umum yang tidak terbatas pada makam tokoh yang dihormati saja. Sebagai kelengkapan dari
kuburan-kuburan yang ada di sekitar masjid tersebut biasanya terdapat tembok pemisah
dengan pintu-pintu gerbang tersendiri.
Arsitektur masjid pada masa ini merupakan penyempurnaan dari perkembangan
terahir dari masuknya unsur-unsur Timur Tengah terutama pada bentuk Kubah, lengkung-
lengkung serta menara. Faktor penyebabnya adalah adanya suasana kehidupan baru yang
seolah-olah membuka kemungkinan untuk bangkit guna kembali berkarya sesudah
mengalami beberapa saat kekosongan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan
pembangunan.
Ada pula masjid-masjid yang sudah dibangun secara bertingkat, karena
perkembangan pemikiran yang tuntas. Misalnya karena alasan hendak menerapkan fungsi
yang menyeluruh dari segala kegiatan masjid yang harus dapat tertampung oleh ruangan-
ruangan yang tersedia.
Pada saat itu juga sudah ada masjid yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan kantor
guna melaksanakan kegiatan penunjang, serta ruangan-ruangan untuk perpustakaan, sarana
kesehatan, ruang ceramah atau ruang pendidikan agama.
Sementara itu perkembangan corak dan gaya masjid terus juga melaju. Penampilan
bentuk menjadi lebih bervariasi, seperti terbukti dengan munculnya berbagai macam corak
Kubah yang menonjol pada masjid-masjid didaerah. Contohnya di masjid Agung
Banyuwangi yang memiliki Kubah kontruksi lipat, Kubah berbentuk kerang di masjid Agung
Jember, Kubah bintang pada masjid Agung Semarang, atau bahkan Kubah setengah bola
yang dominan dan megah pada masjid Istiqlal Jakarta dan pada masjid-masjid lain didaerah.
Pola tradisional daerah bukanlah lagi satu-satunya cara untuk menampilkan bentuk tapi digali
kembali hakikat bentuk intinya kemudian direncanakan kembali untuk menampilkan corak
yang baru.
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih
mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan
ajaran agama Islam secara keseluruhan.
Pola ornamentik senantiasa terdapat pada bangunan masjid dimasa lampau, yaitu
disaat kesempurnaan bangunan masih tersalur melalui ekspresi yang emosional dari bentuk
ukiran dan hiasan hanyalah merupakan gaya yang telah berlalu. Kedudukannya digantikan
dengan unsur-unsur bagian dari bangunan berupa kelengkapan dan detail seperti jendela,
pintu, mihrab dan perabotan lain yang sekarang tampil dalam wujud-wujud yang dekoratif
sifatnya, artinya semua bidang, bentuk bulat, warna dapat berbicara sebagai unsur dekoratif
tersebut. Bahkan seluruh bagian itu sudah merupakan wadah dari kessan-kesan demokratif
dalam menyempurnakan penampilan dari bangunan mesjid tersebut.
Meskipun tidak mandiri, tetapi melalui struktur, tekstur, kolom, dan bentuk-bentuk
yang ada pada banguna mesjid itu telah menjadi unsur dekoratif. Sama halnya dengan bagina
lain dari banguna mesjid, maka segi dekoratif in merupakan elemen suatu kesatuan dari
keseluruhan.
Bahkan kelengkapan masjid yang biasanya ramai dengan hiasan-hiasan, saat itu mulai
melepaskan kebiasaan tersebut misalnya mimbar.
Intensitas cahaya yang banyak di Indonesia ini kemudian diperhitungkan pula sebagai
unsur pendukung yang sifatnya dekoratif, misalnya melalui pola kerawang yang tampil juga
sebagai elemen yang cukup indah.
Dengan demikian keindahan masjid tidak terletak pada unsur-unsur tambahan sepeti
banyaknya ornament dan hiasan yang meriah tapi tampil dari hasil perencanaan yang
seksama dalam memperhitungkan kedudukan bagian.
Dari penjelasan di atas arsitektur pembangunan masjid-masjid di zaman yang lebih
mutakhir ini tentunya terdapat akibat-akibat yang memberikan pengaruh terhadap
perkembangan masjid yang ada di daerah-daerah. Meskipun masyarakat umum mempunyai
lingkungan dan kondisi daerah akan tetapi pengaruh-pengaruh terutama berdasarkan
pengalaman visual biasanya cepat masuk ke kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA

http://architecturoby.blogspot.co.id/2009/01/arsitektur-islam.html

http://sherifshare.blogspot.co.id/2011/04/perkembangan-arsitektur-masjid-masa.html

Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta:
Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa

Anda mungkin juga menyukai